167. DI RUMAH YOHANA KHUZA. YESUS DAN PARA PEREMPUAN ROMAWI.  


19 Mei 1945

Yesus turun dari sebuah perahu di dermaga di kebun Khuza, dengan dibantu oleh seorang tukang perahu yang telah mengantar-Nya ke sana. Seorang tukang kebun yang melihat-Nya berlari untuk membukakan gerbang yang menutup jalan masuk ke tanah milik di sisi danau. Sebuah gerbang yang tinggi kokoh, yang, meski demikian, tersembunyi oleh pagar tanam-tanaman salam yang tinggi lebat dan semak-semak buxus di bagian luar, menuju danau, dan oleh bunga-bunga mawar dari berbagai warna di bagian dalam, menuju rumah. Semak-semak mawar yang indah menghiasi pohon salam yang merah tua dan dedaunan buxus; bunga-bunga itu menyembul melalui cabang-cabang dan mengintip ke luar ke sisi yang lain, atau mengatasi pembatas nan asri dan membiarkan kuntum-kuntum bunganya jatuh terjuntai ke sisi yang lain. Hanya bagian tengah gerbang, sepanjang jalanan menuju ke rumah, areanya gundul dan terbuka di sana guna memungkinkan orang datang atau pergi ke danau.

"Damai bagi rumah ini dan bagimu, Yoana. Di manakah nyonyamu?"

"Di sana, bersama teman-temannya. Aku akan segera memanggilnya. Mereka telah menantikan Engkau selama tiga hari, sebab mereka khawatir terlambat."

Yesus tersenyum. Pelayan berlari untuk memanggil Yohana. Sementara itu Yesus berjalan perlahan menuju tempat yang tadi ditunjukkan si pelayan, mengagumi kebun yang indah, orang dapat menyebutnya sebagai taman mawar mengagumkan, yang dibangun Khuza untuk istrinya. Bunga-bunga mawar sangat indah yang mekar awal, dari berbagai jenis, ukuran dan bentuk bagai semburan warna-warni di ceruk danau yang bernaung ini. Ada tanaman bunga-bunga lainnya; tapi belum mekar dan jumlahnya sangat minim dibandingkan kuantitas semak-semak mawar.      

Yohana tiba. Ia bahkan tidak sempat meletakkan keranjang mawar yang setengah penuh terisi, pula gunting-gunting yang digunakannya untuk memotong, dan ia berlari demikian, dengan kedua tangannya terulur, lincah dan cantik dalam balutan gaun lebarnya yang terbuat dari bahan wool sangat tipis, berwarna pink sangat muda, yang lipatan-lipatannya dikencangkan pada tempatnya dengan kancing-kancing dan gesper-gesper filigree perak, berhiaskan batu-batu garnet merah pucat yang gemerlap. Sebuah mahkota berbentuk mitra tertata di atas rambutnya yang berwarna gelap dan bergelombang, juga dalam perak dan batu-batu garnet, di mana kerudung berwarna pink sangat muda dari bahan byssus tergantung di atas punggungnya, memperlihatkan kedua telinganya, yang berhias anting-anting yang serasi dengan mahkotanya. Wajahnya tersenyum dan di sekeliling lehernya yang jenjang dia mengenakan seuntai kalung kemilau yang dibuat seperti perhiasan-perhiasan berharganya yang lain.     

Ia menjatuhkan keranjangnya di depan kaki Yesus dan berlutut untuk mencium jubah-Nya, di antara bunga-bunga mawar yang jatuh terserak di atas tanah.

"Damai sertamu, Yohana. Aku telah datang."

"Dan aku senang. Mereka sudah datang juga. Oh! Sekarang aku kelihatannya telah melakukan hal yang salah dengan mengatur pertemuan ini! Bagaimanakah kalian dapat mengerti satu sama lain? Mereka orang-orang yang tidak mengenal Tuhan!" Yohana agak khawatir.

Yesus tersenyum, dan dengan menempatkan tangan-Nya ke atas kepalanya Ia berkata: "Janganlah takut. Kami akan mengerti satu sama lain dengan sangat baik. Kau telah melakukan hal yang benar 'dengan mengatur pertemuan ini.' Pertemuan kita akan penuh berkat sebagaimana kebunmu penuh bunga-bunga mawar. Sekarang, pungutlah mawar-mawar malang itu yang telah kau jatuhkan dan marilah kita pergi kepada teman-temanmu."

"Oh! Ada banyak mawar. Aku memetiknya untuk mengisi waktu luang dan lalu teman-temanku sangat… sangat bergairah. Mereka suka bunga seolah adalah… aku tidak tahu…"

"Aku suka juga! Lihat, kita sudah menemukan suatu subyek pembicaraan di mana kita dapat mengerti satu sama lain. Ayo! Mari kita memungut mawar-mawar cantik ini…" dan Yesus membungkuk untuk memberikan contoh.

"Jangan! Jangan Engkau, Tuhan-ku! Jika Engkau sungguh ingin… yah… itu dibereskan."

Mereka berjalan hingga tiba di sebuah pondok yang dibuat dari semak-semak mawar warna-warni yang saling dijalin. Tiga perempuan Romawi mengarahkan pandangannya pada mereka dari ambang pondok: Plautina, Valeria dan Lydia. Yang pertama dan yang terakhir ragu, tapi Valeria berlari menyongsong dan genuflect seraya berkata: "Salam, Juruselamat dari Fausta kecilku!"           

"Damai dan terang bagimu dan bagi teman-temanmu."

Teman-temannya genuflect tanpa mengatakan apa-apa.

Kita sudah mengenal Plautina. Tinggi, agung mulia, dengan sepasang mata indah berwarna gelap yang agak otoritatif, di bawah kening yang sangat putih mulus, sebatang hidung mancung sempurna, bibir berbentuk indah sedikit tebal, dagu berbentuk indah agak bulat, dia mengingatkanku akan patung-patung kaisar wanita Romawi yang indah. Cincin-cincin berat berkilau pada tangannya yang indah dan gelang-gelang emas besar melingkar pada lengannya yang ramping indah, pada pergelangan tangan hingga di atas sikunya yang tampak putih bersemu merah muda, mulus dan sempurna di bawah lengan-lengan bajunya yang pendek terjuntai.      

Lydia, sebaliknya, berambut terang, lebih langsing dan lebih muda. Kecantikannya bukanlah kecantikan agung mulia seperti Plautina, tetapi dia memiliki segala keanggunan feminin dari masa muda yang masih sedikit belum matang. Dan sebab kita berbicara mengenai subyek kafir, aku dapat katakan bahwa Plautina kelihatan seperti patung seorang kaisar wanita, Lydia mungkin seperti Diana [= dewi hutan dan kelahiran bangsa Italia kuno yang diidentifikasikan sebagai Artemis oleh bangsa Romawi] atau seorang bidadari yang lemah-lembut bersahaja.      

Valeria, yang tidak dalam keadaan putus asa seperti kita melihatnya di Kaisarea, tampil dalam kecantikan seorang ibu muda, agak sedikit montok tapi masih sangat muda, dengan tampilan tenang seorang ibu yang berbahagia dapat menyusui sendiri anaknya dan melihatnya tumbuh sehat. Kemerahan dan coklat, senyumnya tenang tapi sangat baik hati.

Aku berada dalam kesan bahwa kedua perempuan lainnya memiliki kedudukan yang lebih rendah dari Plautina, yang mereka hormati bak seorang ratu, seperti tampak jelas pula dalam perilaku mereka.  

"Apakah kalian sedang mengurus bunga-bunga? Teruskan, teruskan. Kita dapat berbicara juga sementara kalian memetik karya indah sang Pencipta, yang adalah bunga-bunga ini, dan sementara kalian menatanya ke dalam vas-vas mahal ini dengan kecakapan di mana orang-orang Romawi adalah ahlinya, untuk memperpanjang hidup mereka, yang sayangnya terlalu singkat… Apabila kita mengagumi kuncup ini, yang baru saja memekarkan helai-helai bunganya yang berwarna kuning dalam suatu senyum menawan, bagaimanakah kita dapat tidak menyayangkan melihatnya mati! Oh! Betapa akan terperanjatnya orang-orang Yahudi apabila mereka mendengar Aku berbicara seperti itu! Tapi juga dalam sekuntum bunga kita merasakan adanya sesuatu yang hidup. Dan kita menyayangkan melihatnya berakhir. Tapi tanam-tanaman lebih bijak dari kita. Mereka tahu bahwa pada setiap luka yang diakibatkan oleh pemotongan batangnya akan tumbuh suatu tunas yang baru dan yang akan menjadi sekuntum mawar yang baru. Dan jadi kita harus mengambil hikmah dari pelajaran ini dan menjadikan cinta kita yang agaknya sensual terhadap bunga-bunga mendorong kita pada suatu pemikiran yang lebih tinggi.

"Yang manakah, Guru?" tanya Plautina, yang mendengarkan dengan seksama dan yang bangkit minatnya oleh pemikiran luhur sang Guru Yahudi.      

"Yang ini. Bahwa suatu tanaman tidak akan mati sepanjang akar-akarnya diberi makan oleh tanah, dia tidak akan mati karena tunas-tunasnya mati; umat manusia tidak akan mati karena seorang manusia berakhir masa hidup duniawinya. Akan tetapi bunga-bunga baru selalu dilahirkan. Dan - suatu pemikiran yang bahkan terlebih tinggi dan akan membuat kita memberkati sang Pencipta - yakni, sementara sekuntum bunga mati, begitu dia mati, dia tidak akan datang untuk hidup kembali, yang sangat menyedihkan; manusia, ketika dia tidur dalam tidur akhirnya, dia tidak mati, melainkan dia hidup dalam suatu kehidupan yang lebih cemerlang, menimba, melalui bagian dirinya yang lebih baik, hidup abadi dan semarak dari sang Pencipta Yang membentuknya. Oleh sebab itu, Valeria, andai gadis kecilmu sudah meninggal, kau tidak akan kehilangan belaiannya. Ciuman dari makhluk kecilmu akan selalu datang pada jiwamu, sebab, kendati terpisah darimu, dia tidak akan melupakan kasihmu. Lihatlah, betapa menyenangkannya memiliki iman akan hidup yang kekal? Di manakah si kecilmu sekarang?"

"Dalam buaian tertutup itu. Aku tak pernah berpisah darinya sebelumnya, sebab cinta kepada suamiku dan kepada putriku adalah satu-satunya daya hidupku. Tapi sekarang sesudah aku tahu bagaimana melihatnya meregang nyawa, aku tidak meninggalkannya bahkan sekejap pun."

Yesus pergi menuju suatu tempat duduk di atas mana terdapat semacam buaian kayu, yang dibungkus dengan sehelai selimut mahal. Ia membuka selimutnya dan melihat pada si kanak-kanak yang tidur, yang dibangunkan dengan lembut oleh udara segar. Mata mungilnya terlihat terkejut ketika terbuka dan bibirnya merekah dalam seulas senyum segitiga, sementara tangan-tangan mungilnya, yang hingga saat itu tertutup, sekarang terbuka dan antusias untuk meraih rambut Yesus yang bergelombang. Cicit seekor burung pipit mendorong perkembangan kemampuan bicara dalam benak kecilnya. Dan akhirnya kata universal yang mengagumkan itu mengalun: "Mama!"

"Angkat dia, angkat dia," kata Yesus Yang pindh ke satu sisi supaya Valeria dapat membungkuk di atas buaian.  

"Dia akan merepotkan-Mu! Aku akan memanggil seorang pelayan untuk membawanya masuk ke dalam kebun."

"Merepotkan? Oh! Tidak! Anak-anak tidak pernah merepotkan. Mereka adalah selalu sahabat-sahabat-Ku."

"Apakah Engkau punya anak atau cucu, Guru?" tanya Plautina, yang mengamati bagaimana Yesus, dengan tersenyum, menggoda si bayi untuk membuatnya tertawa.

"Tidak, Aku tidak punya baik anak ataupun cucu. Tapi aku mencintai anak-anak seperti Aku mencintai bunga-bunga. Sebab mereka murni dan tanpa kejahatan. Tidak, berikan pada-Ku si kecilmu, perempuan. Merupakan suatu sukacita besar untuk-Ku dapat mendekapkan seorang malaikat kecil pada dada-Ku." Dan Ia duduk dengan menggendong si bayi kecil, yang mengamati-Nya dan memainkan jenggot-Nya dan lalu menemukan sesuatu yang lebih menarik untuk dilakukan, memainkan jumbai-jumbai mantol-Nya dan tali jubah-Nya, kepada siapa dia menyampaikan suatu perkataan panjang yang misterius.

Plautina berkata: "Teman kami yang baik dan bijak, seorang di antara sedikit orang yang tidak memandang rendah kami dan tidak mengganggap diri menjadi rusak bergaul dengan kami, tentunya sudah mengatakan kepada-Mu bahwa kami sangat ingin bertemu dengan-Mu dan mendengarkan-Mu, untuk menilai Engkau sebagaimana Engkau adanya, sebab orang-orang Romawi tidak percaya pada cerita omong-kosong… Mengapakah Engkau tersenyum, Guru?"

"Akan Aku katakan nanti. Teruskan."

"Karena orang-orang Romawi tidak percaya pada cerita-cerita omong-kosong dan ingin menilai dengan pengetahuan yang benar dan nurani sebelum mengutuk dan memuliakan. Orang-orang-Mu memuliakan-Mu dan memfitnah-Mu dengan tingkat yang sama. Perbuatan-perbuatan-Mu akan meyakinkan orang untuk memuliakan-Mu. Perkataan dari banyak orang Yahudi akan mempengaruhi orang untuk menganggap Engkau sedikit lebih rendah dari seorang kriminal. Perkataan-Mu penuh hikmad dan bijak seperti perkataan seorang filsuf. Orang-orang Romawi sangat suka akan doktrin filosofis dan… aku harus akui, para filsuf kami yang sekarang tidak mempunyai suatu doktrin yang memuaskan, juga karena cara hidup mereka tidak selaras dengan doktrin mereka."

"Mereka tidak dapat mempunyai cara hidup yang selaras dengan doktrin mereka."

"Sebab mereka orang-orang kafir [= pengikut agama polytheistic (kepercayaan bahwa ada lebih dari satu allah) pada masa Romawi kuno], bukan begitu?"

"Tidak, sebab mereka ateis."

"Ateis? Tapi mereka punya allah-allah."

"Mereka bahkan tidak punya allah-allah itu lagi, perempuan. Aku mengingatkanmu akan para filsuf pada masa silam, para filsuf besar. Mereka adalah orang-orang yang tidak ber-Allah juga. Akan tetapi, renungkanlah betapa tinggi tingkat moral hidup mereka! Bercampur dengan kesalahan-kesalahan, sebab manusia condong berbuat salah. Tapi ketika mereka dihadapkan pada misteri-misteri terbesar: hidup dan mati, ketika mereka harus menghadapi dilema Kejujuran atau Ketidakjujuran, Keutamaan atau Kejahatan, Kegagah-beranian atau Pengecut dan mereka beranggapan bahwa jika mereka berbalik pada yang jahat, maka suatu kemalangan besar akan menimpa tanah air mereka dan orang-orang sebangsa mereka, maka dengan kehendak upaya yang luar biasa mereka menolak tentakel-tentakel polyp yang jahat dan, dengan kudus dan bebas, mereka memilih Yang Baik, apapun resikonya. Yang Baik itu yang tak lain adalah Allah."

"Engkau adalah Allah, begitu kata mereka. Benarkah itu?"     

"Aku adalah Putra dari Allah Yang Benar, Aku menjadi manusia, tapi Aku masih tetap Allah."

"Tapi siapa itu Allah? Guru terbesar, jika kami melihat Engkau."

"Allah jauh lebih dari seorang Guru. Janganlah meminimalisir gagasan mulia Keallahan pada suatu batasan kebijaksanaan."

"Kebijaksanaan adalah kedewaan. Ada pada kami Minerva. Dia adalah dewi pengetahuan."

"Kalian juga punya Venus, dewi kesenangan. Dapatkah kalian akui bahwa seorang dewa dewi, yakni, suatu makhluk yang lebih tinggi dari manusia, diangkat ke tingkat tertinggi, memiliki segala kejahatan fana yang mengerikan? Dapatkah kalian berpikir bahwa suatu makhluk abadi memiliki untuk sepanjang kekekalan masa kepicikan, kekejian, kesenangan-kesenangan hina dari mereka yang memiliki hanya masa satu jam saja? Dan bahwa makhluk superior itu menjadikan hal-hal demikian lingkup hidupnya? Tidakkah kalian berpikir betapa suatu surga yang cemar yang kalian sebut Olympus itu, di mana darah umat manusia yang paling busuk meragi? Apabila kalian melihat pada surga kalian, apakah yang dapat kalian lihat? Percabulan, kejahatan, kedengkian, perang, perampasan, kemabukan, tipu muslihat, balas dendam. Apabila kalian hendak merayakan pesta dewa dewi kalian, apakah yang kalian lakukan? Kalian berkubang dalam pesta-pora penuh kecemaran. Pemujaan apakah yang kalian berikan kepada mereka? Di manakah kemurnian sesungguhnya dari para perawan yang dipersembahkan kepada Vesta [= dewi perapian dam rumah tangga]? Atas kode hukum ilahi manakah para imam kalian mendasarkan penghakiman mereka? Kata-kata apakah yang dapat dibaca para peramal kalian dalam terbang burung-burung atau dalam gemuruh guntur? Dan jawaban apakah yang dapat diberikan oleh isi perut berlumuran darah dari hewan-hewan kurban kepada haruspex [=peramal pada masa Romawi yang mendasarkan ramalannya atas penelitian terhadap isi perut hewan kurban] kalian? Kalian berkata: 'Orang-orang Romawi tidak percaya pada cerita-cerita omong-kosong. Jadi mengapakah percaya bahwa duabelas orang malang, dengan menyuruh seekor babi, seekor domba dan seekor sapi jantan mengitari ladang-ladang dan mengurbankan mereka, dapat memperolehkan anugerah dari Ceres [= dewi pertanian orang Romawi], padahal kalian mempunyai dewa-dewi yang tak terhitung banyaknya, dengan yang satu membenci yang lain, dan kalian percaya akan balas dendam mereka? Tidak. Allah adalah sesuatu yang sama sekali  berbeda. Ia Abadi, Satu dan Rohani."   

"Tapi Engkau katakan bahwa Engkau adalah Allah dan meski begitu Engkau adalah manusia."

"Ada altar tanpa allah di tanah air allah-allah. Kebijaksanaan manusia telah mempersembahkannya bagi Allah yang tak dikenal. Sebab orang-orang bijak, para filsuf sejati, telah menyadari bahwa ada sesuatu yang melampaui skenario ilustrasi yang diciptakan untuk anak-anak abadi, yakni untuk manusia yang jiwanya terbungkus dalam kain bedung kesalahan. Jika orang-orang bijak itu - yang menyadari bahwa ada sesuatu yang melampaui skenario yang salah, sesuatu yang sungguh mulia dan ilahi, yang menciptakan segala sesuatu yang ada dan dari mana berasal segala kebaikan yang ada di dunia - jika orang-orang itu menghendaki suatu altar bagi Allah yang tak dikenal, Yang mereka sadari sebagai Allah Yang Benar, bagaimana kalian dapat menyebut allah apa yang bukan allah dan bagaima kalian dapat mengatakan bahwa kalian mengenal apa yang tidak kalian kenal? Oleh karenanya, belajarlah siapa Allah itu, agar kalian dapat mengenal dan menghormati-Nya. Allah adalah Makhluk Yang dengan pikiran-Nya menjadikan segala sesuatu dari yang tidak ada. Dapatkah cerita tentang batu-batu yang berubah menjadi manusia meyakinkan kalian dan memuaskan kalian? Dengan sungguh-sungguh Aku katakan kepada kalian bahwa ada orang-orang yang lebih keras dan jahat dari batu-batu, dan batu-batu yang lebih berguna dari manusia. Tapi tidaklah lebih menyenangkan bagimu, Valeria, untuk mengatakan, sembari memandangi bayi kecilmu: 'Dia adalah kehendak Allah yang hidup, yang diciptakan dan dibentuk oleh-Nya, yang dianugerahi oleh-Nya kehidupan kedua yang tidak akan berakhir, sehingga aku akan memiliki Fausta kecilku untuk selama-lamanya, jika aku percaya pada Allah Yang Benar', daripada mengatakan: 'Daging kemerahan ini, rambut ini yang lebih tipis dari jaring laba-laba, mata jernih ini berasal dari sebongkah batu'? Atau mengatakan: 'Aku sepenuhnya seperti seekor serigala betina atau kuda betina, dan seperti binatang aku kawin, seperti binatang aku melahirkan, seperti binatang aku membesarkannya, dan putriku adalah buah dari insting hewaniku dan dia adalah seekor binatang seperti aku, dan besok, ketika dia mati dan aku mati, kami akan menjadi dua bangkai yang akan membusuk dengan bau busuk dan kami tidak akan pernah saling melihat satu sama lain lagi'? Katakan pada-Ku. Yang manakah dari dua pilihan itu yang lebih disukai oleh hati keibuanmu?"

"Pasti bukan yang terakhir, Tuhan-ku! Andai aku sudah tahu pada waktu itu bahwa Fausta bukanlah suatu makhluk yang dapat binasa untuk selamanya, maka dukacitaku, ketika dia dalam sakrat maut, tidak akan sebegitu dahsyat. Sebab aku akan mengatakan: 'Aku telah kehilangan sebutir mutiara. Tapi dia masih ada. Dan aku akan mendapatkannya.'"

"Kau benar. Ketika tadi Aku datang kepada kalian, sahabat kalian mengatakan pada-Ku bahwa dia heran akan gairah kalian terhadap bunga. Dan dia khawatir bahwa itu mungkin tidak menyenangkan-Ku. Tapi Aku meyakinkannya dengan mengatakan: 'Aku suka bunga juga, jadi kita akan dapat mengerti satu sama lain dengan sangat baik.' Tapi Aku berharap untuk menghantar kalian untuk mencintai bunga, seperti Aku telah menghantar Valeria untuk mencintai bayinya, yang sekarang akan diperhatikannya dengan lebih baik, sebab dia tahu bahwa Fausta punya jiwa, yang adalah partikel dari Allah yang terselubung dalam tubuh yang dijadikan ibunya untuknya: suatu partikel yang tidak akan mati dan yang akan ditemukan kembali oleh ibunya di Surga, jika dia percaya pada Allah Yang Benar.  

Hal yang sama berlaku bagi kalian. Lihatlah mawar yang indah ini. Ungu yang menghiasi jubah kerajaan tidaklah seindah helai-helai bunga ini, yang bukan saja merupakan kegembiraan bagi mata sebab warnanya, melainkan juga sukacita dengan menyentuhnya sebab kehalusannya dan dengan menciumnya sebab harumnya yang mewangi. Dan lihatlah yang ini, dan yang ini, dan yang ini. Yang pertama seperti darah yang tersembur dari hati, yang kedua seperti salju segar yang baru saja turun, yang ketiga emas pucat, yang terakhir seperti wajah manis dari kanak-kanak ini yang tersenyum di atas pangkuan-Ku. Dan lebih jauh: yang pertama kaku di atas tangkai yang nyaris tanpa duri, yang dedauannya kemerahan seolah disemprot dengan darah, yang kedua memiliki hanya sedikit duri, dan dedauannya pucat dan buram pada tangkainya, yang ketiga sefleksibel sebatang buluh dan dedaunannya yang kecil semengkilap lilin hijau, tangkai bunga terakhir sangat penuh duri, hingga tampak seolah antusias untuk menghindarkan mahkota bunganya yang merah dari segala akses yang mungkin. Ia kelihatan seperti gergaji dengan gigi-gigi yang sangat tajam.               

Sekarang, renungkan ini. Siapakah gerangan yang menjadikan semuanya itu? Bagaimana? Kapan? Di mana? Apakah dulunya tempat ini pada masa kabut? Bukan apa-apa. Melainkan suatu pergolakan unsur-unsur yang tak berbentuk. Yang Esa: Allah, mengatakan: 'Aku menghendaki' dan unsur-unsur memisahkan diri dan berkumpul dalam kelompok-kelompok sejenis. Dan 'Aku menghendaki' yang lain menggelegar dan unsur-unsur menata diri, satu dengan yang lain: air di antara daratan-daratan; atau yang satu di atas yang lain: udara dan terang di atas planet yang terbentuk. Satu lagi 'Aku menghendaki' dan tumbuh-tumbuhan dijadikan. Dan lalu bintang-bintang, lalu binatang-binatang dan yang terakhir manusia. Dan Allah, guna menjadikan manusia, makhluk kesayangan-Nya, bahagia, menganugerahkan kepadanya, sebagai mainan-mainannya yang mengagumkan: bunga-bungaan, bintang-bintang dan akhirnya sukacita menghasilkan keturunan yang tidak akan mati, melainkan mengatasi maut, dengan anugerah Allah, dan yang adalah jiwa. Bunga-bunga mawar ini adalah sebanyak 'kehendak' sang Bapa. Kuasa-Nya yang tak terbatas menjadikannya jelas dalam hal-hal indah yang tak terbilang banyaknya.

Penjelasan-Ku agak sulit sebab bertabrakan dengan penolakan mati-matian dari kepercayaan kalian. Tapi Aku harap, sebab ini adalah pertemuan pertama kita, bahwa kita telah sedikit mengerti satu sama lain. Biarkan jiwa kalian merenungkan apa yang telah Aku katakan kepada kalian. Apakah kalian ada pertanyaan? Tanyakanlah. Aku di sini untuk menjelaskan. Ketidaktahuan bukanlah suatu aib. Adalah aib untuk berdegil dalam ketidaktahuan sementara ada seseorang yang bersedia untuk menjelaskan kebimbangan."        

Dan Yesus, seolah Ia adalah bapa yang paling berpengalaman, pergi keluar dengan menggandeng si kanak-kanak kecil, yang menjejakkan langkah-langkah pertamanya dan ingin pergi menuju pancaran air yang menari-nari di bawah sinar matahari.

Para perempuan tinggal di tempat mereka berada, berbicara satu sama lain. Dan Yohana, yang bimbang di antara dua pilihan, berdiri di ambang pondok.

Akhirnya, Lydia membuat keputusan dan dengan diikuti oleh yang lain pergi menemui Yesus, Yang sedang tertawa sebab si kecil berusaha menangkap spektrum matahari dengan tangannya dan tiada menangkap apa-apa selain cahaya, dan dia bersikeras melakukannya lagi dan lagi, dengan bibir mungil merahnya berceloteh.  

"Guru… aku belum mengerti mengapa Engkau katakan bahwa para guru kami tidak dapat mengamalkan hidup yang baik sebab mereka ateis. Mereka percaya akan Olympus. Tapi mereka percaya…"

"Mereka percaya secara lahiriah. Sepanjang mereka sungguh percaya, sebagaimana orang-orang bijak yang sejati percaya pada Allah Yang Tak Dikenal yang Aku katakan kepada kalian, pada Allah itu Yang memuaskan jiwa mereka, bahkan meski Ia tanpa nama, bahkan andai mereka tidak menghendakinya, sepanjang mereka mengarahkan pikiran mereka pada Makhluk itu, yang jauh lebih unggul dibandingkan allah-allah malang yang penuh akan kesalahan umat manusia, akan kesalahan-kesalahan hina umat manusia, allah-allah yang diciptakan kekafiran bagi dirinya sendiri, mereka bagaimanapun memikirkan Allah, oleh sebab kebutuhan. Suatu jiwa adalah sebuah cermin yang merefleksikan dan suatu gema yang mengulang…"

"Apa, Guru?"

"Allah."

"Suatu perkataan yang agung!"

"Suatu kebenaran yang agung!"

Valeria, yang terpesona oleh pemikiran akan keabadian, bertanya: "Guru, katakanlah padaku di manakah jiwa anakku. Aku akan mencium tempat itu sebagai tempat doa dan aku akan menyembahnya, sebab itu adalah bagian dari Allah."

"Jiwa! adalah seperti cahaya ini yang ingin ditangkap si kecil Faustina tapi tak dapat, sebab tidak berjasad. Tapi ada di sana. Kau, Aku, teman-temanmu dapat melihatnya. Begitu juga suatu jiwa dapat dilihat dalam segala yang membedakan manusia dari binatang. Ketika si kecilmu akan mengatakan padamu pemikiran-pemikiran pertamanya, kau dapat katakan bahwa pengertian macam itu adalah jiwanya yang sedang menyatakan dirinya. Ketika dia akan mencintaimu tidak dengan insting, melainkan dengan akal budi, renungkan bahwa cinta itu adalah jiwanya. Ketika dia akan tumbuh besar menjadi cantik di sisimu, tidak lebih dalam tubuhnya dibandingkan dalam keutamaannya, renungkan bahwa kecantikan itu adalah jiwanya. Dan janganlah menyembah jiwanya, melainkan Allah Yang menciptakannya, Allah Yang menghendaki setiap jiwa menjadi tahta bagi-Nya."

"Tapi di manakah jiwa yang tak berjasad dan mulia ini: dalam hati orang? Dalam otak orang?"

"Dalam keseluruhan diri orang. Kau di dalamnya dan ia di dalammu. Apabila jiwa meninggalkanmu, kau akan menjadi jenazah. Apabila jiwa dibunuh oleh suatu kejahatan yang dilakukan manusia terhadap dirinya sendiri, manusia itu terkutuk, terpisah dari Allah untuk selamanya."  

"Jadi Engkau setuju bahwa filsuf yang mengatakan bahwa kita 'abadi' adalah benar, meski dia seorang yang mengenal Allah?" tanya Plautina.

"Aku tidak setuju. Aku akan lebih jauh. Aku katakan bahwa itu adalah masalah iman. Keabadian jiwa, yakni keabadian dari bagian manusia yang lebih luhur merupakan misteri yang paling pasti dan paling menghibur untuk dipercayai. Adalah yang meyakinkan kita akan darimana kita berasal, ke mana kita pergi, siapa kita, dan itu mengenyahkan segala kepahitan dari setiap perpisahan."

Plautina asyik tenggelam dalam pikirannya. Yesus mengamatinya dan diam. Akhirnya dia bertanya: "Dan apakah Engkau punya jiwa?"

Yesus menjawab: "Pasti."

"Tapi Engkau Allah atau Engkau bukan Allah?"   

"Aku Allah. Aku sudah mengatakannya. Tapi sekarang Aku mengenakan kodrat Manusia. Dan tahukah kalian mengapa? Sebab hanya dengan kurban-Ku ini Aku dapat mengatasi point-point yang tak teratasi oleh akal budi kalian, dan sesudah mengenyahkan kesalahan-kesalahan dan membebaskan budi, Aku dapat juga membebaskan jiwa-jiwa dari suatu perbudakan yang tak dapat Aku jelaskan pada kalian sekarang. Oleh karenanya Aku menyelubungi Kebijaksanaan dan Kekudusan dalam suatu tubuh. Aku menyebarkan Kebijaksanaan bagai benih di tanah dan serbuk-serbuk sari di udara. Kekudusan akan mengalir, seperti dari sebuah amphora berharga yang dibuka, ke atas dunia pada masa Rahmat dan akan menguduskan manusia. Kemudian Allah Yang Tak Dikenal akan menjadi dikenal."

"Tapi Engkau sudah dikenal. Barangsiapa meragukan kekuasaan-Mu dan kebijaksanaan-Mu, kalau bukan seorang jahat dia seorang pendusta."

"Aku dikenal. Tapi ini baru fajar hari. Tengah hari akan penuh dengan pengenalan akan Aku."

"Akan seperti apakah tengah hari-Mu? Suatu kemenangan? Akankah aku melihatnya?"

"Sungguh, akan merupakan suatu kemenangan. Dan kau akan hadir. Sebab kau membenci apa yang kau tahu dan kau merindukan apa yang tidak kau ketahui. Jiwamu lapar."

"Benar. Aku lapar akan kebenaran."

"Aku adalah Kebenaran."

"Jadi, berikanlah Diri-Mu padaku yang lapar."

"Yang perlu kau lakukan hanyalah datang ke meja-Ku. Sabda-Ku adalah roti kebenaran."

"Tapi apakah yang akan dikatakan allah-allah kami jika kami meninggalkan mereka? Akankah mereka melampiaskan murka mereka pada kami?" tanya Lydia yang merasa takut.

"Perempuan: apakah kau pernah melihat suatu pagi yang berkabut? Padang-padang rumput tidak kelihatan dalam kabut yang menutupi mereka. Lalu matahari bersinar dan kabut terserak, dan padang-padang rumput yang berkilau kelihatan lebih indah. Hal yang sama berlaku bagi allah-allah kalian, kabut pemikiran manusia yang malang, yang, dengan mengacuhkan Allah sementara butuh percaya, sebab iman merupakan kebutuhan permanen manusia, menciptakan Olympus, suatu cerita omong-kosong-yang-tidak-ada yang sesungguhnya. Dan dengan demikian allah-allah kalian, ketika matahari, yakni, Allah yang Benar, terbit, akan terserak dalam hati kalian tanpa dapat mencelakakan kalian. Sebab mereka tidak ada."

"Kami akan harus mendengarkan Engkau lagi… cukup sering… Kami jelas pasti ada di hadapan Yang tak dikenal. Segala yang Engkau katakan merupakan hal baru bagi kami."

"Tapi apakah itu memuakkan kalian? Dapatkah kalian menerimanya?"     

Plautina menjawab dengan yakin: "Tidak. Tidak memuakkan. Aku merasa lebih bangga akan sedikit yang aku ketahui sekarang, dan yang tidak diketahui Kaisar, tapi aku mengetahuinya."

"Baik, jadi, bertekunlah. Aku meninggalkan kalian dalam damai-ku."

"Apa? Tidakkah Engkau tinggal, Tuhan-ku?" Yohana merana.

"Tidak, Aku tidak tinggal. Ada banyak hal yang harus Aku lakukan…"

"Oh! Aku ingin mengutarakan permasalahanku pada-Mu!"

Yesus yang telah mulai berjalan, sesudah mengucapkan selamat tinggal pada para perempuan Romawi, berbalik dan berkata:"Ikutlah sampai ke perahu, dan kau ceritakan pada-Ku apa kesedihanmu."

Dan Yohana pun beranjak pergi. "Khuza menghendakiku pergi ke Yerusalem untuk beberapa waktu lamanya dan aku tidak senang dengan itu. Dia melakukannya sebab dia tidak ingin aku terkurung lagi lebih lama lagi sekarang sesudah aku sehat…"

"Kau, juga, menciptakan kabut-kabut tak berguna bagi dirimu sendiri!" kata Yesus Yang melangkahkan kaki-Nya ke dalam perahu. "Jika kau berpikir bahwa kau dengan demikian dapat memberikan tumpangan pada-Ku atau mengikuti-Ku dengan lebih mudah, kau akan bahagia dan akan berkata: "Anugerah yang telah mengaturnya."

"Oh!... itu benar, Tuhan-ku. Aku tidak berpikir ke sana."

"Jadi, kau dapat lihat! Jadilah istri yang baik dan taat. Ketaatan akan memberimu ganjaran mendapatkan Aku sebagai tamumu saat Paskah mendatang dan kehormatan membantu-Ku mengevangelisasi teman-temanmu. Damai-Ku selalu sertamu."

Perahu berangkat dan semuanya pun berakhir.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 3                    Daftar Istilah                      Halaman Utama