246. BUNDA MARIA MENGAJAR MAGDALENA.           


8 Agustus 1945

"Di manakah kita akan berhenti, Tuhan-ku?" tanya Yakobus Zebedeus, sementara mereka berjalan melintasi sebuah ngarai kecil yang curam di antara dua bukit, yang sisi-sisinya ditanami dan tampak hijau dari kaki bukit hingga ke puncaknya.

"Di Betlehem di Galilea. Tetapi sepanjang jam-jam panas kita akan berhenti di gunung yang mengatasi Meraba. Jadi saudaramu akan sekali lagi senang melihat lautan," dan Yesus tersenyum. Ia lalu mengakhiri: "Kita para laki-laki bisa berjalan lebih jauh, tetapi ada pada kita para murid perempuan yang mengikuti kita, dan meski mereka tidak pernah mengeluh, janganlah kita terlalu melelahkan mereka."

"Mereka tidak pernah mengeluh. Itu benar. Kita yang lebih cenderung mengeluh," Bartolomeus menyatakan persetujuannya.

"Dan lagipula mereka kurang terbiasa dengan hidup seperti ini…" kata Petrus.

"Mungkin itu sebabnya mengapa mereka melakukannya dengan senang hati," kata Tomas.

"Tidak, Tomas. Mereka melakukannya dengan senang hati karena kasih. Kau bisa yakin bahwa baik BundaKu maupun para ibu rumah tangga lainnya, seperti Maria Alfeus, Salome, dan Susana tidak dengan senang hati meninggalkan rumah mereka untuk menyusuri jalanan-jalanan dunia dan di antara orang banyak. Dan Marta dan Yohana, ketika juga Yohana nanti akan ikut, tidak terbiasa dengan kelelahan macam itu, dan tidak akan melakukannya dengan senang hati andai mereka tidak didorong oleh kasih. Sehubungan dengan Maria dari Magdala, hanya suatu kekuatan kasih dahsyat yang bisa memberinya kekuatan untuk menjalani siksaan ini," kata Yesus.

"Jadi, mengapakah Engkau menyuruhnya untuk ikut, jika Engkau tahu bahwa ini adalah suatu siksaan?" tanya Iskariot. "Tidak ada gunanya bagi dia maupun bagi kita."

"Tak ada suatu pun selain dari perwujudnyataan tak terbantahkan yang jelas dari perubahannya yang bisa membujuk dunia. Dan Maria ingin membujuk dunia dengan itu. Perpisahannya dari masa lalu telah tuntas."

"Itu masih perlu dilihat. Terlalu dini mengatakannya. Ketika orang terbiasa dengan suatu gaya hidup tertentu, maka akan sulit untuk berpisah dengannya. Persahabatan dan nostalgia membawa kita kembali kepadanya," kata Iskariot.

"Jadi, apa kau merasakan nostalgia dari masa lalumu?" tanya Matius.

"Aku… tidak. Aku hanya mengatakannya. Aku… aku… seorang laki-laki, aku mengasihi Guru dan… singkat kata, dalam diriku aku punya unsur-unsur yang membantuku untuk teguh dalam tujuanku. Tapi dia seorang perempuan, dan perempuan yang macam itu! Dan bahkan meski dia sangat teguh, adalah tidak pernah sangat menyenangkan mendapati dia bersama kita. Andai kita bertemu para rabbi, para imam atau kaum Farisi terpandang, kau dapat pastikan bahwa komentar-komentar mereka tidak akan menyenangkan. Memikirkannya saja, mukaku sudah memerah terlebih dahulu."

"Jangan menyangkal dirimu sendiri, Yudas. Jika kau sungguh sudah putus hubungan dengan masa lalumu, seperti katamu, mengapa kau begitu menyesali bahwa ada suatu jiwa yang malang mengikuti kita guna menuntaskan pertobatannya kepada Yang Baik?"

"Karena kasih, Guru. Aku melakukan semuanya karena kasih juga: kasih kepada-Mu."

"Jadi, sempurnakanlah kasihmu. Kasih, supaya menjadi sungguh kasih, haruslah tidak eksklusif. Ketika orang hanya dapat mengasihi satu obyek saja, dan tidak dapat mengasihi yang lainnya, bahkan meski orang dikasihi oleh apa yang dikasihinya, adalah jelas bahwa itu bukanlah kasih sejati. Kasih sejati mengasihi, dalam tingkatan yang sepatutnya, segenap umat manusia dan juga binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan, bintang-bintang dan air, sebab kasih sejati melihat semuanya dalam Allah. Orang mengasihi Allah, sebagaimana selayaknya, dan orang mengasihi semuanya dalam Allah. Berhati-hatilah: kasih yang eksklusif sering kali egois. Oleh karena itu berupayalah untuk mengasihi semua orang lainnya karena kasih."

"Ya, Guru."

Subyek pembicaraan sementara itu berlanjut di samping Maria bersama para perempuan lainnya, dan Maria tidak menyadari bahwa dirinya menjadi penyebab dari perbincangan yang panjang lebar itu.

Mereka tiba dan memasuki desa Yafia, namun tak seorang pun dari warganya yang menunjukkan adanya keinginan untuk mengikuti sang Guru ataupun menahan-Nya. Jadi mereka melanjutkan perjalanan dan sebab para rasul kelihatan cemas akan sikap apatis tempat itu, Yesus berusaha menenangkan mereka.

Lembah terbentang ke arah barat dan suatu desa lain dapat terlihat terhampar di kaki sebuah gunung lainnya. Desa ini, yang aku dengar disebut Meraba, juga acuh tak acuh. Hanya beberapa anak menghampiri para rasul sementara mereka menimba air dari sebuah sumber mataair jernih dengan bersandar pada sebuah rumah. Yesus membelai mereka dan menanyakan nama mereka, dan anak-anak menanyakan nama-Nya, siapakah Ia dan ke manakah Ia pergi. Juga seorang laki-laki tua yang bongkok dan nyaris buta menghampiri mereka dan mengulurkan tangannya untuk meminta sedekah, yang pada kenyataannya memang diberikan kepadanya.

Mereka melanjutkan perjalanan kembali, dengan mendaki sebuah bukit, yang terbentang di sebuah lembah, ke dalam mana mengalir sungai-sungai kecilnya, yang sekarang mengering menjadi tetesan-tetesan air atau bebatuan yang kering panas terbakar matahari. Tetapi jalanan nyaman dan terbentang melintasi pertama-tama hutan-hutan kecil zaitun dan lalu melintasi pepohonan lain, yang saling terjalin cabang-cabangnya dan membentuk sebuah koridor hijau di atas jalanan. Mereka tiba di puncak, yang dimahkotai dengan hutan pepohonan ash yang berdesir, jika aku tidak salah. Dan mereka duduk di sana untuk beristirahat dan menyantap makanan. Dan sementara makan dan beristirahat, mereka menikmati pemandangan yang menyukakan hati, sebab pemandangannya indah, dengan barisan Gunung Karmel di sebelah kiri mereka, ke arah barat. Sebuah barisan pegunungan yang sangat hijau, di mana terdapat segala warna hijau yang paling indah. Dan di mana gunung berakhir, terdapat sebuah lautan, sebuah lautan tanpa batas yang terbuka dan berkilau-kilau, yang terbentang dengan permukannya beriak-riak kecil oleh gelombang-gelombang kecil yang menuju ke selatan, dengan membasuh pantai, yang dari tanjung terbentuk oleh percabangan terakhir Gunung Karmel terbentang menuju Ptolomais dan kota-kota lain dan lalu menghilang dalam kabut dekat pesisir Siro-Fenisia. Tidaklah mungkin melihat laut di selatan tanjung Karmel, sebab tersembunyi di balik barisan pegunungan, yang lebih tinggi dari bukit di mana kelompok apostolik berkumpul.

Jam-jam berlalu di bawah naungan hutan berangin yang berdesir-desir. Sebagian tidur, sebagian berbicara dengan suara pelan, sebagian mengamati. Yohanes meninggalkan rekan-rekannya dan mendaki setinggi mungkin guna mendapatkan pemandangan yang lebih baik. Yesus undur diri ke serumpun semak untuk bermeditasi dan berdoa. Para perempuan sudah undur diri di balik sebuah pagar tanam-tanaman honeysuckle yang sedang berbunga dan telah membersihkan diri di sebuah mataair sangat kecil, yang sudah mengering menjadi tetesan-tetesan air dan membentuk sebuah genangan air di tanah, sebab airnya begitu sedikit hingga tidak dapat mengalir. Para perempuan yang lebih tua, sebab letih, sudah tertidur, sementara Santa Perawan, Marta dan Susana membicarakan rumah-rumah mereka yang nun jauh dan Maria mengatakan bahwa Ia ingin mempunyai semak-semak indah yang berbunga untuk menghiasi grotto kecil-Nya.

Magdalena, yang sudah membiarkan rambutnya terurai, sebab dia tidak dapat menahan beratnya, sekarang menatanya kembali dan berkata: "Aku akan pergi ke Yohanes, sekarang dia bersama Simon, untuk melihat lautan bersama mereka."

"Aku ikut juga," jawab Santa Perawan.

Marta dan Susana tetap tinggal bersama rekan-rekan mereka yang tertidur.

Untuk sampai ke kedua rasul, mereka harus lewat dekat semak-semak di mana Yesus telah undur diri untuk berdoa. "Doa adalah istirahat PutraKu," bisik Maria.

Magdalena menjawab-Nya: "Aku pikir bahwa adalah juga penting bagi-Nya untuk sendirian guna memelihara kendali diri-Nya yang mengagumkan, yang ditempa dunia dengan pencobaan-pencobaan berat. Tahukah Engkau, Bunda? Aku sudah melakukan apa yang Engkau katakan kepadaku. Setiap malam aku mengasingkan diri kurang lebih cukup untuk waktu yang lama guna memulihkan kembali dalam diriku ketenangan, yang sudah dirusakkan oleh banyak hal. Dan aku merasa jauh lebih kuat sesudahnya."

"Sekarang kau merasa kuat, kemudian kau akan merasa bahagia. Percayalah pada-Ku, Maria, baik dalam damai maupun dalam pergulatan, dalam suka maupun duka, roh kita perlu menyelam ke dalam samudera meditasi guna membangun kembali apa yang sudah diruntuhkan oleh dunia dan peristiwa-peristiwa, dan guna memperoleh kekuatan baru untuk mendaki lebih dan lebih tinggi. Di Israel kita menggunakan dan menyalahgunakan doa vokal. Aku tidak memaksudkan bahwa itu adalah sia-sia atau tidak menyenangkan Allah. Tetapi Aku katakan bahwa meditasi, penaikan mental kepada Allah adalah selalu jauh lebih berguna bagi jiwa, sebab dengan mengkontemplasikan kesempurnaan ilahi-Nya dan kemalangan kita, atau kemalangan dari begitu banyak jiwa-jiwa malang, bukan untuk mengkritik mereka melainkan untuk bermurah hati kepada mereka dan mengerti mereka, dan untuk bersyukur kepada Allah Yang telah menopang kita dengan menjauhkan kita dari dosa, atau telah mengampuni kita, sehingga kita tidak akan ditinggalkan dalam dosa, dengan memeditasikan itu, kita sungguh berhasil dalam berdoa, yakni dalam mengasihi. Sebab doa, untuk sungguh menjadi demikian, haruslah mengasihi. Jika tidak, doa hanyalah mengkomat-kamitkan bibir dari mana jiwa absen."

"Tetapi apakah sah berbicara kepada Allah ketika bibir orang masih kotor dengan begitu banyak perkataan cemar? Dalam jam-jam meditasiku, yang aku lakukan seperti yang Engkau, rasulku yang termanis, ajarkan padaku, aku melakukan kekerasan kepada hatiku, yang ingin mengatakan kepada Allah: 'Aku mengasihi Engkau.'…"

"Jangan! Mengapa?"

"Sebab aku merasa aku akan memberikan suatu persembahan sakrilegi dengan mempersembahkan hatiku…"

"Jangan lakukan itu, putri-Ku terkasih. Pertama-tama, hatimu telah dikonsekrasikan kembali oleh pengampunan Putra, dan Bapa melihat hanya pengampunan itu. Tetapi bahkan andai Yesus belum mengampunimu, dan dalam suatu keterasingan yang sepi, yang dapat berupa baik materiil maupun moral, kau berseru kepada Allah: 'Aku mengasihi Engkau. Bapa, ampunilah kemalangan-kemalanganku. Aku menyesalinya sebab itu semua menyedihkan Engkau,' percayalah pada-Ku, Maria, Allah Bapa Sendiri yang akan memberimu absolusi dan teriakan kasihmu akan berkenan kepada-Nya. Persembahkanlah dirimu pada kasih. Jangan lakukan kekerasan kepadanya.  

Bukan, biarkan itu menjadi seganas api yang berkobar-kobar. Api melalap semua yang adalah materiil, tetapi tidak memusnahkan satu pun molekul udara. Sebab udara tidak berwujud. Sebaliknya dia memurnikannya dari serpihan yang sangat kecil yang diterbangkan angin dan menjadikannya lebih ringan. Kasih melakukan yang sama kepada jiwa. Kasih dapat menghabiskan materi manusia dengan lebih cepat, jika Allah mengijinkan itu, tetapi tidak akan memusnahkan rohnya. Kasih akan, sebaliknya, meningkatkan vitalitasnya dan menjadikannya murni dan lincah untuk dapat naik kepada Allah. Lihat Yohanes di sana? Dia hanyalah seorang bocah. Dan meski begitu dia adalah elang. Dia adalah yang paling kuat dari semua rasul. Sebab dia sudah memahami rahasia dari kekuatan, dari formasi rohani: meditasi penuh kasih."

"Tapi dia itu murni. Aku… Dia seorang bocah. Aku…"

"Kalau begitu lihatlah Zelot. Dia bukan seorang bocah. Dia sudah hidup, bergulat, mendengki. Dia mengakuinya dengan jujur. Tetapi dia sudah belajar untuk bermeditasi. Dan dia juga, percayalah pada-Ku, naik tinggi dengan baik. Lihat? Mereka saling mencari satu sama lain, mereka berdua itu. Sebab mereka merasa mereka serupa. Mereka sudah sampai pada usia sempurna roh yang sama dan melalui sarana yang sama: doa mental. Melaluinya si bocah sudah menjadi jantan dalam rohnya dan si laki-laki, yang sudah tua dan letih, telah pulih kembali kekuatan kejantanannya. Dan tahukah kau seorang lainnya, yang tanpa menjadi seorang rasul akan jauh maju, bukan, sudah jauh maju, sebab kecondongan alaminya pada meditasi, yang sudah menjadi suatu kebutuhan rohani baginya, sebab dia adalah seorang sahabat Yesus? Saudaramu."

"Lazarus-ku?... Oh! Bunda! Karena Engkau tahu begitu banyak hal sebab Allah menunjukkannya kepada-Mu, katakanlah kepadaku, bagaimanakah Lazarus akan memperlakukanku, kali pertama kami bertemu nanti? Sebelumnya dia membisu penuh cemooh. Tetapi dia melakukannya sebab aku tidak akan mau dikritik. Aku selama ini sangat jahat kepada saudara dan saudariku… Sekarang aku menyadarinya. Sekarang sesudah dia tahu bahwa dia dapat berbicara, apakah yang akan dia katakan kepadaku? Aku takut akan celaannya yang terus terang. Oh! dia pasti aka mengingatkanku akan semua kesedihan yang aku akibatkan. Aku rindu terbang kepada Lazarus. Tetapi aku takut kepadanya. Aku dulu biasa pergi ke sana, dan bahkan kenangan-kenangan akan ibuku yang sudah wafat, airmatanya, yang masih terasa hangat pada barang-barang yang dia gunakan, airmata yang sudah dia cucurkan untuku, karena kesalahanku, tidak akan menyedihkanku. Hatiku begitu sinis, tidak tahu malu, tuli akan semua suara, terkecuali pada 'yang jahat'. Tetapi sekarang tidak lagi ada padaku kekuatan jahat dari Yang Jahat dan aku gemetar… Apakah yang akan Lazarus lakukan terhadapku?"

"Dia akan merentangkan tangan-tangannya kepadamu dan akan menyebutmu, lebih dengan hatinya daripada dengan bibirnya 'saudariku kekasih.' Ia terbentuk begitu rupa dalam Allah hingga ia tiada dapat selain dari bertindak demikian. Janganlah takut. Ia tidak akan mengucapkan sepatah kata pun mengenai masa lalumu. Adalah seolah aku dapat melihatnya, ia di sana di Betania dan hari-hari penantiannya sangatlah panjang baginya. Ia menantikanmu, untuk mendekapkanmu pada hatinya, untuk mengenyangkan kasih persaudaraannya. Yang harus kau lakukan hanyalah mengasihinya seperti ia mengasihimu guna menikmati kebahagiaan dilahirkan dari rahim yang sama."

"Aku akan mengasihinya bahkan meski ia mencelaku, aku pantas untuk itu."

"Tetapi ia akan hanya mengasihimu. Tidak yang lain."

Mereka sudah menggabungkan diri dengan Yohanes dan Simon yang sedang membicarakan perjalanan-perjalanan mereka mendatang dan berdiri penuh hormat ketika Bunda Tuhan tiba.

"Kami datang juga, untuk memuji Tuhan atas karya ciptaan-Nya yang indah."

"Pernahkah Engkau melihat laut, Bunda?"

"Oh! Pernah. Dan meski kala itu berbadai, tetapi tak sehebat badai dalam hati-Ku, dan tidak sepahit airmata-Ku, ketika aku melarikan diri sepanjang pesisir dari Gaza menuju Laut Merah, dengan Anak-Ku dalam pelukan-Ku, dan ketakutan akan Herodes di belakang-Ku. Dan aku melihat laut dalam perjalanan pulang kami. Dan kala itu musim semi baik di bumi maupun dalam hati-Ku. Musim semi kepulangan kami kembali. Dan Yesus dengan kedua tangan mungil-Nya bertepuk-tepuk tangan, bergembira sebab Ia melihat hal-hal yang baru… Dan Yosef dan Aku juga bahagia, kendati kemurahan hati Allah telah menjadikan pengasingan kami di Matarea lebih ringan, dalam seribu satu cara."

Dan percakapan mereka berlanjut sementara aku tak lagi dapat melihat ataupun mendengar.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 4                 Daftar Istilah                    Halaman Utama