247. DI BETLEHEM DI GALILEA.           


9 Agustus 1945

Senja hari ketika mereka tiba di Betlehem yang di Galilea. Jelas bahwa adalah takdir dari kota-kota dengan nama ini untuk terhampar di bukit-bukit yang naik turun, berselimutkan tumbuh-tumbuhan hijau, hutan-hutan, padang-padang rumput di mana kawanan ternak merumput, yang turun ke kandang-kandang mereka pada waktu malam. Langit masih merah sesudah matahari terbenam gemilang, yang baru saja berakhir, dan udara dipenuhi musik dari lonceng-lonceng gembala dan embikan-embikan gemetar, yang berpadu dengan teriakan riang anak-anak dan dengan suara para ibu yang memanggil pulang anak-anak mereka.

"Yudas anak Simon, pergilah bersama Simon dan carilah tempat menginap bagi kita dan bagi para perempuan. Ada sebuah penginapan di pusat desa dan kami akan bertemu denganmu di sana."

Sementara Yudas dan Simon pergi dengan taat, Yesus berbalik kepada BundaNya dan berkata: "Kali ini tidak akan menjadi seperti Betlehem yang satunya. Engkau akan mendapatkan tempat untuk beristirahat, Bunda. Sedikit saja orang hilir mudik pada masa ini dalam tahun dan tidak ada maklumat."

"Pada musim ini akan menyenangkan juga untuk tidur di padang-padang rumput atau di antara para gembala dan anak-anak domba ini," dan Maria tersenyum pada PutraNya dan pada beberapa bocah gembala yang menatap pada-Nya penuh ingin tahu.

Ia tersenyum begitu rupa hingga salah seorang dari mereka menyikut temannya dan berbisik kepadanya: "Pastilah Dia" dan dia maju, dengan penuh keyakinan, seraya berkata: "Salam Maria, penuh rahmat. Apakah Tuhan beserta-Mu?"

Maria membalas dengan seulas senyum yang bahkan terlebih manis: "Itu Tuhan" dan Ia menunjuk pada Yesus, Yang sudah berbalik untuk berbicara kepada kedua sepupu-Nya, meminta mereka untuk memberikan sedekah kepada kaum miskin yang menghampiri mereka dengan permintaan yang mengiba. Dan Ia menyentuh ringan PutraNya sembari berkata kepada-Nya: "Nak, bocah-bocah gembala ini mencari-Mu dan mereka sudah mengenali-Ku. Aku tidak tahu bagaimana…"

"Ishak pasti pernah kemari dan meninggalkan harum pewahyuan. Anak muda, kemarilah." Si bocah gembala, seorang anak yang sedikit gelap kulitnya, sekitar duabelas-empatbelas tahun umurnya, kuat meski kurus, dengan dua mata berwarna sangat gelap yang cemerlang, dan seberkas rambut hitam, berbalut kulit domba - dan dia tampak bagiku seperti duplikat muda dari sang Perintis Jalan - menghampiri Yesus dengan tersenyum bahagia, seolah dia terpikat.  

"Damai sertamu, nak. Bagaimana kau dapat mengenali Maria?"

"Sebab hanya Bunda sang Juruselamat yang dapat memiliki senyum dan wajah yang demikian. Aku diberitahu: 'Wajah bak malaikat, mata bagai bintang-bintang dan senyum yang lebih manis dari kecupan seorang ibu, yang semanis nama-Nya, yang adalah Maria, yang begitu kudus hingga dapat membungkuk ke atas Allah Yang baru dilahirkan.' Itulah apa yang aku lihat dalam Diri-Nya dan aku menyalami-Nya sebab aku sedang mencari Engkau. Kami sedang mencari Engkau, Tuhan, dan… aku tidak berani menyalami-Mu lebih dulu."

"Siapa yang berbicara kepadamu mengenai Kami?"

"Ishak, dari Betlehem yang lain, dan dia berjanji untuk membawa kami kepada-Mu pada musim gugur."

"Apa Ishak pernah kemari?"

"Dia masih di wilayah ini bersama banyak murid. Dan dia berbicara kepada kami para gembala. Dan kami percaya akan perkataannya, Tuhan: ijinkan kami menyembah Engkau seperti yang dilakukan rekan-rekan kami pada malam terberkati itu" dan sementara dia berlutut di atas debu jalanan, dia menyerukan suatu teriakan kepada para gembala lainnya yang sudah menghentikan kawanan ternak mereka di gerbang kota (sebut saja gerbang, sebab kota itu bukan sebuah kota yang bertembok), di mana juga Yesus sudah berhenti, menantikan para perempuan untuk memasuki kota bersama.

Si bocah gembala berseru: "Ayah, saudara-saudara dan teman-teman, kami sudah menemukan Tuhan. Kemarilah dan sembahlah Dia."

Dan para gembala datang berduyun-duyun bersama kawanan mereka sekeliling Yesus dan mereka memohon kepada-Nya untuk tidak pergi ke tempat lain melainkan menerima rumah miskin mereka, yang tidaklah jauh, sebagai suatu tempat tinggal bagi-Nya dan sahabat-sahabat-Nya. "Sebuah kandang yang luas," jelas mereka, "sebab Allah melindungi kami dan ada ruang-ruang dan serambi-serambi penuh jerami harum. Ruang-ruang itu untuk Bunda dan saudari-saudari-Nya, sebab mereka perempuan. Tetapi ada juga satu untuk Engkau. Yang lain-lainnya dapat tidur bersama kami di serambi-serambi, di atas jerami."

"Aku akan tinggal bersamamu juga. Dan Aku akan beristirahat dengan lebih nyaman daripada jika Aku tidur di sebuah kamar raja. Tetapi marilah kita pergi dan memberitahu Yudas dan Simon terlebih dahulu."

"Aku yang akan pergi, Guru," kata Petrus dan ia pergi bersama Yakobus Zebedeus.

Mereka berhenti di sisi jalan menantikan kembalinya keempat rasul.

Para gembala menatap Yesus seolah Ia sudah Allah dalam kemuliaan-Nya. Para gembala yang lebih muda sungguh berbahagia dan mereka tampak berharap untuk menanamkan dalam benak mereka setiap detail mengenai Yesus dan Maria, yang telah membungkuk untuk membelai anak-anak domba, yang menggosok-gosokkan kepala mereka pada lutut Maria dan mengembik.  

"Dulu ada seekor, di rumah Elisabet sanak-Ku, yang biasa menjilat kelabang-Ku setiap kali dia melihat-Ku. Aku menyebutnya 'teman', sebab dia adalah teman-Ku, seperti seorang anak, dan dia datang kepada-Ku setiap kali dia beroleh kesempatan. Domba yang ini mengingatkan-Ku padanya dengan kedua matanya yang berbeda warna. Janganlah membantainya! Juga domba yang satunya itu dibiarkan hidup sebab kasihnya kepada-Ku."

"Itu seekor domba betina, Perempuan, dan kami hendak menjualnya, sebab kedua matanya yang berbeda warna dan aku pikir dia hanya dapat melihat sangat sedikit dengan salah satu dari matanya itu. Tetapi kami akan memeliharanya jika Engkau menghendakinya."

"Oh! ya! Aku tidak akan suka anak domba manapun dibantai… Mereka begitu tak berdosa dan dengan suaranya yang seperti suara kanak-kanak mereka seolah memanggil induk mereka. Aku akan berpikir bahwa Aku membunuh seorang bayi jika Aku harus membantai seekor dari anak-anak domba ini."

"Tetapi Perempuan, jika semua anak-anak domba dibiarkan hidup, maka tidak akan tempat bagi kita di bumi," kata gembala yang tertua.

"Aku tahu. Tetapi Aku memikirkan sakit mereka, dan sakit ibu mereka. Mereka mencucurkan begitu banyak airmata ketika anak-anak mereka direnggut dari mereka. Domba-domba itu seperti ibu sesungguhnya, seperti kami. Aku tidak dapat tahan melihat seorang pun menderita, tetapi sungguh terkoyak hati-Ku melihat seorang ibu tersiksa. Itu adalah suatu duka yang berbeda dari yang lain manapun, sebab shock kehilangan seorang anak mengoyakkan bukan hanya hati dan otak kami, melainkan juga rahim kami sendiri. Kami para ibu selalu bersatu dengan anak-anak kami. Dan kami tercabik-cabik sepenuhnya, apabila anak-anak kami direnggut dari kami." Maria tidak lagi tersenyum, melainkan airmata kelihatan berkilau pada mata biru-Nya dan Ia menatap pada Yesus, Yang mendengarkan-Nya dan menatap pada-Nya, sementara Maria menempatkan satu tangan-Nya pada lengan Yesus, seolah Ia takut PutraNya akan direnggut dari sisi-Nya.

Suatu kawalan kecil orang-orang bersenjata tiba dari sebuah jalanan berdebu: enam orang laki-laki bersama beberapa orang yang berteriak-teriak. Para gembala melihat dan saling membisikkan sesuatu satu sama lain. Mereka lalu menatap Yesus dan Maria.

Gembala tertua berkata: "Jadi, adalah sesuatu yang baik bahwa Engkau tidak masuk ke dalam Betlehem sore ini."

"Kenapa?"

"Sebab orang-orang itu, yang lewat, akan masuk ke dalam kota, sesudah merenggut seorang putra dari ibunya."

"Oh! Tapi kenapa?"

"Untuk membunuhnya."

"Oh! tidak! Apa yang sudah dilakukannya?"

Yesus juga mengajukan pertanyaan yang sama dan para rasul berkumpul untuk mendengarkan.

"Si Kaya Yoel ditemukan tewas di suatu jalanan gunung: dia dibunuh. Dia sedang dalam perjalanan pulang dari Sicaminon dengan membawa banyak uang. Tetapi dia tidak dibunuh oleh para penyamun, sebab uangnya masih di sana. Pelayan, yang menyertainya, mengatakan bahwa tuannya menyuruhnya untuk berlari mendahului dan memberitahukan kepada sanak keluarga mengenai kepulangan mereka, dan dalam perjalanan dia melihat pemuda itu, yang sekarang hendak mereka bunuh, pergi ke tempat di mana orang itu terbunuh. Dan dua orang warga kota sekarang bersumpah bahwa mereka melihat pemuda itu menyerang Yoel. Sekarang kerabat Yoel menuntut kematiannya. Dan jika dia adalah seorang pembunuh…"

"Menurutmu dia bukan pembunuh?"

"Aku pikir itu tidak mungkin. Pemuda itu baru sedikit lebih tua dari seorang bocah, dan dia seorang yang baik, dan selalu bersama ibunya, sebab dia adalah putra satu-satunya dan ibunya adalah seorang janda dan seorang yang hidup kudus. Dia seorang kaya. Dia tidak peduli dengan para perempuan. Dia bukan seorang yang suka bertengkar ataupun seorang yang bodoh. Jadi, mengapakah dia membunuh?"

"Mungkin dia punya musuh-musuh?"

"Siapa? Yoel, orang yang tewas itu, atau Habel, dia yang terdakwa?"

"Terdakwa."

"Ah! Aku tidak akan tahu… Tapi… Tidak, aku tidak akan tahu."

"Jujurlah, sobat."

"Tuhan, sesuatu yang aku pikirkan, dan Ishak mengatakan kepada kami bahwa kami jangan berpikir buruk mengenai sesama kami."

"Tetapi orang harus punya keberanian untuk berbicara demi menyelamatkan seorang yang tak bersalah."

"Jika aku berbicara, entah aku benar atau salah, aku akan harus lari dari sini, sebab Asyer dan Yakub sangat berkuasa."

"Bicaralah tanpa takut. Kau tidak akan harus melarikan diri."

"Tuhan, ibu Habel adalah seorang yang muda, cantik dan bijak. Asyer tidak bijak, begitu pula Yakub. Asyer menyukai janda itu dan Yakub… semua orang di kota tahu bahwa dia tidur di tempat tidur Yoel. Aku pikir bahwa…"

"Begitu. Marilah kita pergi, sahabat-sahabat-Ku. Kamu para perempuan tinggal di sini bersama para gembala. Aku akan segera kembali."

"Tidak, Nak. Aku ikut bersama-Mu."

Yesus sudah berjalan cepat menuju pusat kota. Para gembala ragu akan apa yang harus mereka lakukan, tetapi mereka meninggalkan kawanan ternak kepada mereka yang lebih muda, yang tinggal bersama semua perempuan, terkecuali Santa Perawan dan Maria Alfeus yang mengikuti Yesus, dan mereka pergi menemui kelompok apostolik.

Di jalan ketiga yang melintasi jalanan utama di Betlehem mereka bertemu dengan Iskariot, Simon, Petrus dan Yakobus, yang datang ke arah mereka dengan memberi gerak isyarat seraya berteriak.

"Betapa hal yang mengerikan, Guru! Dan betapa memilukan!" seru Petrus yang sama sekali sedih.

"Seorang putra yang direnggut dari ibunya hendak dibunuh, dan ibunya membelanya mati-matian bagai hyena. Tapi dia hanyalah seorang perempuan yang melawan para laki-laki bersenjata," tambah Simon Zelot.

"Banyak bagian tubuhnya yang sudah mencucurkan darah," kata Iskariot.

"Mereka merobohkan pintunya sebab dia memberinya penghalang," kata Yakobus Zebedeus.

"Aku akan pergi kepadanya."

"Oh! ya! Hanya Engkau satu-satunya yang dapat menghiburnya."

Mereka berbelok ke kanan, lalu ke kiri, menuju pusat kota. Sekarang adalah mungkin melihat khalayak ramai yang heboh dan gempar berdesakan dekat rumah Habel, dan jeritan seorang perempuan yang menyayat hati, di luar manusiawi, liar dan sekaligus mengibakan hati dapat terdengar.

Yesus mempercepat langkah-Nya dan tiba di sebuah alun-alun yang sangat kecil, sebuah tikungan jalan yang lebar tepatnya daripada sebuah alun-alun, di mana huru-hara mencapai puncaknya.

Perempuan itu masih mempertahankan anaknya melawan para pengawal, dengan berpegangan satu tangan, yang seperti cakar besi, pada reruntuhan pintu yang sudah dirobohkan, dan pada ikat pinggang putranya dengan tangan lainnya dan dia dengan beringas menggigit siapa saja yang berusaha melepaskan pegangannya, kendati mereka menghujaninya dengan banyak pukulan dan menjambak rambutnya dengan begitu keji hingga kepalanya tersentak keras ke belakang. Apabila dia tidak menggigit, dia berteriak: "Lepaskan dia! Dasar pembunuh! Dia tidak bersalah! Malam Yoel tewas dia ada di tempat tidur di sampingku! Pembunuh! Pemfitnah! Penyumpah palsu yang busuk!"

Dan si pemuda, yang oleh orang-orang bersenjata itu dicengkeram pada pundaknya dan diseret pada kedua tangannya, berbalik dengan wajah dicekam teror dan berteriak: "Ibu, ibu! Mengapa aku harus mati jika aku tidak melakukan apapun?"  

Dia seorang pemuda yang tampan tinggi semampai, dengan mata gelap yang lembut, dan rambut gelap berombak. Pakaiannya yang terkoyak-koyak memperlihatkan tubuh muda yang tangkas seorang remaja.

Yesus dengan bantuan mereka yang menyertai-Nya, menerobos khalayak ramai, yang sepadat batu karang, dan tiba di kelompok yang mengibakan hati-Nya tepat pada saat perempuan yang kehabisan tenaga itu direnggut dari pintu dan terseret sepanjang jalanan berbatu, bagai sebuah karung, terikat pada tubuh putranya. Tapi itu berlangsung hanya beberapa yard saja. Suatu hentakan yang terlebih bengis melepaskan tangan si ibu dari ikat pinggang si pemuda dan perempuan itu jatuh meniarap di tanah menghantam jalanan dengan wajahnya, yang mencucurkan darah dengan derasnya. Namun dia bangkit berlutut, mengulurkan kedua tangannya, sementara anaknya, yang bergegas diseret pergi, sejauh yang dimungkinkan orang banyak, sebab kelompok itu harus menerobosnya dengan susah-payah, membebaskan tangan kirinya dan melambaikannya, dengan berputar seraya berteriak: "Ibu! Selamat tinggal! Ingatlah, setidaknya engkau, bahwa aku tidak bersalah!" Perempuan itu menatap padanya dengan mata nanar, lalu dia pingsan dan roboh ke tanah.

Yesus berhenti di depan kelompok penawan. "Berhenti sebentar. Aku perintahkan kepadamu!" Wajah-Nya memperlihatkan tidak menghendaki adanya penolakan.       

"Siapakah Engkau?" tanya agresif seorang warga dalam kelompok itu. "Kami tidak mengenal Engkau. Minggirlah dan biarkan kami lewat supaya dia dapat dibunuh sebelum malam."

"Aku seorang Rabbi. Yang Teragung. Dalam nama Yahweh berhenti, atau Ia akan menyambarmu dengan halilintar." Sementara itu Ia tampak seolah tengah menyambar dengan halilintar. "Siapakah saksi-saksi melawan orang ini?"

"Aku, dia dan dia," jawab orang yang tadi berbicara.

"Kesaksianmu tidak sah sebab itu dusta."

"Bagaimanakah Engkau dapat berkata demikian? Kami siap bersumpah untuk itu."

"Sumpahmu adalah dosa."

"Kami berdosa? Benarkah?"

"Ya. Sebab kamu memelihara percabulanmu dan kedengkianmu, sebab kamu tamak akan kekayaan, sebab kamu adalah pembunuh-pembunuh, jadi kamu juga adalah orang-orang yang bersumpah palsu. Kamu sudah menjual dirimu pada Kekotoran. Kamu sanggup melakukan perbuatan kotor apapun."

"Hati-hati bicara-Mu! Aku Asyer…"

"Dan Aku Yesus."

"Engkau bukan warga sini, Engkau juga bukan seorang imam ataupun seorang hakim. Engkau bukan siapa-siapa. Engkau seorang asing."

"Ya. Aku adalah Sang Orang Asing sebab bumi bukanlah Kerajaan-Ku. Tapi Aku seorang Hakim dan Imam. Bukan hanya dari sebagian kecil dari Israel ini, melainkan dari seluruh Israel dan dari seluruh dunia."

"Mari kita pergi, marilah kita pergi! Kita berurusan dengan seorang gila," kata saksi lainnya dan dia mendorong Yesus dengan sengit untuk membuat-Nya minggir.

"Kamu tidak akan maju selangkah pun," gelegar Yesus, Yang wajah mulia-Nya menaklukkan dan melumpuhkan, sebagaimana dapat memberikan hidup dan sukacita bilamana Ia kehendaki. "Kamu tidak akan maju selangkah pun. Kamu tidak percaya akan apa yang Aku katakan? Baik, lihatlah. Tidak ada debu dari Bait Allah di sini, ataupun air suci darinya, pula tidak ada perkataan yang dituliskan dengan tinta untuk membuat air pahit, yang adalah penghakiman atas kecemburuan dan perzinahan (1). Tetapi Aku di sini. Dan Aku akan memberikan penghakiman." Suara Yesus begitu menusuk hingga kedengaran bagai suatu sangkakala.

Khalayak ramai berkerumun untuk melihat. Hanya Santa Perawan dan Maria Alfeus yang tinggal untuk menolong si ibu yang tak sadarkan diri.

"Dan inilah penghakiman-Ku. Berilah aku sejumput debu dari jalanan dan setetes air dalam sebuah tempayan. Dan sementara itu dibawakan kepada-Ku, kamu yang mendakwa, dan kau yang didakwa, jawablah Aku. Apakah kau tidak bersalah, nak? Katakanlah dengan terus terang kepada Ia Yang adalah Juruselamat-mu."

"Aku tidak bersalah, Tuhan."

"Asyer, dapatkah kau bersumpah bahwa kau mengatakan hanya kebenaran?"

"Aku bersumpah untuk itu. Aku tidak punya alasan untuk berdusta. Aku bersumpah untuk itu atas mezbah. Kiranya api turun dari Surga dan membakar habis aku jika aku tidak mengatakan kebenaran."

"Yakub, dapatkah kau bersumpah bahwa kau tulus dalam mendakwa dan bahwa tidak ada motif tersembunyi yang mendorongmu untuk berdusta?"

"Aku bersumpah demi Yahweh. Hanya kasih kepada temanku yang terbunuh yang mendorongku untuk berbicara. Aku tidak punya dendam pribadi terhadapnya."

"Dan kau, pelayan, dapatkah kau bersumpah bahwa kau sudah mengatakan kebenaran?"

"Aku akan bersumpah untuk itu seribu kali, jika perlu! Tuanku, tuanku yang malang!" dan dia menutupi kepalanya dengan mantolnya.

"Bagus. Ini air dan ini debu. Dan inilah perkataannya. 'Bapa Yang Mahakudus dan Allah Yang Mahatinggi, berilah penghakiman berdasarkan kebenaran melalui Aku, sehingga hidup dan kehormatan dapat diberikan kepada orang yang tidak bersalah dan kepada ibu yang berduka, dan penghukuman yang pantas kepada mereka yang bukannya tidak bersalah. Tetapi demi rahmat, yang Aku nikmati di hadapan mata-Mu, biarlah bukan api maupun kematian, melainkan suatu silih yang panjang turun atas mereka yang sudah berbuat dosa.'"

Ia mengucapkan perkataan itu dengan mengulurkan tangan-Nya ke atas tempayan, seperti yang dilakukan para imam di altar, pada waktu Misa saat persembahan. Ia lalu mencelupkan tangan kanan-Nya ke dalam tempayan dan dengan tangan-Nya yang basah Ia memerciki keempat orang yang ada di bawah penghakiman dan menyuruh masing-masing dari mereka meneguk setetes air: pertama si pemuda dan lalu yang lain-lainnya. Ia lalu melipat kedua tangan-Nya di depan dada-Nya dan menatap pada mereka.

Juga orang banyak menatap mereka, tetapi sesudah beberapa saat mereka melontarkan seruan dan merebahkan diri, dengan wajah mereka mencium tanah. Lalu keempat orang, yang dibaris itu, saling menatap satu sama lain dan ganti berteriak: si pemuda karena takjub, yang lain-lainnya karena ngeri sebab mereka melihat wajah mereka diselimuti oleh kusta yang sekonyong-konyong, sementara si pemuda imun dari penyakit itu.  

Si pelayan merebahkan diri di kaki Yesus, Yang minggir, seperti semua orang lainnya, termasuk para prajurit, dengan menggandeng pemuda Habel untuk menjauhkan diri juga, supaya dia tidak terkontaminsi dekat ketiga penderita kusta itu. Dan si pelayan berseru: "Tidak! Tidak! Ampunilah aku! Aku seorang kusta! Mereka membayarku untuk menunda tuanku hingga sore, supaya mereka dapat membunuhnya di jalan yang sepi. Mereka menyuruhku untuk dengan sengaja melepaskan tapal keledainya. Mereka memberiku instruksi bagaimana berbohong dengan mengatakan bahwa aku sudah pergi mendahului. Sebaliknyalah aku bersama mereka untuk membunuhnya. Dan aku juga akan memberitahukan kepada-Mu mengapa mereka melakukannya. Sebab Yoel telah mendapati bahwa Yakub jatuh cinta kepada istri mudanya dan sebab Asyer menginginkan ibu dari pemuda ini dan perempuan itu menolaknya. Jadi mereka mengadakan suatu persekongkolan untuk menyingkirkan Yoel dan Habel sekaluigus dan lalu mereka akan bersenang-senang bersama para perempuan itu. Aku sudah mengatakan semuanya kepada-Mu. Tahirkanlah aku dari kustaku! Habel, engkau baik, doakanlah aku!"

"Habel, pergilah kepada ibumu, supaya ketika dia siuman, dia dapat melihat wajahmu dan dengan demikian kembali untuk hidup bahagia. Dan kamu… Seharusnya Aku katakan kepadamu: 'Terjadilah padamu seperti apa yang sudah kau perbuat.' Dan itu akan menjadi penghakiman manusia. Tetapi Aku mempercayakanmu pada suatu silih yang luar biasa. Kusta, yang menjijikkan bagimu, sudah menyelamatkanmu dari dicengkeram dan tewas sebagaimana pantas bagimu. Penduduk Betlehem, minggirlah, bukalah jalan, seperti yang dilakukan air laut, dan biarkan orang-orang ini pergi menuju pemenjaraan panjang mereka. Suatu pemenjaraan yang mengerikan! Lebih mengerikan dari kematian mendadak. Belas-kasihan ilahi telah menganugerahi mereka kemungkinan untuk berubah, apabila mereka menghendakinya. Pergilah!"

Orang banyak berbondong-bondong merapat ke tembok rumah-rumah guna membiarkan badan jalan lengang, dan ketiga laki-laki, yang berbalut kusta seolah mereka sudah terjangkit penyakit itu selama bertahun-tahun, pergi menuju gunung, dengan berjalan beriringan. Dalam keheningan temaram senja yang menjelang, ketika segala burung dan binatang menjadi diam, hanya erangan mereka yang dapat terdengar.

"Tahirkan jalan dengan banyak air, sesudah menyalakan api di atasnya. Dan kamu, para prajurit, pergi dan laporkan bahwa keadilan telah dilaksanakan sesuai Hukum Musa yang paling sempurna." Dan Yesus hendak pergi ke tempat di mana BundaNya dan Maria Klopas masih menolong si perempuan yang perlahan-lahan siuman, sementara putranya membelai dan menciumi kedua tangannya yang dingin.

Tetapi penduduk Betlehem dengan hormat yang nyaris ketakutan memohon dengan sangat kepada-Nya: "Berbicaralah kepada kami, Tuhan. Engkau sungguh penuh kuasa. Engkau pastilah Ia yang dimaksudkan oleh orang itu yang datang kemari untuk memaklumkan sang Mesias."   

"Aku akan berbicara kepadamu malam ini, dekat kandang para gembala. Aku sekarang hendak menghibur ibu Habel."

Dan Ia menghampiri perempuan itu, yang rebah di pangkuan Maria Alfeus dan yang mulai pulih kesadarannya. Dia menatap pada wajah penuh kasih Bunda Maria Yang tersenyum padanya, tetapi dia belum sepenuhnya sadar akan situasi sekelilingnya hingga matanya berhenti pada kepala berambut gelap putranya yang tertunduk di atas tangan-tangannya yang gemetar, dan dia bertanya: "Apakah aku mati juga? Apa ini Limbo?"

"Tidak, perempuan. Ini bumi. Ini putramu yang selamat dari maut. Dan ini Yesus, PutraKu, sang Juruselamat."

Reaksi pertama dari si perempuan sangatlah manusiawi. Dia mengerahkan segenap kekuatannya dan membungkuk ke depan untuk merengkuh kepala tertunduk putranya dalam kedua tangannya, dia melihat bahwa putranya aman dan selamat, dan dia menciuminya bertubi-tubi, dengan menangis, tertawa, dengan mengulang segala sebutan kesayangan yang mungkin guna mengungkapkan sukacitanya.

"Ya, ibu, ya. Tapi sekarang lihatlah, bukan padaku, tapi pada Ia, pada Ia Yang menyelamatkan aku. Terpujilah Tuhan." Si perempuan, yang masih terlalu lemah untuk berdiri ataupun bangkit berlutut, mengulurkan tangan-tangannya yang gemetar dan berlumuran darah dan meraih tangan Yesus dan mencium serta membasahinya dengan airmata. Yesus menempatkan tangan kiri-Nya ke atas kepalanya seraya berkata padanya: "Berbahagialah. Damai. Dan jadilah selalu baik. Dan kau juga, Habel."

"Tidak, Tuhan-ku. Hidup putraku dan hidupku adalah milik-Mu, sebab Engkau telah menyelamatkannya. Biarlah dia pergi bersama para murid-Mu, seperti yang selama ini dirindukannya, sebab mereka telah di sini. Aku mempersembahkannya kepada-Mu dengan begitu banyak sukacita dan aku memohon pada-Mu untuk mengijinkanku mengikutinya, untuk melayaninya dan para abdi Allah."

"Dan bagaimana dengan rumahmu?"

"Oh! Tuhan! Dapatkah orang yang dibangkitkan dari mati memiliki cinta yang sama seperti yang dimilikinya sebelum mati? Myrtha sudah kembali dari maut dan luput dari neraka melalui Engkau. Di kota ini aku dapat pergi sejauh membenci mereka yang menganiayaku melalui anakku. Dan Engkau mengkhotbahkan kasih. Aku tahu. Jadi biarlah Myrtha yang malang ini mengasihi Ia Satu-satunya Yang patut dikasihi, dan biarlah dia mencintai misi-Nya dan mengasihi para pelayan-Nya. Sekarang ini aku masih kehabisan tenaga dan aku tidak akan dapat mengikuti-Mu. Tetapi sudi ijinkanlah aku, Tuhan-ku, untuk melakukannya begitu aku sehat kembali. Aku akan mengikuti-Mu dan bersama Habel-ku…"

"Kau akan mengikuti putramu dan Aku. Berbahagialah dan damailah sekarang. Dengan damai-Ku. Selamat tinggal." Dan sementara perempuan itu masuk ke dalam rumahnya dengan dipapah oleh putranya dan orang-orang baik lainnya, Yesus meninggalkan kota bersama para gembala, para rasul, BundaNya dan Maria Alfeus, dan menuju ke kandang, yang terletak di ujung sebuah jalan, di padang.

… Sebuah api unggun menerangi pertemuan itu. Banyak orang duduk dalam setengah lingkaran-setengah lingkaran menantikan Yesus datang dan berbicara kepada mereka. Sementara itu, mereka memperbincangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi hari itu. Habel ada di sana juga dan banyak orang mengucapkan selamat kepadanya dengan mengatakan bahwa semua orang percaya akan ketidakbersalahannya.

Si pemuda tidak dapat tidak menjawab: "Tetapi kamu tetap sedia untuk membunuhku! Bahkan kamu, yang sudah menyalamiku di ambang pintu rumahku, tepat saat Yoel terbunuh." Dan dia menambahkan: "Tetapi aku mengampunimu dalam nama Yesus."

Yesus sekarang datang dari kandang ke arah mereka: perawakannya tinggi, berbalut jubah putih, dengan dikelilingi para rasul, diikuti para gembala dan para perempuan.

"Damai sertamu.       

Jika kedatangan-Ku kemari telah berguna untuk membangun Kerajaan Allah di tengahmu, terpujilan Tuhan. Jika kedatangan-Ku kemari telah berguna untuk menjadikan yang tidak bersalah bercahaya, terpujilah Tuhan. Jika kedatangan-Ku kemari pada waktunya guna mencegah suatu kejahatan berguna juga untuk memberikan kepada ketiga orang yang bersalah kemungkinan untuk menyilih diri mereka sendiri, terpujilah Tuhan. Dari segala banyak hal yang disodorkan oleh hari ini kepada kita untuk dimeditasikan, dan di mana kita sepatutnya bermeditasi sementara malam tiba untuk melingkupi dalam kegelapannya sukacita dari dua hati dan sesal dari ketiga lainnya - dan dalam kegelapannya dia menyembunyikan, seolah di balik sehelai selubung murni, airmata sukacita dari mereka yang pertama dan airmata pahit dari mereka yang terakhir, yang, bagaimanapun juga dilihat Allah - ada satu hal yang menunjukkan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam apa yang Allah berikan sebagai Hukum-Nya.

Hukum yang diberikan Allah, sekedar nama saja, diamalkan dengan ketat di Israel. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Hukum dianalisa, dibedah, dicampuraduk, hingga tahap membuatnya mati melalui aniaya dalih-dalih yang picik. Hukum ada. Tetapi sebagaimana tubuh yang dimumikan tidak mempunyai hidup, napas dan sirkulasi darah, meskipun kelihatan seperti tubuh yang tak bergerak sebab tertidur lelap, demikianlah Hukum tidak mempunyai hidup, napas, darah dalam terlalu banyak hati. Orang dapat duduk di atas sebuah mumi seperti di atas sebuah bangku. Orang dapat meletakkan barang-barang di atas sebuah mumi, seperti pakaian, bahkan kotoran, jika orang mau, dan si mumi tidak akan memberontak, sebab dia tidak mempunyai hidup. Begitu pula terlalu banyak orang yang menjadikan Hukum sebagai bangku, suatu tempat untuk meletakkan barang-barang atau membuang kotoran mereka, dan pastilah dia tidak akan memberontak dalam nurani mereka, yang mati. Aku dapat memperbandingkan sebagian besar Israel dengan hutan-hutan membatu yang dapat dilihat orang bertebaran di lembah Nil dan di padang gurun Mesir. Mereka itu adalah hutan-hutan, dari pepohonan yang hidup, yang makan dari getah tumbuh-tumbuhan, yang berdesir di bawah sinar matahari, dengan dedaunan, bunga-bungaan dan buah-buahan yang menawan. Mereka menjadikan tempat di mana mereka muncul sebagai sebuah firdaus duniawi kecil, yang disayangi oleh manusia dan oleh binatang, yang melupakan ketandusan dan kegersangan padang gurun, dahaga dahsyat yang diakibatkan pasir pada manusia, dengan menembusi kerongkongannya dengan debunya yang membakar. Mereka melupakan terik matahari yang tanpa ampun yang mengeraskan bangkai-bangkai dalam waktu singkat, dengan melenyapkan dagingnya dan mengubahnya menjadi debu, dengan meninggalkan kerangka-kerangka yang bersih yang terserak di pasir, sebegitu bersih hingga tampak seolah telah digosok dengan giat oleh seorang pekerja. Mereka melupakan semuanya dalam naungan asri yang semilir, yang berlimpah air dan buah-buahan, yang menyegarkan serta menghibur mereka dan memberi mereka energi untuk perjalanan-perjalanan baru. Kemudian, untuk suatu alasan yang tidak diketahui, seperti hal-hal yang dikutuk, mereka layu bagai pohon-pohon yang, sesudah mati, masih berguna untuk menyalakan api bagi manusia, atau api unggun untuk menerangi malam, untuk menjauhkan binatang-binatang buas, atau mengusir kelembaban malam bagi para peziarah yang jauh dari rumah mereka. Tetapi pohon-pohon itu tidak berguna sebagai kayu bakar. Mereka sudah menjadi seperti batu. Kandungan silika dalam tanah seolah telah merambat naik dari akar-akar hingga ke batang pohon, dahan-dahan dan daun-daun, melalui sihir. Angin kemudian mematahkan dahan-dahan yang lebih ramping, yang sudah menjadi seperti alabaster [= batu pualam], yang keras dan rapuh sekaligus. Tetapi dahan-dahan yang lebih kuat masih di sana, pada batang-batang pohon yang kokoh, untuk menipu caravan-caravan yang letih. Sesungguhnya dalam refleksi matahari yang menyilaukan atau berkas-berkas cahaya bulan, caravan dapat melihat bayangan dari batang-batang pohon yang berdiri tegak di dataran-dataran tinggi yang luas atau di dasar-dasar lembah, yang mendapatkan air hanya pada saat banjir yang menyuburkan, dan mereka bergegas menuju hutan-hutan imajiner itu, baik sebab mereka antusias untuk mendapatkan naungan, istirahat, air dan buah-buahan segar, maupun sebab mata mereka letih disilaukan oleh matahari yang bersinar di padang pasir yang tanpa keteduhan. Ilusi yang sesungguhnya! Keserupaan ilusif dari badan-badan yang hidup. Kehadiran nyata dari hal-hal yang mati.

Aku melihatnya. Meski Aku masih sedikit lebih tua dari seorang bayi, Aku mengingatnya sebagai salah satu dari hal-hal yang paling menyedihkan di Bumi. Demikianlah mereka tampak bagi-Ku, hingga Aku menyentuh, mengalami, dan mempertimbangkan hal-hal yang sepenuhnya menyedihkan di Bumi, sebab mereka itu sepenuhnya adalah hal-hal yang mati. Hal-hal yang tidak jasmaniah, yakni keutamaan-keutamaan yang mati dan jiwa-jiwa yang mati. Yang pertama mati dalam jiwa, yang terakhir mati sebab mereka membunuh diri mereka sendiri.

Ada hukum di Israel. Tetapi ada seperti pohon-pohon membatu di padang gurun yang sudah menjadi silika, maut, dusta. Mereka itu adalah hal-hal yang ditakdirkan untuk perlahan-lahan lenyap tanpa guna. Bukan, mereka membahayakan, sebab mereka membangkitkan ilusi yang memikat orang guna menyesatkan orang dari oasis-oasis sesungguhnya dan dengan demikian menyebabkan orang mati akibat kehausan, kelaparan dan keputusasaan. Mereka itu adalah maut, yang memikat yang lain pada kematian, sebagaimana kita baca dalam beberapa cerita mitos kafir.

Kamu sudah mendapatkan suatu contoh pada hari ini dari apa Hukum itu ketika dia direndahkan menjadi batu dalam suatu jiwa yang juga sudah menjadi batu. Itulah segala macam dosa dan penyebab kemalangan. Kiranya ini berguna bagimu untuk belajar bagaimana hidup dan membiarkan Hukum hidup dalam dirimu, dalam integritasnya, yang Aku terangi dengan terang kerahiman. Ini sudah larut malam. Bintang-bintang menatap ke bawah pada kita dan Allah menatap ke bawah pada kita juga. Mendongaklah ke langit yang berbintang dan naikkan jiwamu kepada Allah. Dan tanpa mengkritik orang-orang malang yang sudah dihukum oleh Allah, dan tanpa kesombongan sebab bebas dari dosa-dosa yang demikian, berjanjilah kepada Allah dan kepada dirimu sendiri bahwa kamu tidak akan jatuh ke dalam kegersangan pohon-pohon terkutuk di padang-padang gurun dan lembah-lembah Mesir.

Damai sertamu."

Ia memberkati mereka dan lalu undur diri masuk ke dalam halaman kandang yang besar, yang dikelilingi oleh serambi-serambi desa di bawah mana para gembala sudah menebarkan banyak jerami sebagai tempat-tempat pembaringan bagi para pelayan Tuhan.      

(1) Mengenai detail ritus Yahudi kuno, lihat Bilangan 5:11-31.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 4                 Daftar Istilah                    Halaman Utama