SABDA KETUJUH


Sesudah merefleksikan sabda sebelumnya yang diucapkan Yesus di Salib, aku mengerti bahwa, Salib akan mengikuti segenap dari kita umat Kristiani, seolah bagian dari keberadaan kita sendiri. Tapi aku juga memberikan peringatan bahwa tidak semua dari kita mampu membangunkan, membangkitkan Kristus yang tinggal tidur dalam diri kita.

Banyak dari kita hidup dengan mengeluhkan salib-salib kita entah besar atau kecil, dengan beranggapan bahwa bagian hidup kita adalah yang paling menyedihkan, yang paling menyengsarakan, yang tak dapat ditanggung siapa pun selain dari diri kita sendiri… Dan yang paling buruk adalah bahwa kita percaya bahwa Allah telah meninggalkan kita, bahwa Ia tidak mendengarkan kita, atau bahwa Ia marah terhadap kita.

Namun tidaklah demikian. Yesus mengatakan bahwa pengetahuan yang Ia miliki akan kita, teristimewa mereka yang paling berduka, akan mereka yang paling menderita, yang paling lemah, membuat-Nya mengasihi dengan preferensi mereka yang paling miskin dan mereka yang paling membutuhkan-Nya.

Andai saja kita sadar akan kenyataan bahwa mereka yang paling membutuhkan tidak [harus] mereka yang berada dalam kemiskinan, melainkan pada intinya, mereka yang memiliki segalanya terkecuali Allah; maka, jalan kita akan menghantar kita pada pribadi-pribadi itu yang, kendati yang paling kaya, namun sesungguhnya yang paling miskin dalam banyak hal.

Tidaklah begitu sulit untuk menjangkau kaum fakir miskin, dan untuk membujuk mereka menempatkan pengharapan mereka pada Allah, mengingat orang-orang ini biasanya memiliki hati yang sangat terbuka pada Iman kita. Dan beberapa patah kata, atau suatu gerak isyarat kasih yang sederhana, pada umumnya sudahlah cukup, untuk menunjukkan kepada mereka jalan menuju Bapa. Apa yang sulit adalah mengubah pikiran orang-orang itu yang memiliki segalanya, atau orang-orang yang menjadikan dosa sebagai tujuan hidup mereka dan hidup dalam keyakinan bahwa mereka tidak membutuhkan apa-apa lagi.

Karya ini adalah yang paling sulit bagi para penginjil. Ketika mereka dihadapkan pada kesombongan, adalah seperti berhadapan langsung dengan penguasa dunia ini, yang dengan licik bersembunyi dalam diri sebagian orang malang yang kaya, tetapi membutuhkan kasih Allah.

Betapa akan bermanfaatnya bagi kita merenungkan dari waktu ke waktu, Sengsara Yesus, dukacita Santa Perawan Tersuci, yang di sisi-Nya, menderita kemartiran dari segala kemartiran, dengan melihat Tuhan dan Putra-Nya dipakukan pada Salib di Kalvari demi umat manusia.

Meski demikian, Maria telah dapat meninggalkan bagi kita yang paling mulia dari segala kesaksian, sebab dengan kasih yang tanpa henti dan ketaatan mutlak kepada Bapa, Ia menanggung dengan kerendahan hati derita memilukan melihat PutraNya mati di tengah penderitaan yang mengerikan. Di samping itu, Ia telah menerima tanggung jawab umat manusia dan menjadi Bunda kita. Dengan kata lain, Ia telah dengan sukarela memilih untuk melimpahkan kepada kita kasih-Nya bagi PutraNya. Ia harus menderita seperti seorang berdosa di sisi Putra-Nya, kendati tak berdosa seperti PutraNya, supaya Kehendak Bapa dapat digenapi dalam Dirinya pula.

Yesus mengatakan bahwa adalah karena saat tragis ini kedua Hati digambarkan saling mempersatukan diri satu sama lain. (Dua Hati yang bersatu adalah simbol spiritualitas apostolik kami, seperti pada komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi apostolik lainnya.) Ini karena keduanya saling bersatu satu sama lain, melalui penderitaan: di Golgota keduanya merupakan satu Hati tunggal yang terluka; dua hati yang lebur menjadi satu demi mentransformasikan diri menjadi satu; satu Hati tunggal; yang saling merasakan dukacita penderitaan dari yang lainnya, satu Hati tunggal yang merasakan Kasih, untuk mentaati Bapa, dan untuk menyelamatkan umat manusia.

Sekarang aku melihat diriku sendiri wajib untuk menjelaskan kepada pembaca sesuatu, yang pada awalnya mungkin tampak tidak begitu penting, tetapi yang, kendati demikian, mengandung suatu ajaran sangat penting dari Tuhan, bagi kita semua.

Banyak dari kalian, saudara dan saudariku terkasih, tentu bertanya-tanya mengapa [Loh Sepuluh Perintah Allah yang diberikan kepada] Musa ditampillan pada sampul depan buku ini. Untuk menuju subyek, aku terlebih dahulu harus menjelaskan kepada kalian bahwa tidak pernah aku, yang memberikan judul pada satu pun dari buku-buku ini. Dan untuk memilih sampul-sampul depan, kami menghabiskan banyak waktu dalam doa, dengan memohon pada Tuhan kita untuk membantu kami dalam proses pemilihan.

Yesus mengatakan padaku suatu Jumat malam:

"Kegelapan dunia tengah menjelang, tapi dia yang hidup dengan memeluk Salib tidak perlu takut akan apapun. Oleh karenanya, manusia janganlah menjadi puas hanya dengan melihat suatu lukisan-Ku, atau pergi ke suatu perarakan Jumat Agung. Tapi dia harus berupaya untuk memiliki sentimen-sentimen yang sama dengan-Ku: untuk mengampuni sebagaimana Aku mengampuni dan untuk memohonkan pengampunan sebagaimana Aku lakukan [bagi mereka]; untuk tetap tinggal diam di hadapan perkataan-perkataan keji, sebagaimana Aku lakukan di hadapan Pilatus, dan meski demikian, untuk merasakan semangat dan kegagah-beranian yang begitu rupa untuk menjadi mampu: memburu para penukar uang hingga keluar dari Bait Allah dengan sebuah cambuk; untuk hidup dengan melakukan Kehendak Bapa seperti yang Aku lakukan; untuk mengasihi dengan begitu murah hati hingga bahkan memberikan nyawamu bagi yang lainnya; dan untuk membiarkan tubuhmu diremukkan, dan dengan sukacita, untuk memberikan dirimu sendiri sebagai makanan, supaya yang lain dapat makan dari roti itu."

Tepat sesudah doaku sementara bermeditasi, aku memikirkan Musa. Aku selalu terkesan dengan misinya, hidupnya... Sekonyong-konyong ruang itu yang terbuka berulang kali guna mengijinkanku untuk melihat suatu peristiwa yang jauh, terbuka dengan sendirinya di hadapan mataku. Di depanku adalah peristiwa Transfigurasi, dan sementara melihatnya aku bertanya-tanya: mengapa Musa dan Elia? Aku pikir bahwa mungkin Elia [ada disana] karena kekuatan "si Nabi Api" yang oleh Yesus, sebagai seorang manusia mungkin akan diperlukan, guna menghadapi apa yang harus Ia lalui.

Tetapi melihat Musa, aku tidak dapat memperkirakan dengan pengetahuanku yang terbatas, apa yang mungkin dilakukan Musa di sana. Aku merasa seolah sebuah lampu menyala dalam diriku, dan dalam apa yang aku pikir sebagai beberapa menit, lusinan gambar, dalam set dua-dua, lewat di hadapanku.

Musa keluar dari Mesir seorang diri... dan kemudian Yesus dibaptis di Sungai Yordan.

Musa menuruni gunung sesudah menerima tanggung-jawab untuk membawa umat Allah keluar dari perbudakan Firaun... dan kemudian Yesus memilih keduabelas rasul-Nya, mengajar, menyembuhkan, mengampuni, hidup di tengah umat-Nya.

Musa membawa bangsanya keluar dari Mesir... dan kemudian Yesus mewartakan panggilan pada pertobatan dan pemakluman Kerajaan Allah di Gunung Sabda Bahagia.

Musa pada waktu menyeberangi Laut Merah... dan kemudian Yesus memberikan penglihatan kepada yang buta, membuat yang bisu berbicara, membuat yang lumpuh berjalan dan membangkitkan yang mati.

Musa makan bersama bangsanya manna yang dikirim Allah dari Surga, guna memelihara mereka agar jangan mati kelaparan dalam perjalanan mereka menuju Tanah Terjanji... dan kemudian Yesus bersama para murid-Nya, mengadakan perjamuan malam untuk terakhir kalinya bersama mereka dan menetapkan Ekaristi untuk tetap tinggal bersama kita, dengan memberikan kepada kita Tubuh dan Darah-Nya guna memberi makan kita dan menyelamatkan kita dari kematian kekal.

Akan tetapi aku perhatikan bahwa Yesus, pada saat itu, tidak sendirian bersama para rasul-Nya, dan sekonyong-konyong ruangan menjadi sangat besar. Mencakup semua yang dapat dilihat oleh mataku. Aku melihat bersama mereka beberapa orang yang duduk di kursi roda di sisi-sisi para rasul, dan sisanya berdiri di belakang Yesus dan para murid-Nya - beratus-ratus, beribu-ribu imam, berpakaian jubah putih dan stola merah. Tangan kanan mereka terulur ke arah tempat di mana Yesus mengunjukkan roti. Mereka mengulangi bersama Tuhan kata-kata Konsekrasi.

Yesus mengatakan padaku: "Peliharalah saudara-saudara-Ku, sebab melalui mereka Aku akan tinggal bersama kalian hingga akhir masa."

Kemudian aku melihat Musa lagi di Gunung Sinai, tanpa alas kaki, seperti yang diperintahkan Allah. Dia berlutut, gemetar sementara mengkontemplasikan jari Allah menuliskan ke-Sepuluh Perintah bagi umat manusia... dan, kemudian, lagi Aku melihat Yesus di Taman Getsemani, berlutut, menatap, dan menimpakan dosa-dosa kita pada Diri-Nya, mengkontemplasikan sengsara yang harus Ia tanggung bagi kita, laki-laki dan perempuan, dengan gemetar dan mencucurkan keringat darah.

Sekali lagi Perjamuan Malam Terakhir ada di hadapan mataku, Yesus bersama para Rasul-Nya dan segenap imam mengulangi kata-kata Konsekrasi. Yesus menatap padaku sesaat dan berkata padaku: "Akulah Roti Hidup, dan mereka ini (Ia mengangkat kedua tangan-Nya seolah hendak mencakup mereka semua) akan menjadi mereka yang memberikan Aku kepada manusia, sebagai makanan untuk kehidupan kekal."

Seluruh tubuhku gemetar saat itu, sebab kemuliaan dari apa yang aku lihat dan pahami. Dengan menangis, aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku... dan sesudah beberapa waktu, mungkin beberapa menit, yang serasa  berjam-jam bagiku, aku mengangkat kepalaku dan melihat peristiwa sebelumnya kembali.

Aku melihat Musa mengangkat tinggi-tinggi sebuah tiang dengan pahatan ular, guna dengan itu menyembuhkan mereka yang sudah dipagut ular... dan kemudian aku melihat Yesus, diangkat di sana di hadapanku di Salib, guna menyembuhkan jiwa-jiwa mereka yang akan dipagut oleh Setan dan diracuni dosa.

Tuhan berkata kepadaku: "Ingatlah apa yang Aku katakan padamu pada permulaan bahwa masa-masa kegelapan tengah menghampiri umat manusia, itu akan mengguncang institusi-institusi dan bersama mereka, orang banyak. Gereja-Ku juga akan harus melalui jalan yang menyakitkan itu, dan itu sudah dimulai [melalui jalan itu] sebab ada tertulis: 'Aku akan membunuh gembala dan kawanan domba itu akan tercerai-berai'… Tapi ingat bahwa Aku telah menaklukkan dunia."

Lagi, aku merenungkan Perjamuan Malam Terakhir di hadapanku. Segenap dari para imam itu wajahnya ditrasfigurasikan menjadi sama seperti wajah Yesus. Lalu ada kegelapan total di hadapanku, dan aku mendengar suara Tuhan kita, yang sangat sedih sementara Ia berkata: "Yudas, apa yang harus kau perbuat, perbuatlah sekarang...!"

Gambaran kembali, tapi sekarang bersama dengan satu dari para murid itu, banyak dari para imam itu yang pergi, dengan saling mendorong satu sama lain, berlari, tidak lagi dengan wajah bercahaya dan damai Yesus, melainkan dengan wajah mereka sendiri, yang penuh derita dan sengsara.

Dari kejauhan aku dapat mendengar gaduh lolongan dari beribu-ribu suara yang menjadi satu, seolah mereka berlari menuju sebuah tebing dan jatuh. Ngeri, aku mengalihkan pandanganku kepada mereka yang bersama Tuhan. Mereka tampaknya tidak mendengar pun melihat apa pun, begitu khusuk mereka tenggelam dalam doa mereka, ke dalam saat di mana mereka hidup, hingga damai sang Guru memberikan kepada mereka tampilan mulia, bagai para pangeran.

Aku mengerti bahwa  mereka yang dikonsekrasikan itu, yang tinggal bersama Tuhan, adalah mereka yang akan setia pada pilihan yang mereka buat bagi-Nya. Dan mereka adalah orang-orang yang akan masuk ke dalam Hirarki ilahi sebab mereka memperoleh hak untuk itu. Ini karena hak itu merupakan buah dari kesetiaan, dan kesetiaan adalah buah dari hubungan karib, dari keakraban. Keakraban adalah buah dari pemberian diri, dan pemberian diri adalah buah dari kasih agape, yang memberi tanpa meminta balasan apapun, karena alasan sederhana mengejar kebahagiaan bagi yang dikasihi.

Pada akhirnya kasih [macam itu] adalah buah dari mengenal Ia kepada Siapa kamu akan setia sepanjang hari-hari hidupmu, tanpa membiarkan pudar keinginan untuk memproduksi dalam dirimu sendiri, anugerah sempurna dari-Nya, kepada Siapa kamu telah memberikan diri.

Meditasiku sekonyong-konyong terhenti ketika aku mendengar Tuhan menyuarakan teriakan terakhirnya dari Salib, di antara tarikan napas yang sulit, setiap kali dengan jeda yang lebih lama:


"Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Ku-serahkan nyawa-Ku."


Dalam buku "Penyelenggaraan Ilahi", yang diterbitkan enam bulan yang lalu, aku menulis mengenai kematian ibuku dan evangelisasi mendalam yang diterima oleh kami semua yang ada di sekelilingnya saat dia mengalami sakrat maut.

Bagi mereka yang belum membaca buku itu, aku sebutkan bahwa itu adalah suatu kematian yang bahagia, tenang dan damai, dari seorang yang di ambang ajal yang memiliki kepercayaan penuh dalam Kasih Allah, yang antusias untuk pergi dan menemui sang Kerahiman, Yang menantikannya di sisi lain pembaringannya. Dia terus meminta dari kami doa-doa dan nyanyian-nyanyian, sementara dia, dengan matanya yang biru besar terbuka lebar mengulangi lagi dan lagi permohonan Yesus: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Ku-serahkan nyawa-Ku."

Sementara dia di ambang ajal, Aku terus memikirkan wafat Yesus… Sekarang Tuhan mengijinkan aku, seorang berdosa yang malang, untuk menyaksikan saat ini [wafat Yesus] dan melalui sarana ini menghidupkan kembali yang sebelumnya [kematian ibunya ]. Kedua peristiwa ini dipersatukan oleh Kemahakuasaan Ia, Yang Mahakuasa, dan dalam kasih Ia, Yang adalah Kasih itu sendiri. Beberapa saat dari hidupku yang akan selalu menjadi sangat berpengaruh, dan sangat sulit dilukiskan…

Di Golgota langit nyaris kelam, bumi gemetar dan segenap manusia sudah mulai lari, melarikan diri. Sebagian berteriak ketakutan melihat alam sendiri berguncang hebat, dan yang lainnya menangis, memohon pengampunan, dengan mengatakan bahwa sungguh Manusia ini adalah Putra Allah.

Yesus berkata kepadaku: "Aku akan kembali kepada Bapa, dan suatu hari saudara-saudara jahat itu, yang menjadikan panggilan mereka sebagai bisnis, akan mengerti, makna sesungguhnya dari pemilihan-ku atas mereka dengan menganugerahkan kepada mereka rahmat untuk dapat membuat-Ku hadir dalam Ekaristi…

Maka mereka tidak akan lagi mempergunakan Altar untuk menyampaikan suatu homili yang akan membingungkan dan bukannya menolong orang, untuk berpolitik, untuk membenarkan alasan gaji atau sekedar 'memenuhi kewajiban mereka' ketika mereka tak lagi dapat menghindarinya. Dan mereka melakukannya sambil melihat jam, untuk bergegas pergi untuk memenuhi 'kewajiban-kewajiban' mereka lainnya.

Mereka akan harus membuat perhentian dalam perjalanan mereka ke jurang-jurang yang dalam dan menyadari bahwa cinta mereka bagi diri mereka sendiri lebih besar dari cinta dan kerinduan mereka untuk melayani Allah dan manusia. Sebab dengan perilaku mereka, mereka membawa pergi kepercayaan dan mematahkan semangat mereka yang, setidaknya seminggu sekali, memutuskan untuk pergi ke perjumpaan mereka dengan-Ku.

Dari Salib-Ku, Aku katakan kepada mereka dan kepadamu: Jangan mengeluhkan sekte-sekte yang penuh dengan orang, tanpa menanyai diri kalian sendiri apakah ini merupakan konsekuensi dari kesaksianmu sendiri."

Lagi, aku mendengar kata-kata itu, yang mewakili akhir dan awal dari segalanya: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Ku-serahkan nyawa-Ku." Dan Kepala sang Juruselamat dari segenap umat manusia beristirahat pada bahu dan dada-Nya. Dan tetap demikian untuk sesaat lamanya, sebelum ia terkulai untuk beristirahat sama sekali pada dada-Nya. Saat itu, yang dapat berlangsung tanpa akhir dan yang terkadang aku pikir bahwa ia akan hidup bersamaku untuk selamanya, mutlak ada di hadapan mata dan terlingaku ketika Ia berkata kepadaku:  

"Sekujur Tubuh-Ku dihancur-remukkan. Tetapi sukacita-Ku begitu hebat hingga, dari bukit Sengsara-Ku, Aku melihat Surga dan berseru bahwa semuanya telah dituntaskan dengan sempurna, dan Aku menyerahkan Roh-Ku ke dalam tangan-tangan Bapa Yang Pengasih.

Roh itu, yang disingkapkan kepada manusia pada hari Pembaptisan-Ku di Sungai Yordan, akan kembali kepada Bapa bersama-Ku sehingga Tritunggal Mahakudus akan lengkap kembali dalam Kemuliaan. Dan, seperti Langit terbuka pada hari itu agar supaya terang akan memancarkan Kasih dari Pribadi Ketiga Yang, sebagaimana dikatakan Injil, ada dalam rupa seekor burung merpati; sekarang tabir Bait Allah, yang menyelubungi Tabut Perjanjian, dikoyakkan guna menjatuhkan pengadilan atas mereka yang telah mengutuk Aku. Dan itu, sungguh, teramat mengerikan bagi mereka sehubungan dengan budaya dan pendidikan dari orang-orang itu.

Misi dari sang Sabda telah berakhir, pertempuran dahsyat telah mencapai akhirnya. Putra Manusia tengah meregang nyawa, telah secara sukarela menyerahkan Diri-Nya demi Kasih. Aku dengan penuh percaya menempatkan Diri-Ku ke dalam tangan-tangan BapaKu, dengan damai, dengan manis. Yang lainnya sudah mati beberapa jam sebelumnya, dengan menggantung diri, dalam keputus-asaan, seperti matinya para pengecut, para pengkhianat, mereka yang tidak mengasihi BapaKu, dan, dengan demikian, mereka tidak percaya akan pengampunan-Nya."

Sekonyong-konyong terang kembali dan kegelapan sirna. Melihat ketercenganganku, Yesus berbicara dari Salib.

"Terang yang kau lihat ini akan tak lama lagi, turun atas para Rasul-Ku untuk menerangi dan menolong mereka, melalui Roh-Ku ini, Yang aku tempatkan dalam tangan-tangan Bapa. Ia [Roh Kudus] akan datang untuk mengingatkan mereka akan semua yang telah mereka dengar Aku katakan dan menolong mereka agar dengan memiliki pengetahuan ini meresap begitu dalam untuk memungkinkan mereka, melalui Kekuatan-Nya [Roh Kudus], mendapatkan segala kebijaksanaan dan kekudusan yang diperlukan, bagi-Ku untuk memperluas Diri-Ku dalam mereka. Dengan cara ini Aku akan terus berjalan di antara kalian, guna terus menyembuhkan, guna terus memberkati, guna terus menyelamatkan…

Semuanya ini harus dilihat oleh para saksi, supaya dapat dimengerti nilai sesungguhnya dari kurban seorang Manusia Yang dengan sukarela menyerahkan hidup-Nya, sebagai pemberian kepada Allah dan kepada manusia."

Tuhan tidak memberitahu aku ini, tapi aku mengerti bahwa adalah Roh yang sama, Yang akan mencurahkan Diri-Nya ke atas para penerus dari para Rasul, sebab dengan suatu cara Ia menunjuk pada para imam dan kaum awam yang berkomitmen…

Kemudian Yesus melanjutkan berbicara kepadaku: "Aku telah menggenapi [Kehendak Bapa]. Aku kembali kepada Bapa dan kalian, mereka yang mengasihi Aku, akan juga dianiaya, difitnah, dihina, diperlakukan dengan tidak adil. Tapi kalian tidak sendirian. Aku tetap tinggal bersama kalian, dan Aku meninggalkan bersama kalian apa yang paling berharga dalam Hidup-Ku, BundaKu, yang mulai dari sekarang akan menjadi Bunda kalian."

Sementara Yesus tengah menyelesaikan perkataan ini, aku melihat seorang prajurit datang mendekat dan, dengan membawa sebilah tombak, dia membisikkan sesuatu yang tidak terlalu aku mengerti. Dan dengan suatu ekspresi iba di wajahnya, dia menusuk lambung Tuhan, dan sejumlah besar Darah dan Air tercurah, memercik pada wajah sang prajurit. Dia menutup matanya dengan tangannya dan jatuh ke tanah.

Dada Sang Penebus penuh cahaya, dalam suatu simfoni warna yang tak terlukiskan. Dari lambung yang terbuka itu, terpancarlah sesuatu seperti air, namun sangat berkilau, lalu darah, yang bercampur dengan air itu. Pancaran itu mulai membuka galur-galur di atas tanah. Dan ke mana pun darah mengalir, bunga-bunga lili bermunculan dengan sangat mengagumkan.  

Salib Yesus menghilang. Aku melihat sekarang di tempatnya ada sebuah gereja yang sangat besar, dan bunga-bunga ini masuk ke dalamnya, seolah bunga-bunga itu meluncur. Tapi dari sisi lain ada sangat banyak pemuda, berpakaian jubah putih, juga masuk ke dalam gereja.

Sekonyong-konyong, aku melihat diriku sendiri dalam gereja itu dan aku mengkontemplasikan: semua bunga putih itu berada di depan Altar, dan mereka sekarang berubah menjadi para perempuan muda. Dan di sisi yang lain ada para pemuda, berpakaian jubah putih. Laki-laki dan perempuan rebah prostratio dalam doa penuh kerendahan hati, dengan kedua lengan mereka terentang hingga membentuk sebuah Salib. Aku mengerti bahwa mereka adalah laki-laki dan perempuan yang dikonsekrasikan, yang mempersembahkan hidup mereka pada Allah.

Aku mendengar suatu paduan suara yang sungguh mengagumkan, seperti paduan suara yang terkadang aku dengar pada saat Misa Kudus, dan aku melihat Yesus Yang Bangkit, berbusanakan dalam segala kemuliaan, sebagai seorang Raja, Yang segera membuat suatu isyarat dan para pemuda mulai menghampiri-Nya seorang demi seorang. Ia, Ia Sendiri yang mengurapi tangan-tangan mereka, sementara Ia tersenyum dengan kasih seperti yang sesekali aku lihat, dalam mata seorang bapa, yang menatap pada anak-anaknya.

Yesus menatap padaku beberapa saat lamanya, dan lalu, sementara berjalan ke tengah Altar, Ia berkata: "Melalui Tahbisan Imamat, dengan kuasa Roh Kudus, segala dosa manusia akan diampuni, dan mereka [para imam] akan membukakan bagi kalian Gerbang-gerbang Surga… Tetapi Aku seorang kekasih yang pencemburu, Yang menuntut dari mereka keseluruhan kehendak mereka. Aku mengharapkan segalanya dari suatu jiwa sesuai panggilan kemana jiwa dipanggil suatu hari dan konsisten dengan undangan yang terus Aku perluas kepada kalian semua, melalui situasi-situasi dalam hidup kalian sehari-hari."

Tepat pada saat itu, penglihatan akan Musa dan Yesus kembali dalam suatu cara yang mengerikan. Aku akan mencoba menggambarkannya setepat yang aku dapat.

Aku melihat Musa berdiri di sebuah dataran di Gunung Sinai. Dia membawa di kedua tangannya dua batu besar dengan tulisan di atasnya. (Aku mengerti bahwa itu adalah Sepuluh Perintah Allah.) Di bawah ada orang banyak di tengah kegaduhan yang mengerikan dan peristiwa- peristiwa cemar, yang menjijikkan. Mereka tampak lebih serupa binatang-binatang buas daripada manusia. Wajah sang Nabi berubah nyaris ungu, begitu merah padam. Aku melihatnya mengayun-ayun ke depan dan ke belakang, dan lalu dengan segenap kekuatan dan amarah melemparkan kedua batu itu ke bawah kepada orang banyak. Seolah beratus-ratus dinamit jatuh menimpa mereka sebab banyak orang menjadi terpental ke udara dan banyak yang lainnya berjatuhan ke dalam sebuah lubang besar di tanah, seraya berteriak.

Kemudian, aku melihat Yesus ditinggikan di Salib dan, di belakang-Nya, dua malaikat sangat besar dengan wajah yang sangat cemerlang, namun menampilkan ekspresi marah yang sangat hebat. Seorang dari mereka membawa 'loh-loh', (marilah kita menyebutnya demikian) seperti batu-batu yang dibawa Musa, tapi yang ini terbuat dari daging. Loh-loh itu kelihatan seolah apabila disatukan, akan membentuk sebuah hati. Pada salah satu dari loh itu dikatakan, "Kamu harus mengasihi Allah di atas segala sesuatu," dan pada yang lainnya, "Kamu harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri." Malaikat yang lainnya memegang dengan kedua tangannya sebuah Piala yang sangat besar berisi Darah.

Sementara para melaikat hendak melemparkan 'loh-loh daging' itu dan Piala Darah ke atas bola dunia, suatu suara agung berwibawa terdengar, yang mengatakan: "Berhenti... Aku akan menaruh Hukum-Ku dalam hati mereka. Mereka akan menjadi umat-Ku, dan Aku akan menjadi Allah mereka..."

Mendengar suara itu, kedua malaikat berlutut, menundukkan kepala mereka dan mereka lenyap dari penglihatanku.

Dalam sekejap aku memikirkan persamaan antara Musa dan Yesus, dan menjadi ngeri memikirkan apa yang akan dapat terjadi jika kedua malaikat telah melemparkan Kedua Perintah dan Piala Darah ke atas bumi… Aku percaya bahwa segenap kita akan telah binasa, dengan menerima mungkin, suatu penghukuman yang, melalui dosa-dosa kita, tampaknya kita minta dengan sangat lantang.

Di hadapan kenangan ini aku tergerak untuk tiada melakukan apapun selain dari memohon kepada Allah, Kerahiman bagi dunia.

Aku yakin bahwa siapa pun yang membaca kesaksian ini akan mengerti masa di mana kita hidup. Dan para pembaca akan sependapat denganku, bahwa apabila kita tidak berlutut di hadapan Yesus Yang Tinggal dalam Sakramen Mahakudus dari Altar, membuat silih dan mempersatukan doa-doa kita, maka Piala itu akan meluap dan sebagian besar dari umat manusia akan lenyap.

Kemudian aku melihat Santa Perawan Tersuci duduk di lantai, dengan Yesus terbaring dalam selembar kain, kepala Yesus ada di dada-Nya [Maria]. Ia membelai dan mencium-Nya, dengan mencucurkan banyak airmata.

Aku seorang ibu, dan apabila terkadang anak-anakku menderita dan berada jauh dariku, aku merasakan suatu sakit rohani dan jasmani. Dalam upaya menjelaskan hal ini, akan aku katakan bahwa payudaraku, yang menyusui si anak yang sekarang sedang menderita atau tertimpa masalah, terasa sakit.

Dalam mengkontemplasikan penglihatan ini dan merenungkan Hati Bunda kita, aku tergerak oleh rasa hormat yang sedemikian hingga aku percaya bahwa orang tiada memiliki pilihan lain selain dari prostratio di tanah. Di sana sang Perempuan, dengan memeluk kepala PutraNya yang wafat, menerima sakit yang menembusi Hati-Nya.

Apabila seseorang yang kita kasihi meninggal dunia, kita ditinggalkan dengan rasa sakit. Dia yang pergi tidak membawa serta dukacita itu.

Dalam kasus ini, sejak dari "Ya" pertama Santa Perawan hingga saat ini, keduanya telah hidup dalam persatuan yang begitu akrab mesra hingga yang satu dapat menderita atau bersukacita dengan perasaan yang lainnya.

Jika Gereja memaklumkan bahwa semua penderitaan manusia memiliki nilai penebusan, yakni berguna bagi pertobatan jiwa-jiwa, apabila penderitaan itu dipersembahkan kepada Allah dengan kasih, bagaimana orang dapat merasa tersinggung mendengar bahwa Maria adalah Co-redemptrix [Penebus-serta] di kaki Salib?

Ikatan yang mempertalikan si Perempuan dalam Kitab Kejadian, yang keturunannya akan meremukkan kepala si ular, dengan Perempuan berselubungkan Matahari dalam Kitab Wahyu, bukankah itu tepat mengenai Penebusan-serta, partisipasi aktif-Nya, juga sebagai kurban, dalam Kurban Kudus yang dilaksanakan di kaki Salib?

Aku minta maaf atas apa yang baru saja aku katakan apabila aku sudah membuat orang marah, tapi biarlah Bunda Gereja kita yang menyampaikan pendapat mengenai ini, sebab formasiku tidak cukup bahkan untuk sekedar upaya memberikan pendapat [mengenai hal ini]. Tapi kasih dikenali oleh KASIH, dan untuk ini, intelegensi tidak diperlukan.

Peristiwa Kalvari kembali dan suara mengulang dengan penuh kemuliaan: "… Aku akan menaruh Hukum-Ku dalam hati mereka. Mereka akan menjadi umat-Ku, dan Aku akan menjadi Allah mereka…!"

Kemudian, di hadapan mataku muncul kembali gereja besar itu, di mana bukan hanya para imam dan para perempuan yang dikonsekrasikan dari masa mendatang yang masuk, melainkan juga suatu jumlah yang tak habis-habisnya dari para perempuan dan para laki-laki, tua, muda dan anak-anak…

Sesuatu membuatku mendongak ke arah kubah gereja. Di sanalah Perawan Maria, mulia, menyelubungi seluruh peristiwa itu dengan sehelai mantol biru muda. Ia tersenyum menawan, seperti seorang mama yang memeluk bayinya, melindunginya dengan cinta yang besar.

Di dalam ada Yesus, berpakaian seperti dalam gambar Kristus Raja. Ia merayakan Misa Kudus dan berkonselebrasi bersama-Nya, segenap pemuda yang telah diurapi sebelumnya. Aku merasakan kebahagian besar dalam hatiku.

Kemudian Yesus berkata kepadaku: "Katakan pada segenap putra-putra-Ku bahwa adalah tidak cukup mengenal kelimabelas Perhentian Jalan Salib dalam hati melainkan menghidupkannya dan menciptakannya kembali, supaya setiap Misa Kudus sungguh merupakan kenangan akan Sengsara-Ku.

Katakan kepada mereka bahwa dari Salib, Aku telah bersandar pada masing-masing dari mereka, sebab kuasa Kasih telah menganugerahi mereka untuk menjadi 'Alteri Christi'... (Kristus yang lain)."

Pada saat itu aku melihat sebuah ruangan dengan tembok-tembok berwarna muda dan sebuah jendela yang tak terlalu besar dan Yesus, bercahaya gemilang, berpakaian serba putih, Yang sedang menghembusi para Rasul-Nya dan berkata kepada mereka: "Terimalah Roh Kudus... Barangsiapa dosa-dosanya kamu ampuni akan diampuni di Surga..."

Pada point ini aku menuliskan perkataan terakhir yang baru saja Yesus berikan padaku untuk kalian pada saat aku sedang menyelesaikan tulisan mengenai kesaksian ini pada fajar hari Pesta Pembaptisan Tuhan.

"Saudara-Ku terkasih, kesaksian ini diperuntukkan bagimu, supaya kamu dapat mengamalkan suatu Masa Prapaskah yang diperbaharui dalam meditasi mendalam akan persatuan yang Aku ingin miliki denganmu, dan melaluimu, dengan umat-Ku.

Jangan biarkan rasionalisme dunia menukar jubah putihmu dengan sebuah sabit dan sebuah palu. Ruang bacamu haruslah untuk mengkontemplasikan Aku di Salib. Senjatamu, dan senjata dari setiap umat Kristiani haruslah doa, penyertaan Bunda-Ku dan pintu keselamatan, Ekaristi.

Tetapi selalu pastikan bahwa perayaanmu adalah seperti perayaan Kamis Putih, perayaan yang menggerakkan secara mendalam hati kaum awam. Ingatlah bahwa umat-Ku menghendaki kekudusan dalam diri para Gembala mereka."



_†_†_ †_


Sumber: “From Sinai to Calvary”; Copyright © 2004 by The Great Crusade of Love and Mercy; Love and Mercy Publications; P.O. Box 1160, Hampstead, NC 28443 USA; www.loveandmercy.orgg

Dipersilakan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas untuk tujuan non-komersiil dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Kesaksian Yesus dan Maria                                           Halaman Utama