|
360. MUKJIZAT DI SUNGAI YORDAN SAAT BANJIR.
17 September 1944
Akhirnya aku bisa menuliskan apa yang sudah membuat penglihatan dan pendengaran mentalku sibuk sejak dini hari, membuatku menderita dari tekanan mendengar kebisingan hal-hal duniawi dari luar dan dalam rumah, sementara aku harus melihat dan mendengarkan hal-hal Allah, dan ini membuatku tidak sabar terhadap segala sesuatu yang berbeda dari apa yang dilihat rohku.
Betapa banyak kesabaran yang dibutuhkan... untuk tidak kehilangan kesabaran sementara menunggu saat untuk mengatakan kepada Yesus, "Ini aku! Sekarang Engkau bisa melanjutkan!" Karena - aku sudah mengatakannya berulang kali dan aku akan mengulanginya lagi - ketika aku tidak bisa melanjutkan atau mulai menuliskan apa yang aku lihat, peristiwa terhenti di awal kisah atau saat aku terinterupsi, dan dilanjutkan kembali saat aku sudah bebas untuk mengikutinya. Aku pikir Allah menghendaki itu supaya aku tidak kehilangan detail apa pun atau membuat kesalahan seremeh apa pun, yang mungkin terjadi jika aku harus menuliskannya beberapa waktu sesudah penglihatan.
Aku bisa meyakinkanmu sepenuh hati bahwa apa yang aku tuliskan, karena aku melihat atau mendengarnya, aku menuliskannya sementara aku melihat atau mendengar.
Jadi inilah yang aku lihat sejak pagi ini, dan pemberi peringatan batinku memberitahuku bahwa ini adalah awal dari suatu penglihatan panjang yang indah.
Dalam cuaca berbadai dahsyat, Yesus berjalan di sepanjang jalan pedesaan yang sangat berlumpur. Jalan sudah menjadi sungai kecil kekuningan yang berlumpur dan lengket, yang memercik di setiap langkah, licin bagai sabun yang lembut, lengket pada sandal, menyedotnya bagai penyedot dan sekaligus menggelincir di bawahnya, sehingga sangatlah sulit untuk berjalan.
Pastilah sudah turun hujan terus-menerus selama hari-hari itu. Dan langit menjanjikan lebih banyak hujan, tertutup oleh awan-gemawan gelap yang rendah yang ditiupkan angin sirocco atau angin timur laut, yang membuat udara begitu berat hingga terasa manis di mulut, manis yang bisa membuat orang sakit, seperti salutan yang terasa manis. Tidak ada kelegaan yang dibawa oleh angin yang menghembus rerumputan dan dahan-dahan hingga merunduk, yang lalu berhenti dan segalanya menjadi nyaris tak bergerak dalam kepanas-lembaban badai. Sesekali segumpal awan raksasa menyembul dan tetesan-tetesan besar yang hangat, yang seakan berasal dari pancuran air panas, jatuh di tanah membentuk gelembung-gelembung di lumpur dan memperbanyak percikan di pakaian dan kaki.
Meski Yesus dan para rasul-Nya sudah menarik jubah mereka ke atas, mengikatkannya di pinggang dengan tali yang digunakan sebagai ikat pinggang, bagian bawah jubah mereka benar-benar penuh cipratan lumpur, yang basah di bagian bawah tetapi hampir kering di bagian yang lebih atas. Mantel mereka, yang mereka bawa setinggi mungkin, dan telah dilipat menjadi dua, baik untuk menjaganya tetap bersih dan sebagai perlindungan ganda terhadap hujan yang singkat tapi deras, sama sekali kotor. Kaki mereka, hingga setengah tulang kering, seolah-olah mengenakan stoking wol kasar yang tebal, yang adalah lumpur yang mengerak.
Sejauh ini, itu adalah awal kisah. Sekarang kisah berlanjut.
Para murid sedikit mengeluh mengenai cuaca dan jalan. Yesus sepertinya tidak mendengar. Namun, Dia mendengar. Dan dua atau tiga kali Dia menengok sedikit - mereka berjalan dalam satu barisan untuk tetap berada di sisi kiri jalan, yang sedikit lebih tinggi dari sisi kanan dan dengan demikian tidak begitu berlumpur - untuk melihat mereka. Tapi Dia tidak mengatakan apa-apa.
Terakhir kalinya, seorang murid yang paling tua berkata, "Oh! malangnya aku! Dengan semua basah kuyup yang mengering di tubuhku, aku akan tersiksa oleh rasa sakit! Aku sudah tua! Aku tidak lagi berusia tigapuluh tahun!"
Dan Matius menggerutu juga, "Dan bagaimana dengan aku? Aku tidak terbiasa seperti ini... Apabila hujan di Kapernaum, dan kau tahu betul, Petrus, aku tidak keluar. Aku menempatkan para pelayan di meja pajak dan mereka membawakan kepadaku orang-orang yang harus membayar. Aku mengatur pelayanan yang baik untuk itu. Tentu saja... siapa yang mau berisiko keluar saat cuaca begitu buruk? Hmm! Hanya orang yang melankolis, tidak seorang pun yang lain. Pasar dan perjalanan dilakukan dalam cuaca yang baik..."
"Diamlah! Karena Dia akan mendengarmu!" kata Yohanes.
"Tidak, Dia tidak akan mendengar kita! Dia berpikir dan ketika Dia berpikir... praktis kita tidak ada," kata Tomas.
"Dan ketika Dia mendapatkan ide dalam benak-Nya, tidak ada alasan apa pun yang bisa menggerakkan-Nya dari tekad-Nya. Dia akan melakukan apa yang Dia inginkan. Dia tidak percaya siapa pun selain Diri-Nya sendiri dan itu akan menjadi kehancuran-Nya. Jika saja Dia sedikit berkonsultasi denganku... Aku tahu begitu banyak hal!" kata Yudas dengan keyakinan penuh sebagai seorang "laki-laki bijak yang lebih pintar dari siapa pun."
"Memangnya apa yang kau tahu?" tanya Petrus serta-merta, dengan wajah memerah semerah umbi bit. "Kau tahu segalanya! Teman-teman mana yang kau punya? Apa mungkin kau seorang hebat di Israel? Pergi sana kau! Kau adalah orang yang malang seperti aku dan yang lainnya... Sedikit lebih tampan... Tapi ketampanan masa muda adalah bagai bunga yang bertahan sehari! Aku dulu juga tampan!"
Tawa terpingkal-pingkal Yohanes mencerahkan suasana. Juga yang lain-lainnya tertawa dan bercanda mengenai kerut-merut Petrus, mengenai kakinya, yang terbuka lebar seperti kaki setiap pelaut, mengenai matanya yang terbelakak merah karena angin danau.
"Kamu boleh tertawa, tetapi memang begitu. Bagaimanapun, jangan menyela aku. Katakan padaku, Yudas. Teman-teman mana yang kau punya? Apa yang kau tahu? Jika kau tahu apa yang kau ingin kami percaya kau tahu, pastilah kau punya teman-teman di kalangan musuh Yesus. Dan siapa yang punya teman-teman di kalangan musuh adalah pengkhianat. Hei! bocah! Berhati-hatilah, jika ketampananmu penting bagimu! Karena jika benar aku tidak tampan lagi, adalah benar juga bahwa aku masih kuat dan aku tidak akan kesulitan menghajarmu," kata Petrus.
"Betapa sopan santun bicara yang luar biasa! Bahasa seorang nelayan kasar!" kata Yudas dengan rasa jijik seorang pangeran yang tersinggung.
"Ya, Tuan, dan aku bangga akan hal itu. Seorang nelayan, tapi setulus danauku, yang, jika akan berbadai, tidak mengatakan, 'Aku akan damai tenang,' tetapi ia akan bergolak dan menempatkan awan-awan sebagai saksi di kubah langit, sehingga jika orang tidak bodoh atau mabuk, dia tahu apa itu artinya dan segera bertindak. Kau... kau kelihatan seperti lumpur ini yang kelihatannya keras, tapi lihat," (dan dengan satu sentakan kaki yang tiba-tiba dia memercikkan lumpur ke dagu si tampan Iskariot).
"Petrus! Perilakumu menjijikkan! Sabda Guru tentang cinta kasih punya pengaruh yang indah padamu!"
"Hal yang sama berlaku untukmu sehubungan dengan sabda-Nya tentang kerendahan hati dan ketulusan hati. Ayo. Katakan! Apa yang kau tahu? Apa benar kau tahu atau kau berlagak supaya orang percaya bahwa kau punya teman-teman yang berkuasa? Kau adalah cacing yang menyedihkan!"
"Aku tahu apa yang aku tahu, dan aku tidak akan memberitahumu untuk memulai perkelahian, yang kau, orang Galilea, sukai. Aku akan mengulanginya jika Guru tidak terlalu keras kepala, itu akan jauh lebih baik. Dan Dia seharusnya tidak terlalu kejam. Orang-orang bosan disakiti."
"Kejam? Jika Dia kejam, Dia seharusnya melemparkanmu ke dalam sungai sekarang juga. Dia seharusnya membuatmu melayang di atas pepohonan itu. Dengan begitu, kau akan membersihkan lumpur yang mengotori wajahmu. Aku harap itu akan membantu membersihkan hatimu, yang jika aku tidak salah, lebih keras daripada kakiku yang berlumuran lumpur." Sesungguhnya, karena Petrus pendek dan berbulu, kakinya sangat berlumpur. Baik kakinya maupun kaki Matius kelihatan seperti terbuat dari tanah liat sampai batas lutut.
"Tidakkah Engkau menghentikannya?" kata Matius.
Yohanes, yang memperhatikan bahwa Yesus telah memperlambat langkah-Nya, menduga bahwa Dia mungkin mendengar, dan dengan mempercepat langkahnya dia mendahului dua atau tiga rekan dan mencapai Yesus, dan berjalan di samping-Nya. Dia memanggil, "Guru!" dengan sangat lembut, seperti biasanya, dan dengan tatapan penuh kasih, mendongak kepada-Nya, karena dia lebih pendek dan juga karena dia berada di tengah jalan, tidak di tanah yang sedikit lebih tinggi di mana mereka semua berjalan.
"Oh! Yohanes! Kau sudah di samping-Ku!" kata Yesus sembari tersenyum padanya.
Yohanes, seraya mengamati wajah-Nya dengan penuh kasih dan kecemasan untuk mengetahui apakah Dia telah mendengar, menjawab, "Ya, Guru-ku terkasih. Apakah Engkau menginginkanku?"
"Aku selalu menginginkanmu. Aku ingin kamu semua punya hati yang seperti hatimu! Tetapi jika kau terus berjalan di tempat kau berada itu, kau akan basah kuyup."
"Tidak masalah, Guru! Tidak ada yang lebih penting, selama aku berada dekat-Mu!"
"Apa kau selalu ingin bersama-Ku? Tidakkah kau berpikir bahwa Aku tidak bijaksana dan Aku mungkin menyebabkan masalah bagimu juga? Apa kau tidak merasa tersinggung karena Aku tidak mendengarkan nasihatmu?"
"Oh! Guru! Jadi Kau mendengarnya!" Yohanes kecewa.
"Aku mendengar semuanya. Dari kata-kata yang paling pertama. Tapi jangan sedih karena itu. Tak seorang pun darimu yang sempurna. Aku sudah tahu sejak Aku memilihmu. Dan Aku tidak mengharapkan seorang pun darimu menjadi sempurna dengan cepat. Kamu semua akan harus berubah dari makhluk yang liar menjadi makhluk yang jinak melalui dua cangkok..."
"Yang mana, Guru?"
"Yang satu adalah darah, yang lain adalah api. Sesudah itu kamu akan menjadi pahlawan-pahlawan Surga dan akan mempertobatkan seluruh dunia, dimulai dari dirimu sendiri."
"Darah? Api?"
"Ya, Yohanes. Darah: Darah-Ku..."
"Tidak, Yesus!" Yohanes menyela-Nya dengan erangan yang dalam.
"Tenanglah, sahabat-Ku. Jangan menyela-Ku. Jadilah yang pertama untuk mendengarkan kebenaran ini, karena kau pantas mendapatkannya. Darahnya adalah Darah-Ku. Kau sudah tahu. Itu sebabnya Aku telah datang. Aku adalah Penebus... Pikirkanlah para nabi. Mereka tidak menghilangkan satu iota pun dalam menggambarkan misi-Ku. Aku akan menjadi Sang Manusia yang digambarkan oleh Yesaya. Dan Darah, yang akan Aku curahkan, akan menyuburkanmu. Tetapi Aku tidak akan membatasi Diri-Ku pada itu. Kamu begitu tidak sempurna dan lemah, tumpul dan penakut, sehingga Aku, Yang duduk dalam kemuliaan di samping Bapa, akan mengirimkan kepadamu Api, Kekuatan yang berasal dari keberadaan-Ku melalui kuasa Bapa dan yang mengikat Bapa dan Putra dalam suatu lingkaran yang tak terpisahkan, menjadikannya Tritunggal: Pikiran, Darah, Kasih. Ketika Roh Allah, bukan, Roh dari Roh Allah, Kesempurnaan dari Kesempurnaan Ilahi, datang kepadamu, kamu tidak akan lagi sama. Tapi kamu akan menjadi baru, memiliki kuasa, kudus... Tapi bagi salah seorang darimu, Darah dan Api akan sia-sia. Karena Darah akan memiliki kuasa kutukan baginya dan dia akan selamanya mengenal api yang lain, di mana dia akan terbakar dengan memuntahkan darah dan menelan darah, karena dia akan melihat darah di mana pun dia mengarahkan mata jasmani ataupun rohaninya, sebab dia sudah mengkhianati Darah Allah."
"Oh! Guru! Siapakah itu?"
"Kau akan tahu suatu hari nanti. Untuk sementara ini, lupakan saja. Dan demi cinta kasih, bahkan jangan berusaha untuk mengetahuinya. Penyelidikan mengisyaratkan kecurigaan. Kau tidak boleh mencurigai saudara-saudaramu, karena curiga sudah merupakan kurangnya cinta kasih."
"Aku akan puas jika Engkau meyakinkanku bahwa baik Yakobus maupun aku tidak akan mengkhianati-Mu."
"Oh! Bukan kau! Atau pun Yakobus. Kau adalah penghiburan-Ku, Yohanes-Ku yang baik!" dan Yesus menempatkan tangan-Nya di bahunya, menariknya dekat Diri-Nya dan mereka berjalan seperti itu bersama-sama.
Mereka diam untuk beberapa saat lamanya. Yang lain-lainnya juga diam. Hanya suara langkah kaki mereka di lumpur yang bisa terdengar. Kemudian mereka mendengar suara lain.
Itu adalah suara desau dan gelegak, akan aku katakan seperti dengkuran dalam dari seorang yang terkena penyakit radang selaput lendir hidung; seperti gerutu monoton yang sesekali disela deburan ringan.
"Bisa kau dengar itu?" tanya Yesus. "Sungainya sudah dekat."
"Tapi kita tidak akan tiba di arungan sebelum malam. Sebentar lagi akan gelap."
"Kita akan tidur di gubuk di suatu tempat. Dan kita akan menyeberangi sungai besok. Tadinya Aku ingin tiba di sana lebih awal, karena banjir semakin meningkat setiap jamnya. Dengarkan! Buluh-buluh di tepian patah di bawah tekanan air yang meluap."
"Mereka menahan-Mu begitu lama di desa-desa Dekapolis itu! Kami berkata kepada orang-orang yang sakit: 'Lain kali!' tetapi..."
"Siapa yang sakit, ingin sembuh, Yohanes. Dan Dia yang berbelas-kasihan kepada mereka, menyembuhkan mereka sekaligus, Yohanes. Tidak masalah. Kita toh akan menyeberang. Aku ingin ke seberang sebelum kembali ke Yerusalem untuk Pentakosta."
Mereka sekali lagi terdiam. Hari menjadi gelap dengan sangat cepat, seperti biasa terjadi pada hari-hari basah. Menjadi semakin sulit untuk berjalan di senja yang semakin gelap. Pepohonan di sepanjang jalan juga menambah kegelapan dengan rimbun dedaunannya.
"Ayo kita menyeberang ke sisi lain jalan. Kita sekarang sudah sangat dekat dengan arungan. Kita akan mencari gubuk."
Mereka menyeberang dengan diikuti oleh yang lain-lainnya. Mereka menyeberangi parit kecil yang berlumpur, dengan lebih banyak lumpur daripada airnya, yang mengalir menggelegak menuju sungai. Mereka nyaris meraba-raba di antara pepohonan, menuju sungai, yang suaranya menjadi semakin keras.
Berkas pertama sinar bulan menembusi awan, menembus di antara dua awan dan turun, membuat air sungai Yordan yang berlumpur menjadi berkilau di tempat di mana sungai meluap dan sangat lebar. (Jika perhitunganku benar, lebar sungai itu sekitar limapuluh/enampuluh meter. Aku ini bodoh dalam hal ukuran, tapi aku pikir rumahku akan bisa masuk ke dalam palung sungai itu sembilan atau sepuluh kali, dan rumahku itu sekitar lima setengah meter lebarnya.) Bukan lagi Sungai Yordan biru yang indah dan tenang, dengan air tak beriak yang menyapu pasir halus di tepiannya, di mana semak-semak gosong karang mulai tumbuh dan berdesir tiada henti. Sekarang, air sudah menenggelamkan segalanya dan semak-semak pertama sudah dirundukkan dan dipatahkan dan dengan demikian tidak tampak, terkecuali dedaunan aneh yang turun naik di permukaan air, seolah melambaikan tangan atau memohon pertolongan. Air sudah mencapai kaki pepohonan besar pertama. Aku tidak tahu pohon apa itu. Pepohonan itu tinggi dan rimbun, sekokoh tembok dan gelap di kegelapan malam. Beberapa pohon willow mencelupkan ujung dedaunan layu mereka ke dalam air yang kekuningan.
"Tidak mungkin menyeberang di sini," kata Petrus.
"Tidak di sini. Tapi di sana bisa. Lihat? Mereka masih menyeberang," kata Andreas.
Dua hewan berkaki empat dengan berhati-hati menyeberangi sungai. Airnya mencapai perut mereka.
"Jika mereka bisa, perahu pasti juga bisa."
"Tapi, lebih baik menyeberang sekaligus, bahkan meski gelap. Awan sudah menipis dan bulan bersinar. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan ini. Ayo kita cari perahu..." Dan Petrus menyerukan tiga kali teriakan panjang, "Hei!"
Tidak ada jawaban.
"Ayo kita turun, sampai ke arungan. Melkia dan anak-anaknya pasti ada di sana. Ini adalah musim terbaiknya. Dia akan membawa kita menyeberang."
Mereka berjalan secepat mungkin di jalan kecil di sepanjang sungai, yang hampir menggenangi jalan.
"Tapi bukankah itu seorang perempuan?" kata Yesus melihat pada dua orang yang sudah menyeberangi sungai dengan menunggang kuda dan sekarang berdiri di jalan setapak.
"Seorang perempuan?" Petrus dan yang lain-lainnya tidak bisa melihat atau mengetahui apakah orang yang berpakaian gelap, yang sudah turun dan sekarang menunggu, adalah laki-laki atau perempuan.
"Ya. Seorang perempuan. Itu... Maria. Lihat sekarang dia berada di bawah sinar bulan."
"Kau beruntung bisa melihat. Terberkatilah mata-Mu!"
"Itu Maria. Apa yang dia inginkan?" dan Yesus berteriak, "Maria!"
"Rabuni! Apakah itu Engkau? Terpujilah Allah bahwa aku sudah menemukan-Mu!" dan Maria berlari segesit kijang menuju Yesus. Aku tidak tahu bagaimana dia tidak tersandung di jalan yang tidak rata. Dia melepaskan mantel tebalnya dan sekarang maju dengan kerudung dan mantel tipis yang diikatkan erat pada gaun gelapnya.
Ketika dia mencapai Yesus dia menjatuhkan diri di kaki-Nya tanpa mempedulikan lumpur. Dia terengah-engah, tapi bahagia. Dia mengulangi, "Kemuliaan bagi Allah yang membuatku menemukan-Mu!"
"Kenapa, Maria? Apa yang terjadi? Kau tidak di Betania?"
"Aku di Betania bersama BundaMu dan para perempuan, seperti yang Kau perintahkan kepada kami... Tapi aku datang untuk menemui-Mu... Lazarus tidak bisa datang, karena dia terlalu menderita... Jadi aku datang bersama seorang pelayan..."
"Kau berkeliaran, seorang diri, dengan seorang anak laki-laki dan dalam cuaca seperti ini?"
"Oh! Rabuni! Kau tidak akan mengatakan kepadaku bahwa Kau berpikir aku takut. Dulu aku tidak takut melakukan begitu banyak kejahatan... Sekarang aku tidak takut melakukan sesuatu yang baik."
"Jadi? Mengapa kau datang?"
"Untuk memberitahu-Mu untuk tidak menyeberang... Mereka menunggu-Mu di seberang untuk mencelakai-Mu... Aku tahu... Aku diberitahu oleh salah seorang Herodian yang dulu... yang dulu mencintaiku... Entah dia memberitahuku karena cinta, netral, atau karena kebencian, aku tidak tahu... Yang aku tahu, suatu hari lalu dia melihatku melewati gerbang dan dia berkata kepadaku: 'Kau Maria yang bodoh, apakah kau menunggu Guru-mu? Kau melakukan hal yang benar, karena ini akan menjadi yang terakhir kalinya, sesungguhnya begitu Dia menyeberangi sungai dan masuk ke Yudea, Dia akan ditangkap. Tataplah Dia baik-baik dan lalu larilah karena tidak bijaksana berada dekat-Nya sekarang…' Kemudian… Bisa Kau bayangkan betapa cemasnya aku… aku pergi bertanya-tanya… Kau tahu… Aku kenal banyak orang… dan bahkan meski mereka mengatakan aku gila atau kerasukan... mereka masih berbicara kepadaku... Dan aku mendapati bahwa informasi itu benar. Kemudian aku mengambil dua kuda dan aku datang kemari, tanpa mengatakan apa pun kepada BundaMu, agar Dia tidak khawatir... Kembalilah segera, Guru. Jika mereka tahu Kau ada di sini, di seberang Sungai Yordan, mereka akan datang ke sini. Herodes juga mencari-Mu... dan Kau terlalu dekat dengan Machaerus sekarang. Pergilah, demi belas kasihan, Guru!..."
"Jangan menangis, Maria..."
"Aku takut, Guru!"
"Apa! Kau takut? Tidak, kau sudah begitu berani hingga menyeberangi sungai dalam banjir di malam hari!..."
"Tapi itu adalah sungai, sedangkan mereka adalah manusia dan mereka adalah musuh-Mu dan mereka membenci-Mu... Aku takut kebencian mereka pada-Mu ... Karena aku mengasihi-Mu, Guru."
"Jangan takut. Mereka belum akan mendapatkan Aku. Saat-Ku belum tiba. Bahkan andai mereka menempatkan banyak formasi tentara di sepanjang jalan-jalan, mereka tidak akan bisa menangkap-Ku. Saat-Ku belum tiba. Tapi Aku akan melakukan seperti yang kau inginkan. Aku akan kembali..."
Yudas berbisik menggerutu dan Yesus menjawab, "Ya, Yudas. Persis seperti yang kau katakan. Tapi hanya bagian pertama kalimatmu saja. Aku mendengarkan Maria, tentu saja. Tetapi bukan karena dia seorang perempuan, seperti sindiranmu, tetapi karena dia adalah orang yang sudah paling banyak maju dalam kasih. Maria, pulanglah, selagi kau bisa. Aku akan kembali dan menyeberang... di manapun Aku bisa, dan Aku akan pergi ke Galilea. Datanglah bersama BundaKu dan para perempuan lain ke Kana, ke rumah Susana. Aku akan memberitahumu di sana apa yang harus dilakukan. Pergilah dalam damai dan kiranya kau diberkati. Tuhan sertamu."
Yesus menempatkan tangan-Nya di atas kepalanya dan memberkatinya. Maria meraih kedua tangan Yesus, menciumnya, berdiri dan lalu kembali. Yesus melihat dia pergi. Dia melihatnya mengambil mantel tebalnya dan mengenakannya; dia lalu tiba di kudanya, menungganginya dan pergi ke arungan dan menyeberang.
"Dan sekarang ayo kita pergi," Dia berkata. "Aku ingin membiarkanmu beristirahat, tapi Aku tidak bisa. Di benak-Ku, Aku memikirkan keselamatanmu, meski Yudas berpikir sebaliknya. Dan percayalah pada-Ku, jika kamu jatuh ke tangan musuh-musuh-Ku, itu akan lebih membahayakan kesehatanmu daripada air dan lumpur…"
Mereka semua menundukkan kepala sebab mereka mengerti celaan tersirat itu diberikan sebagai tanggapan atas percakapan mereka sebelumnya.
Mereka berjalan sepanjang malam dalam cuaca yang berubah-ubah, dalam hujan yang tak menentu, sebentar datang dan sebentar pergi. Saat fajar menyingsing, mereka mendapati bahwa mereka berada dekat sebuah dusun yang sangat miskin, rumah-rumahnya yang berlumpur ada dekat sungai. Sungai di sini sedikit lebih sempit daripada di arungan. Beberapa perahu sudah ditambatkan sampai ke rumah-rumah guna melindunginya dari banjir.
Petrus menyerukan teriakannya, "Hei!"
Seorang laki-laki tua yang kekar keluar dari sebuah gubuk. "Apa yang kau inginkan?"
"Perahu untuk menyeberang."
"Mustahil! Banjirnya terlalu berbahaya... Arusnya..."
"Hei, kau! Apa kau mengajariku? Aku seorang nelayan dari Galilea."
"Laut adalah lain hal... ini sungai... Aku tidak ingin kehilangan perahuku. Bagaimanapun... Aku hanya punya satu dan kau punya banyak."
"Kau pembohong! Apa kau mengatakan padaku bahwa kau hanya punya satu perahu?"
"Biarlah aku menjadi buta, jika aku berbohong, aku..."
"Berhati-hatilah, kau bisa benar-benar menjadi buta. Ini adalah Rabbi dari Galilea Yang memberikan penglihatan kepada orang-orang buta dan Yang bisa memuaskanmu dengan menjadikanmu buta..."
"Oh! Berbelas-kasihanlah! Rabbi! Ampuni aku, Rabuni!"
"Ya, Aku mengampunimu. Tapi jangan pernah berbohong. Allah mengasihi orang yang tulus hati. Kenapa kau katakan bahwa kau hanya punya satu perahu, padahal seluruh desa bisa membuktikan kebohonganmu? Berbohong dan ketahuan adalah hinaan yang sangat berat bagi manusia! Maukah kau memberi-Ku perahumu?"
"Semuanya, Guru."
"Berapa banyak yang kita butuhkan, Petrus?"
"Dalam kondisi normal, dua sudah cukup. Tetapi dengan sungai yang banjir, lebih sulit untuk mengendalikannya dan kita butuh tiga."
"Bawalah perahunya, nelayan. Tapi bagaimana aku akan mendapatkannya kembali?"
"Ikutlah di salah satu perahu. Apa kau tidak punya anak laki-laki?"
"Aku punya satu putra, dua menantu laki-laki, dan beberapa cucu."
"Dua di setiap perahu cukup untuk membawanya kembali."
"Ayo kita pergi."
Laki-laki itu memanggil yang lain-lainnya dan dengan bantuan Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes, mereka mendorong perahu-perahu itu masuk ke dalam air. Arusnya deras dan mengancam untuk menyeret perahu pergi. Tali-temali yang menambatkan perahu-perahu ke batang pohon terdekat tampak setegang busur dan berkeriat-keriut karena tekanannya. Petrus mengamati. Dia mengamati perahu-perahu, sungai dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dia mengacak-acak rambut abu-abunya dengan satu tangan dan melemparkan tatapan tanya ke arah Yesus.
"Apa kau takut, Petrus?"
"Yah!... Hampir..."
"Jangan takut. Milikilah iman. Dan kau juga, sobat. Dia yang membawa Allah dan para utusan-Nya janganlah takut. Ayo kita naik ke perahu. Aku akan masuk ke perahu pertama."
Pemilik perahu membuat isyarat pasrah. Dia tentu berpikir bahwa saat terakhir kerabatnya atau saat terakhirnya sudah tiba. Setidaknya dia tentunya takut kehilangan perahu-perahunya, atau berakhir tanpa seorang pun tahu di mana.
Yesus sudah dalam perahu. Dia berdiri di haluan. Semua yang lain masuk ke dalam perahu, sebagian di perahu yang sama, sebagian di dua perahu lainnya. Hanya seorang laki-laki tua yang tinggal di tepian, mungkin seorang pelayan, yang mengawasi tali-temali.
"Apa kita semua sudah siap?"
"Ya, siap."
"Apa dayungnya sudah siap?"
"Ya."
"Lepaskan talinya, kau, yang di tepian."
Laki-laki tua itu menguraikan tali-temali dari peniti kayu yang mengikatnya dalam satu simpul di batang pohon. Begitu bebas, perahu-perahu itu miring sejenak ke arah selatan ke pusat arus.
Namun kuasa mukjizat bersinar di wajah Yesus. Apa yang Dia katakan kepada sungai aku tidak tahu. Aku tahu bahwa arusnya nyaris berhenti. Sungai Yordan mengalir perlahan seperti tidak dalam keadaan banjir. Perahu-perahu itu melintasi air tanpa kesulitan, bukan, mereka meluncur begitu cepat sehingga pemiliknya tercengang.
Mereka sekarang berada di seberang. Mereka turun dari perahu dengan mudah dan arus tidak mengancam untuk menyeret perahu-perahu itu pergi bahkan ketika dayungnya tidak bergerak.
"Guru, aku melihat bahwa Engkau sungguh-sungguh berkuasa," kata pemilik perahu. "Berkatilah hamba-Mu dan ingatlah aku, orang berdosa."
"Mengapa berkuasa?"
"Eh! Itu bukan hal sepele! Engkau menghentikan arus Sungai Yordan yang banjir!..."
"Yosua sudah melakukan mukjizat itu, dan bahkan lebih besar, karena air sungai lenyap demi membiarkan Tabut lewat..."
"Dan kau, sobat, sudah membawa Tabut Allah yang sebenarnya", kata Yudas penuh percaya diri.
"Allah Yang Mahatinggi! Ya, aku percaya itu! Engkau adalah Mesias sejati! Putra Allah Yang Mahatinggi. Oh! Aku akan memberitahu kota-kota dan desa-desa di sepanjang sungai apa yang Engkau lakukan dan apa yang aku lihat! Kembalilah, Guru! Ada banyak orang sakit di desaku yang miskin. Datang dan sembuhkan mereka!"
"Aku akan datang. Sementara itu dalam Nama-Ku wartakan iman dan kekudusan agar bisa diterima Allah. Selamat tinggal, sobat. Pergilah dalam damai. Dan jangan takut akan kepulanganmu."
"Aku tidak takut. Jika aku takut, aku akan meminta-Mu untuk mengasihani hidupku. Tapi aku percaya pada-Mu dan kebaikan-Mu dan aku akan pergi tanpa meminta apa pun. Selamat tinggal."
Dia naik ke perahunya, dia berdiri dan pergi. Dia yakin akan dirinya dan segera tiba di tepian yang lain.
Yesus, Yang tetap diam sampai Dia melihatnya tiba di tepian lain sungai, memberi isyarat berkat. Dia lalu undur diri menuju jalanan.
Sungai kembali mengalir pada kisarannya... Dan semuanya berakhir demikian.
|
|
|