|
359. MAWAR YERIKHO.
14 Desember 1945
Dataran di tepi timur Sungai Yordan bagaikan danau karena hujan yang terus-menerus, terutama di mana Yesus dan para rasul baru saja berada. Mereka baru saja menyeberangi arus deras yang mengalir turun dari sebuah ngarai sempit di perbukitan dekat situ, yang tampaknya membentuk bendungan Cyclopean, dari utara ke selatan, di sepanjang Sungai Yordan, yang sesekali terputus oleh lembah-lembah sempit di mana arus-arus deras tak terhindarkan. Seakan-akan Allah telah menempatkan di sini serangkaian bukit, berbentuk seperti tepi kerang besar, sebagai kontur pada lembah Yordan yang besar. Akan aku katakan bahwa itu adalah tepi kerang yang agak monoton, karena proyeksi, aspek, dan jaraknya hampir sama. Kelompok apostolik berada di antara dua aliran air deras terakhir, yang telah meluap ke tepiannya dan dengan demikian menjadi lebih lebar, terutama bagian selatan, karena membawa massa air yang besar dari pegunungan dan menggemuruh dengan bergejolak ke arah Sungai Yordan. Orang juga dapat mendengar deru sungai, terutama di mana tikungan alaminya, yang akan aku katakan seperti penyempitan terus-menerus, atau pertemuan anak-anak sungai, menyebabkan halangan pada air. Nah, Yesus berada di segitiga yang terpotong bagian atasnya ini, yang dibentuk oleh tiga anak-anak sungai dalam banjir, dan bukanlah hal yang mudah bagi seseorang untuk mengangkat kaki dari rawa itu.
Gurauan para rasul lebih muram daripada cuaca. Dan itu mengungkapkan segalanya. Masing-masing mau menyatakan pendapatnya sendiri. Dan semua yang mereka katakan menyiratkan celaan, meski dinyatakan sebagai nasihat. Ini adalah momen dari kalimat-kalimat seperti, "Sudah aku katakan padamu," atau "Jika saja kau melakukan apa yang aku sarankan," dll. yang sangat menyebalkan siapa pun yang melakukan kesalahan dan sudah tertekan karena melakukannya.
Ada yang mengatakan, "Lebih baik menyeberangi sungai di daerah Pella dan lalu melanjutkan di sisi lain, yang tidak terlalu parah," atau "Kita seharusnya naik kereta! Kita ingin menjadi pintar, dan lalu...," dan ada yang berkomentar, "Andai kita tetap tinggal di pegunungan, tidak akan ada semua lumpur ini!"
Yohanes berkata, "Kamu adalah nabi dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Siapa yang sudah meramalkan semua hujan ini?"
"Ini adalah waktunya. Seharusnya sudah diramalkan," komentar Bartolomeus.
"Di tahun-tahun sebelumnya tidak seperti ini sebelum Paskah. Aku datang kepadamu dan Kidron sudah pasti tidak banjir dan tahun lalu kita mengalami musim kemarau. Kamu mengeluh, dan kamu sudah lupa betapa kita menderita kehausan di dataran Filistin!" kata Zelot.
"Eh! Tentu saja! Kedua orang bijak sudah berbicara dan mereka menentang kita!" kata Yudas Keriot ironis.
"Kau harusnya diam. Kau hanya pandai mengkritik. Tetapi pada saat yang tepat, ketika seseorang seharusnya berbicara kepada seorang Farisi atau sejenisnya, kau selalu diam, seolah-olah lidahmu terikat," Tadeus berkata berang kepadanya.
"Ya. Dia benar. Kenapa kau tidak menjawab sepatah kata pun kepada ketiga ular di desa terakhir? Kau tahu bahwa kita sudah pergi ke Giscala dan Meiron, bahwa kita bersikap penuh hormat dan bahwa Guru sendirilah Yang ingin pergi ke sana, sebab Dia menghormati para rabbi besar yang sudah wafat. Tapi kau tidak mengatakan apa pun! Kau tahu bagaimana Dia mengharapkan kita untuk menghormati Hukum dan para imam. Tapi kau tidak mengatakan sepatah kata pun! Tetapi sekarang kau berbicara, karena ada kesempatan untuk berbicara ironis tentang mereka yang terbaik di antara kita dan kau mengkritik apa yang dilakukan Guru," tegas Andreas, yang biasanya sabar, tetapi hari ini mudah marah.
"Diamlah! Yudas salah, dia yang adalah teman dari banyak, terlalu banyak orang Samaria..."
"Aku? Siapa mereka? Sebutkan namanya, jika kau bisa."
"Ya, sayangku! Semua orang Farisi, Saduki, dan orang-orang berkuasa yang pertemanannya denganmu sangat kau banggakan dan yang tentunya mengenalmu. Mereka tidak pernah menyapaku. Tapi mereka menyapamu!"
"Kau iri! Tapi aku salah seorang dari Bait Allah, kau bukan."
"Syukur kepada Allah, aku seorang nelayan. Ya, dan aku bangga akan hal itu."
"Nelayan yang begitu bodoh hingga kau bahkan tidak bisa meramalkan cuaca seperti ini."
"Tidak! Aku katakan: 'Jika bulan baru Nisan basah, orang bisa memperkirakan hujan deras,'" jawab Petrus.
"Ah! Kau tertangkap basah! Dan apa yang kau katakan, Yudas Alfeus ? Dan kau, Andreas? Juga Petrus, Kepala kita, mengkritik Guru!"
"Aku tidak mengkritik siapa pun. Aku mengutip sebuah pepatah."
"Yang adalah kritik dan celaan bagi siapa saja yang bisa mengertinya."
"Ya... tapi aku pikir itu tidak akan membantu mengeringkan tanah. Kita sekarang di sini dan kita akan harus tinggal di sini. Ayo kita simpan napas kita untuk menarik kaki kita dari rawa ini," kata Tomas.
Dan bagaimana dengan Yesus? Yesus membisu. Dia sedikit di depan yang lainnya, bergelimang lumpur, mencari tanah berumput yang muncul. Namun, meski mereka berkecipak air hingga setengah tulang kering, segera sesudah orang menginjaknya, seakan itu adalah gelembung dan bukan tanah berumput. Yesus diam dan membiarkan mereka berbicara, dengan tidak puas hati, bersikap seperti orang kebanyakan, tidak lebih dari itu, sedikit saja ketidaknyamanan membuat mereka jengkel dan mendongkol hati.
Sungai yang paling selatan sekarang sudah dekat, dan ketika Yesus melihat seorang laki-laki di atas punggung bagal lewat di tepian yang banjir, Dia bertanya kepadanya, "Di mana jembatannya?"
"Lebih jauh ke atas. Aku juga menyeberang ke sana. Jembatan yang satunya, yang lebih jauh ke bawah di lembah, jembatan Romawi itu, sudah terendam air."
Mereka semua menggerutu lagi... dalam paduan suara. Namun mereka bergegas untuk mengikuti orang yang berbicara kepada Yesus itu.
"Tetapi semestinya Kau tadi mengikuti jalan pegunungan," katanya. Dan dia mengakhiri, "Kembalilah ke dataran saat Kau menemukan sungai ketiga sesudah Yaloc. Maka Kau akan berada dekat arungan. Tapi cepatlah. Jangan berhenti. Karena sungai itu meluap setiap jam. Musim yang mengerikan! Pertama-tama beku, lalu hujan. Dan begitu deras! Itu adalah hukuman dari Allah. Tapi itu adalah adil! Ketika kita tidak merajam dengan batu para penghujat Hukum, maka Allah menghukum kita. Dan ada banyak mereka itu! Kau orang Galilea, ya kan? Jadi, Kau tahu Dia Yang dari Nazaret, Yang sekarang ditinggalkan oleh orang-orang baik karena Dia adalah penyebab semua masalah. Perkataan-Nya mendatangkan halilintar! Hukuman-hukuman yang seperti itu! Kau harus mendengar apa yang dikatakan mereka yang bersama-Nya tentang Dia. Kaum Farisi benar dalam menganiaya Dia. Dia pastilah seorang perampok ulung. Dan Dia pastilah menakut-nakuti orang seolah-olah Dia adalah Beelzebul. Aku ingin pergi dan mendengarkan Dia, karena sebelumnya mereka sangat memuji Dia. Tapi... ternyata adalah orang-orang dari geng-Nya yang berbicara seperti itu. Orang banyak tanpa ragu suka pada-Nya. Sekarang orang-orang baik meninggalkan Dia. Dan memang benar. Aku tidak akan melihat Dia lagi. Dan jika kebetulan aku bertemu dengan-Nya, aku akan melempari-Nya dengan batu, karena itu adalah tugas kita dalam berurusan dengan para penghujat."
"Rajam Aku, kalau begitu. Aku adalah Yesus dari Nazaret. Aku tidak akan melarikan diri, juga Aku tidak akan mengutukmu. Aku telah datang untuk menebus dunia dengan mencurahkan Darah-Ku. Aku disini. Kau boleh mengurbankan Aku, tetapi jadilah seorang benar."
Yesus berkata demikian dengan merentangkan tangan-Nya sedikit ke arah tanah, Dia berbicara dengan perlahan, lemah-lembut dan sedih. Namun, jika Dia mengutuk orang itu, Dia tidak akan membuatnya lebih terkesan; sesungguhnya dia menarik tali kekangnya dengan begitu tiba-tiba hingga bagalnya terpunting dan nyaris jatuh dari tanggul tercebur ke dalam sungai yang banjir. Yesus menangkap kekangnya dan menahan hewan itu, tepat pada waktunya, untuk menyelamatkan orang itu dan bagalnya.
Laki-laki itu tidak berbuat apa-apa selain mengulang-ulang,"Kau! Kau!..." dan melihat gerakan yang sudah menyelamatkannya, dia berteriak, "Tapi aku katakan pada-Mu bahwa aku akan merajam-Mu... Tidakkah Kau mengerti?"
"Dan Aku katakan pada-Mu bahwa Aku mengampuni-Mu dan bahwa Aku akan menderita untukmu juga, untuk menebusmu. Itulah Juruselamat."
Laki-laki itu menatap-Nya lagi, dia memacu bagalnya dan melarikan diri... Dia lari menjauh... Yesus menundukkan kepala-Nya...
Para rasul merasa perlu untuk melupakan lumpur, hujan dan semua kesengsaraan lainnya, guna menghibur-Nya. Mereka berkumpul sekeliling-Nya dan berkata, "Janganlah bersedih hati! Kita tidak butuh bandit. Dan itulah dia. Karena hanya orang jahat yang bisa percaya fitnah macam itu dan takut kepada-Mu."
"Tetapi," kata mereka juga, "betapa tidak bijaksananya Engkau, Guru! Dan jika dia mencelakai-Mu? Mengapa Kau katakan bahwa Engkau adalah Yesus dari Nazaret?"
"Karena itulah kebenarannya... Ayo kita pergi ke arah pegunungan seperti yang dia sarankan. Kita akan kehilangan satu hari, tetapi kamu akan keluar dari rawa."
"Dan Kau juga," sahut mereka.
"Oh! Itu bukan masalah bagi-Ku. Adalah rawa dari jiwa-jiwa yang mati yang menyedihkan-Ku," dan airmata mengaliri wajah-Nya.
"Janganlah menangis, Guru. Kami menggerutu, tetapi kami mengasihi-Mu. Jika kami bertemu dengan para pemfitnah-Mu, kami akan balas dendam kepada mereka."
"Kau harus mengampuni, seperti yang Aku lakukan. Tapi biarkan Aku menangis. Bagaimanapun, Aku adalah Sang Manusia! Dan menyedihkan hati-Ku dikhianati, disangkal, ditinggalkan!"
"Lihatlah kami, pikirkanlah kami. Kami sedikit, tapi baik. Tak seorang pun dari kami yang akan mengkhianati atau meninggalkan-Mu. Percayalah, Guru."
"Hal-hal tertentu bahkan tidak boleh disebutkan! Pikiran bahwa kami akan mengkhianati-Mu, merupakan penghinaan bagi jiwa kami!" seru Iskariot.
Namun Yesus tertekan. Airmata bisu perlahan mengaliri pipi pucat wajah tirus-Nya yang letih.
Mereka mendekati pegunungan. "Apakah kita akan naik ke sana atau menyusuri jalan kaki? Ada desa-desa di tengah perjalanan ke perbukitan. Lihat! Di kedua sisi sungai," mereka menunjuk kepada-Nya.
"Hari mulai gelap. Ayo kita coba tiba di suatu desa, desa mana pun." Yudas Tadeus, yang penglihatan matanya sangat bagus, mencermati sisi-sisi pegunungan. Dia mendekati Yesus dan berkata, "Barangkali diperlukan, ada celah-celah di pegunungan. Bisakah Kau melihatnya di sana? Kita bisa bernaung di dalamnya. Itu akan lebih baik daripada berkubang dalam lumpur."
"Kita akan menyalakan perapian," kata Andreas untuk menghibur semua orang.
"Apa? Dengan kayu basah?" tanya Yudas Keriot ironis.
Tidak ada yang menjawabnya. Petrus berbisik, "Aku memberkati Bapa Yang Kekal bahwa tidak ada baik perempuan maupun Marjiam bersama kita."
Mereka menyeberangi jembatan, yang sangat tua, di kaki lembah dan mereka menyusuri sisi selatannya, di jalur bagal, ke sebuah desa. Hari menjadi gelap dengan sangat cepat, sebegitu cepat hingga mereka memutuskan untuk berlindung di sebuah gua besar guna menghindari hujan deras. Gua ini mungkin digunakan sebagai tempat berteduh oleh para penggembala, karena ada jerami, tanah, dan perapian kasar.
"Tidak berguna sebagai alas tidur. Tapi untuk menyalakan perapian..." kata Tomas seraya menunjuk pada ranting-ranting kotor yang tersebar di tanah bersama dengan pakis kering dan ranting-ranting juniper dan tumbuhan sejenis. Dia menariknya dengan sebatang tongkat ke dekat perapian, dan begitu selesai membuat tumpukan ranting, dia menyalakannya.
Asap dan bau busuk muncul dari perapian bersama dengan bau damar dan juniper. Namun kehangatan perapian itu menyenangkan dan mereka semua membentuk setengah lingkaran sekelilingnya, menyantap roti dan keju dalam cahaya api yang berkedip-kedip.
"Sebetulnya kita bisa coba mencapai desa," kata Matius, yang serak dan menderita flu.
"Apa? Melalui kesusahan yang sama seperti tiga malam lalu? Tidak ada seorang pun yang akan menjauhkan kita dari sini. Kita akan duduk di gelondongan-gelondongan kayu di sana dan menjaga api tetap menyala selama kita bisa. Sekarang kita bisa melihat bahwa ada banyak kayu di sini! Lihat! Dan jerami! Ini adalah kandang domba, yang mereka gunakan di musim panas atau ketika mereka bermigrasi. Dan apa ini? Ini membawa kita kemana? Ambil satu ranting menyala, Andreas, sebab aku ingin melihatnya," kata Petrus, yang bergerak penuh rasa ingin tahu. Andreas patuh. Mereka menyelinap melalui suatu celah sempit di tembok gua.
"Pastikan tidak ada binatang buas yang tidak menyenangkan di sana!" teriak yang lain.
"Atau orang kusta," kata Tadeus.
Sesudah beberapa saat, suara Petrus bisa terdengar, "Ayo, masuklah ke sini. Di sini jauh lebih baik; bersih dan kering dan ada beberapa bangku kayu serta kayu bakar. Ini adalah istana bagi kita! Bawalah beberapa ranting yang menyala, supaya kita bisa segera menyalakan perapian."
Gua ini pastilah tempat bernaung bagi para gembala. Dan ini adalah gua di mana sebagian gembala tidur sementara yang lain berjaga mengawasi kawanan domba. Gua ini adalah sebuah galian di gunung, jauh lebih kecil dibandingkan yang lain, yang mungkin dibuat oleh manusia, atau setidaknya diperbesar dan diperkuat dengan tiang-tiang penyangga kubah gua. Sebuah cerobong asap desa yang sangat tua dibengkokkan dalam bentuk kait ke arah luar gua, untuk mengeluarkan asap, yang jika tidak, tidak akan memiliki jalan keluar. Bangku-bangku kasar dan jerami ditempatkan dekat tembok, di mana ada beberapa kait untuk menggantung lampu, pakaian atau tas kain.
"Sungguh indah! Mari kita buat perapian besar! Kita akan merasa hangat dan mantol kita akan kering. Berikan aku ikat pinggangmu: kita akan menggabungkannya dan menggunakannya untuk menggantung mantol kita," kata Petrus, seraya memilah bangku-bangku dan jerami. Dan dia mengakhiri, "Dan sekarang kita akan tidur dan secara bergantian menjaga api tetap menyala, supaya kita punya cahaya dan merasa hangat. Betapa anugerah dari Allah!"
Yudas menggerutu. Petrus berbalik dengan berang. "Ini adalah istana kerajaan, dibandingkan grotto di Betlehem, tempat Tuhan dilahirkan. Jika Dia dilahirkan di sana, kita bisa bermalam di sini."
"Dan ini juga lebih indah dibandingkan grotto-grotto di Arbela. Tidak ada yang indah di sana, kecuali hati kita, yang lebih lembut saat itu," kata Yohanes dan dia tenggelam dalam kenangan mistisnya.
"Dan ini juga jauh lebih baik daripada grotto di mana Guru tinggal untuk mempersiapkan Diri-Nya untuk mengemban jabatan seorang pengkhotbah," kata Zelot dengan serius, seraya memandang pada Iskariot seolah-olah dia ingin menyuruhnya diam.
Yesus adalah yang terakhir berbicara, "Dan ini jauh lebih hangat dan lebih nyaman dibandingkan grotto di mana Aku melakukan penitensi bagimu, Yudas anak Simon, di bulan Tebet ini."
"Penitensi untukku? Kenapa? Itu tidak perlu!"
"Sungguh, kau dan Aku harus menghabiskan hidup kita dalam penitensi guna membebaskanmu dari apa yang terlalu membebanimu. Dan tetap saja... itu tidak akan cukup."
Kalimat itu, yang diucapkan dengan tenang namun mantap, terdengar bagai petir yang menyambar bagi kelompok yang terpana itu... Yudas menundukkan kepalanya dan mundur ke sudut. Dia tidak berani bereaksi.
"Aku akan tetap berjaga dan menjaga api. Kamu bisa tidur," perintah Yesus sesudah beberapa saat.
Dan tak lama kemudian, suara napas berat dari Keduabelas Rasul yang letih, yang berbaring di bangku-bangku di antara jerami, terdengar berbaur dengan suara derak perapian. Dan ketika jerami terjatuh dari tubuh seseorang, sehingga tubuhnya tersingkap, Yesus bangkit dan menyelimutinya kembali dengan kasih sayang seorang ibu. Dan Dia menangis sementara mengontemplasikan wajah dari sebagian rasul-Nya yang sedang tidur, sebagian terlihat tenang, sebagian khawatir. Dia melihat ke Iskariot, yang terlihat menyeringai bahkan dalam tidurnya, dengan wajah suram dan tinju terkepal... Dia melihat Yohanes yang tidur dengan satu tangan di bawah pipinya, sementara wajahnya yang kemerahan tertutup oleh rambut pirangnya, dan dia tampak sedamai kanak-kanak dalam buaian. Dia menatap wajah jujur Petrus, wajah serius Natanael, wajah Zelot yang bopeng, dan wajah aristokratis sepupu-Nya, Yudas. Dan Dia mengkontemplasikan untuk waktu yang lama wajah Yakobus Alfeus yang amat serupa dengan Yosef dari Nazaret yang masih sangat muda. Dia tersenyum saat mendengar monolog Tomas dan Andreas, yang tampaknya berbicara tentang Guru. Dia dengan hati-hati menyelimuti Matius yang bernapas dengan susah payah, dan Dia mengumpulkan lebih banyak jerami untuk menutupi kakinya, sesudah menghangatkan jerami dekat api. Dia tersenyum mendengar Yakobus memaklumkan, "Percayalah pada Guru dan kamu akan memiliki Hidup"... dan terus berbicara kepada orang-orang dalam mimpinya. Dan Dia membungkuk untuk mengambil tas kain di mana Filipus menyimpan suvenir-suvenir tersayang, dan meletakkannya dengan lembut di bawah kepalanya. Dan dalam jeda ini Dia bermeditasi dan berdoa...
Zelot adalah yang pertama bangun. Dia melihat Yesus dekat perapian di groto yang hangat dan menyenangkan. Dan dari tumpukan kayu yang nyaris tak tersisa, dia mengerti bahwa berjam-jam sudah berlalu. Dia bangkit dari tempat tidur jeraminya dan mendekati Guru dengan berjinjit.
"Guru, apakah Kau tidak akan tidur? Aku akan berjaga."
"Ini sudah fajar, Simon. Aku di luar sana beberapa waktu yang lalu dan Aku melihat langit sudah mulai terang."
"Mengapa Kau tidak membangunkan kami? Kau juga lelah!"
"Oh! Simon! Aku perlu berpikir... dan berdoa sangat banyak," dan Dia menyandarkan kepala-Nya pada dada sang rasul.
Zelot, yang berdiri dekat Guru, Yang duduk, membelai-Nya dan mendesah. Dia bertanya, "Memikirkan apa, Guru? Kau tidak perlu berpikir, karena Kau tahu segalanya."
"Aku tidak perlu memikirkan apa yang harus Aku katakan, tetapi Aku harus memikirkan apa yang harus Aku lakukan. Aku tak berdaya melawan dunia yang cerdik ini, karena Aku tidak memiliki kejahatan dunia ataupun kelicikan Setan. Dan dunia mengalahkan-Ku... Dan Aku sangat lelah..."
"Dan sangat menderita. Dan kami ikut menambah dukacita-Mu, Guru terkasih. Kami tidak pantas bagi-Mu. Ampunilah aku dan rekan-rekanku, aku mohon pada-Mu atas nama semua orang."
"Aku sangat mengasihimu... Aku sangat menderita... Mengapa kamu begitu sering tidak mengerti Aku?"
Bisik-bisik mereka membangunkan Yohanes, yang paling dekat dengan mereka. Dia membuka mata birunya, melihat sekeliling dengan tercengang, dia kemudian ingat dan segera bangun, dan dia datang di belakang dua orang yang sedang bercakap-cakap. Dia mendengar perkataan Yesus, "Kasihmu dan pengertianmu akan cukup untuk membuat semua kebencian dan kesalahpahaman ini menjadi hal yang sepele, yang bisa dengan mudah Aku tanggung... Sebaliknya, kamu tidak mengerti... Dan itulah siksaan pertama-Ku. Dan yang teramat berat! Tapi itu bukan salahmu... Kamu manusia... Kamu akan menyesal karena tidak mengerti Aku, ketika kamu tidak lagi bisa menebusnya... Dan karena kamu saat itu akan menyilih kedangkalan, kepicikan, dan kebodohanmu saat ini, maka Aku mengampunimu dan Aku berkata sebelum waktunya, 'Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat dan tidak tahu duka yang mereka akibatkan kepada-Ku.'"
Yohanes jatuh berlutut, dia memeluk kedua lutut Yesus yang berduka dan nyaris meledak dalam tangis ketika dia berbisik, "Oh! Guru-ku!"
Zelot, yang pada dadanya kepala Yesus masih beristirahat, membungkuk untuk mencium rambut-Nya seraya berkata, "Meski begitu kami sangat mengasihi-Mu! Tetapi kami mengharapkan dalam diri-Mu kemampuan untuk membela Diri-Mu dan kami, dan untuk menang. Sungguh mengecilkan hati melihat bahwa Kau adalah seorang manusia, tunduk pada manusia, tunduk pada cuaca buruk, kesengsaraan, kejahatan, kebutuhan-kebutuhan hidup... Kami bodoh. Tapi demikianlah adanya. Sejauh menyangkut kami, Kau adalah Raja, Sang Pemenang, Allah. Kami gagal memahami penyangkalan diri-Mu yang mahaluhur atas semua itu demi kami. Karena hanya Kau yang bisa mengasihi. Kami tidak..."
"Ya, Guru. Simon benar. Kami tidak dapat mengasihi seperti Allah mengasihi: seperti Engkau mengasihi. Dan kami menyalahartikan apa yang adalah kebaikan yang tak terbatas dan kasih yang tak terbatas sebagai kelemahan, dan kami memanfaatkannya... Tambahlah kasih kami, tambahlah kasih-Mu, dan karena Kau adalah sumbernya, biarkan kasih itu meluap, seperti sungai-sungai yang sekarang meluap, merendam kami di dalamnya, mengenyangkan kami dengannya, seperti padang-padang rumput di sepanjang lembah. Tidak ada kebijaksanaan, tidak ada nilai atau laku tapa yang keras yang diperlukan untuk menjadi sempurna seperti yang Kau inginkan dari kami. Kasih saja sudah cukup... Tuhan, dan aku mengaku, juga atas nama semua orang, bahwa kami tidak tahu bagaimana mengasihi."
"Kamu berdua, yang lebih mengerti Aku, mendakwa dirimu sendiri. Kamu adalah kerendahan hati. Tapi kerendahan hati adalah kasih. Hanya sehelai tabir yang menghalangi yang lainnya menjadi sepertimu. Dan Aku akan mengoyakkannya. Karena Aku adalah Raja, Pemenang dan Allah selamanya. Tapi sekarang Aku adalah Sang Manusia. Dahi-Ku sudah terbebani di bawah siksaan mahkota-Ku, yang selalu menjadi mahkota yang menyiksa untuk menjadi Sang Manusia... Terima kasih, sahabat-sahabat-Ku. Kamu telah menghibur Aku. Karena inilah keuntungan menjadi manusia: memiliki ibu yang mengasihi dan sahabat-sahabat yang setia. Ayo kita bangunkan teman-teman kita. Hari tidak lagi hujan. Mantol kita sudah kering dan tubuh kita sudah cukup istirahat. Kamu bisa makan dan lalu, ayo kita pergi."
Dia melantangkan suara-Nya perlahan-lahan sampai perkataan, "ayo kita pergi" menjadi suatu perintah yang pasti. Mereka semua bangun dan menyesal sudah tidur sepanjang waktu sementara Yesus berjaga. Mereka merapikan diri, menyantap makanan, mengambil mantol mereka, memadamkan api, dan pergi ke luar ke jalan yang basah, dan mulai turun ke jalur bagal yang mengikuti lereng bukit dan bukan rawa karena kecuramannya. Terang masih samar karena langit mendung dan tidak ada matahari. Namun, itu sudah cukup membuat orang bisa melihat.
Andreas dan kedua putra Alfeus berjalan di depan mereka semua. Pada suatu saat tertentu mereka terhenti, mereka mengamati, dan berlari kembali. "Ada seorang perempuan. Dia sepertinya sudah mati! Dia menghalangi jalan."
"Oh! Masalah apa ini! Suatu awal yang buruk. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita harus mentahirkan diri kita!" Ini adalah gerutuan pertama hari ini.
"Ayo kita pergi dan lihat apakah dia sudah mati," kata Tomas kepada Yudas Iskariot.
"Aku sudah pasti tidak mau pergi," jawab Iskariot.
"Aku akan menemanimu, Tom," kata Zelot dan dia pergi mendahului. Mereka mendekati perempuan itu, lalu membungkuk, dan Tomas berlari kembali sembari berteriak.
"Dia mungkin dibunuh," kata Yakobus Zebedeus.
"Atau dia mati kedinginan," jawab Filipus.
Tetapi Tomas datang menggabungkan diri kembali dengan mereka dan berseru, "Dia mengenakan pakaian penderita kusta yang compang-camping..." dan Tomas sangat ketakutan hingga tampak seolah sudah melihat hantu.
"Tapi apakah dia sudah mati?" mereka bertanya padanya.
"Siapa yang tahu? Aku lari..."
Zelot bangkit berdiri dan segera datang ke arah Yesus. Dia berkata, "Guru, seorang saudari penderita kusta. Aku tidak tahu apakah dia sudah mati. Aku pikir belum. Jantungnya sepertinya masih berdetak."
"Apakah kau menyentuhnya?!" teriak banyak dari mereka sembari pergi menjauh.
"Ya. Aku tidak takut kusta sejak aku bersama Yesus. Dan aku merasa iba padanya karena aku tahu rasanya menjadi seorang penderita kusta. Mungkin perempuan malang itu dipukul, karena kepalanya berdarah. Mungkin dia turun ke sini untuk mencari makanan. Sungguh mengerikan, kamu tahu, mati kelaparan dan harus berkelahi dengan manusia untuk mendapatkan sedikit makanan."
"Apakah dia sudah lari ke bawah?"
"Tidak, dan aku tidak tahu mengapa dia terbilang di antara penderita kusta. Dia tidak punya koreng, atau borok, atau gangren. Mungkin dia belum lama berada di sini. Ayo, Guru, tolonglah. Kasihanilah saudari penderita kusta seperti Kau dulu berbelas-kasihan kepadaku!"
"Ayo kita pergi. Beri Aku sedikit roti, keju, dan anggur yang masih tersisa."
"Kau tidak akan membiarkannya minum dari tempat minum kita!" teriak Iskariot dilanda teror.
"Jangan takut. Dia akan minum dari tangan-Ku. Ayo, Simon."
Mereka pergi... tapi rasa ingin tahu mendorong yang lain untuk mengikuti mereka. Tanpa merasa terganggu oleh air di dedaunan dan yang jatuh menetes di kepala mereka dari cabang-cabang yang terguncang, dan tanpa memikirkan lumut yang basah, mereka mendaki lereng bukit untuk melihat tanpa berada dekat perempuan itu. Dan mereka melihat Yesus membungkuk, menyangga ketiaknya dan membuatnya duduk bersandar pada sebuah batu. Kepalanya terkulai, seolah-olah dia sudah mati.
"Simon, tegakkan kepalanya supaya Aku bisa menuangkan sedikit anggur ke dalam mulutnya."
Zelot taat tanpa rasa takut dan Yesus, dengan memegang kantong minum tinggi-tinggi membiarkan beberapa tetes anggur jatuh di antara bibir pucatnya yang setengah terbuka. Dan Dia berkata, "Perempuan malang ini beku! Dan dia basah kuyup."
"Jika dia bukan seorang kusta, kita bisa membawanya ke tempat kita tadi berada," kata Andreas yang sangat tersentuh hatinya.
"Itu akan menjadi akhir kita juga!" seru Yudas.
"Tetapi jika dia bukan seorang kusta! Tidak ada tanda-tanda kusta padanya."
"Pakaiannya. Dan itu sudah cukup."
Sementara itu anggur mulai berdampak. Perempuan itu menghela napas lelah. Yesus menuangkan sedikit lagi anggur ke dalam mulutnya dengan memastikan bahwa dia menelannya. Perempuan itu membuka matanya yang redup ketakutan. Dia melihat para lelaki.
Dia mencoba untuk berdiri dan melarikan diri seraya berteriak, "Aku terinfeksi kusta!" Namun kekuatannya tidak mendukungnya. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sembari mengerang, "Jangan lempari aku dengan batu! Aku turun karena aku lapar... Tidak ada yang melemparkan apa pun kepadaku selama tiga hari..."
"Ada roti dan keju di sini. Makanlah. Jangan takut. Minumlah sedikit anggur dari tangan-Ku," kata Yesus seraya menuangkan anggur ke dalam cekungan tangan-Nya dan memberikannya kepadanya.
"Tapi apakah Kau tidak takut?" kata perempuan malang yang tercengang itu.
"Aku tidak takut," jawab Yesus. Dan Dia tersenyum seraya berdiri, tetapi Dia tetap berada dekat perempuan yang makan roti dan keju dengan lahap. Dia kelihatan seperti binatang yang kelaparan. Dia terengah-engah dalam kerakusannya mengisi perutnya.
Kemudian, setelah dia memuaskan rasa lapar yang menggerogoti perutnya yang kosong, dia melihat sekeliling... Dia menghitung dengan suara keras, "Satu... dua... tiga... tigabelas... Jadi? Oh! Siapakah yang adalah Orang Nazaret itu? Kau, bukan? Hanya Kau seorang yang bisa iba kepada penderita kusta yang malang..." Perempuan itu berlutut dengan susah payah karena tubuhnya yang lemah.
"Ya, benar. Apa yang kau inginkan? Disembuhkan?"
"Juga itu… Tapi aku harus memberitahu-Mu sesuatu terlebih dahulu... Aku tahu tentang-Mu. Beberapa orang yang lewat memberitahuku beberapa waktu yang lalu... Sudah lama sekali? Belum. Saat itu musim gugur. Tapi bagi seorang kusta... satu hari adalah satu tahun... Aku ingin bertemu dengan-Mu. Tetapi bagaimana aku bisa datang ke Yudea, ke Galilea? Mereka menyebutku 'si perempuan kusta.' Tetapi aku hanya punya satu borok di payudaraku dan aku mendapatkannya dari suamiku, yang menikahiku ketika aku masih seorang perawan dan sehat, tetapi dia tidak sehat. Tapi dia adalah seorang yang berkuasa... dan bisa melakukan apa saja, bahkan mengatakan bahwa aku sudah mengkhianatinya karena aku sakit saat menikah dengannya. Dengan demikian dia tidak mau mengakuiku supaya bisa mengambil perempuan lain kepada siapa dia jatuh cinta. Dia memaklumkanku sebagai seorang kusta dan karena aku berusaha menyatakan diri tak bersalah, aku dilempari batu. Apakah itu adil, Tuhan? Kemarin sore seorang laki-laki melewati Bethjabbok dan mengatakan bahwa Engkau akan datang dan bahwa dia datang untuk menghalau-Mu. Aku ada di sana... Aku turun sampai ke rumah-rumah karena aku lapar. Aku akan mengais-ngais di antara kotoran hewan untuk menemukan sesuatu untuk dimakan... Aku, yang dulunya adalah 'nyonya', akan mencoba mengambil sedikit pakan ayam..."
Dia menangis... Kemudian dia melanjutkan, "Kecemasanku untuk menemukan-Mu, untuk berkata demi Engkau: 'Pergilah!' dan demi aku: 'Kasihanilah aku!', membuatku lupa bahwa, bertentangan dengan hukum kita, anjing, babi, dan unggas diperbolehkan tinggal dekat rumah di Israel, tetapi seorang kusta tidak bisa turun untuk meminta roti, bahkan meski seorang perempuan adalah penderita kusta hanya karena nama. Dan aku turun, menanyakan di mana Engkau berada. Karena aku berada di tempat teduh mereka tidak segera melihatku dan mereka berkata kepadaku: 'Dia datang di sepanjang tanggul sungai.' Kemudian mereka melihatku dan mereka memberiku batu bukannya roti. Aku melarikan diri di malam hari untuk datang dan bertemu dengan-Mu dan untuk meloloskan diri dari para penjahat. Aku lapar, kedinginan, dan takut. Aku jatuh di tempat Kau menemukanku. Tepat di sini. Aku pikir aku akan mati. Sebaliknya, aku menemukan-Mu. Tuhan, aku bukan seorang kusta. Tapi borok di payudaraku ini mencegahku untuk kembali di antara yang hidup. Aku tidak minta untuk sekali lagi menjadi Mawar Yerikho seperti di masa ayahku, tetapi setidaknya untuk diizinkan hidup di antara manusia dan mengikuti-Mu. Mereka yang berbicara kepadaku pada bulan Oktober mengatakan bahwa ada pada-Mu murid-murid perempuan dan bahwa Kau bersama mereka... Tapi pertama-tama selamatkan hidup-Mu sendiri. Jangan mati, Engkau sangat baik!"
"Aku tidak akan mati sampai saat-Ku tiba. Pergilah ke sana, ke batu itu. Ada gua yang aman di sana. Beristirahatlah dan kemudian pergilah kepada imam."
"Kenapa, Tuhan?" tanya perempuan itu gemetar karena cemas.
Yesus tersenyum, "Untuk sekali lagi menjadi Mawar Yerikho yang mekar di padang gurun dan yang selalu hidup, bahkan ketika tampaknya mati. Imanmu menyembuhkanmu."
Perempuan itu setengah membuka gaunnya di atas dada, dia melihat dan berseru, "Tidak ada apa-apa sekarang! Oh! Tuhan, Tuhan-ku!" dan dia prostratio di tanah.
"Berilah dia roti dan makanan. Dan kau, Matius, berikan padanya sepasang sandalmu. Aku akan memberinya mantol. Lalu dia akan bisa pergi kepada imam, sesudah dia membasuh diri. Beri dia juga persembahan untuk pentahiran, Yudas. Kita akan menunggunya di Getsemani untuk memberikannya kepada Eliza, yang meminta-Ku untuk memberinya seorang putri."
"Tidak, Tuhan, aku tidak ingin beristirahat. Aku akan pergi segera, secepat mungkin."
"Kalau begitu, turunlah ke sungai. Basuh dirimu dan kenakan mantolnya..."
"Tuhan, aku akan memberikan mantol untuk saudari kustaku. Biarkan aku melakukannya dan aku akan menghantarnya kepada Eliza. Aku akan sembuh untuk kedua kalinya karena aku akan melihat diriku sendiri dalam dirinya dan begitu bahagia," kata Zelot.
"Lakukan apa yang kau kehendaki. Berikan apa yang dibutuhkannya. Perempuan, dengarkan Aku baik-baik. Kau akan pergi dan ditahirkan, kemudian kau akan pergi ke Betania dan kau akan mencari Lazarus, dan kau akan memintanya untuk memberimu tumpangan sampai Aku datang. Pergilah dalam damai."
"Tuhan! Bilakah aku bisa mencium kaki-Mu?"
"Segera. Pergilah. Tetapi kau harus tahu bahwa hanya dosa yang membuat-Ku jijik. Dan ampunilah suamimu, karena melalui dia, kau menemukan-Ku."
"Itu benar. Aku mengampuninya. Aku pergi... Oh! Tuhan! Janganlah berhenti di sini di mana mereka membenci-Mu. Ingatlah bahwa aku berjalan sepanjang malam, meski aku kelelahan, demi datang dan memberitahu-Mu, dan andai aku bertemu orang-orang lain dan bukannya bertemu dengan-Mu, aku pasti sudah dilempari batu seperti ular."
"Aku akan mengingatnya. Pergilah, perempuan. Bakar pakaianmu. Pergilah bersamanya, Simon. Kami akan mengikutimu dan akan bergabung denganmu di jembatan."
Mereka berpisah.
"Sekarang kita semua harus mentahirkan diri. Kita semua najis."
"Itu bukan kusta, Yudas anak Simon. Aku bisa memastikanmu."
"Baiklah, tapi aku akan mentahirkan diri. Aku tidak ingin kenajisan ada padaku."
"Betapa bunga lily yang seputih salju!" seru Petrus. " Jika Tuhan tidak merasa najis, bagaimana kau bisa merasa begitu?"
"Karena seorang perempuan yang Tuhan katakan bukan seorang kusta? Tapi ada apa dengannya, Guru? Apakah Kau melihat boroknya?"
"Ya. Buah dari kemesuman laki-laki. Tapi itu bukan kusta. Dan andai laki-laki itu jujur, dia tidak akan menolaknya, karena dia lebih terinfeksi oleh penyakit itu daripada si perempuan. Tetapi orang-orang mesum memanfaatkan segalanya demi memuaskan kecabulan mereka. Yudas, jika kau mau, kau bisa pergi. Kita akan bertemu di Getsemani. Dan tahirkan dirimu! Tapi pentahiran yang utama adalah ketulusan hati. Kau seorang munafik. Ingat itu. Tapi kau bisa pergi."
"Tidak, aku akan tinggal. Jika Kau berkata demikian, aku percaya pada-Mu. Jadi aku tidak najis dan aku akan tinggal bersama-Mu. Maksud-Mu, aku mesum dan aku memanfaatkan situasi untuk... Sekarang aku akan buktikan bahwa Engkau-lah kasihku."
Mereka pergi dengan cepat menuruni bukit.
15 Desember
Yesus berkata:
"Kau akan menempatkan di sini penglihatan 'Mukjizat di Sungai Yordan Saat Air Bah', yang kau dapatkan pada tanggal 17 September 1944."
|
|
|