|
358. DI RUMAH MATIAS DI LUAR YABESY-GILEAD.
13 Desember 1945
Lembah berhutan lebat di mana Yabesy-Gilead terletak bergema dengan suara aliran kecil air yang meluap, yang berbusa-busa mengalir menuju Yordan di dekatnya. Senja yang temaram dan hari yang suram membuat pemandangan hutan dan desa semakin terlihat muram dan tidak ramah pada pandangan pertama.
Tomas, yang selalu suka bercanda, meskipun pakaiannya sebasah seperti seolah baru saja diangkat dari bak cuci dan dia berlumuran lumpur dari kepala hingga kaki, berkata, "Hmm! Aku tidak ingin desa ini membalaskan dendamnya pada kita atas kejutan tidak menyenangkan yang mereka terima dari Israel. Baiklah, ayo kita pergi dan menderita bagi Tuhan."
Orang-orang tidak membunuh mereka, itu benar, tetapi di mana-mana orang mengusir pergi para rasul dengan menyebut mereka pencuri dan julukan-julukan lain yang lebih buruk, dan Filipus dan Matius harus berlari tunggang langgang untuk menghindari seekor anjing besar yang disiapkan seorang gembala bagi mereka, ketika mereka mengetuk pintu kandang dombanya, meminta naungan untuk bermalam "setidaknya di bawah naungan kandang domba".
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kita tidak punya roti."
"Dan tidak punya uang. Dan tanpa uang orang tidak bisa mendapatkan roti dan penginapan."
"Dan kita basah kuyup, beku dan kelaparan."
"Dan hari mulai gelap. Kita akan menjadi pemandangan yang indah besok pagi, sesudah semalaman di hutan."
Tujuh dari Keduabelas menggerutu secara terbuka, tiga jelas tidak puas, bahkan meski mereka tidak mengatakannya. Simon Zelot melanjutkan perjalanan dengan kepala tertunduk dan ekspresi wajahnya tidak terbaca. Yohanes merasa sangat tidak nyaman dan dengan wajah sedih dia melirik ke arah Yesus dan orang-orang yang menggerutu secara bergantian. Yesus terus pergi secara pribadi untuk mengetuk dari pintu ke pintu, sebab para rasul menolak untuk melakukannya, atau mereka melakukannya dengan ketakutan, dan Dia dengan sabar berjalan di sepanjang jalan-jalan kecil, yang sudah menjadi rawa-rawa kotor yang licin. Namun, di mana-mana Dia mendapatkan penolakan.
Mereka berada di ujung desa, di mana lembah melebar di padang-padang rumput dataran Trans-Yordan. Masih ada beberapa rumah lagi... dan tiap-tiapnya mengecewakan...
"Ayo kita lihat di padang. Yohanes, bisakah kau panjat pohon elm itu? Dari atasnya kau akan bisa melihat."
"Ya, Tuhan-ku."
"Pohon elmnya licin karena hujan. Dia tidak akan bisa memanjatnya dan dia akan terjatuh. Dan dengan begitu kita akan punya rekan yang terluka juga," gerutu Peter.
Dan Yesus menjawab dengan lemah lembut, "Aku yang akan memanjatnya, kalau begitu."
"Tentu saja tidak!" mereka berteriak dalam paduan suara. Dan para nelayan berteriak lebih lantang dari yang lain, dengan menambahkan, "Jika itu berbahaya bagi kami para nelayan, apa yang Kau harap lakukan jika Kau tidak pernah memanjat tiang atau tali?"
"Aku akan melakukannya demi kamu, untuk mendapatkan tempat bernaung bagimu. Aku tidak keberatan, bukan hujan yang menjadi masalah-Ku..." Betapa sedihnya! Sungguh suatu seruan menyedihkan untuk memohon pengertian penuh kasih dalam suara-Nya!
Sebagian mendengarkan dan terdiam. Bartolomeus dan Matius berkata, "Sekarang sudah terlambat untuk melakukan sesuatu. Keputusan seharusnya diambil lebih awal."
"Tentu saja! Dan tidak seturut dorongan hati yang tiba-tiba, dengan memutuskan untuk berangkat dari Pella, ketika hari sudah hujan. Engkau keras kepala dan tidak bijaksana dan sekarang kita semua yang membayar untuk itu. Apa yang dapat Kau lakukan sekarang? Andai dompet kita penuh, semua rumah akan terbuka untuk kita! Tapi Kau!... Mengapa Kau tidak mengerjakan mukjizat, setidaknya satu mukjizat saja untuk para rasul-Mu, karena Kau mengerjakan mukjizat bahkan untuk orang-orang yang tidak pantas?" kata Yudas Keriot, dengan menggerak-gerakkan tangannya seperti orang gila; dia begitu agresif hingga yang lain-lainnya, meskipun mereka kurang lebih setuju dengannya, merasa perlu untuk memperingatkannya untuk menghormati Guru.
Yesus sudah seperti Si Terhukum yang dengan lemah lembut menatap para algojo-Nya. Dan Dia diam. Kebisuan ini, yang untuk beberapa waktu lamanya menjadi semakin sering dalam diri Yesus, memberi tanda terlebih dahulu akan "kebisuan agung"-Nya di hadapan Mahkamah Agama, Pilatus dan Herodes, membuatku merasa sangat iba kepada-Nya. Itu mengingatkanku akan jeda hening dalam arti orang yang sekarat, yang bukan karena meredanya rasa sakit, tetapi merupakan prelude kematian. Kebisuan Yesus tampaknya berbicara jauh lebih fasih daripada perkataan, karena mengekspresikan semua duka-Nya atas kurangnya pengertian dan kasih manusia. Dan karena kelemah-lembutan-Nya yang tidak bereaksi dan postur kepala-Nya yang tertunduk, Dia tampak seolah-olah sudah dibelenggu dan diserahkan kepada kebencian manusia.
"Mengapa Kau tidak berbicara?" mereka bertanya kepada-Nya.
"Karena Aku akan mengucapkan kata-kata yang tidak akan dimengerti hatimu sekarang... Ayo kita pergi. Kita akan berjalan supaya tidak membeku... Dan maafkan Aku..."
Dia berbalik cepat, memimpin kelompok, sementara sebagian anggotanya iba pada-Nya, sebagian menuduh-Nya, sebagian menentang rekan mereka.
Yohanes tetap berjalan perlahan-lahan di belakang, sengaja menghindari perhatian siapa pun. Dia kemudian pergi menuju ke sebuah pohon yang sangat tinggi, pohon poplar, aku pikir, atau pohon ash, dan sesudah menanggalkan mantel dan jubahnya, dia mulai memanjatnya, dengan setengah telanjang, dengan susah payah, hingga cabang-cabang pertama memudahkannya memanjat. Dia memanjat setangkas kucing. Kadang-kadang dia terpeleset, tetapi segera dia menenangkan diri dan hampir mencapai puncak. Dia mengamati cakrawala dalam cahaya terakhir hari itu, yang lebih terang di sini di dataran terbuka, daripada di lembah, juga karena awan-awan gelap sudah menipis. Dia mengamati dengan saksama ke segala penjuru dan akhirnya dia membuat isyarat kegembiraan. Dia meluncur ke tanah dengan sangat cepat, mengenakan pakaiannya dan mulai berlari. Dia mencapai teman-temannya, mendahului mereka dan segera berada di samping Guru. Dengan terengah-engah karena upaya memanjat dan berlari, dia berkata, "Ada sebuah gubuk, Tuhan... sebuah gubuk di sebelah timur... Tapi kita harus kembali... Aku memanjat pohon... Ayo..."
"Aku akan pergi bersama Yohanes lewat sini. Jika kamu ingin ikut, ikutlah, jika tidak, pergilah sampai desa berikutnya di sungai. Kita akan bertemu di sana," kata Yesus dengan serius dan tegas.
Basah oleh hujan, mereka semua mengikuti-Nya melalui padang-padang.
"Tapi kita kembali ke Yabesy!"
"Aku tidak melihat satu rumah pun...," "Aku ingin tahu apa yang dilihat bocah itu!"
"Mungkin gudang."
"Atau gubuk penderita kusta."
"Kita akan basah kuyup. Padang-padang ini seperti spons," gerutu para rasul.
Tapi bukan gudang atau gubuk penderita kusta yang muncul di balik sekelompok pohon. Itu adalah gubuk, gubuk besar yang rendah seperti kandang domba papa, setengah dari atapnya jerami dan dinding lumpur hampir tidak dapat menyangga keempat pilar yang terbuat dari batu kasar. Sebuah halaman berpagar ada di sekeliling gubuk dan di dalamnya ada sayuran yang meneteskan air.
Yohanes berteriak. Seorang lelaki tua muncul. "Siapa itu?"
"Peziarah yang dalam perjalanan ke Yerusalem. Berilah kami naungan dalam nama Allah!" kata Yesus.
"Tentu saja. Itu tugasku. Tapi Kau kurang beruntung. Aku punya kamar yang kecil dan tidak ada tempat tidur."
"Tidak masalah. Setidaknya kau punya perapian."
Laki-laki itu pergi ke gerbang dan membukanya. "Masuklah dan damai sertamu."
Mereka melewati kebun kecil sayur-mayur dan buah-buahan. Mereka masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang adalah dapur sekaligus kamar tidur. Api bernyala-nyala di perapian. Ada keteraturan dan kemiskinan, dan tidak ada satu peralatan pun yang lebih dari yang diperlukan.
"Lihatlah! Hanya hatiku yang besar dan berhias. Tapi jika Kau ingin memanfaatkannya... Apakah Kau punya roti?"
"Tidak. Hanya segenggam zaitun..."
"Aku tidak punya cukup roti untuk semua orang. Tapi aku akan menyiapkan sesuatu dengan susu. Aku punya dua ekor domba. Itu cukup bagiku. Aku akan pergi dan memerah susunya. Maukah kamu memberikan mantel-mantelmu padaku? Aku akan menggantungnya di kandang domba, di belakang. Mantel itu akan sedikit mengering dan besok kita akan melakukan sisanya dengan api."
Laki-laki itu keluar dengan membawa pakaian-pakaian basah. Mereka semua berdiri dekat perapian menikmati kehangatannya.
Laki-laki itu kembali dengan segulung tikar kasar yang dihamparkannya di lantai. "Lepaskan sandalmu. Aku akan membersihkan lumpurnya dan menggantungnya supaya kering. Dan aku akan memberimu air hangat supaya kamu bisa membasuh kakimu. Tikarnya kasar, tapi bersih dan tebal. Kau akan merasa lebih nyaman daripada tidur di lantai yang dingin."
Dia mengambil satu ketel penuh air kehijauan, di mana sayuran direbus, dan menuangkan setengah airnya ke dalam baskom dan setengahnya lagi ke bejana lain. Dia kemudian menambahkan air dingin dan berkata, "Ini dia. Ini akan menyegarkanmu. Basuhlah dirimu. Ini kain bersih."
Sementara itu dia menyibukkan diri di perapian. Dia menyalakan api, menuangkan susu ke dalam panci, yang dia tempatkan di atas api. Dan begitu susu mulai mendidih dia menambahkan biji-bijian, yang terlihat seperti jelai yang digiling atau padi-padian yang sudah dikuliti. Dan dia mengaduk buburnya.
Yesus, Yang pertama membasuh diri, menghampirinya, "Kiranya Allah menganugerahimu rahmat untuk amal kasihmu."
"Aku hanya mengembalikan apa yang sudah aku terima dari-Nya. Aku dulu seorang penderita kusta. Aku menderita kusta dari usia tigapuluh tujuh sampai limapuluh satu tahun. Kemudian aku sembuh. Tetapi sekembalinya ke desa, aku mendapati bahwa istri dan kerabatku sudah meninggal dan rumahku sudah dijarah. Bagaimanapun aku adalah si 'kusta'... Jadi aku datang ke sini. Dan aku membangun rumahku di sini, aku sendiri yang membangunnya dan dengan pertolongan Allah. Awalnya aku membuat gubuk dengan rumput rawa, lalu kayu. Lalu aku membangun tembok... Sesuatu yang baru setiap tahun. Tahun lalu aku membangun kandang domba. Aku membeli domba dari hasil menjual tikar dan peralatan kayu yang aku buat. Aku punya sebatang pohon apel, sebatang pohon pir, sebatang pohon ara dan sebatang pohon anggur. Aku menanam sayuran di depan rumah dan aku punya ladang kecil jelai di belakang. Aku punya empat pasang merpati dan dua ekor domba. Aku akan punya anak-anak domba tak lama lagi. Dan aku mengharapkan anak-anak domba betina kali ini. Aku memberkati Allah dan aku tidak meminta yang lain. Dan siapakah Kau?"
"Seorang Galilea. Apakah kau berprasangka terhadap mereka?"
"Tidak, meskipun aku berasal dari keturunan Yudea. Andai aku punya anak, aku akan punya anak seperti-Mu... Aku sekarang berlaku sebagai ayah bagi merpati-merpatiku... Aku sudah terbiasa sendirian."
"Dan pada saat Perayaan-perayaan?"
"Aku mengisi palungan dan pergi. Aku menyewa keledai. Aku bergegas ke sana, melakukan apa yang harus aku lakukan dan kembali. Aku tidak pernah kehilangan apa pun karena dicuri. Allah itu baik."
"Ya, baik kepada mereka yang baik maupun kepada mereka yang tidak begitu baik. Tetapi orang-orang baik berada di bawah naungan sayap-Nya."
"Ya, Yesaya juga mengatakan begitu... Dia melindungi aku, sungguh."
"Tapi tadinya kau adalah seorang kusta," kata Tomas.
"Dan aku menjadi miskin dan ditinggalkan sendirian. Tapi, ini adalah rahmat Allah, menjadi manusia kembali dan memiliki atap dan roti. Ayub adalah teladanku dalam kemalangan. Aku berharap layak mendapatkan berkat Allah, seperti Ayub, bukan dalam kekayaan, tetapi dalam rahmat."
"Kau akan menerimanya. Kau adalah seorang benar. Siapa namamu?"
"Matias." Dia mengangkat panci dari api dan meletakkannya di atas meja. Dia menambahkan mentega dan madu dan menempatkannya kembali di atas api dan berkata, "Aku hanya punya enam buah barang tembikar, piring dan mangkuk. Kamu harus makan secara bergantian."
"Dan bagaimana denganmu?"
"Tuan rumah adalah yang terakhir dilayani. Yang pertama adalah saudara-saudara yang dikirim Allah. Ini dia. Sudah siap. Dan ini akan baik untukmu." Dan dia menuangkan sesendok besar penuh bubur panas ke dalam empat piring dan dua mangkuk. Tidak ada kekurangan sendok kayu.
Yesus menyarankan yang lebih muda untuk makan terlebih dahulu.
"Tidak, Kau harus makan, Guru," kata Yohanes.
"Tidak. Yudas lebih baik makan dulu, supaya dia tahu bahwa selalu ada makanan untuk anak-anak."
Iskariot berubah rona wajahnya tapi dia makan.
"Apakah Kau seorang rabbi?"
"Ya, dan ini adalah murid-murid-Ku."
"Aku dulu pergi ke Pembaptis, ketika aku berada di Betabara. Apakah Kau tahu sesuatu tentang Mesias? Mereka mengatakan bahwa Dia ada dan bahwa Yohanes menunjukkan-Nya. Apabila aku pergi ke Yerusalem aku selalu berharap untuk melihat Dia. Tapi aku tidak pernah berhasil. Aku memenuhi ritus dan aku tidak berhenti di situ. Mungkin itu sebabnya aku tidak pernah melihat-Nya. Aku terisolasi di sini dan kemudian... Orang-orang di Perea tidak baik. Aku berbicara dengan beberapa gembala yang datang ke sini untuk menggembalakan ternak. Mereka mengenal-Nya dan memberitahuku tentang Dia. Oh, betapa sabda yang indah! Aku bertanya-tanya betapa pastilah terlebih indah apabila sabda itu diucapkan oleh-Nya!..."
Yesus tidak menyatakan diri-Nya. Sekarang giliran-Nya untuk makan dan Dia melakukannya dengan begitu damai dekat laki-laki tua yang baik itu.
"Dan sekarang? Apa yang harus kita lakukan untuk tempat tidur? Aku memberikan tempat tidurku untukmu. Tapi itu hanya satu... Aku akan pergi ke kandang domba."
"Tidak, kami yang akan pergi ke sana. Jerami sudah cukup baik untuk mereka yang letih."
Santap malam sudah selesai dan mereka memutuskan untuk berbaring supaya bisa berangkat di fajar hari. Namun laki-laki tua itu mendesak dan Matius yang menderita flu berat, tidur di tempat tidurnya.
Namun hujan mengguyur deras saat fajar. Bagaimana mereka bisa pergi dalam hujan lebat seperti itu? Mereka mendengarkan nasihat si orang tua dan tinggal. Sementara itu mereka menyikat pakaian mereka dan mengeringkannya, mereka melumasi sandal mereka dan beristirahat. Laki-laki tua itu memasak jelai lagi dalam susu untuk semua orang dan dia meletakkan beberapa apel. Itu adalah sarapan mereka dan mereka sedang menyantapnya ketika terdengar suara dari luar.
"Peziarah lain? Apa yang harus kita lakukan?" kata orang tua itu. Namun dia bangkit, membalut dirinya dengan selimut wol kasar tahan air, dan keluar. Suasana hangat di dapur, tetapi tidak ada sendau gurau di sana. Yesus diam.
Laki-laki tua itu kembali dengan mata terbelalak. Dia menatap pada Yesus dan lalu pada yang lain-lainnya. Dia sepertinya takut... dia terlihat tidak yakin dan ingin tahu. Akhirnya dia berkata, "Apakah Mesias ada di antaramu? Katakan padaku, karena orang-orang Pella mencari Dia untuk memuja-Nya karena mukjizat besar yang Dia kerjakan. Mereka sudah mengetuk sepanjang malam di pintu semua rumah hingga sejauh sungai, sejauh desa pertama... Sekarang, dalam perjalanan kembali, mereka terpikir akan aku. Seseorang menunjukkan rumahku kepada mereka. Mereka berada di luar, dalam kereta. Suatu kerumunan besar!"
Yesus bangkit berdiri. Keduabelas berkata, "Jangan pergi. Jika Kau mengatakan bahwa adalah bijaksana untuk menghindari tinggal di Pella, tidak ada gunanya menunjukkan Diri-Mu sekarang."
"Jadi! Oh! Diberkatilah! Diberkatilah Kau dan Dia yang mengutus-Mu kepadaku. Dan menerima-Mu! Kau adalah Rabbi Yesus, Yang... Oh!" Laki-laki itu berlutut dengan mukanya mencium tanah.
"Ya, Aku-lah Dia. Tetapi biarkan Aku pergi kepada mereka yang mencari Aku. Lalu Aku akan datang kepadamu, sobat-Ku yang baik." Dia membebaskan kedua pergelangan kaki-Nya dari pelukan laki-laki tua itu dan pergi ke kebun sayur-mayur dan buah-buahan yang banjir.
"Itu Dia! Hosana!" Mereka melompat keluar dari kereta. Ada laki-laki dan perempuan, remaja buta yang kemarin disembuhkan dan ibunya, dan juga si perempuan Gerasa. Mereka berlutut, tanpa mempedulikan lumpur dan memohon, "Kembalilah bersama kami ke Pella."
"Tidak, ke Yabesy," teriak orang-orang lain yang jelas dari tempat itu. "Kami menginginkan-Mu! Kami menyesal sudah mengusir-Mu pergi!" teriak mereka yang dari Yabesy.
"Tidak, ke Pella bersama kami, karena mukijizat-Mu masih hidup di sana. Kau telah memberi terang pada mata mereka. Berilah terang pada jiwa kami."
"Aku tidak bisa. Aku akan pergi ke Yerusalem. Kamu akan menemukan-Ku di sana."
"Kau marah karena kami mengusir-Mu."
"Kau jijik karena Kau tahu bahwa kami percaya akan fitnah seorang berdosa."
Ibu Markus menutupi wajahnya sambil menangis.
"Jaia, tolong katakan pada Dia, Yang mencintaimu, untuk kembali."
"Kamu akan menemukan-Ku di Yerusalem. Pergi dan bertekunlah. Jangan seperti angin yang bertiup ke segala arah. Selamat tinggal."
"Tidak. Datanglah. Kami akan menculik-Mu, jika Kau tidak datang."
"Jangan mengangkat satu tangan pun melawan Aku. Itu adalah penyembahan berhala, bukan iman. Iman percaya bahkan tanpa melihat. Ia bertekun bahkan ketika ia dianiaya. Ia tumbuh lebih besar bahkan tanpa mukjizat. Aku tinggal bersama Matias, yang percaya tanpa melihat apa pun dan yang adalah seorang benar."
"Setidaknya terimalah pemberian kami: uang dan roti. Kami diberitahu bahwa Kau telah memberikan semua yang Kau miliki kepada Jaia dan ibunya. Ambillah kereta ini. Kau dapat melakukan perjalanan dengannya. Kau dapat meninggalkannya di Yerikho, pada Timon, penjaga penginapan. Ambillah. Hari hujan dan akan hujan lagi. Kau akan terlindungi dan akan melakukan perjalanan lebih cepat. Berilah kami tanda bahwa Kau tidak membenci kami."
Mereka berada di sisi lain pagar, Yesus berada di sisi sini: mereka saling menatap satu sama lain dan mereka yang berada di sisi lain penuh kegembiraan. Di belakang Yesus ada Matias tua, yang berlutut, dengan mulut ternganga, dan lalu para rasul, yang semuanya berdiri.
Yesus mengulurkan tangan-Nya seraya berkata, "Aku akan menerima persembahanmu untuk orang-orang miskin. Tapi Aku tidak akan menerima keretanya. Aku adalah Yang Miskin di antara orang-orang miskin. Tolong jangan memaksa. Jaia, dan kau, perempuan, dan kau yang dari Gerasa, kemarilah, supaya Aku bisa memberimu berkat khusus." Dan ketika mereka mendekati-Nya, sebab Matias sudah membuka pagar, Dia membelai, memberkati dan menyuruh mereka pergi. Dia kemudian memberkati semua orang yang sudah berkerumun di gerbang, menyerahkan kepada para rasul uang dan bahan makanan, dan Dia menyuruh mereka pergi.
Dia masuk kembali ke dalam rumah...
"Mengapa Kau tidak berbicara kepada mereka?"
"Mukjizat kedua orang buta itu adalah khotbah-Ku."
"Mengapa Kau tidak menerima keretanya?"
"Karena lebih baik berjalan kaki." Dan Dia berbicara kepada Matias, "Tadinya Aku akan mengganjarimu dengan berkat-Ku. Sekarang Aku dapat menambahkan sedikit uang untuk mengganti pengeluaranmu..."
"Tidak, Tuhan Yesus... Aku tidak menginginkannya. Aku tadinya melakukannya dengan sepenuh hati. Dan sekarang aku melakukannya untuk melayani Tuhan. Tuhan tidak membayar. Dia tidak wajib membayar. Akulah orang yang menerima, bukan Engkau! Oh! hari ini! Hari ini akan terus bersamaku, bersama kenangannya, sampai kehidupan selanjutnya!"
"Kau benar! Kau akan mendapati belas kasihanmu terhadap para peziarah yang tertulis di Surga, juga imanmu yang segera... Begitu cuaca sedikit membaik, Aku akan meninggalkanmu. Orang-orang itu mungkin akan datang kembali. Mereka bersikeras selama mereka dibangkitkan oleh mukjizat, dan lalu mereka akan menjadi lamban seperti sebelumnya, atau bahkan lebih bersikap memusuhi. Aku akan melanjutkan perjalanan. Sejauh ini Aku telah berhenti dengan mencoba untuk mempertobatkan mereka. Sekarang Aku datang dan lewat, tanpa berhenti. Aku akan pergi menuju takdir-Ku, yang mendesak-Ku. Allah dan manusia mendesak-Ku dan Aku tidak bisa lagi berhenti. Kasih dan dengki memacu Aku. Biarlah mereka yang mengasihi Aku, mengikuti Aku. Tetapi Guru tidak akan lagi mengejar domba-domba yang tidak taat."
"Apakah mereka tidak mengasihi-Mu, Guru ilahi?" tanya Matias.
"Mereka tidak mengerti Aku."
"Mereka jahat."
"Nafsu membuat mereka tumpul."
Matias tua tidak lagi berani bersikap penuh percaya diri seperti sebelumnya. Dia kelihatan seperti berdiri di depan altar. Yesus, sebaliknya, karena Dia bukan lagi Yang Tidak Dikenal, lebih bebas dan berbicara kepada si orang tua itu seolah-olah dia adalah seorang kerabat.
Jam demi jam berlalu hingga awal sore hari. Awan mulai menipis, menjanjikan berakhirnya hujan. Yesus memberi perintah untuk pergi. Dan sementara laki-laki tua itu pergi untuk mengambil mantel-mantel yang sudah kering, Dia memasukkan beberapa koin ke dalam sebuah kotak dan menempatkan roti dan keju ke dalam lemari dapur.
Laki-laki tua itu kembali dan Yesus memberkatinya. Dia kemudian menempuh perjalanan kembali, dengan sesekali berbalik untuk menengok pada kepala putih yang bersandar di pagar yang gelap.
|
|
|