346. NUBUAT TENTANG PETRUS DAN MARJIAM.
ORANG BUTA DI BETSAIDA.            


1 Desember 1945  

Mereka tidak berjalan lagi, tetapi berlari di fajar yang segar, yang lebih menyenangkan dan lebih jernih daripada pagi-pagi sebelumnya; tetesan embun yang berkilauan dan kelopak bunga warna-warni jatuh di kepala mereka dan di padang-padang rumput, menambahkan warna ke nuansa tak terbilang dari bunga-bunga kecil yang tumbuh di tepi-tepi sungai dan di padang-padang, dan berkilau-kilau di rerumputan bagai berlian. Mereka berlari di tengah kicau burung-burung, dan dalam hembusan angin sepoi-sepoi yang berdesir di antara ranting-ranting dan membelai jerami dan gandum yang tumbuh semakin tinggi dari hari ke hari; mereka mendengar gemericik air ceria dari sungai-sungai yang mengalir dan yang dengan lembut membengkokkan batang bunga untuk menyentuh air jernih mereka. Mereka berlari seolah-olah mereka hendak menepati suatu janji temu. Bahkan mereka yang lebih tua, seperti Filipus, Bartolomeus, Matius, Zelot berbagi keceriaan dalam bergegas dengan yang lebih muda. Dan hal yang sama terjadi juga di antara para murid, di mana mereka yang lebih tua berlomba dengan mereka yang lebih muda dalam berjalan cepat.

Padang-padang rumput masih basah oleh embun ketika mereka tiba di daerah Betsaida, wilayah kecil yang dilingkupi danau, sungai dan gunung. Seorang pemuda yang terbungkuk di bawah berkas-berkas kayu sedang turun dari hutan di gunung. Dia turun dengan sangat cepat, nyaris berlari, tetapi dia tidak bisa melihat para rasul dari posturnya... Dia bernyanyi gembira sementara berlari di bawah beban berkas-berkas kayunya, dan begitu tiba di jalan utama, di rumah-rumah pertama di Betsaida, dia melemparkan bebannya ke tanah dan menegakkan dirinya untuk beristirahat, mendorong rambut hitamnya ke belakang. Dia tinggi dan kurus, tegak, tubuhnya kuat meskipun ramping, dan gesit. Dia adalah remaja yang tampan.

"Itu Marjiam," kata Andreas.

"Apa kau gila? Itu orang dewasa," jawab Petrus.

Andreas menangkupkan kedua tangan ke mulutnya dan memanggilnya dengan suara lantang. Pemuda itu, yang hendak membungkuk untuk memungut bebannya, sesudah mengencangkan ikat pinggang jubah pendeknya, yang nyaris tak sampai lutut dan terbuka di bagian dadanya mungkin karena agak ketat, berbalik ke arah panggilan dan melihat Yesus, Petrus, dan yang lain-lainnya yang sedang menatapnya dengan berdiri dekat rumpun pohon willow yang membungkuk ke dalam sungai besar, anak sungai terakhir di sebelah kiri Sungai Yordan di depan Danau Galilea, tepat di luar desa. Dia menjatuhkan bawaannya, mengangkat tangannya dan berteriak, "Tuhan-ku! Bapaku!" dan dia melesat lari.

Petrus juga berlari, mengarungi sungai dengan sandalnya, dia hanya menarik pakaiannya ke atas, dan lalu berlari sepanjang jalan yang berdebu, dengan meninggalkan bekas-bekas sandal yang basah di tanah yang kering.

"Bapa!"

"Nak!"

Mereka berpelukan. Dan Marjiam benar-benar setinggi Petrus, dan dengan demikian rambut hitamnya jatuh di wajah Petrus ketika mereka saling mencium. Namun, karena Marjiam sangat ramping, dia terlihat lebih tinggi.

Kemudian, Marjiam melepaskan diri dari pelukan kasih bapanya dan melanjutkan larinya menuju Yesus, Yang sekarang di sisi sungai ini dan maju perlahan dengan dikelilingi oleh para rasul. Marjiam tersungkur di kaki-Nya, dan dengan kedua tangan terangkat dia berseru, "Oh! Tuhan-ku, berkatilah abdi-Mu!"

Namun Yesus membungkuk, membangkitkannya dan mendekapkannya ke dada-Nya, mencium kedua pipinya dan berkata, "Damai abadi, dan bertambah dalam kebijaksanaan dan kasih karunia di jalan Tuhan."

Para rasul juga menyambut hangat si bocah, terutama mereka yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengannya dan mereka mengucapkan selamat atas pertumbuhannya.

Tapi Petrus!... Jika dia adalah bapa kandungnya, dia tidak akan terlebih bahagia! Dia berjalan mengitarinya, menatapnya, menyentuhnya, dan bertanya kepada yang lain, "Bukankah dia tampan? Bukankah perawakannya bagus? Lihat betapa tegaknya dia! Betapa bidang dadanya! Dan kaki-kakinya yang lurus kokoh!... Agak kurus, belum terlalu berotot. Tapi dia menjanjikan! Bagus sekali! Dan wajahnya? Katakan padaku apakah dia terlihat seperti anak kecil malang yang kugendong tahun lalu, ketika dia terlihat seperti burung yang rapuh, sedih, malang, dan ketakutan... Bagus sekali, Porphirea! Ah! dia sangat pandai memberinya makan dengan banyak madu, mentega, minyak, telur, dan hati ikan. Aku harus segera mengucapkan selamat kepadanya. Apa Kau keberatan, Guru? Bolehkah aku pergi menemui istriku?"

"Pergilah, Simon. Aku akan segera bersamamu."

Marjiam, yang tangannya masih dalam genggaman Yesus, berkata, "Guru, bapaku pasti akan meminta ibu untuk menyiapkan makanan untuk-Mu. Biar aku pergi dan membantunya..."

"Ya, pergilah. Dan kiranya Allah memberkatimu karena menghormati bapa dan ibumu."

Marjiam berlari, mengambil berkas-berkas  kayu bakarnya, meletakkannya di bahunya, mengejar Petrus dan berjalan di sampingnya.

"Mereka tampak seperti Abraham dan Ishak yang sedang mendaki gunung," komentar Bartolomeus.

"Oh! Marjiam yang malang! Itu akan sungguh menjadi akhir darinya!" kata Simon Zelot.

"Dan saudaraku yang malang! Aku tidak tahu apakah dia akan memiliki kekuatan untuk bertindak sebagai Abraham..." kata Andreas.

Yesus menatapnya dan kemudian melihat ke kepala abu-abu Petrus yang bergerak menjauh dekat dengan Marjiam-nya, dan Dia berkata, "Dengan sungguh-sungguh Aku katakan padamu bahwa harinya akan tiba ketika Petrus bersukacita mengetahui bahwa Marjiam-nya sudah dipenjarakan, dipukuli, didera, dijatuhi hukuman mati, dan bahwa dia akan sampai hati menempatkan sendiri bocah itu di tiang gantungan untuk memberinya pakaian ungu Surgawi dan untuk menyuburkan bumi dengan darah seorang martir, dan dia akan cemburu dan bersedih karena satu alasan saja: bahwa dia tidak berada di tempat putra dan bawahannya itu, karena pemilihannya menjadi Kepala Tertinggi Gereja-Ku akan memaksanya untuk memberikan dirinya bagi Gereja sampai Aku berkata kepadanya, 'Pergi dan matilah untuk itu.' Kau belum mengenal Petrus. Aku mengenalnya."

"Apakah Engkau menubuatkan kemartiran Marjiam dan saudaraku?"

"Apakah kamu menyesal, Andreas?"

"Tidak. Aku menyesal bahwa Kau tidak menubuatkannya juga untukku."

"Dengan sungguh-sungguh Aku katakan padamu bahwa kamu semua akan berpakaian ungu, terkecuali satu.

"Siapa?... Siapa?..."

"Marilah kita hening karena duka Allah," Yesus berkata dengan sedih tapi serius. Dan mereka semua diam, tampak ketakutan dan termenung.

Mereka berjalan di sepanjang jalan pertama di Betsaida, di antara kebun-kebun sayur yang penuh dengan sayuran hijau segar. Petrus, bersama orang-orang Betsaida lainnya, sedang menuntun seorang buta kepada Yesus. Marjiam tidak ada. Dia pasti tinggal di rumah untuk membantu Porphirea. Di antara orang-orang Betsaida dan kerabat si orang buta, ada banyak murid yang datang dari Sicaminon dan kota-kota lainnya, dan di antara mereka ada Stefanus, Hermas, Yohanes sang imam, Yohanes si ahli Taurat, dan banyak lagi. (Sekarang mulai jadi masalah untuk mengingat mereka semuanya: mereka sangat banyak).

"Aku membawanya kepada-Mu, Tuhan. Dia sudah menunggu di sini selama beberapa hari," jelas Petrus, sementara orang buta dan kerabatnya memohon secara monoton, 'Yesus, Putra Daud, kasihanilah kami!", "Jamahlah mata anakku dengan tangan-Mu, dan dia akan melihat," "Kasihanilah aku, Tuhan! Aku percaya padamu!"

Yesus menggandeng tangan orang buta itu dan berjalan mundur beberapa langkah bersamanya untuk menempatkannya di tempat teduh, karena jalanan dibanjiri sinar matahari. Dia menempatkannya di tembok yang berselimutkan dedaunan dari rumah pertama di desa, dan berdiri di depannya. Dia membasahi kedua telunjuk-Nya dengan air liur dan menggosok mata orang itu dengan jari-jarinya yang basah, Dia lalu menempelkan kedua tangan-Nya pada matanya, dengan pangkal masing-masing tangan pada lubang mata dan jari-jari-Nya tersebar di antara rambut orang malang itu. Dia berdoa dan lalu melepaskan tangan-Nya seraya bertanya, "Apa yang kau lihat?"

"Aku melihat beberapa orang. Mereka pastilah orang. Tapi begitulah aku membayangkan pohon-pohon berbunga. Tapi mereka pastilah orang, sebab mereka berjalan dan memberi isyarat kepadaku."

Yesus menempelkan kedua tangan-Nya sekali lagi, lalu Dia melepaskannya sambil bertanya, "Dan sekarang?"

"Oh! Sekarang aku dengan jelas melihat perbedaan antara pohon-pohon yang tertanam di tanah dan orang-orang yang melihat aku... Dan aku melihat-Mu! Betapa tampannya Engkau! Mata-Mu bagai langit dan rambut-Mu bagai cahaya matahari... dan tampilan-Mu dan senyum-Mu berasal dari Allah. Tuhan, aku memuja-Mu!" dan dia berlutut mencium ujung jubah-Nya.

"Berdiri dan datanglah kepada ibumu yang selama bertahun-tahun sudah menjadi terang dan penghiburanmu dan yang kasihnya hanya kau yang tahu."

Ia menggandeng tangan orang itu dan menghantarnya kepada ibunya, yang berlutut beberapa langkah jauhnya dalam adorasi, seperti sesaat sebelum dia memohon.

"Berdirilah, perempuan. Ini anakmu. Dia sekarang melihat siang hari dan kiranya hatinya rindu mengikuti Terang yang kekal. Pulang dan berbahagialah. Dan hiduplah kudus demi syukur kepada Allah. Tetapi saat pergi melalui desa-desa, jangan beritahu siapa pun bahwa Aku menyembuhkanmu, jika tidak, orang banyak akan bergegas kemari dan menghalangi Aku pergi ke mana Aku harus pergi untuk meneguhkan iman dan membawa terang dan sukacita kepada anak-anak lain dari BapaKu."

Dan Dia dengan cepat menghilang di sepanjang jalan kecil di antara kebun sayur-mayur dan buah-buahan, menuju rumah Petrus, yang Dia masuki dengan menyapa Porphirea dengan ramah.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 5                 Daftar Istilah                    Halaman Utama