|
338. MENUJU MEIRON.
23 November 1945
Fajar musim semi yang indah membuat langit yang kemerahan dan perbukitan menjadi pemandangan yang menyenangkan. Para murid bergembira menikmati pemandangan itu sementara mereka berkumpul di pintu masuk desa menantikan mereka yang belum datang.
"Ini adalah hari pertama udara tidak dingin, sesudah badai es," kata Matius seraya menggosok-gosokkan tangannya.
"Inilah saatnya! Ini adalah bulan baru dari bulan Adar!" seru Andreas.
"Sungguh bagus! Andai kita harus mendaki pegunungan dengan cuaca dingin seperti beberapa hari terakhir!..." komentar Filipus.
"Tapi kemana kita akan pergi?" tanya Andreas.
"Aku ingin tahu... Dari sini kita bisa pergi ke Safet atau ke Meiron. Dan lalu?" jawab Yakobus Zebedeus, dan dia berbalik untuk bertanya kepada anak-anak Alfeus, "Apa kamu tahu ke mana kita akan pergi?"
"Yesus mengatakan bahwa Dia ingin pergi ke utara. Itu saja," kata Yudas Alfeus singkat.
"Lagi? Di bulan berikutnya kita harus memulai ziarah Paskah kita..." kata Petrus tidak terlalu antusias.
"Kita punya banyak waktu," kata Tadeus.
"Ya. Tapi tidak ada waktu untuk beristirahat di Betsaida..."
"Kita pasti akan pergi ke sana untuk menjemput para perempuan dan Marjiam," jawab Filipus kepada Petrus.
"Apa yang aku minta darimu adalah untuk tidak terlihat bosan atau acuh tak acuh atau seperti itu. Yesus sangat tertekan... Kemarin malam Dia menangis. Aku mendapati-Nya menangis ketika kami sedang mempersiapkan makan malam. Dia tidak berdoa di teras, seperti yang kami duga. Dia menangis," kata Yohanes.
"Kenapa? Apa kau bertanya kepada-Nya?" mereka semua bertanya.
"Ya. Tapi yang Dia katakan hanyalah: 'Kasihilah Aku, Yohanes.'"
"Mungkin... itu karena orang-orang Khorazim."
Zelot, yang baru saja tiba, berkata, "Guru datang kemari bersama Bartolomeus. Mari kita pergi menemui-Nya."
Dan mereka berangkat, tetapi mereka melanjutkan percakapan mereka, "Atau karena Yudas. Mereka tinggal sendirian semalam..." kata Matius.
"Betul! Dan Yudas sebelumnya mengatakan bahwa dia kesal dan ingin sendiri," komentar Filipus.
"Dia tidak ingin tinggal bahkan bersama Guru! Padahal aku akan sangat senang berada bersama-Nya!" kata Yohanes menghela nafas.
"Dan aku juga!" kata semuanya.
"Aku tidak suka orang itu... Dia entah sakit, atau terkena sihir, atau gila, atau kerasukan... Ada yang salah dengannya," kata Tadeus tegas.
"Dan meski begitu, percayalah padaku, dalam perjalanan balik kami ke sini dia adalah seorang murid teladan. Dia selalu membela Guru dan kepentingan Guru, seperti yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari kita. Aku melihatnya dan mendengarnya sendiri! Dan aku harap kamu tidak meragukan perkataanku," kata Thomas.
"Apa kau pikir kami tidak mempercayaimu? Percaya, Tomas! Dan kami senang mendengar bahwa Yudas lebih baik dari kami. Tapi kau bisa melihatnya sendiri. Dia aneh, bukan?" tanya Andreas.
"Oh! Tentu saja dia aneh. Mungkin masalah-masalah dalam lubuk hati membuatnya khawatir... Atau mungkin karena dia tidak mengerjakan mukjizat apa pun. Dia agak sombong. Oh! untuk tujuan yang baik! Tapi dia suka melakukan sesuatu dan dia suka dipuji untuk itu…"
"Hmm! Mungkin! Tetapi Guru sedih. Lihatlah Dia di sana: Dia tidak terlihat seperti orang yang selalu kita kenal. Tapi, hidup Tuhan! Jika aku mendapati siapa yang membuat Guru menderita... Baiklah! Itu saja! Aku tahu apa yang akan aku lakukan padanya," kata Petrus.
Yesus, yang sedang berbicara serius kepada Natanael, melihat mereka dan mempercepat langkah-Nya sembari tersenyum. "Damai sertamu. Apa kamu semua di sini?"
"Yudas Simon tidak ada... Aku pikir dia bersama-Mu, karena di rumah itu, tempat dia tidur, mereka mengatakan bahwa mereka mendapati kamarnya kosong dan rapi..." jelas Andreas.
Yesus mengernyitkan alis-Nya sejenak dan tenggelam dalam pikiran, menundukkan kepala-Nya. Dia kemudian berkata, "Tidak masalah. Mari kita pergi saja. Beritahu orang-orang di rumah terakhir bahwa kita akan pergi ke Meiron dan ke Giscala. Jika Yudas mencari kita, mintalah mereka untuk mengarahkannya ke sana. Ayo kita pergi."
Mereka semua merasakan adanya masalah dan mereka taat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yesus melanjutkan percakapan-Nya dengan Bartolomeus dan berada beberapa langkah di depan yang lain-lainnya. Aku bisa mendengar nama-nama terkenal disebutkan selama percakapan mereka: Hilel, Yael, Barak dan peristiwa-peristiwa besar di Israel, yang mereka kenang, dengan mengomentari dan mengagumi para pujangga besar, sementara Bartolomeus menyesali masa lalu...
"Oh! Andai Hilel yang bijak masih hidup! Dia baik dan kuat. Dia pasti tidak akan gusar. Dia akan menilai Engkau dari dirinya sendiri, terlepas dari pengaruh orang-orang lain!"
"Jangan khawatir, Bartolomeus! Dan terpujilah Yang Mahatinggi Yang telah menerima dia dalam damai-Nya. Dengan demikian roh Orang Bijaksana itu tidak mengenal kegemparan dari begitu banyak kebencian terhadap-Ku…"
"Tuhan-ku! Bukan hanya kebencian!..."
"Lebih banyak kebencian daripada kasih, sahabat-Ku. Dan akan selalu begitu."
"Janganlah bersedih. Kami akan membela-Mu..."
"Bukan kematian yang mendukakan-Ku... Melainkan penglihatan akan dosa-dosa manusia..."
"Kematian!... Tidak!... Janganlah bicara tentang kematian. Mereka tidak akan sampai sejauh itu... karena mereka takut..."
"Kebencian akan lebih kuat daripada takut. Bartolomeus, saat Aku mati, dan saat Aku jauh, di Surga Kudus, katakan kepada orang-orang, 'Ia lebih menderita karena kebencianmu, daripada karena kematian-Nya' ..."
"Guru! Jangan katakan itu! Tidak ada seorang pun yang akan sebegitu membenci-Mu hingga menyebabkan kematian-Mu. Engkau selalu dapat mencegahnya. Engkau berkuasa..."
Yesus tersenyum sedih, akan aku katakan letih, sementara dengan langkah-langkah tetap Dia mendaki jalan pegunungan menuju Meiron, dan semakin jalan menanjak, semakin luas pemandangan indah akan Danau Tiberias, yang terlihat melalui celah di ngarai, di perbukitan berbentuk lengkung di dekatnya, yang, akan tetapi, menghalangi pemandangan akan Danau Merom, sementara pemandangan melampaui Danau Tiberias, di dataran tinggi luas di seberang Sungai Yordan, sejauh pegunungan terpencil Hauran, Trakhonitis dan Perea.
Tetapi Yesus menunjuk ke utara-timur laut dengan berkata, "Sesudah Paskah kita akan harus pergi ke sana, ke wilayah kekuasaan Filipus. Dan kita akan punya cukup waktu untuk melakukannya, karena kita harus berada di Yerusalem sekali lagi untuk Pentakosta."
"Bukankah lebih nyaman pergi ke sana sekarang? Kita bisa melewati Sungai Yordan, menuju sumbernya... dan lalu kembali melalui Dekapolis..."
Yesus menyapukan tangan-Nya pada alis-Nya, dengan gerakan letih dari seorang yang pikirannya kacau, dan Dia berbisik, "Aku tidak tahu, Aku belum tahu!... Bartolomeus!..." Betapa banyak depresi, kesedihan, permohonan berbaur dalam suara-Nya!...
Bartolomeus membungkuk sedikit, seolah-olah dia terluka oleh nada aneh Yesus yang tidak biasanya, dan dia berkata dengan kecemasan penuh kasih, "Guru, ada apa dengan-Mu? Apa yang Kau inginkan dari si Natanael tua?"
"Tidak ada, Bartolomai... Doamu... Supaya Aku bisa melihat dengan jelas apa yang harus dilakukan... Tapi mereka memanggil kita, Bartolomai... Mari kita berhenti di sini..." Dan mereka berhenti dekat serumpun pohon.
Yang lain-lainnya muncul di tikungan jalan; mereka berada dalam satu kelompok, "Guru, Yudas mengejar kita dengan berlari secepat kilat..."
"Mari kita tunggu dia." Dan ternyata Yudas segera muncul, dengan berlari... "Guru... aku terlambat... aku ketiduran dan..."
"Di mana, jika aku tidak menemukanmu di rumah?" tanya Andreas heran.
Yudas tetap terpaku sejenak, tapi dia cepat tersadar kembali dan berkata, "Oh! Maafkan aku, penitensiku jadi diketahui semua orang! Aku berada di hutan, sepanjang malam, berdoa dan melakukan penitensi... Saat fajar aku dikuasai kantuk dan tertidur. Aku lemah... Tapi Allah Yang Mahatinggi akan mengasihani hamba-Nya yang malang. Benar begitu, Guru? Aku bangun terlambat dan seluruh tubuhku sakit."
"Benar, kau terlihat agak lelah," komentar Yakobus Zebedeus.
Yudas tertawa, "Tentu saja! Tapi jiwaku bahagia. Doa mendatangkan yang baik pada orang. Penitensi membuat hati orang bersukacita. Dan doa menganugerahkan kerendahan hati dan kemurahan hati. Guru, ampunilah Yudas-Mu yang bodoh…" dan dia berlutut di kaki Yesus.
"Ya. Berdirilah dan ayo kita pergi."
"Beri aku damai dengan ciuman-Mu. Itu akan menjadi tanda bahwa Engkau telah mengampuni suasana hatiku yang buruk kemarin. Aku tidak menginginkan-Mu, itu benar. Tapi itu karena aku ingin berdoa..."
"Kita bisa berdoa bersama..."
Yudas tertawa dan berkata, "Tidak, Kau tidak bisa berdoa bersamaku tadi malam, atau berada di mana aku berada..."
"Oh! Itu baik! Kenapa tidak? Dia selalu bersama kita dan Dia mengajari kita untuk berdoa!" seru Petrus yang benar-benar heran.
Mereka semua tertawa. Tetapi Yesus tidak tertawa. Dia menatap pada Yudas yang sudah mencium-Nya dan sekarang menatap pada-Nya dengan mata yang berkilat-kilat dengan kedengkian pahit, seolah-olah dia ingin menantang-Nya. Dia berani mengulangi, "Bukankah benar bahwa Kau tidak bisa bersamaku tadi malam?"
"Tidak, Aku tidak bisa. Aku juga tidak akan pernah bisa berbagi pelukan jiwa-Ku dengan Bapa, dengan pihak ketiga, yang hanya darah dan daging, sepertimu, dan di tempat-tempat kemana kamu pergi. Aku cinta kesendirian yang dihuni oleh para malaikat, untuk melupakan bahwa manusia adalah bau busuk daging yang dirusak oleh sensualitas, oleh emas, oleh dunia dan oleh Setan."
Yudas tidak lagi tertawa. Dia menjawab dengan serius, "Kau benar. Roh-Mu telah melihat kebenaran. Jadi kemana kita akan pergi?"
"Pergi untuk memberikan penghormatan ke makam-makam para rabbi besar dan para pahlawan Israel."
" Apa? Gamaliel tidak mengasihi-Mu. Dan yang lain-lainnya membenci-Mu," kata banyak dari para rasul.
"Tidak masalah. Aku tunduk di makam orang-orang benar yang menantikan Penebusan. Akan Aku katakan kepada tulang-tulang mereka, 'Ia Yang mengilhami jiwamu akan segera berada di Kerajaan Surga, siap turun dari sana pada Hari terakhir, untuk membuatmu hidup kembali dan selamanya di Firdaus.'"
Mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka menemukan desa Meiron. Sebuah desa yang indah, terawat baik, penuh cahaya dan sinar matahari, terletak di antara perbukitan dan pegunungan yang subur.
"Mari kita berhenti. Sore hari kita akan berangkat ke Giscala. Makam-makam agung tersebar di sepanjang lereng ini, menantikan kebangkitan mulia."
|
|
|