|
324. KEMBALINYA KEDELAPAN RASUL DAN KEDATANGAN DI AKHZIB.
10 Oktober 1945
Yesus, Yang begitu pucat, kurus dan sedih hingga aku akan mengatakan bahwa pastilah Dia menderita, berada di tempat tertinggi sebuah gunung kecil, di mana juga ada sebuah desa. Namun Yesus tidak berada di desa, yang meskipun di puncak gunung, terbentang ke bawah ke lereng di tenggara. Sebaliknya, Yesus berada di sebidang tanah yang panjang, di tempat tertinggi yang menghadap barat laut; sebenarnya lebih ke barat daripada ke utara.
Saat Yesus melihat ke berbagai penjuru, Dia bisa melihat suatu rangkaian pegunungan yang naik turun yang ujung ekstrimnya di barat laut dan barat daya menjorok ke laut, ke barat daya dengan Gunung Karmel, yang memudar di hari yang cerah, ke barat laut dengan sebuah tanjung yang tajam, sangat mirip dengan Pegunungan Apuanian kita terutama dalam hal lapisan berbatu putih yang bercahaya di bawah sinar matahari. Aliran air deras dan sungai-sungai kecil, yang semuanya sangat penuh air pada masa ini dalam tahun, turun dari rangkaian pegunungan yang naik turun ini dan melintasi dataran sepanjang pantai mengalir masuk ke laut. Sungai Kison, yang paling signifikan dari semuanya, mengalir ke laut dekat teluk luas Sicaminon, sesudah membentuk lembaran air pada pertemuan dengan sebuah aliran kecil lainnya dekat muaranya. Air sungai berkilauan bagai batu topas atau safir di siang hari yang cerah, sementara laut tampak bagai batu safir raksasa berhiaskan untaian mutiara.
Musim semi di selatan sudah mulai muncul melalui daun-daun baru yang menyembul dari tunas-tunas yang terbuka, daun-daun lembut berkilau, begitu segar hingga aku menyebutnya perawan, tak kenal debu, badai, gigitan serangga dan kontak manusia. Dan cabang-cabang pepohonan almond sudah menjambul dengan berkas-berkas putih bersembur merah muda, begitu lembut dan halus hingga seolah-olah nyaris terbang pergi dari cabangnya untuk berlayar bagai awan-awan kecil di udara yang damai tenang. Juga ladang-ladang di dataran, yang subur meski tidak luas, dibatasi oleh tanjung barat laut dan tanjung barat daya, menghijau dengan gandum, menjadikannya pemandangan yang sedap dipandang mata, padahal sebelumnya hanya lahan gundul belaka.
Yesus sedang mengamati. Tiga jalan bisa terlihat dari tempat Dia berdiri. Satu jalan berasal dari desa dan berakhir di tempat Dia berada, yakni satu jalan sempit yang sesuai hanya bagi pejalan kaki dan dua jalan raya, yang turun dari desa dan mencabang ke arah berlawanan, menuju ke barat laut dan ke barat daya.
Betapa Yesus kelihatan sakit! Ada lebih banyak gurat penitensi di wajah-Nya sekarang daripada saat Dia berpuasa di padang gurun. Saat itu Dia menjadi pucat, tetapi Dia masih muda dan kuat. Sekarang Dia kehabisan tenaga akibat penderitaan kompleks yang meremukkan baik kekuatan fisik maupun kondisi mental. Mata-Nya sedih, lembut sekaligus serius. Pipi-Nya yang cekung terlebih lagi menambah spiritualitas profil-Nya; dahi-Nya yang tinggi, hidung-Nya yang mancung, dan bibirnya sama sekali kehilangan daya tariknya. Sebentuk wajah malaikat yang bebas dari semua materialitas. Jenggot-Nya lebih panjang dari biasanya, dan sudah tumbuh pada pipi-Nya dan menyatu dengan rambut panjang-Nya, yang terjuntai menutupi telinga-Nya, sehingga dari wajah-Nya orang hanya bisa melihat dahi, mata, hidung dan tulang pipi-Nya yang cekung yang sepucat gading tanpa sedikit pun rona warna. Rambutnya kusut dan kusam dan sebagai suvenir dari gua tempat Dia tadinya tinggal, ada potongan dedaunan kering dan ranting kering yang terjerat di sana. Jubah dan mantol-Nya yang kisut dan kumal juga menjadi saksi akan Tempat liar di mana pakaian dipakai tanpa pernah diganti.
Yesus melihat sekeliling... Sinar mentari tengah hari menghangatkan-Nya dan Dia tampak menikmatinya karena Dia menghindari naungan dari beberapa pohon oak dan berdiri di bawah sinar matahari; meski begitu matahari yang bersinar terang dan cerah tidak menyemarakkan rambut-Nya yang kumal ataupun mata-Nya yang letih, juga tidak meronai wajah kurus kering-Nya.
Bukan matahari yang memulihkan atau mencerahkan-Nya kembali, tetapi penglihatan akan para para rasul-Nya terkasih yang sedang datang mendaki dengan menggerak-gerakkan tangan dan melihat ke arah desa dari jalan barat laut, jalan yang tidak terlalu curam. Metamorfosisnya pun terjadilah. Matanya berbinar dan wajah-Nya seolah-olah berkurang cekungnya karena rona kemerahan yang menyebar di pipi-Nya, dan lebih dari segalanya, karena senyum-Nya mengembang. Dia mengulurkan kedua tangan-Nya, yang terlipat, dan berseru, "Rasul-rasul-Ku terkasih!" Dia berkata demikian seraya mengangkat wajah-Nya, mengarahkan pandangan-Nya ke sekeliling, seolah-olah Dia ingin menyampaikan sukacita-Nya kepada batang-batang pohon dan tumbuh-tumbuhan, kepada langit yang cerah, kepada udara, yang sudah beraroma musim semi. Dia merapatkan mantol-Nya ke sekeliling tubuhnya agar tidak tersangkut di semak-semak dan Dia berlari turun sepanjang jalan pintas untuk menjumpai para rasul yang mendaki ke atas, tetapi belum menemukan-Nya. Ketika Dia berada dalam jangkauan pendengaran, Dia berseru kepada mereka untuk berhenti menuju desa.
Mereka mendengar panggilan di kejauhan, tetapi mungkin dari tempat mereka berada mereka tidak bisa melihat Yesus, Yang mantol gelapnya berbaur dengan kegelapan hutan yang menyelimuti lereng. Mereka melihat sekeliling dengan menunjuk-nunjuk... Yesus memanggil mereka lagi... Akhirnya sebidang tanah terbuka di hutan memperlihatkan-Nya kepada mereka, di bawah sinar matahari, dengan kedua tangan-Nya terentang, seolah-olah Dia sudah ingin memeluk mereka. Kemudian suatu seruan keras menggema di sepanjang pantai, "Guru!" dan mereka semua mulai berlari mendaki tebing batu, meninggalkan jalan, memanjat, terantuk, terengah-engah, tanpa merasakan beban bawaan mereka ataupun kesulitan dalam mendaki... terdorong oleh sukacita melihat-Nya lagi.
Yang lebih muda dan lebih gesit tentu saja adalah yang pertama sampai kepada-Nya, yaitu anak-anak Alfeus, sebab mereka maju dengan langkah-langkah mantap orang yang tinggal di antara perbukitan, Yohanes dan Andreas, yang berlari secepat anak rusa, tertawa gembira. Dan mereka tersungkur di kaki-Nya dengan penuh kasih dan hormat, berseri-seri dengan kebahagiaan... Kemudian Yakobus Zebedeus tiba dan berikutnya adalah mereka yang kurang berpengalaman dalam perlombaan dan pegunungan, yakni Matius dan Zelot yang tiba hampir bersamaan, dan yang terakhir... Petrus.
Namun dia menyikut kelompok dengan asal untuk mencapai Guru, Yang kaki-Nya telah dipeluk oleh mereka yang datang pertama, yang masih mencium mantol atau tangan-Nya. Dia merenggut Yohanes dan Andreas yang bertaut pada pakaian Yesus seperti tiram di atas batu, dan dengan terengah-engah karena sudah mengerahkan tenaga, dia mendorong mereka ke samping supaya dia bisa tersungkur di kaki Yesus seraya berkata, "Oh! Guru-ku! Aku sekarang hidup kembali, akhirnya! Aku tidak tahan lagi. Aku sudah menjadi tua dan kurus seolah-olah aku sakit parah. Lihat apakah itu benar, Guru..." dan dia mengangkat kepalanya untuk dilihat oleh Yesus. Tetapi dengan berbuat itu, dia melihat perubahan dalam diri Yesus dan dia berdiri seraya berseru, "Guru!? Apakah yang telah Engkau lakukan? Betapa bodohnya kami! Hanya melihat! Tidakkah kamu melihat apa pun? Yesus sakit!... Guru-ku, apa yang sudah terjadi padamu? Beritahu Simon-Mu!"
"Tidak ada, sahabat-Ku."
"Tidak ada? Dengan wajah seperti itu? Jadi, apakah ada yang sudah menyakiti-Mu?"
"Tidak, Simon."
"Itu tidak mungkin. Engkau entah sakit atau dianiaya! Aku punya mata yang bisa melihat!..."
"Begitu juga Aku. Dan Aku melihat bahwa sebenarnya kau sudah menjadi tua dan kurus. Jadi, kenapa begitu?" Tuhan bertanya, tersenyum kepada Petrus yang sedang mencermati-Nya seolah-olah dia ingin mendapatkan kebenaran dari rambut, kulit, dan jenggot Yesus...
"Karena aku sudah menderita! Dan aku tidak menyangkalnya. Apakah menurut-Mu menyenangkan melihat begitu banyak kesedihan?"
"Kau telah mengatakannya! Aku juga menderita karena alasan yang sama..."
"Hanya karena itu, Yesus?" tanya Yudas Alfeus dengan begitu iba dan penuh kasih.
"Ya, karena kesedihan itu, saudara-Ku. Karena kesedihan yang disebabkan oleh keharusan untuk menyuruh mereka pergi..."
"Dan kesedihan karena dipaksa oleh..."
"Tolong!... Diamlah! Keheningan atas luka-Ku lebih berharga bagi-Ku daripada kata apa pun yang diucapkan untuk menghibur-Ku, katakan: 'Aku tahu mengapa Engkau telah menderita.' Bagaimanapun, kamu semua mungkin tahu, bahwa Aku menderita karena berbagai alasan, bukan hanya karena itu saja. Dan seandainya Yudas tidak menyela-Ku, aku pasti sudah memberitahumu." Yesus sangat serius mengatakannya. Mereka semua terdiam.
Petrus adalah orang pertama yang memberanikan diri dan dia bertanya, "Tapi ke mana sajakah Engkau, Guru? Dan apakah yang Engkau lakukan?"
"Aku di grotto… berdoa… bermeditasi… memperkuat jiwa-Ku, memperolehkan kekuatan bagimu dalam misimu, dan untuk Yohanes dan Sintikhe dalam penderitaan mereka."
"Tetapi di mana? Tanpa pakaian, tanpa uang! Bagaimana Engkau mengatasinya?" Simon antusias.
"Dalam grotto, Aku tidak membutuhkan apa pun."
"Tapi, maksudku, bagaimana dengan makanan, api, tempat tidur, semuanya...! Aku berharap bahwa Engkau menjadi tamu, seperti peziarah yang tersesat, di Yiftah-El, atau di tempat lain dalam sebuah rumah, begitu maksudku. Dan itu akan membuatku tenang. Tapi... eh?! Katakan kepada-Nya apakah aku tersiksa dengan pemikiran bahwa Dia tanpa pakaian, tanpa makanan, tanpa kemungkinan mendapatkannya, dan di atas segalanya, tanpa keinginan untuk mendapatkannya. Ah! Yesus! Engkau tidak seharusnya melakukan itu! Dan Engkau tidak akan pernah melakukannya lagi! Aku tidak akan meninggalkan-Mu barang sejam pun. Aku akan menjahitkan jubahku pada jubah-Mu, supaya aku bisa mengikuti-Mu seperti bayangan, entah Engkau suka atau tidak suka. Aku akan berpisah dari-Mu hanya jika aku mati."
"Atau jika Aku mati."
"Oh! bukan Kau. Kau tidak boleh mati sebelum aku. Jangan katakan itu. Apakah Engkau benar-benar ingin menghancurkan hatiku?"
"Tidak. Sebaliknya Aku ingin bersukacita bersamamu dan bersama semuanya di saat yang indah ini yang membawa sahabat-sahabat-Ku terkasih kembali kepada-Ku. Lihat! Aku sudah merasa lebih baik karena kasih tulusmu memelihara, menghangatkan dan menghibur-Ku dalam segala hal," dan Dia membelai mereka satu per satu, sementara wajah mereka bersinar dengan senyum bahagia, mata mereka berbinar dengan sukacita dan bibir mereka gemetar dengan emosi mendengar perkataan itu, dan mereka bertanya, "Benarkah, Tuhan?", "Sungguhkah, Guru?", "Apakah kami begitu Engkau sayangi?"
"Ya. Sangat tersayang. Apa kau punya makanan?"
"Ya. Aku yakin bahwa Engkau akan kehabisan tenaga dan aku mendapatkan makanan dalam perjalanan. Aku punya roti dan daging panggang, susu, keju, dan apel; dan sekirbat anggur dan beberapa telur untuk-Mu. Asalkan saja telur-telur itu tidak pecah..."
"Baiklah, mari kita duduk di sini, di bawah sinar matahari yang indah ini, dan makan. Sambil makan kau bisa bercerita kepada-Ku..."
Mereka duduk di bawah matahari di suatu petak dan Petrus membuka tas kainnya dan memeriksa hartanya, "Semuanya baik-baik saja," serunya. "Juga madu dari Antigonea. Baik! Bukankah sudah aku katakan padamu! Dalam perjalanan balik kita, jika mereka memasukkan kita ke dalam tong dan menyuruh seorang gila menggelindingkannya, atau jika mereka menempatkan kita dalam perahu tanpa dayung, bahkan jika perahunya bocor, dan ada badai, kita pasti akan kembali dengan aman dan selamat... Tapi perginya ke sana... Semakin aku memikirkannya, semakin aku yakin bahwa setan mengganggu kita. Untuk mencegah kita pergi bersama kedua orang malang itu..."
"Tentu saja! Dalam perjalanan balik kita tidak ada tujuan..." tegas Zelot.
"Guru, apakah Engkau melakukan penitensi untuk kami?" tanya Yohanes, yang begitu asyik mengkontemplasikan Yesus hingga dia lupa makan.
"Ya, Yohanes. Pikiran-Ku mengikutimu. Aku merasakan bahayamu dan kesusahanmu. Aku membantumu sebisa-Ku..."
"Oh! Aku merasakannya! Aku bahkan memberitahumu. Apa kau ingat?"
"Ya, benar," mereka semua menegaskan.
"Nah, kau sekarang memberikan kembali kepada-Ku apa yang sudah Aku berikan kepadamu."
"Apakah Engkau berpuasa, Tuhan?" tanya Andreas.
"Tentu saja! Bahkan meski Dia ingin makan, karena Dia tidak punya uang, dalam gua, bagaimana kau bisa berharap Dia mendapatkan makanan?" jawab Petrus.
"Semuanya demi kita! Betapa menyesalnya aku!" kata Yakobus Alfeus.
"Oh! tidak! Jangan khawatir! Aku tidak melakukannya hanya untukmu, tetapi juga untuk seluruh dunia. Seperti yang Aku lakukan ketika Aku memulai misi-Ku, demikianlah Aku melakukannya sekarang. Kemudian, pada akhirnya, Aku dibantu oleh para malaikat. Sekarang Aku dibantu olehmu. Dan percayalah, ini adalah sukacita dobel bagi-Ku. Karena pelayanan cinta kasih tidak bisa dikalahkan oleh para malaikat. Tetapi tidak begitu mudah ditemukan di antara manusia. Kamu mengamalkannya. Dan dari manusia, demi Aku, kamu telah menjadi malaikat dengan memilih untuk menjadi kudus dengan segala risikonya. Karena itu kamu membuat-Ku bahagia, baik sebagai Allah maupun sebagai Manusia-Allah. Sebab kamu memberi-Ku apa yang datang dari Allah: Cinta Kasih, dan kamu memberi-Ku apa yang berhubungan dengan Sang Penebus: kenaikanmu menuju Kesempurnaan. Itulah yang datang darimu dan itu lebih memberikan makanan daripada makanan apa pun. Juga kala itu, di gurun, aku diberi makan dengan kasih setelah berpuasa. Dan itu memulihkan-Ku. Dan apa yang terjadi kala itu, sedang terjadi sekarang! Kita semua menderita. Baik kamu maupun Aku. Tapi tidak sia-sia. Aku pikir, Aku tahu bahwa hal itu sudah membantumu lebih daripada setahun penuh pengajaran. Kesedihan, meditasi tentang kemalangan yang bisa dilakukan manusia terhadap sesamanya, kesalehan, iman, harapan, kasih yang harus kamu amalkan, semuanya kau lakukan sendiri, sudah mendewasakanmu seperti anak-anak yang menjadi orang dewasa..."
"Oh! ya ! Aku sudah menjadi tua, sungguh. Aku tidak akan pernah lagi menjadi Simon Yunus yang sama seperti saat aku pergi. Aku mengerti betapa sedihnya, betapa beratnya misi kami, kendati segala keindahannya…" kata Petrus mendesah.
"Nah, kita semua sudah bersama sekarang. Ceritakanlah kepadaku..."
"Bicaralah, Simon. Kau bisa bicara lebih baik dari aku," kata Petrus kepada Zelot.
"Tidak. Sebagai pemimpin yang baik, kau harus berbicara atas nama semua orang," jawab yang lain.
Dan Petrus pun memulai, dengan menyatakan sebagai pengantar pendahuluan, "Tapi tolonglah aku." Dia menceritakan semuanya secara urut sampai keberangkatan dari Antiokhia. Dia lalu mulai berbicara tentang kepulangan mereka, "Kami semua berduka, seperti yang bisa dengan mudah Engkau mengerti. Aku tidak akan pernah melupakan perkataan terakhir dari keduanya..." Dengan punggung tangannya Petrus menyeka dua tetes besar airmata yang menuruni pipinya... "Mereka terdengar seperti seruan akhir seorang yang tengah tenggelam... Dengar... kau sebaiknya lanjutkan... aku tidak bisa..." dan dia bangkit lalu pergi untuk mengendalikan emosinya.
Simon Zelot melanjutkan, "Tak seorang pun dari kami yang banyak bicara... Kami tak sanggup... Kerongkongan kami tercekat, terasa sakit... Dan kami tidak ingin menangis... karena jika salah seorang dari kami mulai, itu akan tamat... Aku ambil kendali, sebab Simon Yunus, untuk menyembunyikan kesedihannya, sudah pergi ke kereta dengan berpura-pura mencari sesuatu dalam tas kain. Kami berhenti di sebuah desa kecil di tengah jalan antara Antiokhia dan Seleukia. Meskipun sinar bulan semakin terang saat malam semakin gelap, kami berhenti di sana, karena kami tidak terbiasa dengan jalannya. Dan kami tertidur di sana, dengan berbaring di atas barang-barang bawaan kami. Tak satu pun dari kami yang makan... karena kami tidak sanggup. Kami memikirkan keduanya... Ketika fajar menyingsing kami menyeberangi jembatan dan sebelum jam tiga kami berada di Seleukia. Kami mengembalikan kuda dan keretanya ke pemilik penginapan dan karena dia seorang yang sangat baik, kami meminta nasihatnya sehubungan dengan perahu. Dia mengatakan, "Aku akan datang ke pelabuhan bersamamu. Aku kenal orang-orangnya dan mereka kenal aku." Dan itulah yang dia lakukan. Dia mendapati tiga perahu yang berangkat ke pelabuhan di daerah itu. Tapi di satu perahu ada beberapa... orang aneh; kami tidak ingin bersama mereka. Orang kami yang memberitahu, sebab dia mendengar tentang orang-orang itu dari pemilik perahu. Perahu kedua dari Askelon dan mereka menolak untuk singgah di Tirus, kecuali kami membayar sejumlah uang yang tidak mampu kami bayar. Yang ketiga adalah perahu kecil yang sangat menyedihkan, dengan muatan kayu. Perahu jelek, dengan sedikit tangan dan aku pikir dengan banyak kemalangan. Itulah sebabnya mereka setuju untuk singgah di Tirus, meskipun mereka sedang menuju Kaisarea, asalkan kami membayar biaya makan dan upah sehari untuk seluruh awak. Perahu itu cocok untuk kita. Sebenarnya Matius dan aku agak khawatir. Ada badai pada masa ini dalam tahun... dan Engkau tahu apa yang sudah terjadi dalam perjalanan kami ke sana. Tapi Simon Petrus mengatakan, 'Tidak akan terjadi apa-apa.' Jadi kami naik. Perahu berlayar begitu mulus dan cepat hingga seolah-olah para malaikat membantunya berlayar. Kami tiba di Tirus hanya dalam waktu setengah dari yang kami butuhkan untuk tiba ke sana dan ketika kami tiba, pemilik perahu begitu baik hingga dia setuju untuk menarik perahu kami sampai kami ada dekat Ptolemais. Petrus, Andreas dan Yohanes yang lalu menanganinya... Tapi itu sangat mudah... Tidak seperti perjalanan kepergian kami. Di Ptolemais kami berpisah. Dan kami sangat senang bahwa sebelum naik ke perahu kami di mana semua barang kami berada, kami memberinya uang lebih banyak daripada yang sudah kami sepakati. Kami berhenti satu hari di Ptolemais, dan lalu kami kemari... Tapi kami tidak akan pernah melupakan apa yang kami derita. Simon Yunus benar."
"Dan bukankah kami juga benar mengatakan bahwa iblis mengganggu kami hanya dalam perjalanan keberangkatan kami?" beberapa rasul bertanya.
"Kamu benar. Sekarang dengarkan. Misimu sudah berakhir. Sekarang kita akan pergi ke Yiftah-El, menantikan Filipus dan Natanael. Dan kita harus melakukannya segera. Kemudian yang lain-lain akan datang... Sementara itu kita akan menginjili di sini, di perbatasan Fenisia dan di Fenisia sendiri. Tetapi yang baru-baru ini terjadi hendaknya dikubur dalam hatimu selamanya. Janganlah mnejawab siapa pun yang bertanya mengenainya."
"Bahkan tidak kepada Filipus dan Natanael? Mereka tahu bahwa kami datang bersama-Mu..."
"Aku akan berbicara kepada mereka. Aku telah sangat banyak menderita, sahabat-sahabat-Ku terkasih, seperti yang kamu lihat sendiri. Dengan penderitaan-Ku, Aku membayar kedamaian bagi Yohanes dan Sintikhe. Jangan biarkan penderitaan-Ku sia-sia. Janganlah membebani pundak-Ku dengan beban lain lagi. Aku sudah punya begitu banyak!... Dan beratnya semakin berat hari demi hari, jam demi jam... Beritahu Natanael bahwa Aku telah sangat menderita. Beritahu Filipus, dan beritahu mereka agar baik. Beritahu kedua murid lainnya. Jika kamu memberitahu mereka bahwa kamu mengerti bahwa Aku telah menderita, dan bahwa Aku menegaskannya, kamu mengatakan yang sebenarnya kepada mereka. Tidak ada lagi yang diperlukan."
Yesus berbicara dengan letih... Kedelapan rasul memandang-Nya dengan sedih, dan Petrus berani membelai kepala-Nya, dengan berdiri di belakang punggung-Nya. Yesus mendongakkan kepala-Nya dan menatap Petrus-Nya yang jujur dengan senyum kasih yang sedih.
"Oh! Aku tidak tahan melihat Engkau seperti itu! Sepertinya... Aku merasa bahwa sukacita reuni kita telah berakhir dan hanya kekudusannya yang tersisa! Baiklah... Mari kita pergi ke Akhzib. Engkau akan berganti pakaian, mencukur jenggot dan merapikan rambut-Mu. Kau tidak bisa tetap seperti itu! Aku tidak tahan melihat-Mu seperti itu... Kau kelihatan seperti orang... yang baru lolos dari tangan-tangan yang keji, seperti orang yang telah dipukuli, atau kehabisan tenaga... Kau terlihat seperti Habel dari Betlehem di Galilea, yang terbebas dari para musuhnya..."
"Ya, Petrus. Tapi adalah hati Guru-mu yang telah diperlakukan dengan keji... dan itu tidak akan pernah pulih kembali... Sebaliknya, akan semakin menyakitkan. Marilah kita pergi..."
Yohanes mendesah, "Maafkan aku... Aku ingin memberitahu Tomas, yang sangat menyayangi BundaMu, tentang mukjizat lagu dan minyak urapan itu..."
"Kau akan memberitahunya suatu hari nanti... Tidak sekarang. Suatu hari kau akan menceritakan semuanya. Saat itu, kau akan diizinkan berbicara. Aku Sendiri yang akan mengatakan kepadamu, 'Pergi dan ceritakan semua yang kau ketahui.' Sementara itu, lihatlah kebenaran dalam mukjizat. Yaitu: kuasa Iman. Yohanes dan Sintikhe menenangkan lautan dan menyembuhkan laki-laki itu bukan dengan perkataan atau dengan minyak urapan. Melainkan melalui iman yang dengannya mereka menyebutkan Nama Maria dan menggunakan minyak urapan-Nya. Dan karena imanmu ada di sana juga, dan cinta kasihmu. Cinta kasihmu untuk orang yang terluka itu. Cinta kasih untuk si orang Kreta. Kau menyelamatkan hidup orang yang terluka itu dan berusaha memberikan iman kepada si orang Kreta. Tetapi jika adalah mudah untuk menyembuhkan tubuh, adalah sangat sulit untuk menyembuhkan jiwa... Tidak ada penyakit yang lebih sulit untuk dienyahkan, selain daripada penyakit rohani..." dan Yesus menghela nafas panjang.
Akhzib sudah kelihatan dalam jangkauan mata. Petrus bersama Matius mendahului untuk mencari penginapan. Yang lainnya mengikuti dengan berkumpul di sekeliling Yesus. Matahari terbenam dengan cepat saat mereka memasuki desa...
|
|
|