320. KEDATANGAN DAN MENDARAT DI SELEUKIA.            


6 November 1945  

Kota Seleukia muncul dalam keindahan matahari terbenam bagai suatu massa putih raksasa di tepian air laut biru, yang tenang dan cerah menyenangkan, sementara angin sepoi-sepoi bermain di antara ombak-ombak kecil di bawah langit tak berawan yang memadukan warna birunya dengan ungu matahari terbenam. Kapal melaju di bawah layarnya menuju kota terpencil itu dengan begitu dilimpahi semarak matahari terbenam, hingga ia tampak terang benderang dengan cahaya kegembiraan karena kedatangannya sudah menjelang.

Di geladak, di antara para pelaut yang tidak lagi sibuk atau khawatir, ada para penumpang yang melihat bahwa tujuan mereka semakin dekat. Pelaut yang terluka itu duduk di samping Yohanes En-Dor, yang jauh lebih kurus dibandingkan saat dia pergi. Kepala laki-laki itu masih dibalut perban tipis dan dia sepucat mayat karena sudah kehilangan banyak darah. Namun dia tersenyum dan berbicara kepada mereka yang menyelamatkannya dan kepada rekan-rekannya yang, sementara mereka lewat, memberi selamat kepadanya saat dia kembali ke geladak.

Si orang Kreta juga melihatnya dan dengan mempercayakan posnya sejenak kepada pengemudi kapal, dia datang untuk menyalami "Demetes-nya yang sangat baik", yang sudah kembali ke geladak untuk pertama kalinya sesudah terluka. "Dan terima kasih kepadamu semua," dia berkata kepada para rasul. "Aku tidak menyangka dia bisa bertahan hidup, sesudah dihantam oleh balok berat dan besi, yang bahkan membuatnya semakin parah. Demetes, orang-orang ini benar-benar sudah menghidupkanmu kembali, karena kau sudah seperti mati, dan bukan hanya sekali, melainkan dua kali. Pertama kalinya, saat kau tergeletak bagai seonggok barang di geladak, dan karena kehilangan darah kau pingsan dan gelombang bisa saja menghanyutkanmu ke laut, kau bisa mati dan turun ke kerajaan Neptunus di antara Nereid dan Triton. Kedua kalinya karena mereka menyembuhkanmu dengan minyak urapan mereka yang menakjubkan. Biarkan aku melihat lukamu."

Laki-laki itu membuka perbannya dan menunjukkan bekas luka halus yang sudah sembuh, seperti tanda merah dari pelipis hingga tengkuknya, tepat di bawah rambutnya, yang tampaknya dipotong, mungkin oleh Sintikhe, agar tidak masuk ke dalam luka. Nicomedes menyentuh halus tanda itu, "Bahkan tulangnya pun sembuh! Venus laut benar-benar mencintaimu! Dan dia menginginkanmu hanya di permukaan laut dan di pantai Yunani. Semoga Eros bermurah hati kepadamu, sekarang sesudah kita mendarat, dan membantumu melupakan kemalanganmu dan melupakan teror Thanatos karena kau tadinya sudah dalam cengkeramannya."

Wajah Petrus memperlihatkan perasaannya saat mendengar begitu banyak nama dewa-dewi mitologis disebut. Bersandar pada sebuah tiang, dengan kedua tangan di belakang punggungnya, dia tidak berbicara, tetapi segala sesuatunya berbicara dalam dia yang mengunci rapat dalam mulutnya julukan sengit bagi si Nicomedes yang kafir dan segala kekafirannya, dan mengungkapkan rasa jijiknya pada semua hal yang non-Yahudi itu.

Yang lain tidak kalah jijiknya... Yudas Alfeus bermuka masam seperti yang biasa dilakukannya ketika dalam temperamen buruk, saudaranya berjalan kian kemari menunjukkan minat yang besar pada laut. Yakobus Zebedeus memutuskan bahwa hal terbaik untuk dilakukan adalah meninggalkan mereka semua dan pergi ke bawah geladak untuk mengambil tas-tas bawaan dan alat tenun, Matius bermain-main dengan ikat pinggangnya dan Zelot menirunya, menyibukkan diri secara berlebihan dengan sandalnya, seolah-olah itu adalah sandal baru, dan Yohanes Zebedeus terhipnotis dengan mengkontemplasikan laut.

Kemuakan dan kedongkolan hati kedelapan rasul itu begitu jelas - dan kebisuan dari kedua murid yang duduk di dekat laki-laki yang terluka itu sama jelasnya - sehingga si  orang Kreta menyadarinya dan dia meminta maaf, "Itu agama kami, kau tahu? Seperti kau percaya agamamu, kami semua percaya agama kami..."

Tak seorang pun menjawab dan si orang Kreta itu dengan bijak memutuskan untuk meninggalkan dewa-dewinya dalam damai, dan turun dari Olympus ke bumi, atau lebih tepatnya ke laut, ke kapalnya, dengan mengundang para rasul untuk pergi ke haluan untuk bisa mendapatkan pemandangan indah kota yang akan mereka datangi. "Itu dia, lihat? Apa kamu pernah ke sana?"

"Aku pernah ke sini, tapi aku datang lewat darat," kata Zelot dengan serius dan datar.

"Sungguh bagus! Jadi, kau tahu bahwa Seleukia adalah pelabuhan Antiokhia yang sebenarnya. Kota laut ini berada di muara Sungai Orontes, yang juga dengan indahnya cocok untuk menerima perahu-perahu yang bisa mengarungi sungai sampai sejauh Antiokhia saat airnya dalam. Kota yang kau lihat, yang lebih besar, adalah Seleukia. Yang lainnya, di selatan, bukan sebuah kota, melainkan reruntuhan dari tempat yang hancur. Kelihatan menipu, tetapi itu tempat yang mati. Barisan itu adalah Pierios, yang seturutnya kota disebut Seleukia Pieria. Puncak gunungnya lebih jauh ke pedalaman, di balik dataran, adalah Gunung Casius, dan mendominasi dataran Antiokhia. Barisan lainnya ke utara adalah Amanus. Oh! Kau akan melihat pekerjaan yang sudah dilakukan orang-orang Romawi di Seleukia dan di Antiokhia! Mereka tidak bisa melakukan yang lebih besar dari itu. Sebuah pelabuhan dengan tiga teluk kecil, yang merupakan salah satu kanal, dermaga, dan pemecah gelombang terbaik. Tidak banyak di Palestina. Tapi Siria lebih baik dari provinsi-provinsi lain di Kekaisaran..."

Kata-katanya terhenti dalam kebisuan yang seolah mati. Bahkan Sintikhe, yang karena orang Yunani tidak sebegitu muak dibandingkan yang lain-lainnya, merapatkan bibirnya, dan wajahnya, seperti yang tidak biasa terjadi, menjadi sekaku wajah yang diukir pada medali atau relief dasar: wajah seorang dewi yang meremehkan kontak duniawi.

Si orang Kreta memperhatikan itu dan dia meminta maaf, "Apa yang kau harapkan! Bagaimanapun juga, aku menghasilkan uangku dari Romawi!..."

Jawaban Sintikhe setajam pedang, "Dan emas menumpulkan pedang kehormatan dan kebebasan nasional," dan dia mengatakannya sedemikian rupa dan dalam bahasa Latin yang sebegitu tanpa cela hingga laki-laki itu tercengang...

Kemudian dia berani bertanya, "Tapi bukankah kau orang Yunani?"

"Aku orang Yunani. Tapi kau mencintai Romawi. Aku berbicara kepadamu dalam bahasa tuanmu, bukan dalam bahasaku, yang merupakan bahasa dari Tanah air kami yang martir."

Orang Kreta itu merasa malu sementara para rasul diam-diam bergembira atas pelajaran yang diberikan kepada si pemuji Romawi. Dan si orang Kreta itu mengubah topik pembicaraan dan bertanya bagaimana mereka akan pergi dari Seleukia ke Antiokhia.

"Berjalan kaki, sobat," jawab Petrus. "Tapi sekarang sore. Dan akan menjadi malam saat kau mendarat..."

"Akan ada tempat di mana kami bisa tidur."

"Tentu saja. Tapi kamu bisa tidur di sini sampai besok."

Yudas Tadeus, yang melihat bahwa mereka sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kurban kepada dewa-dewa, yang akan dipersembahkan kemungkinan pada saat mereka tiba di pelabuhan, berkata, "Itu tidak perlu. Kami berterima kasih atas kebaikanmu, tetapi kami lebih suka mendarat. Benar begitu, Simon?"

"Ya. Kita juga punya doa-doa untuk didaraskan, dan itu... entah kau dan dewa-dewamu, atau kami dan Allah kami."

"Lakukan sesukamu. Aku ingin melakukan sesuatu yang baik untuk membalas putra Teofilus."

"Dan kami ingin melakukan sesuatu yang baik untuk Putra Allah, dengan meyakinkanmu bahwa hanya ada satu Allah. Tapi kau adalah batu yang tidak akan goyah. Seperti yang kau lihat, kita berada di posisi yang sama. Tapi mungkin kita akan bertemu lagi suatu hari nanti dan kau mungkin tidak akan sebegitu berdegil..." kata Zelot dengan serius.

Nicomedes membuat suatu gerak isyarat seolah-olah dia hendak mengatakan: Mungkin. Suatu gerak isyarat ceroboh yang ironis sehubungan dengan undangan untuk mengenal Allah yang benar dan meninggalkan allah yang palsu. Dia kemudian pergi ke tempat kemudi karena pelabuhan sudah dekat.

"Ayo kita pergi ke bawah dan mengambil lemarinya. Ayo kita lakukan sendiri. Aku sangat ingin melepaskan diri dari bau kafir ini," kata Petrus. Dan mereka semua pergi ke bawah kecuali Sintikhe dan Yohanes.

Kedua orang buangan itu berdekatan satu sama lain dan mengamati pemecah gelombang yang semakin mendekat.

"Sintikhe, suatu langkah lagi menuju yang tidak diketahui, suatu renggutan lain dari masa lalu yang bahagia, suatu sakrat maut lain, Sintikhe... Aku tidak bisa tahan lagi..."

Sintikhe meraih tangannya. Dia sangat pucat dan sedih. Tapi dia masih seorang perempuan kuat yang tahu bagaimana menyemangati orang. "Ya, Yohanes, suatu renggutan lain, suatu sakrat maut lain. Tapi jangan katakan: suatu langkah lain menuju yang tidak diketahui... Itu tidak benar. Kita tahu apa misi kita di sini. Yesus mengatakannya kepada kita. Jadi kita tidak menuju yang tidak diketahui, sebaliknya kita masuk semakin dalam pada apa yang kita ketahui, pada Kehendak Allah. Bahkan tidak benar mengatakan: "suatu renggutan lain". Kita dipersatukan dengan kehendak-Nya. Sedangkan renggutan memisahkan. Kita dipersatukan. Jadi kita tidak sedang dipisahkan. Kita hanya berpisah dengan kesenangan sensitif dari kasih kita kepada-Nya, Guru kita, dengan menyimpan kesenangan super sensitif untuk diri kita sendiri, mentransfer kasih dan kewajiban ke tingkat adikodrati. Apakah kau yakin demikian? Ya kah? Baiklah, kau bahkan jangan mengatakan: "suatu sakrat maut lain". Sakrat maut mengisyaratkan kematian yang menjelang. Tetapi dengan mencapai suatu tingkat rohani untuk menjadikannya kediaman kita, atmosfer kita dan makanan kita, kita tidak mati, 'kita hidup'. Karena apa yang rohani itu kekal. Oleh karenanya, kita naik ke kehidupan yang lebih hidup, suatu antisipasi akan Kehidupan agung di Surga. Jadi, bergembiralah! Lupakanlah bahwa kau adalah manusia-Yohanes, dan ingatlah bahwa kau ditakdirkan ke Surga. Berakal budi, bertindak, berpikir, dan berharaplah hanya sebagai seroang warga negara Tanah Air yang kekal itu..."

Yang lainnya kembali dengan bawaan mereka, ketika kapal memasuki pelabuhan besar Seleukia dengan megah.

"Dan sekarang mari kita pergi sesegera mungkin, ke penginapan pertama yang kita temui. Pasti ada di sekitar sini, dan besok... dengan perahu atau kereta kita akan pergi ke tujuan kita."

Kapal berlabuh dengan petunjuk yang diberikan dengan siulan dan tangga dari geladak diturunkan.

Nicomedes menghampiri para penumpang yang hendak pergi itu.

"Selamat tinggal, sobat. Dan terima kasih," kata Petrus atas nama semua orang.

"Selamat tinggal, orang Israel. Dan aku berterima kasih. Jika kau menyusuri jalanan itu, kau akan segera menemukan penginapan-penginapan. Selamat tinggal."

Para rasul turun di sisi sini, dan dia pergi ke arah yang berlawanan, dan sementara Petrus dan yang lainnya, yang sarat barang seperti pengangkut barang, pergi untuk beristirahat, orang-orang yang tidak mengenal Allah itu memulai ritusnya yang tidak berguna...
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 5                 Daftar Istilah                    Halaman Utama