|
319. BADAI DAN MUKJIZAT DI KAPAL.
5 November 1945
Laut Mediterania adalah hamparan air biru kehijauan yang mengamuk, dengan ombak-ombak besar berbuih yang sangat tinggi yang saling berbenturan satu sama lain. Tidak ada kabut tebal hari ini. Tetapi air laut, yang dilumatkan oleh deburan terus-menerus gelombang besar, berubah menjadi debu asin yang membara yang menembus masuk bahkan ke dalam pakaian orang, memerahkan mata, mengiritasi tenggorokan, dan tampaknya menyebar bagai selubung bubuk garam di mana-mana, baik di udara, membuatnya buram seperti yang terjadi saat kabut tipis, dan pada barang-barang yang seolah-olah disemprot dengan tepung berwarna cerah: kristal garam yang lembut. Namun, itu terjadi, saat tidak ada deburan ombak besar, atau di mana ombak tidak menggelontor geladak dari satu sisi ke sisi lainnya, memecah di atasnya, bergegas lari ke sisi kapal, lalu jatuh kembali ke dalam laut dengan gemuruh air terjun, melalui lubang pembuangan lambung kapal di sisi yang berlawanan. Dan kapal itu naik tenggelam dalam air, bagai sebatang ranting di bawah belas kasihan samudera, sama sekali bukan apa-apa dibandingkan samudera, berdecit-decit dan mengerang dari lambung kapal ke puncak-puncak tiang... Laut benar-benar sang tuan dan kapal itu mainannya...
Kecuali mereka yang mengemudikan kapal, tidak ada seorang pun di geladak. Tidak ada barang juga, hanya pelampung-pelampung. Dan awak kapal, terutama semua orang Kreta Nicomedes, setengah telanjang, bertungkus lumus, lari kian kemari, memperbaiki kembali dan mengamankan, suatu tugas yang sulit karena dek yang banjir dan licin. Pintu-pintu palka yang terkunci menjadikan mustahil melihat apa yang terjadi di bawah dek. Tetapi aku yakin mereka tidak bisa sangat gembira di bawah sana!...
Aku tidak bisa mengatakan di mana mereka, karena tidak ada suatu pun selain lautan di sekeliling dan sebuah pantai yang jauh, yang tampaknya bergunung-gunung, dengan pegunungan yang nyata, bukan perbukitan. Aku akan katakan bahwa mereka sudah berlayar lebih dari satu hari, sebab sudah pasti saat itu pagi, karena matahari, yang muncul dan menghilang di antara awan-awan tebal, bersinar dari timur.
Aku pikir kapal itu berhasil melakukan sedikit kemajuan, kendati ia begitu diombang-ambingkan. Dan laut tampaknya menjadi semakin ganas.
Dengan suatu tabrakan yang mengerikan sebagian dari sebuah tiang kapal, nama persisnya aku tidak tahu, patah, dan roboh, dan dengan diseret oleh gelontoran air yang terhempas di geladak bersama sungguh-sungguh angin puyuh, meruntuhkan bagian sisi kapal.
Mereka yang di bawah pastilah merasa bahwa kapalnya tenggelam... Dan itu terbukti, sesudah beberapa saat, ketika sebuah palka setengah dibuka dan kepala Petrus yang berambut abu-abu melongok keluar. Dia memandang sekeliling, melihat, dan menutup palka tepat pada waktunya untuk mencegah aliran air deras masuk melaluinya. Tapi kemudian, di saat tenang, dia membukanya lagi dan melompat keluar. Dia berpegangan pada penyangga dan menyaksikan semua isi neraka dibiarkan lepas dan dia bersiul dan bergumam mengomentari situasinya.
Nicomedes melihatnya, "Pergi! Pergilah!" dia berteriak. "Tutup palka itu. Jika kapal menjadi lebih berat, dia akan tenggelam. Kita beruntung jika aku tidak harus membuang kargo ke laut... Tidak pernah melihat badai seperti ini! Aku katakan padamu, pergilah! Aku tidak ingin orang-orang yang tidak mengerti laut menghalangi jalanku. Ini bukan tempat untuk tukang kebun, dan..." Dia tidak bisa melanjutkan perkataannya karena suatu gelombang lain menyapu dek dan membuat basah kuyup semua yang ada di atasnya. "Lihat?" dia berteriak kepada Petrus yang basah kuyup.
"Aku lihat. Tapi itu tidak mengejutkanku. Aku tidak hanya bisa memelihara kebun. Aku lahir di air, di danau, itu benar... Tapi bahkan di danau!... Sebelum menjadi tukang kebun, aku adalah nelayan dan aku tahu..."
Petrus sangat tenang dan dia tahu bagaimana menghadapi kapal yang terombang-ambing hebat itu dengan baik dengan kedua kaki kokohnya terbuka lebar. Orang Kreta itu mengawasi sementara dia bergerak menghampirinya.
"Kau tidak takut?" tanyanya.
"Memimpikannya pun tidak!"
"Dan yang lain-lainnya?"
"Tiga dari mereka adalah nelayan sepertiku, yaitu, dulu... Yang lain, kecuali yang sakit, adalah orang-orang kuat."
"Juga perempuan itu?... Awas! Hati-hati! Pegangan!"
Gelontoran air lainnya menyerbu geladak. Petrus menunggu sampai semuanya berakhir dan lalu berkata, "Andai aku bisa menikmati segala kesejukan ini musim panas lalu... Sudahlah! Kau bertanya apa yang sedang dilakukan perempuan itu. Dia sedang berdoa... dan sebaiknya kau melakukan hal yang sama. Tapi di mana tepatnya kita sekarang? Di Terusan Siprus?"
"Aku berharap kita di sana! Aku akan berlayar ke pulau itu dan menunggu alam tenang. Kita baru saja meninggalkan Colonia Julia, atau Beritus, jika kau lebih suka menyebutnya begitu. Sekarang kita akan mengalami yang terburuk... Itu adalah pegunungan Libanon."
"Tidak bisakah kau masuk ke sana, di mana ada desa?"
"Itu bukan tempat berlabuh yang baik, ada gosong karang dan batu-batu karang. Itu tidak mungkin. Awas!..."
Suatu angin puyuh lain dan sebuah tiang lain jatuh menimpa seorang laki-laki, yang tidak tersapu ke laut hanya karena gelombang membuatnya tersangkut pada suatu halangan.
"Pergi ke bawah geladak! Pergilah! Lihat?"
"Ya, aku lihat... tapi laki-laki itu?..."
"Jika dia tidak mati dia akan sadar kembali. Aku tidak bisa mengurusnya... Kau bisa lihat!..." Sesungguhnya, orang Kreta itu harus punya banyak mata di belakang kepalanya juga demi keselamatan nyawa semua orang.
"Serahkan dia kepadaku. Perempuan itu akan mengurusnya..."
"Terserah, tapi pergilah!..."
Petrus berjalan merayap sejauh orang yang tidak bergerak itu, memegang kakinya dan menariknya ke arah dirinya. Dia menatapnya, bersiul... Dia menggumam, "Kepalanya terbelah seperti delima yang masak. Tuhan seharusnya di sini... Oh! andai Dia di sini! Tuhan Yesus! Guru-ku, mengapakah Engkau meninggalkan kami?" Ada kesedihan mendalam dalam suaranya...
Dia memanggul orang sekarat itu, menjadi basah kuyup dengan darah, dan kembali ke palka.
Orang Kreta itu berteriak kepadanya, "Tidak ada gunanya. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Lihat saja!..."
Namun Petrus, dengan memanggul bebannya, membuat isyarat seolah-olah mengatakan, "Kita akan lihat nanti" dan dia menempel pada tiang untuk bertahan dari suatu gelombang baru. Dia lalu membuka palka dan berteriak, "Yakobus, Yohanes, kemarilah!" dan dengan bantuan mereka dia menurunkan orang yang terluka itu, lalu dia sendiri turun dengan mengamankan palka.
Dalam cahaya berasap lampu-lampu gantung, mereka melihat Petrus berlumuran darah. "Apa kau terluka?" tanya mereka.
"Bukan, bukan aku. Itu darahnya... Tapi... sebaiknya kau berdoa juga karena... Sintikhe, lihat di sini. Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa kau tahu cara merawat orang yang terluka. Lihat kepala ini..."
Sintikhe meninggalkan Yohanes En-Dor, yang sangat menderita dan tengah dia dukung, lalu pergi ke meja di mana mereka sudah membaringkan laki-laki malang itu. Dan dia melihat...
"Luka yang parah! Aku pernah melihat seperti ini dua kali, pada dua orang budak, yang satu dipukul oleh tuannya, yang lain terbentur batu di Caprarola. Aku membutuhkan air, banyak air untuk membersihkannya dan menghentikan darahnya..."
"Jika kau hanya menginginkan air!... Bahkan ada terlalu banyak air! Ayo, Yakobus, dengan tong. Kita akan menanganinya dengan lebih baik berdua."
Mereka pergi dan kembali basah kuyup. Dan Sintikhe dengan kain basah membasuh dan mengompres tengkuk laki-laki itu... Tapi lukanya sangat parah. Tulangnya terlihat dari pelipis sampai ke tengkuk. Namun laki-laki itu membuka matanya samar-samar dan menggumam seraya terengah-engah. Dia dicekam ketakutan naluriah akan kematian.
"Baik! Jadilah baik! Kau akan sembuh," kata perempuan Yunani itu menghiburnya dengan kasih keibuan dan dia berbicara kepadanya dalam bahasa Yunani karena bahasa Yunani adalah bahasa ibu laki-laki itu.
Laki-laki itu, meski tertegun, kagum dan menatap padanya dengan senyum samar saat mendengar bahasa ibunya dan mencari tangan Sintikhe... laki-laki dewasa yang menjadi seorang anak begitu dia menderita dan mencari seorang perempuan yang selalu menjadi seorang ibu dalam kasus-kasus demikian.
"Aku akan mencobanya dengan minyak urapan Maria," kata Sintikhe ketika aliran darahnya berkurang.
"Tapi itu untuk nyeri..." Matius berkeberatan. Dia sudah berubah pucat pasi, aku tidak tahu apakah karena laut yang ganas atau karena melihat darah, atau karena keduanya.
"Oh! Maria yang mempersiapkannya, dengan tangan-Nya sendiri! Aku akan menggunakannya dengan berdoa... Maukah kau berdoa juga. Tidak ada salahnya. Minyak selalu adalah obat..."
Dia menuju tas kain Petrus, mengambil sebuah botol darinya, akan aku katakan sebuah botol perunggu, membukanya, dan mengambil sedikit minyak urapan, yang dia hangatkan di atas lampu pada tutup botol yang sama. Dia menuangkannya ke sehelai kain linen terlipat dan menempatkannya pada kepala yang terluka. Dia lalu membalutnya erat dengan carik kain linen. Dia menempatkan mantel yang terlipat di bawah kepala laki-laki yang terluka itu yang tampaknya tertidur dan dia duduk di dekatnya sementara berdoa; yang lain-lainnya juga berdoa.
Badai masih mengamuk di geladak dan kapal terhempas-hempas dengan ngeri. Selang beberapa waktu, palka terbuka dan seorang pelaut bergegas masuk.
" Ada masalah apa?" tanya Petrus.
"Kita dalam bahaya. Aku datang untuk mengambil dupa dan persembahan untuk kurban..."
"Lupakan omong kosong macam itu!"
"Tapi Nicomedes ingin melakukan kurban kepada Venus! Kita berada di lautnya..."
"Yang sama kalutnya dengan si dewi," gerutu Petrus dengan suara rendah. Kemudian dengan sedikit lebih keras, "Kau, ikutlah aku. Ayo kita pergi ke geladak. Mungkin ada yang harus dilakukan... Apa kau takut sendirian bersama laki-laki yang terluka itu dan mereka berdua?" Kedua orang yang dimaksud adalah Matius dan Yohanes En-Dor, yang payah keadaannya karena mabuk laut.
"Tidak. Pergilah," jawab Sintikhe.
Saat berada di geladak, mereka berpapasan dengan orang Kreta itu yang berusaha menyalakan dupa dan yang menyerang mereka dengan marah untuk menyuruh mereka kembali ke bawah, dengan berteriak, "Tidak bisakah kau lihat bahwa tanpa mukjizat kita akan karam? Ini pertama kalinya! Pertama kalinya sejak aku berlayar!"
"Dengar, dia sekarang akan mengatakan bahwa kita sudah merapal mantra!" bisik Yudas Alfeus.
Sesungguhnya laki-laki itu berteriak dengan lebih keras, "Terkutuklah orang-orang Israel, apa yang sudah kamu lakukan? Kamu anjing, kamu sudah merapal mantra kepadaku! Pergi! Sekarang aku akan mempersembahkan kurban kepada Venus yang baru lahir..."
"Tidak, tidak sama sekali. Kami akan mengurbankan..."
" Pergilah! Kau orang kafir, kau setan, kau..."
"Kau dengar itu? Aku bersumpah kepadamu jika kau mengizinkan kami melakukan apa yang ingin kami lakukan, kau akan melihat mukjizat."
"Tidak. Pergilah!" dan dia menyalakan dupa dan melemparkan ke dalam laut, sebisa mungkin, cairan-cairan yang sebelumnya sudah dia persembahkan dan cicipi, serta beberapa bubuk, yang tidak aku kenal. Namun gelombang memuntahkan dupa, dan laut bukannya tenang, malahan semakin mengamuk, menghanyutkan semua perlengkapan ritus dan nyaris menyapu Nicomedes juga...
"Dewimu memberimu jawaban yang indah! Giliran kami sekarang. Kami juga punya Dia, yang lebih murni daripada yang dibuat dari busa, tetapi lalu... Nyanyilah, Yohanes, seperti yang kau lakukan kemarin, dan kami akan mengikutimu, dan mari kita lihat!"
"Ya, mari kita lihat! Tetapi jika keadaan menjadi yang terburuk, aku akan melemparkanmu ke laut sebagai kurban pendamaian."
"Baiklah. Ayo, Yohanes!"
Dan Yohanes menyanyikan lagunya, dengan diikuti oleh semua yang lainnya, termasuk Petrus, yang biasanya tidak menyanyi, karena nadanya selalu sumbang. Orang Kreta itu mengamati mereka, dengan kedua lengan terlipat di dada dan senyuman yang setengah marah dan setengah sinis. Usai lagu, mereka berdoa dengan tangan terentang. Pastilah itu 'Bapa Kami' tetapi dalam bahasa Ibrani dan aku tidak memahaminya. Mereka kemudian bernyanyi lebih keras. Demikianlah, mereka bergantian memadahkan lagu dan doa tanpa rasa takut ataupun interupsi, meski mereka terhempas oleh ombak. Mereka bahkan tidak berpegangan pada penyangga, tetapi mereka begitu percaya diri seolah-olah mereka menyatu dengan kayu geladak. Dan keganasan gelombang benar-benar mulai mereda secara perlahan. Tidak berhenti sepenuhnya, karena angin tidak mereda sepenuhnya. Namun badai tidak seganas sebelumnya, begitu juga ombak yang menggelontor geladak.
Wajah si orang Kreta tampak terperanjat... Petrus melirik ke arahnya dan terus berdoa. Yohanes tersenyum dan bernyanyi lebih keras... Yang lain mengikutinya dengan suara melampaui deru ombak, suara yang terdengar semakin jelas seiring laut semakin tenang hingga ke keadaan normal dan angin mulai bertiup menyenangkan.
"Nah. Bagaimana pendapatmu?"
"Tetapi apa yang kau daraskan? Rumusan apa itu?"
"Rumusan dari Allah Yang Benar dan dari Hamba-Nya Tang Tersuci. Kau bisa menaikkan layar dan membereskan semuanya, di sini... Bukankah itu pulau?"
"Ya, itu Siprus... Dan laut bahkan lebih tenang di terusannya... Sungguh aneh! Tapi bintang yang kau sembah, siapakah itu? Venus, bukan?"
"Kau harus mengatakan: yang kau hormati. Kami menyembah Allah saja. Tapi Dia, sang bintang, tidak ada hubungannya dengan Venus. Dia adalah Maria. Maria dari Nazaret, Maria Ibrani, Bunda Yesus, Mesias Israel."
"Dan yang lainnya, apa itu? Itu bukan bahasa Ibrani..."
"Bukan, itu adalah dialek kami, dialek danau kami, tanah air kami. Tapi kami tidak bisa mengatakannya kepadamu, seorang kafir. Itu adalah perkataan yang ditujukan kepada Yahwe, dan hanya orang-orang percaya saja yang bisa mempelajarinya. Selamat tinggal, Nicomedes. Dan jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Selamat tinggal, eh? Apa kau tercengang?"
"Tidak... Tapi... Maafkan aku... aku menghinamu!"
"Oh! Tak mengapa! Efek dari... kultus Venus... Ayo, anak-anak, mari kita pergi ke yang lain-lainnya..." dan dengan tersenyum gembira Petrus menuju pintu palka.
Si orang Kreta mengikuti mereka, "Dengar! Dan bagaimana dengan laki-laki itu? Apakah dia mati?"
"Sama sekali tidak! Kami akan menyerahkannya kembali kepadamu dalam keadaan selamat dalam waktu dekat... Sekedar trik lain dari... mantra kami..."
"Oh! Maafkan aku! Tapi katakan padaku, di mana orang bisa mempelajarinya supaya ditolong? Aku siap membayar untuk itu..."
"Selamat tinggal, Nicomedes! Kisahnya panjang... dan itu tidak diperbolehkan... Hal-hal suci tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang tidak mengenal Allah. Selamat tinggal! Selamat tinggal, temanku!"
Dan Petrus, dengan diikuti semua yang lainnya, pergi ke bawah geladak, tersenyum. Juga laut sekarang menjadi pemandangan yang menyenangkan, angin mistral yang sedang-sedang sekarang bagus untuk navigasi sementara matahari terbenam dan sepotong bulan yang tampak semakin besar muncul di timur...
|
|
|