|
317. MENINGGALKAN PTOLEMAIS MENUJU TIRUS.
3 November 1945
Kota Ptolemais tampak seolah-olah akan tetap diliputi oleh langit kelam yang rendah, tanpa secercah biru langit, tanpa perubahan apa pun pada kesuramannya. Tidak ada awan-gemawan, awan sirrus, awan nimbus yang berlayar di kubah langit yang tertutup. Rumah-rumah putih kota itu seolah-olah terbuat dari kapur, dari kapur kasar yang terlihat sunyi dalam cahaya ini... asri pepohonan tampak suram dan sedih, wajah orang-orang kelihatan pucat atau mengerikan dan nuansa pakaian mereka tanpa warna. Kota pengap oleh angin panas yang dahsyat.
Lautan selaras dengan langit dalam hal pekat kesuraman serupa. Lautan yang tak terbatas, tak bergerak dan sepi. Lautan bahkan tidak abu-abu gelap, akan salah menggambarkannya demikian. Namun, ia adalah hamparan tak terbatas, dan akan aku katakan tanpa riak, dari suatu substansi berminyak, yang seabu-abu, aku pikir, pastinya seperti danau minyak mentah, atau lebih tepat, jika mungkin, danau perak yang bercampur jelaga dan abu, yang bagaimanapun begitu kusam hingga tidak tampak bersinar. Kilauannya terasa hanya melalui ketidaknyamanan yang ditimbulkannya pada mata orang, yang silau oleh kerlip mutiara kehitaman, yang melelahkan mata tanpa menyukakannya. Tidak ada gelombang sejauh mata memandang. Orang bisa melihat sejauh kaki langit, di mana laut yang mati menyentuh langit yang mati, tanpa melihat gelombang bergolak; tetapi orang tahu bahwa air tidak membeku sebab ada gelegak air di bawah, yang nyaris tidak terlihat di permukaan melalui air yang berkilau gelap. Laut begitu tenang hingga di pantai air tak bergerak bagai air dalam tong, tanpa sedikit pun indikasi gelombang atau ombak. Dan pasir memperlihatkan tanda-tanda jelas bekas kelembapan sekitar satu meter atau lebih-sedikit dari air, membuktikan bahwa selama berjam-jam tidak ada gerakan ombak di pantai. Tenang yang beku.
Beberapa perahu di pelabuhan kelihatan diam di tempat. Sama sekali tak bergerak hingga seolah-olah dipakukan pada suatu substansi yang kokoh, dan beberapa helai kain yang direntangkan di geladak atas, bendera atau panji-panji, apa pun itu, tergantung tanpa bergeming.
Para rasul dan kedua murid yang diantar ke Antiokhia datang dari sebuah jalan kecil di kawasan kaum buruh dekat pelabuhan. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan keledai dan keretanya. Keduanya tidak ada disana. Petrus dan Andreas membawa satu lemari, Yakobus dan Yohanes lemari satunya, sementara Yudas Alfeus memanggul di bahunya alat tenun yang sudah dipreteli dan Matius, Yakobus Alfeus dan Simon Zelot membawa semua tas, termasuk milik Yesus. Sintikhe hanya membawa sebuah keranjang berisi bahan makanan. Yohanes En-Dor tidak membawa apa pun. Mereka berjalan cepat di antara orang-orang yang sebagian besar pulang dari pasar dengan belanjaan mereka, sementara pelaut bergegas menuju pelabuhan untuk memuat atau membongkar kapal atau memperbaikinya, sesuai apa yang diperlukan.
Simon Yunus maju dengan mantap. Dia pasti sudah tahu ke mana harus pergi, karena dia tidak melihat berkeliling. Dia memerah sementara menggotong lemari, di satu sisinya, dengan lingkaran tali yang berfungsi sebagai pegangan, dan Andreas melakukan hal yang sama di sisi lainnya. Dan orang bisa melihat, lewat diri mereka maupun lewat rekan-rekannya, upaya mereka dalam membawa beban, karena otot-otot betis dan lengan mereka menggembung, sesungguhnya, supaya bisa bergerak lebih bebas, mereka hanya mengenakan jubah dalam yang pendek dan tanpa lengan dan dengan demikian mereka seperti kuli angkut barang yang bergegas dari gudang ke kapal atau sebaliknya, yang sedang melakukan pekerjaan mereka. Dengan begitu mereka lewat tanpa sama sekali menarik perhatian.
Petrus tidak pergi ke dermaga besar, tetapi dengan menyusuri sepanjang jembatan berderit yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dia pergi ke dermaga kecil, yakni dermaga kecil melengkung yang membentuk galangan lain yang jauh lebih sempit untuk perahu nelayan. Dia melihat sekeliling dan berteriak.
Seorang laki-laki menjawab. Dia berdiri di sebuah perahu agak besar yang kokoh. "Apa kau benar-benar ingin pergi? Pikirkanlah, layar tidak ada gunanya hari ini. Kau harus mendayung."
"Itu akan menghangatkanku dan membuatku bergairah."
"Tapi apa kamu benar-benar bisa berlayar?"
"Hei! sobat! Aku masih belum bisa mengatakan 'mama', dan ayahku sudah menempatkan tali layar di tanganku. Aku mempertajam gigi susuku di sana..."
"Itu karena... kau tahu... perahu ini adalah satu-satunya kekayaanku... kau tahu?..."
"Kau sudah mengatakannya kepadaku kemarin... Apa kau tidak punya lagu yang lain?"
"Aku tahu bahwa jika kau tenggelam, aku akan binasa dan..."
"Aku yang akan binasa, sebab aku akan kehilangan nyawaku, bukan kau!"
"Tapi ini adalah semua yang kumiliki, ini nafkahku, kegembiraanku dan kegembiraan istriku, ini mahar untuk gadis kecilku, dan..."
"Uh! Dengar, jangan membuatku naik pitam, badanku surah kram... kram! Yang lebih mengerikan dari kram seorang perenang. Aku sudah memberimu begitu banyak hingga aku bisa mengatakan, 'Aku sudah membeli perahumu,' aku tidak menawar harga yang kau minta, kau rompak laut, akan aku buktikan kepadamu bahwa aku lebih mengenal dayung dan layar daripadamu, dan semua urusan sudah dibereskan. Sekarang, jika salad daun bawang yang kau makan semalam dan mulutmu bau sebab omong kosong sudah memberimu mimpi buruk dan sesal, aku tidak peduli. Bisnis sudah dilakukan di hadapan dua saksi, yang satu saksimu dan yang lainnya saksiku, dan itu saja. Keluar dari sana, dasar kepiting bulukan, dan biarkan aku masuk."
"Tapi aku... setidaknya jaminan... Jika kau mati, siapa yang akan membayar perahuku?"
"Perahumu? Kau sebut labu terbalik ini perahu? Dasar laki-laki congkak yang menyedihkan! Tapi aku akan pastikan, asalkan kau mengambil keputusan: aku akan memberimu seratus dirham lagi. Dengan uang ini dan apa yang sudah kau minta sebagai sewa, kau bisa membeli tiga lagi macam itu... Tidak, sebentar. Tidak ada uang. Kau bisa mengatakan bahwa aku gila dan minta uangnya saat aku kembali. Karena aku akan kembali, kau bisa yakin akan hal itu. Bahkan meski aku harus kembali untuk memberimu pelajaran dengan meninju telingamu jika kau memberiku perahu dengan lunas yang rusak. Aku akan menjaminkan keledai dan kereta padamu... Tidak! Bahkan tidak itu! Aku tidak akan mempercayakan Antonius-ku padamu. Kau bisa alih kerja dan dari tukang perahu menjadi kusir kereta, dan kau akan menyelinap pergi saat aku tidak ada. Dan Antonius-ku berharga sepuluh kali lipat daripada perahumu. Lebih baik jika aku memberimu sejumlah uang. Tapi ingat, ini adalah jaminan, dan kau akan mengembalikannya kepadaku saat aku kembali. Apakah itu jelas? Hei, kamu yang dari perahu! Siapa yang dari Ptolemais?"
Tiga wajah muncul dari perahu terdekat, "Kami."
'Kemarilah."
"Tidak, itu tidak perlu. Mari kita selesaikan perkara ini di antara kita sendiri," mohon si tukang perahu.
Petrus mengamati wajahnya, merenungkannya, dan ketika dia melihat bahwa orang itu meninggalkan perahu dan bergegas menempatkan ke dalam perahu alat tenun yang diletakkan Yudas di tanah, dia berbisik, "Begitu!" Dia berteriak kepada orang-orang di perahu lain, "Tidak perlu lagi. Tetaplah di sana," dan dia mengambil beberapa keping koin dari sebuah kantong uang yang kecil, menghitungnya dan menciumnya seraya berkata, "Selamat tinggal, sayangku!" dan dia menyerahkannya kepada si tukang perahu.
"Mengapa kau menciumnya?" tanya orang itu heran.
"Hanya... ritual. Selamat tinggal, pencuri! Ayo, kamu semua. Dan kau, sobat, setidaknya pegangi perahunya. Kau hitung uangnya nanti dan akan mendapati bahwa jumlahnya pas. Aku tidak ingin menjadi temanmu di neraka, kau tahu? Aku bukan pencuri. Hey ho! Hey ho!" dan dia menarik lemari pertama ke dalam perahu. Dia lalu membantu yang lain untuk menaikkan barang-barang mereka, juga tas-tas bawaan dan semua lainnya, menyeimbangkan berat dan mengatur berbagai barang agar perahu bebas bermanuver. Dan sesudah barang-barang, dia mengatur penumpang. "Kau bisa lihat bahwa aku tahu bagaimana melakukannya, dasar pengisap darah! Lepaskan perahunya dan temui takdirmu." Dan bersama Andreas dia mengayuh dayung meninggalkan dermaga kecil untuk berangkat dari sana.
Ketika perahu sudah berada di aliran arus, dia menyerahkan kemudi kepada Matius seraya berkata, "Kau dulu biasa datang dan menangkap kami ketika kami sedang menangkap ikan, merampas kami dengan sepantasnya dan kau bisa melakukannya dengan cukup baik," dan dia duduk di bangku pertama di haluan, dengan punggungnya ke haluan, dan Andreas duduk di sampingnya. Yakobus dan Yohanes Zebedeus duduk di depan mereka dan mendayung dengan kayuhan yang kuat dan teratur.
Perahu berlayar dengan laju dan lancar, meski berat muatannya, melewati sisi kapal-kapal besar darimana kata-kata pujian terdengar mengenai kesempurnaan kayuhan mereka. Kemudian ada laut terbuka, di balik air yang memecah... Seluruh Ptolemais tampak di hadapan mata kelompok yang berkelana itu, sebagai kota yang terbentang di sepanjang pantai dengan pelabuhan di selatan. Ada keheningan bisu di kapal. Hanya derit dayung di keliti yang terdengar.
Sesudah lama waktu berselang, ketika Ptolemais sudah ditinggalkan di belakang, Petrus berkata, "Andai saja ada sedikit angin... Tapi, tidak ada sama sekali! Tidak sedesir pun!..."
"Asal tidak hujan!... " kata Yakobus Zebedeus. "Hmm! Kelihatannya kemungkinan besar hujan..." Ada keheningan untuk waktu yang lama sementara mereka mendayung sekuat tenaga. Kemudian Andreas bertanya, "Mengapa kau mencium uangnya?"
"Karena mereka yang berpisah selalu menyalami satu sama lain. Aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Dan aku sedih. Aku lebih suka memberikannya kepada orang-orang miskin... Sudahlah! Perahunya benar-benar bagus, kuat dan dibuat dengan baik. Ini yang terbaik di Ptolemais. Itulah sebabnya mengapa aku menyerah pada tuntutan pemiliknya. Juga untuk menghindari banyak pertanyaan mengenai tujuan kita. Itulah sebabnya aku katakan kepadanya, 'Untuk membeli barang-barang di Taman putih.'... Ah! Ini mulai hujan. Selubungi dirimu, kamu yang berada dalam posisi bisa melakukannya, dan kau, Sintikhe, berikan Yohanes telurnya. Sudah waktunya... Lebih lagi, karena dengan laut seperti ini, tidak akan ada yang mengganggu perutnya... Dan apa yang Yesus lakukan? Aku ingin tahu apa yang sedang Dia lakukan! Tanpa membawa pakaian, tanpa uang! Di manakah Dia sekarang?"
"Dia pasti berdoa untuk kita," jawab Yohanes Zebedeus.
"Sungguh baik. Tapi di mana?..."
Tidak ada yang tahu di mana. Dan perahu melaju dengan berat, dengan susah payah, di bawah langit mendung, di laut yang bak aspal kelabu, dalam hujan gerimis sehalus kabut dan semembosankan gelitikan yang berkepanjangan. Pegunungan, yang sesudah dataran datar kini dekat dengan lautan, tampak pucat kelabu di udara yang berkabut. Laut di dekatnya terus menyakitkan mata orang dengan pendar anehnya, dan semakin jauh pendar memudar menjadi tabir yang samar.
"Kita akan berhenti di desa itu untuk beristirahat dan makan," kata Petrus yang mendayung tak kenal lelah. Yang lain setuju.
Mereka tiba di desa. Sekelompok kecil rumah nelayan dibangun di gunung dengan posisi menjorok ke arah laut.
"Tidak mungkin mendarat di sini. Tidak ada landasannya...," gerutu Petrus. "Baiklah, kita akan makan di sini."
Nyatanya para pendayung makan dengan lahap, sedangkan kedua orang buangan makan dengan tanpa nafsu makan. Hujan turun dan berhenti silih berganti.
Desa itu sepi seolah-olah tidak ada penghuninya. Namun burung-burung merpati yang terbang dari satu rumah ke rumah lain dan pakaian yang tergantung di teras-teras atap membuktikan bahwa ada orang-orang di sana. Pada akhirnya seorang laki-laki setengah telanjang muncul di jalan dan pergi menuju perahu kecil yang ada di pantai.
"Hai, sobat! Apa kau seorang nelayan?" teriak Petrus dengan kedua tangannya dijadikan pengeras suara. "Ya." Jawaban terdengar lemah karena jarak yang memisahkan. "Bagaimana perkiraan cuacanya?"
"Laut panjang sebentar lagi. Jika kau bukan dari sini, aku sarankan untuk segera mengitari tanjung. Di sana tidak terlalu dahsyat, terutama jika kau tetap dekat pantai, yang bisa kau lakukan, karena lautnya dalam. Tapi bersegeralah pergi..."
"Ya. Damai sertamu!"
"Damai dan sukses untukmu."
"Ayo pergi kalau begitu," kata Petrus kepada teman-temannya. "Dan semoga Allah beserta kita."
"Itu pasti. Yesus pasti berdoa untuk kita," jawab Andreas melanjutkan mendayung.
Tapi laut, nyatanya, sudah bergelombang panjang dan ombak mendorong dan menyeret perahu malang itu secara bergantian, sementara hujan semakin lebat... dan angin kencang bergabung untuk menyiksa orang-orang malang dalam perahu. Simon Yunus memuaskannya dengan semua julukan yang paling indah, sebab itu adalah angin jahat yang tidak bisa digunakan untuk berlayar dan angin mendorong perahu ke bebatuan tanjung, yang sekarang sudah dekat. Perahu maju dengan susah payah di lekukan teluk kecil yang sehitam tinta. Mereka mendayung dengan sekuat tenaga, wajah mereka memerah, bermandikan keringat, mengertakkan gigi, singkatnya, tanpa menyia-nyiakan sedikit pun partikel kekuatan. Yang lain, duduk di seberang mereka - aku bisa melihat punggung mereka - membisu di bawah hujan yang membosankan: Yohanes dan Sintikhe di tengah, dekat tiang layar, anak-anak Alfeus di belakang mereka, Matius dan Simon yang terakhir, berjuang untuk memegang kemudi tetap lurus melawan setiap gelombang besar.
Adalah tugas yang sulit untuk mengitari tanjung. Namun, pada akhirnya mereka berhasil... Dan para pendayung, yang pasti kehabisan tenaga, beristirahat sebentar. Mereka berunding apakah sebaiknya mereka bernaung di suatu desa kecil di balik tanjung. Tetapi gagasan yang menang suara ialah "Guru harus ditaati bahkan meski bertentangan dengan akal sehat. Dan Dia mengatakan bahwa mereka harus tiba di Tirus dalam satu hari." Jadi mereka terus lanjut...
Laut sekonyong-konyong menjadi tenang. Mereka memperhatikan fenomena itu dan Yakobus Alfeus berkata, "Ganjaran dari ketaatan."
"Ya, setan sudah pergi sebab dia tidak berhasil membuat kita tidak taat," tegas Petrus.
"Tapi kita akan tiba di Tirus pada malam hari. Kita sudah sangat terlambat..." kata Matius.
"Tidak masalah. Kita akan pergi tidur dan kita akan mencari kapal besoknya," jawab Simon Zelot.
"Tapi apakah kita akan mendapatkannya?"
"Yesus mengatakan begitu. Jadi kita pasti akan mendapatkannya," kata Tadeus yakin.
"Kita bisa menaikkan layar, saudaraku," kata Andreas.
"Anginnya menguntungkan dan kita akan bergerak cepat."
Angin sesungguhnya menghembus layar, meski tidak terlalu banyak, tetapi cukup untuk mengurangi kebutuhan mendayung dan perahu pun meluncur, seolah-olah sudah diperingan, menuju Tirus, yang tanjungnya, atau lebih tepatnya, tanah gentingnya, berwarna putih, ke utara, dalam cahaya akhir hari itu.
Dan malam tiba dengan cepat. Dan adalah aneh, sesudah kesuraman langit yang begitu rupa, melihat bintang-bintang muncul di langit yang cerah tak terduga dan Beruang Besar bersinar cemerlang dalam bintang-bintangnya, sementara laut diterangi oleh cahaya bulan yang tenang, yang begitu putih hingga seolah-olah akan menyingsing sesudah hari yang menyakitkan, tanpa halangan malam...
Yohanes Zebedeus menatap langit dan tersenyum dan dia sekonyong-konyong mulai menyanyi, mengayuh dayungnya dengan lagunya dan memadankan perkataannya dengan ritme kayuh dayung:
"Salam, Bintang Pagi, Melati malam,
Bulan Emas dari Surgaku, Bunda Tersuci Yesus.
Pelaut berharap kepada-Mu, mereka yang menderita dan mati memimpikan-Mu,
Bersinarlah, Bintang suci yang saleh, atas mereka yang mengasihi-Mu, Maria!..."
Dia bernyanyi gembira dengan suara tenor. "Apa yang kau lakukan? Kami berbicara tentang Yesus dan kau bernyanyi tentang Maria?" tanya saudaranya.
"Yesus dalam Maria dan Maria dalam Yesus. Tapi Dia karena Dia... Biarkan aku menyanyi..." Dan dia mulai bernyanyi dengan sepenuh hati, dengan memimpin semua yang lainnya..."
Demikianlah mereka tiba di Tirus di mana mereka mendarat tanpa kesulitan apa pun di pelabuhan kecil, di selatan tanah genting, dengan diterangi oleh lampu-lampu yang tergantung dari banyak perahu, dengan bantuan juga dari orang-orang yang ada di sana.
Sementara Petrus dan Yakobus tetap di kapal untuk menjaga lemari, yang lain-lainnya, bersama seorang laki-laki dari perahu lain, pergi ke penginapan untuk beristirahat.
|
|
|