TAHUN KETIGA DARI KEHIDUPAN PUBLIK YESUS

313. BERANGKAT DARI NAZARET.              


30 Oktober 1945  

Malam hari. Malam perpisahan lainnya bagi rumah kecil di Nazaret dan para penghuninya. Perjamuan malam lainnya di mana kesedihan membuat orang-orang membisu dan tidak mau makan. Yesus, Yohanes, Sintikhe, Petrus, Yohanes, Simon dan Matius duduk di meja makan. Tidak mungkin bagi yang lain-lainya untuk duduk di sana juga. Meja di Nazaret sangatlah kecil! Meja itu dibuat hanya untuk sebuah keluarga kecil orang-orang jujur, yang paling banyak bisa mengundang seorang peziarah atau seorang yang menderita untuk duduk di sana dan memberinya kelegaan kasih daripada makanan! Marjiam mungkin bisa duduk di sana malam ini, karena dia bocah yang sangat kurus dan membutuhkan hanya sedikit ruang... Namun Marjiam sangat serius dan pendiam dan makan di sudut, duduk di bangku kecil di kaki Porphirea, yang oleh Maria ditempatkan di tempat duduk alat tenun-Nya dan yang, sebab Porphirea lemah lembut dan pendiam, memakan makanan yang telah mereka berikan kepadanya, dengan menatap penuh belas kasihan kepada kedua orang yang akan pergi, yang berusaha menelan makanan mereka dengan kepala tertunduk untuk menyembunyikan wajah mereka yang memerah karena tangis. Yang lain-lainnya, yaitu kedua putra Alfeus, Andreas dan Yakobus Zebedeus menempatkan diri di dapur, dekat semacam bak untuk menguleni. Tapi mereka bisa dilihat melalui pintu yang terbuka.

Santa Perawan dan Maria Alfeus datang dan pergi melayani yang ini dan yang itu, dengan perhatian keibuan meskipun mereka khawatir dan sedih. Dan jika Perawan Terberkati membelai dengan senyum-Nya, yang begitu sedih malam ini, mereka yang dihampiri oleh-Nya, Maria Alfeus, lebih tidak pendiam dan lebih informal, menambahkan tindakan dan perkataan pada senyumnya, dan lebih dari sekali dia menyemangati dengan belaian atau ciuman, menurut siapa pun yang membutuhkannya, yang ini atau yang itu, untuk mengambil makanan yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka dan dengan mempertimbangkan perjalanan yang menjelang. Aku pikir karena belas kasihan kepada Yohanes, yang kehabisan tenaga dan bahkan sudah menjadi semakin kurus selama hari-hari penantian, dia akan memberikan dirinya sebagai makanan kepadanya, begitu cemasnya dia dalam meyakinkan Yohanes bahwa dia harus makan hidangan yang ini atau yang itu, yag rasa dan manfaatnya dia puji. Namun kendati... bujuk rayuannya, makanan itu tetap nyaris utuh di piring Yohanes dan Maria Alfeus begitu sedih seperti seorang ibu yang melihat bayinya yang belum disapih menolak air susunya.

"Tapi kau tidak bisa pergi seperti itu, Nak!" serunya. Dan dalam kasih keibuannya dia tidak berpikir bahwa Yohanes hampir seusia dengan dirinya dan bahwa sebutan "Nak" tidaklah pantas. Tapi Maria Alfeus melihat dalam dirinya hanya seorang manusia yang menderita dan karenanya tiada mendapati sebutan lain untuk menghiburnya... "Tidak ada baiknya kau bepergian dengan perut kosong, di atas kereta yang terguncang-guncang, dalam kelembapan malam yang dingin. Dan lalu! Entah apa yang akan kau makan sepanjang perjalanan panjang yang mengerikan itu!... Ampun Tuhan! Di laut sejauh bermil-mil! Aku akan mati ketakutan. Dan sepanjang pantai Fenisia dan lalu!... bahkan lebih buruk! Dan pemilik kapal pastilah seorang Filistin, atau seorang Fenisia, atau dari negara neraka lainnya... dan tidak akan berbelas kasihan kepadamu... Jadi, selagi kau masih dekat dengan seorang ibu yang mengasihimu, makanlah!... sedikit ikan yang sangat elok ini. Demi menyenangkan Simon Yunus yang menyiapkannya di Betsaida dengan begitu penuh kasih dan mengajariku bagaimana memasaknya untukmu dan Yesus, supaya ikan itu dapat menyehatkanmu. Kau sama sekali tidak menginginkannya?… Baiklah… Oh! Kau akan makan yang ini!"... dan dia berlari ke dapur dan kembali dengan mangkuk penuh puding yang mengepul. Aku tidak tahu apa ini... Ini pasti semacam tepung atau jagung yang dihaluskan dengan susu, "Lihat, aku membuat ini karena aku ingat suatu hari kau membicarakannya sebagai kenangan manis dari masa kecilmu... Ini baik dan akan membuatmu baik. Ayo, sedikit saja."

Yohanes membiarkannya meletakkan beberapa sendok makanan lembut itu di piringnya dan mencoba menelannya, tapi air mata mengaliri wajahnya, menambahkan rasa garam ke dalam makanan, sementara dia menundukkan kepalanya lebih lagi ke arah piringnya.

Semua yang lain melakukan lebih dari yang cukup untuk hidangan, yang pastinya menggugah selera. Wajah mereka berbinar saat melihatnya dan Marjiam sudah berdiri... tapi lalu dia merasa bahwa dia harus bertanya kepada Santa Perawan, "Bolehkah aku makan sedikit? Masih lima hari lagi sampai akhir nazarku..."

"Ya, Nak. Kau boleh memakannya," kata Maria membelainya.

Namun si bocah masih ragu-ragu dan Maria, guna menenangkan skrupel si murid kecil, bertanya kepada PutraNya, "Yesus, Marjiam ingin tahu apakah dia boleh makan puding jelai... karena ada madunya yang membuatnya jadi hidangan manis, Kau tahu..."

"Tentu saja boleh, Marjiam. Aku memberimu dispensasi dari kurbanmu malam ini, asalkan Yohanes memakan puding madunya juga. Lihat betapa inginnya si bocah untuk menyantapnya? Tolonglah dia, supaya dia bisa makan," dan Yesus, Yang berada dekat Yohanes, meraih tangannya dan memegangnya sementara Yohanes dengan taat berusaha menghabiskan makanannya.

Maria Alfaeus sekarang lebih bahagia. Dan dia melakukan serangan baru dengan sajian lezat pir kukus yang dipanggang di oven. Dia kembali dari kebun sayur-mayur dan buah-buahan dengan nampannya dan berkata, "Hujan. Baru saja mulai. Benar-benar menjengkelkan!"

" Tidak! Justru sebaliknya! Tidak akan ada orang di jalanan. Adalah selalu menyedihkan untuk mengucapkan selamat tinggal ketika seseorang pergi... Lebih baik pergi berlayar sebelum ada angin, tanpa menerjang beting pasir atau bebatuan yang membuat orang terhenti atau tertahan. Dan orang-orang yang ingin tahu adalah seperti beting pasir dan bebatuan..." kata Petrus yang melihat layar dan pelayaran di setiap tindakan.

"Terima kasih, Maria. Tapi aku tidak ingin yang lainnya lagi," kata Yohanes berusaha menolak buah.

"Ah! Bukan yang ini! Ini Maria yang memasaknya. Apa kau hendak memandang rendah makanan yang Dia siapkan? Lihat betapa baik Dia mempersiapkannya! Dengan rempah-rempah dalam rongga kecil... diolesi mentega... Ini adalah makanan yang cocok untuk seorang raja. Dia sendiri sampai hampir gosong berdiri dekat api untuk membuatnya berglasir seperti itu. Dan itu baik untuk tenggorokan dan batukmu... akan menghangatkan dan menyembuhkanmu. Maria, beritahu dia bagaimana makanan itu membantu Alfeus-ku ketika dia sakit. Tapi dia ingin Engkau yang memasaknya. Tentu saja! Tanganmu suci dan menganugerahkan kesehatan!... Makanan yang Engkau persiapkan sungguh diberkati!... Alfeus-ku menjadi lebih tenang sesudah makan pir-Mu... dia bernapas lebih lega... Suamiku yang malang!..." dan Maria memanfaatkan kenangannya untuk bisa, pada akhirnya, menangis; dan dia keluar untuk menangis. Mungkin aku berpikiran buruk, tapi aku pikir bahwa Maria tidak akan meneteskan airmata untuk "Alfeus-nya yang malang" malam itu, andai dia tidak merasa berbelas kasihan kepada kedua orang yang hendak pergi itu... Maria Alfeus begitu dalam bersedih untuk Yohanes dan Sintikhe dan begitu tertekan karena kepergian Yesus, Yakobus dan Yudas, sehingga dia meledak dalam tangis supaya tangisnya itu jangan mencekiknya.

Maria sekarang menggantikannya dan menumpangkan tangannya pada bahu Sintikhe, yang duduk di hadapan Yesus, di antara Simon dan Matius. "Ayo. Makanlah. Apa kamu akan pergi dan membiarkan-Ku khawatir juga karena kamu pergi dengan perut nyaris kosong?"

"Aku sudah makan, Bunda," kata Sintikhe sambil mendongak, memperlihatkan wajah letihnya yang ditandai dengan bekas tangisan selama beberapa hari. Dia lalu menundukkan kepalanya ke bahunya, ke tempat tangan Maria berada, dan mengusapkan pipinya pada tangan kecil itu untuk dibelai. Dengan tangan-Nya yang satunya Maria membelai rambutnya dan mendekapkan kepala Sintikhe pada dada-Nya.

"Makanlah, Yohanes. Itu benar-benar baik untukmu. Jangan sampai kau masuk angin. Simon anak Yunus, kau pastikan bahwa setiap malam dia minum susu panas dengan madu, atau setidaknya air panas dengan madu. Ingatlah itu."

"Aku akan memastikannya juga, Bunda, yakinlah," kata Sintikhe.
"Aku yakin sesugguhnya. Tetapi kau akan melakukannya ketika kau menetap di Antiokhia. Simon Yunus akan mengurusnya untuk sementara ini. Dan ingatlah, Simon, berilah dia banyak minyak zaitun. Itu sebabnya Aku memberimu botol minyak kecil itu. Perhatikan agar tidak pecah. Dan jika kau melihatnya kesulitan bernapas, lakukan seperti yang Aku katakan kepadamu, gunakan botol kecil lainnya yang berisi balsam. Ambil secukupnya untuk menggosok dada, bahu dan ginjalnya. Hangatkan dulu supaya kau bisa menyentuhnya tanpa membuatmu terbakar, lalu gosokkan dan segera balut dia dengan perban wol yang Aku berikan padamu. Aku sudah menyiapkan balsam untuk tujuan khusus itu. Dan kau, Sintikhe, ingatlah komposisinya, supaya kau bisa membuatnya lagi. Kau akan selalu bisa menemukan bunga lili, kamper, dittany, damar dan cengkeh dengan salam, artemisia, dan lainnya. Aku dengar Lazarus punya kebun-kebun tanaman herbal di Antigonea."

"Dan kebun-kebun itu sungguh menakjubkan," kata Zelot yang sudah pernah melihatnya. Dan dia menambahkan, "Aku tidak hendak menyarankan apa pun. Tetapi aku katakan bahwa tempat itu tentunya lebih sehat untuk Yohanes, baik untuk roh maupun tubuhnya, dibandingkan Antiokhia. Tempatnya terlindung dari angin, anginnya yang semilir berasal dari semak-semak tanaman damar di lereng sebuah bukit kecil, yang melindungi dari angin laut tetapi memungkinkan garam laut lembut tersebar di sana, damai dan tenang namun ceria karena banyaknya variasi bunga dan burung yang hidup di sana dalam damai... Kau akan melihatnya sendiri mana yang paling cocok untukmu. Sintikhe begitu berakal sehat! Lebih baik mengandalkan perempuan dalam hal-hal tertentu. Bukankah begitu?"

"Sesungguhnya Aku mempercayakan Yohanes-Ku hanya pada akal sehat dan kebaikan hati Sintikhe," kata Yesus.

"Begitu juga aku," kata Yohanes En-Dor. "Aku... aku... aku tidak punya kekuatan lagi... dan... aku tidak akan pernah berguna..."

"Jangan berkata seperti itu, Yohanes! Saat musim gugur melucuti pepohonan dari daun-daunnya, itu tidak berarti bahwa mereka sudah tidak berdaya. Sebaliknya, mereka bekerja dengan energi tersembunyi untuk mempersiapkan kemenangan bagi pembuahan berikutnya. Sama halnya denganmu. Kau telah dilucuti oleh angin dingin sakitmu. Tetapi pada kenyataannya di kedalaman jiwamu, kau sudah berkarya untuk pelayanan-pelayanan baru. Dukacitamu akan menjadi pacu agar aktif. Aku yakin akan hal itu. Dan kemudian kau, selalu kau, akan menjadi orang yang menolongku, seorang perempuan malang, yang masih harus begitu banyak belajar untuk menjadi sesuatu bagi Yesus."

"Oh! Apakah yang kau harapkan dariku?! Tidak ada yang bisa aku lakukan... Aku seorang yang sudah tamat!"

"Tidak. Tidak benar berkata seperti itu! Hanya orang yang di ambang ajal yang bisa mengatakan, "Aku sudah tamat." Tidak seorang pun lainnya. Apakah kau pikir tidak ada lagi yang harus kau lakukan? Kau masih harus melakukan apa yang kau katakan kepadaku suatu hari lalu: menyelesaikan kurban. Bagaimana kau bisa melakukannya, selain dengan penderitaan? Adalah bodoh, Yohanes, mengutip perkataan para penulis bijak untukmu, seorang guru besar, tapi aku hendak mengingatkanmu akan Gorgias dari Leontina (atau Leontine). Dia mengajarkan bahwa orang tidak menyilih, di kehidupan ini atau di kehidupan selanjutnya, tetapi melalui duka dan penderitaan. Dan aku hendak mengingatkanmu juga tentang Socrates agung kita, "Tidak menaati barang siapa yang berada di atas kita, entah itu allah atau manusia, adalah jahat dan memalukan." Sekarang, jika adalah benar melakukannya untuk suatu penilaian dari yang tidak benar, yang diberikan oleh orang-orang yang tidak benar, apa jadinya jika dilakukan seturut perintah dari Manusia Yang Mahakudus atau dari Allah kita? Ketaatan adalah suatu hal yang besar, hanya karena itu adalah ketaatan. Jadi, yang paling besar adalah ketaatan pada perintah suci, yang aku pikir, dan kau harus berpikir bersamaku, adalah kerahiman agung. Kau selalu mengatakan bahwa hidupmu sudah mendekati akhirnya dan bahwa kau belum merasa bahwa kau sudah membayar hutangmu dengan Keadilan. Jadi mengapakah kau tidak menganggap duka mendalam ini sebagai sarana untuk membayar hutangmu, dan melakukannya dalam waktu singkat yang masih kau miliki ini? Duka yang luar biasa untuk mencapai damai yang luar biasa! Percayalah, penderitaan itu layak dilakukan untuknya. Satu-satunya hal penting dalam hidup adalah menaklukkan Keutamaan ketika kita tiba di saat kematian kita."

"Kau menyemangatiku, Sintikhe... Tolong, lakukanlah selalu."

"Akan kulakukan. Aku berjanji padamu di sini. Tapi turutilah aku, sebagai manusia dan sebagai seorang Kristen."

Makan malam selesai. Maria mengumpulkan buah pir yang masih tersisa dan menempatkannya dalam toples, yang Dia serahkan kepada Andreas, yang pergi keluar dan datang kembali dengan mengatakan, "Hujannya semakin deras. Menurutku lebih baik..."

"Ya. Menunggu itu selalu menyakitkan. Aku akan segera menyiapkan keledai. Dan kau juga bisa ikut, dengan peti-peti dan semua lainnya. Kau juga, Porphirea. Cepatlah! Kau begitu sabar bahkan keledai itu takluk dan membiarkanmu mendandaninya (dia mengatakan persis seperti itu) tanpa bereaksi. Sesudahnya Andreas yang akan melakukannya, karena dia sepertimu. Cepatlah, kamu semua!" Dan Petrus mendorong semua orang, terkecuali Maria, Yesus, Yohanes En-Dor dan Sintikhe, keluar dari ruangan dan dapur.

"Guru! Oh! Guru, tolonglah aku! Saatnya telah tiba... dan aku merasa hatiku hancur! Saatnya benar-benar tiba! Oh! mengapakah, Yesus yang baik, Engkau tidak membiarkanku mati di sini, sesudah aku menerima berita mengerikan tentang hukumanku itu dan aku sudah berupaya untuk menerimanya?!" Dan Yohanes roboh di dada Yesus, menangis dengan teramat sedihnya.

Maria dan Sintikhe berusaha menenangkannya, dan Maria, meskipun selalu pendiam, melepaskannya dari Yesus, memeluk dan menyebutnya, "Putra-Ku terkasih, putraku tersayang"...

Sementara itu Sintikhe berlutut di kaki Yesus sementara berkata, "Berkatilah aku, konsekrasikan aku, supaya aku diteguhkan. Tuhan, Juruselamat dan Raja, aku, di sini, di hadapan BundaMu, aku bersumpah dan menyatakan bahwa aku akan mengikuti doktrin-Mu dan melayani-Mu sampai napas terakhirku. Aku bersumpah dan menyatakan bahwa aku akan membaktikan diriku pada doktrin-Mu dan para pengikutnya demi Engkau, Guru dan Juruselamat-ku. Aku bersumpah dan menyatakan bahwa tidak akan ada tujuan lain dalam hidupku dan bahwa segala sesuatu yang adalah dunia dan daging pastilah mati. Sejauh menyangkut aku, dengan pertolongan Allah dan doa-doa BundaMu, aku berharap untuk menaklukkan Iblis agar dia tidak menghantar aku ke dalam kesalahan dan aku tidak akan dihukum pada saat Penghakiman-Mu. Aku bersumpah dan menyatakan bahwa godaan dan ancaman tidak akan membengkokkanku dan aku akan mengingat semuanya, kecuali Allah mengizinkan yang sebaliknya. Tetapi aku berharap kepada-Nya dan aku percaya akan karunia-Nya, di mana aku yakin bahwa Dia tidak akan meninggalkanku pada kekuatan yang tidak jelas, yang lebih kuat dari kekuatanku. Konsekrasikan hamba-Mu, ya Tuhan, agar dia dilindungi dari jerat setiap musuh."

Yesus meletakkan tangan-Nya di atas kepalanya, seperti yang dilakukan para imam, dan berdoa untuknya.

Maria menghantar Yohanes ke samping Sintikhe dan membuatnya berlutut seraya berkata, "Berkatilah yang ini, juga, Nak, supaya dia dapat melayani-Mu dengan kekudusan dan damai."

Dan Yesus mengulangi gerakan-Nya di kepala teretunduk Yohanes yang malang. Dia kemudian membangkitkannya dan membuat Sintikhe berdiri, dan menempatkan tangan mereka dalam tangan Maria. Dia berkata, "Dan biarkan Dia menjadi orang terakhir yang membelaimu di sini," dan Dia bergegas pergi, aku tidak tahu ke mana.

"Bunda, selamat tinggal! Aku tidak akan pernah melupakan hari-hari ini," erang Yohanes.

"Juga Aku tidak akan melupakanmu, Nak."

"Aku juga, Bunda... Selamat tinggal. Ijinkan aku mencium-Mu sekali lagi... Oh! sesudah bertahun-tahun lamanya, akhirnya aku memuaskan kerinduanku akan ciuman keibuan!... Tapi tidak lagi sekarang..." Sintikhe menangis dalam pelukan Maria Yang menciumnya.

Yohanes tersedu-sedan tanpa ditahan. Maria memeluknya juga. Sekrang keduanya ada dalam pelukan-Nya, Bunda sejati Umat Kristen, dan dengan bibir-Nya yang termurni Dia menyentuh wajah keriput Yohanes dengan lembut: ciuman yang murni, tetapi begitu penuh kasih. Dan bersama ciuman-Nya ada airmata Santa Perawan menetes di pipinya yang kurus kering...

Petrus masuk, "Sudah siap. Ayo..." dan dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi karena dia sangat tersentuh hatinya.

Marjiam, yang mengikuti bapanya bagai bayangan, berpaut pada leher Sintikhe dan menciumnya, dia lalu memeluk Yohanes dan menciumnya berulang kali... Tapi dia juga menangis.

Mereka pergi keluar. Maria menggandeng tangan Sintikhe, dan Yohanes menggandeng tangan Marjiam.

"Mantel kami..." kata Sintikhe dan dia membuat gerakan untuk kembali ke rumah.

"Ada di sini. Cepat, ambillah..." Petrus berpura-pura kasar sebab dia tidak mau menunjukkan bahwa dia tergerak hatinya, tapi dengan punggung tangannya dia menyeka airmatanya, berdiri di belakang kedua orang yang membungkus dirinya dalam mantel mereka.

Di sana, di balik pagar, lampu kecil kereta berayun-ayun memancarkan cahaya kekuningan di udara gelap... Hujan bergemerisik di antara dedaunan zaitun dan bergema di mataair yang penuh air... Seekor burung merpati, terbangun oleh cahaya lampu, yang dilindungi oleh para rasul di bawah mantel mereka dan dibawa rendah untuk menerangi jalan yang penuh genangan air, mendekut dengan sedihnya...

Yesus sudah berada dekat kereta di mana selimut telah dibentangkan sebagai atap.

"Ayo, cepat, hujan deras!" desak Petrus. Dan sementara Yakobus Zebedeus menggantikan Porphirea duduk di dekat tali kekang, Petrus, tanpa basa-basi, mengangkat Sintikhe dari tanah dan menempatkannya di kereta, dan dengan lebih sigap lagi dia menyambar Yohanes En-Dor dan melemparkannya ke kereta. Dia sendiri naik ke kereta dan memberikan satu cambukan yang begitu kuat dengan cemetinya kepada si keledai malang hingga ia serta merta meloncat nyaris menabrak Yakobus. Dan Petrus bersikeras mengendarai keretanya demikian sampai mereka berada di jalan utama, jarak yang cukup jauh dari rumah-rumah... Seruan perpisahan terakhir mencapai orang-orang yang pergi itu dan yang menangis tanpa ditahan-tahan...

Petrus menghentikan keledai di luar Nazaret, menantikan Yesus dan yang lain-lainnya, yang segera bergabung dengannya dengan berjalan cepat di bawah guyuran hujan yang semakin deras.

Mereka mengambil jalan di antara kebun-kebun sayur, untuk pergi lagi ke utara kota, tanpa melintasinya. Namun Nazaret gelap dan tidur di tengah hujan sedingin es di malam musim dingin itu... dan aku pikir suara derap kaki keleda di tanah basah yang ditapakinyai nyaris tidak terdengar, tidak bisa terdengar bahkan oleh mereka yang terjaga...

Kelompok itu bergerak maju dalam keheningan sepi. Hanya isak tangis kedua orang itu yang terdengar, berbaur dengan suara gemerisik hujan di antara dedaunan zaitun.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 5                 Daftar Istilah                    Halaman Utama