Perlukah Bersumpah?
oleh: P. William P. Saunders *
St. Thomas More dan puterinya
Mohon penjelasan mengenai sumpah. Tampaknya Injil minggu lalu yang sehubungan dengan sumpah mengindikasikan bahwa sumpah tidak perlu dilakukan.
~ seorang pembaca di Springfield
Bacaan Injil untuk Minggu Biasa Keenam diambil dari Khotbah Yesus di Bukit sebagaimana dicatat dalam Injil St Matius. Di sini Tuhan mengajarkan, “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Matius 5:33-37). Sesudahnya, St Yakobus dalam suratnya mengulangi ajaran ini: “Yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak” (Yakobus 5:12).
Guna memahami sepenuhnya ajaran Tuhan ini, pertama-tama kita perlu mengerti ajaran Perjanjian Lama mengenai sumpah. Perintah kedelapan yang dengan jelas memerintahkan untuk mengatakan kebenaran: “Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu” melarang orang memanipulasi kebenaran. Akan tetapi, sementara dusta itu sendiri adalah dosa, berat dosa ditingkatkan ketika orang meminta Allah untuk menjadi saksi atas kesaksian palsu. Sebagai misal, Perjanjian Lama menekankan pentingnya kebenaran ketika Allah dipanggil sebagai saksi: “Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya” (Bilangan 30:2) dan “Apabila engkau bernazar kepada TUHAN, Allah-mu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN, Allah-mu, akan menuntutnya daripadamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu…. Apa yang keluar dari bibirmu haruslah kau lakukan dengan setia, sebab dengan sukarela kau nazarkan kepada TUHAN, Allahmu, sesuatu yang kau katakan dengan mulutmu sendiri” (Ulangan 23:21,23).
Gabungkan ajaran itu dengan perintah kedua “Jangan menyebut Nama Tuhan Allah-mu dengan tidak hormat.” Seorang yang menyerukan Nama Allah sebagai saksi dalam penyampaian suatu kebenaran, padahal sesungguhnya ia berdusta, tak hanya berdusta melainkan menghujat Allah. Jelas, umat Perjanjian Lama sebagai warga umat beriman dari perjanjian paham akan kewajiban untuk mengatakan kebenaran dan menjunjung tinggi kesakralan kesaksian dan penghakiman Allah terhadap kesaksian di bawah sumpah.
Pada jaman Tuhan kita, orang-orang Yahudi telah memanipulasi perintah-perintah tegas sehubungan dengan sumpah. Jika seseorang sesungguhnya berseru kepada Allah agar Ia menjadi saksi kebenaran, maka sumpah itu sah. Tetapi, jika orang berseru demi Bait Suci, surga, bumi, kepalanya atau sesuatu yang lain, sumpah dapat diingkari. Suatu tipu muslihat yang berkembang di mana berdasarkan apa orang bersumpah, menunjukkan betapa mudahnya sumpah dapat diingkari. Untuk alasan ini, Tuhan kita mencela kaum Farisi, “Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu? Bersumpah demi mezbah, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi persembahan yang ada di atasnya, sumpah itu mengikat. Hai kamu orang-orang buta, apakah yang lebih penting, persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu? Karena itu barangsiapa bersumpah demi mezbah, ia bersumpah demi mezbah dan juga demi segala sesuatu yang terletak di atasnya. Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Suci, ia bersumpah demi Bait Suci dan juga demi Dia, yang diam di situ” (Matius 23:16-21). Jelas, Tuhan kita menolak tipu muslihat hukum, kefasihan lidah, serta keseluruhan manipulasi dan menegaskan: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.” Pada intinya, warga umat beriman Gereja hendaknya senantiasa menyatakan kebenaran, sebab Tuhan Sendiri adalah Kebenaran.
Jadi, mengapakah kita perlu mengangkat sumpah atau masih mewajibkan pengambilan sumpah? Mungkin kita melakukannya sebab kita adalah kurban-kurban malang dari dosa asal dan sumpah yang demikian mengingatkan kita akan perlunya menyatakan kebenaran dan akan kesaksian Allah. Bagaimanapun, St Paulus bahkan memohon kepada Tuhan untuk menjadi saksi atas pernyataannya: “Demi kebenaran Kristus di dalam diriku…” ketika menulis kepada jemaat di Korintus (2 Korintus 11:10); dan “Karena Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil Anak-Nya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu” (Roma 1:9). Meski sumpah tidak menjamin kebenaran individu (sebab ia masih dapat berdusta), sumpah sungguh menyatakan bahwa ia tunduk pada kesaksian dan penghakiman Allah.
Gereja kita mewajibkan pengambilan sumpah: sebelum seorang uskup ditahbiskan atau menduduki jabatannya secara kanonik atas keuskupannya, ia wajib mengucapkan pengakuan iman dan sumpah kesetiaan pada Takhta Apostolik, yakni Bapa Suci (Kitab Hukum Kanonik, No. 380). Para calon imam melakukan hal yang sama. Para pengajar teologi di perguruan-perguruan tinggi dan universitas Katolik, sebab mereka ikut ambil bagian dalam misi Magisterium, perlu menyatakan sumpah setia setiap tahun.
Sebagai konsekwensi, Katekismus Gereja Katolik memaklumkan tafsiran tradisional dari Khotbah di Bukit bahwa Yesus tidak melarang sumpah, kalau itu menyangkut “satu masalah yang berat dan benar” (No. 2154), tetapi lebih mengutuk sumpah palsu dan sembrono. Di sini, lagi Katekismus menggarisbawahi point bahwa karena “sumpah berarti memanggil Allah sebagai saksi untuk apa yang kita ucapkan” (No. 2150), suatu sumpah palsu berarti memanggil Allah untuk menjadi saksi atas dusta, yang adalah suatu tindakan hujat. Kehadiran Allah dan Kebenaran-Nya wajib senantiasa kita hormati; jika tidak, kita melecehkan Allah.
Oleh karena itu, suatu sumpah hanya boleh diucapkan dalam kebenaran, pertimbangan, dan keadilan (Kitab Hukum Kanonik, No. 1199). “Dalam kebenaran” artinya bahwa orang tidak berdusta dan memiliki keyakinan moral terhadap fakta yang dinyatakan; orang tak dapat mengangkat sumpah apabila ia ragu mengenai masalah yang ada. “Dalam keadilan” artinya bahwa tak ada suatupun yang melawan hukum dalam apa yang dinyatakan atau diikrarkan dalam sumpah, misalnya bersumpah untuk melakukan pembunuhan. Akhirnya “dalam pertimbangan yang benar” mendukung adanya cukup alasan untuk memohon Allah menjadi saksi atas sumpah dan ini dilakukan dengan khidmad dan hormat.
Pada pokoknya, Tuhan kita menuntut kebenaran, Kebenaran adalah sungguh bagian dari integritas Kristiani sejati. Berdusta, dan teristimewa berdusta di bawah sumpah, mendatangkan skandal baik bagi orang-orang percaya maupun orang-orang yang tidak percaya, dan membahayakan jiwa orang.
Baik kita ingat adegan film “A Man for All Seasons” (berdasarkan cerita oleh Robert Bolt), di mana St Thomas More berbicara kepada puterinya - Margaret - mengenai Sumpah yang harus diucapkannya sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang Suksesi, yang menegaskan bahwa Henry VIII adalah pemimpin sah Gereja, bahwa Anne Boleyn adalah ratu yang sah, dan bahwa anak-anaknya adalah pewaris tahta yang sah. St Thomas menjelaskan kepada puterinya mengapa dalam nurani yang benar ia tak dapat mengangkat sumpah. “Jadi, apakah suatu sumpah itu, selain dari kata-kata yang kita ucapkan kepada Allah? Apabila seorang mengangkat sumpah, ia menggenggam dirinya sendiri dalam tangannya, bagai air. Lalu, ketika ia membuka jari-jarinya, ia tak dapat berharap menemukan dirinya kembali.” Pada akhirnya, St Thomas More wafat demi kebenaran. Betapa tragis dunia kita sekarang di mana orang-orang berdusta di bawah sumpah dan lalu menolak untuk mengakui apa yang telah mereka nyatakan dalam dusta. Di samping itu, betapa menyedihkan jika orang-orang yang dipercaya untuk menjunjung tinggi hukum, gagal melindungi apa yang benar, baik dan adil, dengan meremehkan pelanggaran atau mensahkan pengingkaran sumpah oleh sebab-sebab tertentu. Umat Kristiani wajib mengamalkan, menganjurkan dan membela kebenaran sebagaimana dilakukan St Thomas More.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Are Oaths Necessary?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|