Mengapa Kata-kata yang Tidak Pantas itu Dosa?
oleh: P. William P. Saunders *
Mengapa kata-kata yang tidak pantas itu dosa?
~ siswa kelas delapan di Annandale
Dalam menjawab pertanyaan di atas mengenai mengapa kata-kata yang tidak pantas itu dosa, pertama-tama kita harus memperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “kata-kata yang tidak pantas.” Bagi sebagian orang, kata-kata yang tidak pantas meliputi semuanya dari menyebut nama Tuhan dengan sembarangan, mengutuk, menghujat ataupun melontarkan kata-kata carut marut.
Secara umum, Perintah Kedua dari Sepuluh Perintah Allah menyebutkan hal ini, “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan” (Kel 20:7; Ul 5:11). Terutama, kita wajib menghormati nama Tuhan. Sepanjang Kitab Suci, nama Tuhan dipandang kudus. Ia mewahyukan nama-Nya kepada mereka yang percaya, dan melalui pewahyuan ini, Ia mengundang mereka masuk ke dalam suatu hubungan pribadi yang akrab mesra dengan-Nya.
Sebagai contoh, dalam kisah panggilan Musa, ia bertanya kepada Tuhan, “`Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? - apakah yang harus kujawab kepada mereka?' Firman Allah kepada Musa: `AKU ADALAH AKU.' Lagi firman-Nya: `Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.' Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: `Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun'” (Kel 3:13-15).
Sebab itu, kita mempergunakan nama Tuhan dengan benar dalam doa atau dalam memuja, mengagungkan dan memuliakan Allah. Hormat terhadap nama Tuhan mencerminkan penghormatan orang terhadap Tuhan Sendiri (lih Katekismus Gereja Katolik, No. 2142 dst).
Berdasarkan hal di atas, maka bentuk-bentuk tertentu penyalahgunaan bahasa adalah dosa. Pertama, menyalahgunakan nama Tuhan, entah kata Tuhan, Yesus Kristus, atau dalam bentuk lainnya, secara obyektif adalah dosa berat. Peraturan yang sama berlaku pula dalam menyalahgunakan nama Santa Perawan atau para kudus. Orang patut bertanya kepada diri sendiri, “Mengapakah orang mempergunakan nama Yesus sebagai kata umpatan ketika marah atau tidak sabar? Tidakkah tindakan yang demikian menunjukkan kesombongan dan sikap tidak hormat terhadap Tuhan, yang seharusnya kita kasihi di atas segalanya?” Saya seringkali bertanya-tanya apa yang akan dipikirkan para penganut agama lain apabila ia mendengar seorang Kristiani mempergunakan nama Tuhan dengan cara yang begitu tidak hormat dan tidak pantas?
Kedua, hujat juga dosa. Hujat adalah membangkang terhadap Tuhan, yang diungkapkan dalam pikiran, perkataan ataupun perbuatan. Mempergunakan kata-kata - secara batin atau secara lahir - yang menunjukkan kebencian, celaan, tantangan atau ketidakhormatan melawan Tuhan adalah dosa. Larangan ini juga berlaku terhadap Bunda Maria dan para kudus, pula hal-hal kudus atau Gereja. Di samping itu, hujat mencakup juga menyerukan nama Tuhan untuk mensahkan tindak kejahatan atau perbuatan yang mencelakakan orang lain. Katekismus menyatakan hujat sebagai suatu dosa berat.
Ketiga, kutuk adalah mendatangkan kejahatan dari Tuhan, dan biasanya meliputi secara khusus menyerukan nama Tuhan, tidak hanya kuasa-Nya. Sebagai contoh, kita semua pernah mendengar orang mengatakan, “God damn it,” atau bahkan “God damn you”. Dalam hal ini orang memerintahkan Tuhan, yang Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahaadil, untuk mengutuk seseorang (atau sesuatu) ke neraka untuk selama-lamanya. Siapakah gerangan kita yang berani memerintah Tuhan untuk mengutuk seseorang atau mendatangkan suatu kejahatan atasnya? Secara obyektif, tindakan ini merupakan dosa berat.
Yang terakhir, kata-kata carut marut itu sendiri adalah salah, meski kata-kata yang demikian mungkin tidak secara khusus menyebutkan nama Tuhan. Tuhan menganugerahkan kepada umat manusia karunia berbahasa yang seharusnya dipergunakan secara positif. Bahasa hendaknya dipergunakan untuk membangun hubungan baik dengan pribadi-pribadi lainnya, dan memungkinkan manusia untuk saling berbagi hidup secara akrab satu sama lain. Sayangnya, semakin dan semakin sering, kita mendengar kata-kata carut marut dalam percakapan sehari-hari - khususnya kata-kata empat huruf dalam bahasa Inggris seperti s*** dan f***, atau dalam bahasa Indonesia seperti b******* dan b******, dll. Kita juga mendengar orang berbicara secara tidak sopan mengenai hal-hal yang baik dan kudus; sebagai misal, mereka mencemarkan seksualitas manusia atau tindakan kasih suami isteri. Bahasa yang demikian bukan saja negatif, vulgar, tidak sopan dan menghina, melainkan juga merendahkan martabat setiap manusia. Lagi pula, bahasa yang demikian tidak saja mengungkapkan sikap buruk seseorang dan kurangnya hormat terhadap yang lain, melainkan mengungkapkan juga ketidakdewasaannya dan rasa tidak amannya dalam berhubungan dengan orang-orang lain. Dengan mempergunakan kata-kata ini, orang membangun penghalang, dan bukannya jembatan, dengan sesama.
Ambil contoh, kata “Hell”. Pertama-tama, janganlah seorang pun meremehkan Hell, neraka, tempat penghukuman abadi. Namun demikian, pada masa kini orang begitu sering mempergunakannya dalam berbagai kesempatan: dalam kemarahan, “Go to Hell!”; dalam kekagetan, “What the Hell!”; dalam menyampaikan salam, “How the hell are you?”; dalam bertanya, “What the hell are you doing here?” atau “What the hell are you doing?” Tidak saja berbagai ungkapan ini menunjukkan bahasa Inggris yang buruk, melainkan juga menunjukkan kurangnya pengertian akan apa neraka itu. Mungkin, apabila orang sungguh percaya bahwa hidupnya dapat berakhir di neraka, ia tak akan begitu mudah mempergunakan kata tersebut sambil lalu demikian.
Masing-masing kita wajib berhati-hati dalam berbahasa. Secara obyektif, menyebut nama Tuhan dengan sembarangan, mengutuk dan menghujat adalah dosa berat, meski kurangnya pengertian atau kebiasaan buruk dapat mengurangi kebersalahan ini. Kata-kata carut marut juga dapat merupakan dosa berat apabila dilakukan dalam kemarahan hebat atau angkara murka terhadap orang lain. Tiap-tiap kita wajib mengendalikan lidah kita, dan menghindari kebiasaan mempergunakan kata-kata yang tidak pantas sebagai bagian dari kepribadian kita. St Yakobus dengan bijaksana memperingatkan, “Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan. Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi” (Yak 3:7-10).
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Why Is Bad Language a Sin?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2000 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|