Apakah Judi itu Dosa?
oleh: P. William P. Saunders *
Seorang teman dari Gereja Kristen Baptis mengatakan bahwa judi itu dosa. Tetapi, saya mengenal banyak orang Katolik yang mengunjungi tempat-tempat seperti Atlantic City dan Las Vegas, dan bermain mesin keberuntungan dan sejenisnya, atau juga sekolah-sekolah yang menyelenggarakan malam kasino untuk menggalang dana. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di pembaca di Crystal City
Judi, entah itu menyangkut permainan keberuntungan (misalnya kartu), taruhan, atau bahkan lotere, pada hakekatnya bukanlah kejahatan (Katekismus Gereja Katolik No. 2413). Namun demikian, orang hanya boleh ambil bagian dalam aktivitas ini dengan bertaut erat pada keutamaan. Pertama-tama, ia harus bertindak dengan penguasaan diri, di mana ia mengendalikan nafsu dan emosinya, bertindak dengan bijaksana dan mempergunakan barang-brang duniawi dengan cara yang baik dan sesuai dengan keadaan hidupnya.
Kedua, keutamaan keadilan mengendalikan baik permainan itu sendiri maupun orang yang memainkan permainan itu. Permainan haruslah adil dan semua pemain haruslah memiliki kesempatan yang sama untuk menang. Demi keadilan, main judi ini haruslah tidak menghalangi pemain dalam memenuhi kewajibannya untuk menopang dirinya sendiri ataupun keluarganya, membayar hutang-hutang ataupun memenuhi tanggung jawab lainnya.
Konsekwensinya, orang wajib berhati-hati untuk tidak menjadi kecanduan judi karena kesenangan atau kemungkinan mendapatkan “uang banyak secara mudah dan cepat”. Hendaknyalah ia tidak mengambil resiko atas uang yang dibutuhkan bagi keperluan hidupnya sendiri atau mereka yang dipercayakan dalam pemeliharaannya. Di samping itu, seorang penjudi sepatutnya senantiasa mempertimbangkan apakah uang sebaiknya dipergunakan untuk suatu yang mendatangkan manfaat yang lebih jelas dan nyata. Bahkan seorang kaya yang mempunyai penghasilan besar untuk dibelanjakan sepatutnyalah menggunakan kontrol diri, dengan pertimbangan bahwa uang yang dipertaruhkan dalam perjudian yang hanya main-main dapat dipergunakan untuk menolong mereka yang kurang beruntung.
Dengan dasar pemikiran ini, berikut beberapa peraturan “klasik” mengenai judi:
1. Seorang pemain haruslah bebas untuk memasang taruhan dalam permainan. Ia harus dapat menerima resiko kehilangan taruhan tanpa mendatangkan celaka atas dirinya sendiri atau yang lainnya. Pada dasarnya, taruhan hendaknya adalah uang “yang dibuang”.
2. Pemain bermain judi dengan pengetahuan dan persetujuan penuh.
3. Semua pemain haruslah mempunyai kesempatan yang sama untuk menang.
4. Permainan harus adil. Segala bentuk penipuan atau kecurangan dilarang.
5. Sementara semua orang ingin menang, motif bermain haruslah untuk kesenangan dan bukan mendapatkan uang. Janganlah orang mengandalkan judi sebagai sumber penghidupannya. (Prummer, Handbook of Moral Theology).
Bahkan jika orang berhati-hati dalam mentaati peraturan-peraturan ini, ia haruslah senantiasa waspada. Judi dapat menyenangkan, tapi judi juga dapat membuat orang kecanduan. Dalam suatu penelitian baru-baru ini, Harvard Medical School mendapati bahwa 1,29% dari populasi orang dewasa di Amerika adalah pecandu judi: ini setara dengan 2,2 juta pecandu judi. Empat persen lainnya dianggap “penjudi bermasalah”. Kecanduan yang demikian merupakan suatu perbudakan rohani yang dibiarkan orang terjadi atas dirinya.
Di samping kecanduan, muncul masalah rohani apabila orang berpikir bahwa ia dapat memperoleh uang banyak secara mudah dan cepat dengan berjudi daripada dengan bekerja keras. Di sini ia menerima resiko besar yang dapat mendatangkan konsekwensi mengerikan. Keadaan seperti ini semakin parah apabila orang kehilangan uang yang seharusnya ia perlukan bagi dirinya atau keluarganya, dan bahkan menambah banyak hutangnya.
Semasa saya belajar di Seminari St Karolus Borromeus di Philadelphia pada tahun 1981, dua rekan seminari dan saya pergi ke Atlantic City ketika kami mempunyai akhir pekan bebas. Tentu saja kami ingin melihat atraksi ini, yang baru pada masa itu. Saya pikir kami berencana untuk membelanjakan $20 di bagian mesin keberuntungan. Kami menang sedikit, kalah sedikit, dan pada akhirnya kehilangan semua uang kami. Sudah pasti ada godaan untuk terus bermain dengan pikiran, “Kali ini akan jack pot,” tetapi kami membatasi diri. Akan tetapi, saya ngeri melihat betapa banyak orang yang menghabiskan berjam-jam lamanya dengan memasukkan begitu banyak koin ke dalam mesin keberuntungan. Parahnya lagi, saya ingat melihat permainan yang terjadi di meja poker dan seorang manager terhormat berpakaian perlente mendatangi salah seorang pemain dengan selembar dokumen untuk ditandatangani, yang isinya adalah untuk menggadaikan rumahnya. Sementara saya yakin banyak orang dapat mengendalikan diri dan bersenang-senang, tanpa sungguh berharap untuk menang, saya bertanya-tanya berapa banyak yang pergi dengan sedih, menyesali perbuatannya. Di sinilah kita melihat masalahnya dengan judi.
St Agustinus mengatakan, “Iblis menciptakan judi.” Mungkin demikian. Ingatlah, sementara Tuhan kita tergantung di salib, para prajurit Romawi melemparkan dadu untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan jubah-Nya; mereka mementingkan hanya kepentingan diri sendiri dan tak menyadari akan kebaikan yang terlebih besar (Yohanes 19:24). Tentu saja, tidak ada yang salah dengan judi sepanjang permainan itu dilakukan dalam batas-batas keutamaan. Namun demikian, orang wajib senantiasa amat berhati-hati dan waspada.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Is Gambling a Sin?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|