Moralitas Operasi Ganti Kelamin
oleh: P. William P. Saunders *
Saya mengenal seorang laki-laki yang menjalani operasi “ganti kelamin” dan sekarang menjadi “perempuan”. Bagaimanakah ajaran moral Gereja mengenai hal ini?
~ seorang pembaca di Roseville, California
Sebelum membahas moralitas operasi ganti kelamin, pertama-tama kita perlu mengingat kembali dasar moral pokok mengenai hal ini. Setiap orang adalah manusia yang berharga, yang diciptakan menurut gambar dan citra Allah, dengan tubuh dan jiwa. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes) menegaskan, “Manusia, yang satu jiwa raganya, melalui kondisi badaniahnya sendiri menghimpun unsur-unsur dunia jasmani dalam dirinya, sehingga melalui unsur-unsur itu mencapai tarafnya tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang Pencipta. Oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir” (No. 14). St Paulus juga mengingatkan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus (1Kor 6:19), karena itu janganlah merendahkan martabat tubuh kita dengan membiarkan tubuh ambil bagian dalam tindak dosa. Terlebih lagi, dosa yang demikian melukai pula tubuh Gereja. Sebab itu, Gereja mengajarkan, “Kecuali kalau ada alasan-alasan terapi yang kuat, amputasi, pengudungan atau sterilisasi dari orang-orang yang tidak bersalah, merupakan pelanggaran terhadap hukum susila” (Katekismus Gereja Katolik, No. 2297).
Berdasarkan pemahaman di atas, kita akan membahas masalah operasi ganti kelamin, yang merupakan semacam operasi merekonstruksi kembali, di mana seorang laki-laki diubah secara anatomis agar menyerupai seorang perempuan, atau sebaliknya. Operasi transseksual yang ditunjang dengan perawatan hormon dan psikoterapi dilakukan untuk menangani kekacauan transseksualisme atau gender dysphoria syndrome, “suatu kondisi di mana tampak identitas psikologis dan sosial yang serupa dengan sifat dan pembawaan dari seks yang berlawanan” (Meyer, “Psychiatric Consideration in the Sexual Reassignment of Non-Intersex Individuals” in Clinics in Plastic Surgery, 1974). Buku Manual Diagnostik dan Statistik Kekacauan Mental, yang diterbitkan di bawah naungan Asosiasi Psikiater Amerika, menyebutkan lima gejala transseksualisme: (1) perasaan tidak nyaman dan tidak cocok dengan anatomi seksnya; (2) keinginan untuk melenyapkan alat kelaminnya sendiri dan hidup sebagai anggota dari jenis kelamin yang berbeda; (3) gangguan terus-menerus (tak terbatas pada periode stress) sekurang-kurangnya dua tahun; (4) tidak adanya interseks fisik atau ketidaknormalan genetik; (5) kurangnya / tidak adanya penyebab sebagai akibat dari kekacauan mental yang lain, seperti schizophrenia. Tak diragukan lagi, penyebab dari gejala-gejala ini dan diagosanya sungguh sangatlah kompleks.
Namun demikian, begitu orang telah membuat keputusan untuk menjalani operasi ganti kelamin, maka operasi radikal dilakukan yang meliputi, bagi laki-laki: pengebirian dan pembentukan vagina buatan; dan bagi perempuan: mastectomy (= operasi pengangkatan payudara), hysterectomy (= operasi pengangkatan rahim), dan pembentukan penis buatan yang non-fungsionil dan testes (bdk Colin Markland, “Transsexual Surgery” in Obstetrics & Gynecology Annual, 1975). Sudah barang tentu, operasi yang demikian meliputi pula pengudungan tubuh secara radikal dan tak wajar.
Tak ada satu operasi ganti kelamin pun yang akan pernah dapat membuat duplikat anatomi atau fungsi organ seks secara sempurna. Seorang laki-laki transseksual tidak akan pernah dapat menghasilkan sel telur ataupun mengandung; sebaliknya seorang perempuan transseksual tidak akan pernah dapat memproduksi sperma. Kaum transseksual akan terus-menerus memerlukan hormon-hormon sintetis guna mempertahankan perubahan mereka, yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya kanker.
Pertimbangan moral lainnya adalah apakah keadaan transseksualisme membenarkan dilakukannya operasi ganti kelamin. Tak ada penyebab biologis dari transseksualisme yang berhasil diidentifikasi. Malahan, penyebab transseksualisme tampaknya berasal dari perkembangan psikologis, dan karena itu transseksualisme harus ditangani dengan psikoterapi. Yang menarik, bahkan setelah operasi, para transseksual masih membutuhkan sekurang-kurangnya dukungan psikoterapi.
Yang terakhir, seorang transseksual tidak akan pernah dapat secara sah menerima Sakramen Perkawinan. Seorang laki-laki yang menjalani operasi ganti kelamin tidak akan pernah dapat sungguh menjadi seorang perempuan, demikian pula sebaliknya. Sesungguhnya, seorang laki-laki akan tetap seorang laki-laki untuk selamanya (atau seorang perempuan akan tetap seorang perempuan untuk selamanya), hanya saja dengan anggota tubuh yang telah dikudungi dan menderita kekacauan psikologis yang hebat. Selain itu, seorang transseksual tidak akan pernah dapat mewujudnyatakan perkawinan dalam ungkapan cinta kasih suami isteri yang sempurna, tak akan pernah ada keterbukaan sesungguhnya terhadap hidup dan pembiakan anak-anak.
Dengan sengaja memusnahkan organ-organ tubuh yang sehat dan berfungsi baik, serta berusaha menciptakan organ-organ tiruan yang tak akan pernah memiliki keaslian dan fungsi organ asli, merupakan tindakan yang keji dan melawan cinta kasih. Operasi demikian, yang dengan sengaja merusakkan integritas tubuh manusia, haruslah dikutuk.
Namun demikian, mereka yang menderita gender dysphoria syndrome haruslah diperlakukan dengan penuh kasih. Mereka membutuhkan bimbingan rohani yang akan membantu mereka menyadari besarnya kasih Tuhan yang mengasihi mereka sebagai pribadi-pribadi yang diciptakan menurut gambar dan citra-Nya. Mereka membutuhkan psikoterapi yang tepat, yang akan membantu mereka menghadapi secara nyata situasi manusiawi mereka dan dunia, konsekuensi dari perilaku mereka atas diri mereka sendiri dan atas hubungan mereka dengan keluarga dan teman. Bimbingan yang demikian juga akan mengarahkan mereka pada tujuan-tujuan rohani, intelektual dan sosial, guna menyadari nilai diri mereka dan mengalihkan pemikiran mereka dari kebimbangan identitas seksual.
Sekedar tambahan, pertanyaan yang disampaikan di atas menyangkut kisah sebagai berikut: Pembaca adalah seorang pensiunan dokter praktek yang masih bekerja paruh waktu di rumah sakit setempat. Cucu-cucunya memiliki seorang dokter anak-anak tetap. Suatu ketika puterinya (ibu dari anak-anak itu) memintanya untuk mengantarkan anak-anak ke dokter. Ia melihat dokter anak-anak ini tampaknya kurang ramah, pikirannya menerawang dan dingin. Beberapa bulan kemudian, pensiunan dokter itu sedang makan siang di kantin rumah sakit ketika seorang dokter wanita menghampirinya dan bertanya apakah ia dapat duduk makan bersamanya. Ia menjawab, “Ya,” lalu bertanya, “Apakah saya mengenal Anda?” Dokter wanita itu diam sejenak dan menjawab, “Ya. Saya dulu adalah si anu, dokter anak-anak yang merawat cucu-cucu Anda.” Setelah jeda sesaat, pensiunan dokter itu menjawab, “Anda tampak baik-baik saja.” Apa lagi yang dapat ia katakan?
Sementara mempelajari masalah moral ini, janganlah orang sekedar terpaku pada dosa pengudungan jasmani semata. Tetapi, orang juga perlu mempertimbangkan dampak buruk tindakan ini atas orang-orang yang dikasihinya - orangtua, pasangan, anak-anak, juga teman-teman dan komunitas pada tingkat yang lebih luas. Bukankah seorang anak dalam kisah di atas dapat mempertanyakan, “Ayahku membunuh dirinya sendiri untuk menjadi orang lain?” Di sinilah letak tragedi dari tindakan yang mengerikan ini.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Morality of 'Sex Change' Operations” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|