196. SABAT DI GETSEMANI.
![]() 21 Juni 1945
Kelompok apostolik melewatkan sebagian besar pagi Sabat dengan mengistirahatkan tubuh mereka yang letih dan membersihkan pakaian-pakaian mereka yang sudah menjadi berdebu dan kusut sepanjang perjalanan. Ada sangat berlimpah air yang menyukakan hati di waduk-waduk yang luas di Getsemani, yang penuh air hujan, dan di Kidron yang berbuih, yang sekarang meluap, sebab hujan belakangan ini, di mana air menggema menghantam bebatuan bagai sebuah simfoni. Dan para rasul, satu sesudah yang lainnya, menantang dinginnya air, dengan menceburkan diri ke dalamnya dan lalu, mengenakan dari kepala hingga kaki perangkat pakaian yang baru, rambut mereka lebih dilicinkan oleh semprotan aliran air yang deras, mereka menimba air dari waduk dan menuangkannya pada tong-tong besar di mana mereka telah menyortir pakaian-pakaian kotor mereka seturut warnanya.
"Bagus! Sesudah direndam di sana, akan tidak terlalu menyusahkan Maria mencucinya." (Aku pikir bahwa Maria adalah perempuan yang tinggal di Getsemani.) "Hanya kau, sobat kecilku tersayang, yang tak dapat tampak beda. Tapi besok…" Sesungguhnya si bocah mengenakan sehelai jubah bersih, yang telah diambil dari tas kain kecilnya: sangat kecil hingga akan cukup untuk pakaian boneka! Tapi jubah kecil si bocah bahkan lebih pudar warnanya dan lebih koyak dari yang satunya dan Petrus melihatnya dengan prihatin, seraya berbisik: "Bagaimana aku dapat membawanya ke kota? Aku pikir aku akan memotong salah satu mantolku menjadi dua, sebab sehelai mantol… akan membungkusnya sepenuhnya."
Yesus, Yang mendengar perkataan kebapaan yang ditujukan pada diri sendiri itu berkata: "Lebih baik membiarkannya beristirahat sekarang. Sore ini kita akan pergi ke Betania…"
"Tapi aku ingin membelikannya sehelai jubah. Aku sudah janji."
"Pasti kau akan melakukannya. Tapi lebih baik meminta nasehat BundaKu. Kau tahu... perempuan… lebih berpengalaman dalam membeli barang-barang seperti itu… dan Ia akan senang mengurus si anak… Kalian akan pergi bersama."
Petrus serasa berada di langit ketujuh karena sukacita atas gagasan pergi berbelanja bersama Maria. Aku tidak tahu apakah Yesus telah mengungkapkan semua pikiran-Nya atau apakah Ia menahan sesuatu, pikiran yang menyiratkan bahwa selera BundaNya jauh lebih baik dari Petrus dan dengan demikian akan menghindarkan bentrok warna yang norak. Pada kenyataannya adalah bahwa Ia berhasil dalam tujuan-Nya tanpa membuat malu Petrus.
Mereka berpencar di hutan kecil zaitun, yang sangat indah pada hari yang tenang di bulan April ini. Hujan belakangan hari tampaknya telah menjadikan pepohonan zaitun keperakan dan menebarkan bunga-bunga, begitu mengkilap dedaunan di bawah matahari dan begitu banyak bunga-bunga kecil di kaki setiap batang pohon. Burung-burung bernyanyi dan beterbangan di mana-mana. Kota terhampar di sebelah sana, di sebelah barat orang yang memandang.
Tidaklah mungkin melihat khalayak ramai yang berjubel di dalamnya, tapi orang dapat melihat caravan-caravan menuju Gerbang Ikan dan gerbang-gerbang lain, yang nama-namanya tidak aku ketahui, di sisi timur ini, dan para pengelana ditelan oleh kota seolah oleh mulut yang lapar.
Yesus berjalan kian kemari menonton Yabes yang bermain bersama Yohanes dan mereka yang lebih muda. Juga Iskariot, yang kemarahannya kemarin sudah lenyap dan sekarang bergembira dan bermain. Mereka yang lebih tua menonton dan tersenyum.
"Apakah yang akan dikatakan BundaMu mengenai anak ini?" tanya Bartolomeus.
"Aku pikir Ia akan berkata: 'Dia sangat kurus,'" kata Tomas.
"Oh! tidak! Ia akan berkata: 'Anak yang malang!'" jawab Petrus.
"Sebaliknya Ia akan berkata pada-Mu: 'Aku senang bahwa Engkau mencintainya,'" sanggah Filipus.
"BundaNya tidak akan pernah meragukannya. Tapi aku pikir Ia tidak akan mengatakan apa-apa. Ia akan mendekapkannya pada hati-Nya," kata Zelot.
"Dan Engkau, Guru, apakah yang Engkau pikir akan Ia katakan?"
"Ia akan melakukan seperti apa yang kau katakan. Ia akan berpikir tentang banyak hal, bukan, semuanya, dan akan mengatakannya dalam hati-Nya, dan ketika menciumnya Ia hanya akan berkata: 'Semoga kau diberkati' dan Ia akan merawatnya seolah dia adalah seekor burung kecil yang terjatuh dari sarangnya. Suatu hari, dengarkanlah, Ia menceritakan pada-Ku mengenai ketika Ia masih seorang gadis kecil. Ia masih belum berumur tiga tahun sebab Ia belum berada di Bait Allah, dan hati-Nya yang dipenuhi cinta, memancarkan, seperti bunga-bunga dan buah-buah zaitun diperas dan digiling dalam sebuah kilangan, segala minyak dan harum mewangi-Nya. Dan dalam keterpikatan cinta Ia mengatakan pada bunda-Nya bahwa Ia ingin menjadi seorang perawan demi terlebih menyenangkan sang Juruselamat, tapi bahwa Ia ingin menjadi seorang berdosa supaya dapat diselamatkan, dan Ia nyaris menangis, sebab bundaNya tak dapat memahami-Nya dan tak dapat mengatakan pada-Nya bagaimana mungkin menjadi 'murni' dan seorang 'berdosa' sekaligus. BapaNya memuaskan-Nya dengan membawakan-Nya seekor burung pipit kecil, yang telah diselamatkannya ketika burung kecil itu hendak tenggelam di tepi sebuah mataair. BapaNya menjelaskan suatu perumpamaan tentang burung kecil, dengan mengatakan bahwa Allah telah menyelamatkan-Nya terlebih dahulu dan karenanya Ia sepatut-Nya memuliakan Allah dua kali lipat. Dan si kecil Perawan Allah, Perawan Maria Yang Teragung, mempraktekkan keibuan rohani-Nya yang pertama atas si burung kecil, yang Ia bebaskan sesudah burung itu cukup kuat. Akan tetapi si burung tidak pernah meninggalkan kebun sayur-mayur dan buah-buahan di Nazaret, di mana dengan terbangnya dan cuitannya, si burung menghibur rumah yang sedih dan hati Anna dan Yoakim yang remuk, semasa Maria berada di Bait Allah. Burung itu mati tak lama sebelum Anna menghembuskan napas terakhirnya… Si burung telah menunaikan tugasnya… BundaKu telah mendedikasikan Diri-Nya pada keperawanan demi cinta. Tapi, sebab Ia adalah suatu makhluk yang sempurna, keibuan ada dalam darah dan roh-Nya. Sebab perempuan diciptakan untuk menjadi seorang ibu dan adalah suatu penyimpangan, apabila Ia tuli terhadap perasaan yang demikian, yang adalah cinta dari kuasa kedua…"
Juga yang lain-lainnya perlahan-lahan telah datang mendekat.
"Apakah yang Engkau maksudkan, Guru, dengan cinta dari kuasa kedua?" tanya Yudas Tadeus.
"Saudara-Ku, ada banyak cinta dan beragam kuasa. Ada cinta dari kuasa pertama: yang diberikan orang kepada Allah. Lalu ada cinta dari kuasa kedua: cinta seorang ibu atau seorang bapa, sebab jika cinta yang pertama adalah sepenuhnya rohani, yang ini dua pertiga rohani dan sepertiga jasmani. Adalah benar bahwa cinta kasih manusia bercampur di dalamnya, tetapi perasaan yang superior unggul, sebab seorang bapa dan seorang ibu, yang demikian secara moral dan kekudusan, tidak hanya memberi makan dan membelai tubuh anak mereka, melainkan mereka juga memberi makan dan cinta bagi pikiran dan roh dari anak mereka. Dan apa yang Aku katakan adalah sungguh benar, bahwa mereka yang membaktikan diri mereka pada anak-anak, bahkan meski hanya mendidik mereka, akan berakhir dengan mencintai murid-murid mereka, seolah anak-anak itu adalah darah daging mereka sendiri."
"Sesungguhnya aku dulu sangat sayang pada murid-muridku," kata Yohanes dari En-Dor.
'Aku mengerti bahwa kau pastilah seorang guru yang baik dari caramu menghadapi Yabes."
Laki-laki yang dari En-Dor itu membungkuk dan mencium tangan Yesus tanpa mengatakan apa-apa.
"Tolong lanjutkan dengan pengelompokkan cinta-Mu," pinta Zelot.
"Ada cinta kepada istri: cinta dari kuasa ketiga sebab itu dibuat - Aku selalu berbicara mengenai cinta yang secara moral dan kudus - setengah rohani dan setengah daging. Seorang laki-laki, di samping menjadi suami dari istrinya, adalah seorang guru dan seorang bapa bagi istrinya; dan seorang perempuan adalah seorang malaikat dan seorang ibu bagi suaminya, di samping sebagai istrinya. Inilah tiga tingkatan cinta yang tertinggi."
"Dan cinta kepada sesama kita? Tidakkah Engkau salah? Ataukah Engkau sudah melupakannya?" tanya Iskariot. Yang lain-lainnya menatap padanya dengan tercengang dan… gusar sebab perkataannya.
Akan tetapi Yesus menjawab dengan tenang: "Tidak, Yudas. Lihat. Allah seharusnya dicintai sebab Ia adalah Allah, jadi tidak ada penjelasan yang diperlukan demi meyakinkan orang untuk memiliki cinta yang demikian. Ia adalah Ia Yang seperti adanya, yakni Segalanya; dan manusia: Bukan apa-apa, yang ambil bagian dalam Segalanya, sebab jiwa yang ditanamkan dalam dirinya oleh Allah Yang Kekal - yang tanpanya jiwa manusia akan menjadi salah satu dari banyak binatang yang hidup di daratan, atau dalam air atau di udara - manusia wajib menyembah-Nya dari rasa kewajiban dan layak untuk bertahan dalam Segalanya, yakni layak menjadi bagian dari Umat Allah yang kudus di Surga, seorang warga dari Yerusalem yang tidak akan mengenal baik pencemaran ataupun pengrusakan untuk selamanya.
Cinta seorang laki-laki, dan teristimewa cinta seorang perempuan, kepada keturunannya, dinyatakan sebagai suatu perintah dalam sabda Allah kepada Adam dan Hawa, sesudah Ia memberkati mereka, dengan melihat bahwa Ia telah menjadikan suatu 'yang baik', pada hari yang jauh keenam, pada keenam hari pertama dari penciptaan. Allah bersabda kepada mereka: 'Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi…' Aku dapat melihat keberatanmu yang tak terucap, dan inilah jawaban-Ku kepadamu: Sejak sebelum dosa, segalanya dalam ciptaan diatur oleh dan didasarkan pada cinta, bahwa bertambah banyaknya anak-anak akan merupakan suatu cinta yang kudus, murni, berkuasa dan sempurna. Dan Allah memberikannya sebagai perintah pertama-Nya kepada manusia: 'Beranakcuculah dan bertambah banyaklah.' Oleh karenanya, cintailah anak-anakmu sesudah cinta terhadap Aku. Cinta, seperti sebagaimana sekarang, prokreasi anak-anak yang sekarang, masih belum ada pada waktu itu. Tidak ada kebencian ataupun dahaga menjijikkan akan sensualias. Laki-laki mencintai perempuan dan perempuan mencintai laki-laki, secara alamiah, bukan alamiah seturut alam sebagaimana kita memahaminya, atau tepatnya, seperti kalian para laki-laki memahaminya, melainkan seturut kodrat anak-anak Allah: adikodrati. Sungguh manis hari-hari cinta dari Dua orang yang bersaudara, sebab dilahirkan dari satu Bapa, dan kendati demikian adalah suami dan istri, yang mencintai dan saling menatap satu sama lain dengan mata yang tak berdosa dari pasangan kembar dalam satu buaian; dan laki-laki merasakan cinta seorang bapa kepada istrinya 'tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya', betapa berharga seorang anak bagi bapanya; dan perempuan mengalami sukacita menjadi seorang anak perempuan, yang dilindungi oleh cinta yang sangat tinggi tingkatnya, sebab dia merasakan bahwa dia memiliki dalam dirinya sesuatu dari laki-laki mengagumkan yang mencintainya, dengan semangat ketakberdosaan dan bak malaikat, di padang-padang indah di Eden!
Sesudahnya, dalam rangkaian perintah yang Allah, dengan tersenyum, berikan kepada anak-anak-Nya yang terkasih, adalah apa yang Adam sendiri, dengan karunia Rahmat inteligensi yang lebih rendah hanya dari Allah saja, perintahkan sementara berbicara mengenai istrinya dan mengenai setiap perempuan melalui Hawa, suatu perintah yang dari pikiran Allah, yang dengan jelas direfleksikan oleh cermin tak bernoda dari roh Adam, yang terbaik dalam pikiran dan dalam perkataan: 'Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.'
Andai tidak ada ketiga pilar dari ketiga cinta yang disebutkan di atas, dapatkah ada cinta kepada sesama? Tidak. Tidak akan dapat ada. Cinta Allah menjadikan Allah seorang sahabat dan mengajarkan cinta. Barangsiapa tidak mencintai Allah, Yang baik, pasti tidak dapat mencintai sesamanya yang dalam sebagian besar perkara penuh cacat-cela. Andai tidak ada cinta suami istri dan orangtua di dunia, maka tidak akan dapat ada sesama, sebab sesama adalah anak dari manusia. Apa kau sudah yakin?"
"Ya, Guru. Aku tidak berpikir ke sana."
"Adalah sungguh sulit untuk kembali ke sumber-sumbernya. Manusia sudah terjebak dalam lumpur selama beribu-ribu tahun, dan sumber-sumber itu begitu tinggi di puncak-puncak! Yang pertama, di atas semuanya, adalah sumber yang berasal dari ketinggian yang tak terkira: Allah… Tetapi Aku akan menggenggam tanganmu dan menghantarmu ke sumber-sumber itu. Aku tahu di mana itu…"
"Dan cinta-cinta yang lain?" tanya serempak Simon Zelot dan laki-laki yang dari En-Dor.
"Yang pertama dari rangkaian kedua adalah cinta kepada sesama kita. Pada kenyataannya ini adalah yang keempat dalam kuasa. Kemudian cinta akan pengetahuan. Dan yang terakhir cinta akan pekerjaan."
"Cuma itu saja?"
"Cuma itu saja."
"Tapi ada banyak lagi cinta-cinta lain!" seru Yudas dari Keriot.
"Ada lapar-lapar lainnya. Tapi bukan cinta. Itu adalah penyangkalan cinta. Mereka menolak Allah, mereka menolak manusia. Itu tidak mungkin cinta, sebab mereka itu adalah penyangkalan-penyangkalan dan Penyangkalan adalah Kebencian."
"Jika aku menyangkal persetujuan dengan yang jahat, apakah itu Kebencian?" tanya Yudas Iskariot sekali lagi.
"Malangnya aku! Kau lebih suka cari gara-gara daripada seorang ahli Taurat! Bisa kau katakan padaku ada apa denganmu? Apa udara Yudea yang kurang oksigen [karena terletak tinggi di atas gunung] ini mempengaruhi syaraf-syarafmu seperti kram?" seru Petrus.
"Tidak. Aku suka belajar dan punya banyak gagasan yang jelas. Adalah sangat mungkin kita akan harus berbicara pada ahli-ahli Taurat dan aku tidak ingin kalah dalam berargumentasi…"
"Dan apa kau pikir bahwa pada saat kau memerlukannya kau akan dapat menarik warna yang dibutuhkan dari tas kain di mana kau menyimpan semua gombalmu?" tanya Petrus.
"Gombal: perkataan Guru? Kau menyumpah?"
"Jangan berpura-pura kau terkejut. Perkataan-perkataan itu bukan gombal dalam mulut-Nya; tapi begitu perkataan-perkataan itu disalahgunakan oleh kita maka akan menjadi gombal. Coba berikan sehelai byssus yang mahal pada seorang bocah… Maka byssus itu akan segera menjadi gombal yang kotor dan koyak. Dan itulah apa yang terjadi pada kita. Sekarang jika kau berharap untuk memancing di saat yang tepat gombal kecil yang kau butuhkan, karena gombalnya, dan karena kotornya… uhm! aku tidak tahu akan apa jadinya kau nanti."
"Tidak usah khawatir. Itu urusanku."
"Oh! Kau dapat pastikan bahwa aku tidak akan khawatir! Aku sudah punya cukup masalah-masalahku sendiri. Dan lalu…! Aku akan senang asal saja kau tidak menyakiti Guru. Sebab, jika itu terjadi, aku akan peduli juga dengan urusanmu…"
"Kau bisa lakukan itu jika aku melakukan suatu yang salah. Tapi itu tidak akan pernah terjadi, sebab aku tahu bagaimana bersikap… Aku bukan orang bodoh…"
"Sebaliknya aku yang bodoh, aku tahu. Dan sebab aku bodoh aku tidak menyimpan beban apapun, untuk dipamerkan kemudian, pada saat yang tepat. Tapi aku memohon kepada Allah dan Allah akan menolongku demi MesiasNya, bagi Siapa aku adalah yang paling kurang dan hamba-Nya yang paling setia."
"Kita semua setia," timpal Yudas dengan sengit.
"Oh! Kau jahat! Mengapa kau membuat marah bapaku? Dia tua dan dia baik. Kau jangan berbuat seperti itu. Kau jahat dan kau menakutkanku," kata Yabes dengan wajah galak, sesudah diam dan mendengarkan dengan seksama.
"Dan itu jadi dua!" bisik Yakobus Zebedeus dengan suara lirih, dengan menyodok Andreas dengan sikunya.
Meski dia sudah berbicara dengan suara pelan, Iskariot mendengarnya.
"Engkau dapat lihat, Guru, apakah perkataan bocah bodoh dari Magdala itu meninggalkan bekas," kata Yudas meledak dalam amarah.
"Tidakkah lebih menyenangkan untuk lanjut mendengarkan pelajaran Guru, dan bukannya bertingkah seperti anak-anak yang marah?" saran Tomas penuh damai.
"Tentu saja, Guru. Ceritakan lagi kepada kami mengenai BundaMu. Masa kanak-kanak-Nya begitu cemerlang! Tepat refleksi dari kecemerlangan yang menjadikan jiwa kita murni, dan aku, seorang pendosa yang malang, sungguh sangat membutuhkan terang itu!" seru Matius.
"Apakah yang harus Aku ceritakan pada kalian? Ada begitu banyak kisah, yang satu lebih menyentuh dari yang lain…"
"Apakah Ia menceritakannya pada-Mu?"
"Ya, sebagian. Tetapi Yosef menceritakan pada-Ku lebih banyak lagi, sebagai kisah-kisah yang paling indah yang dapat ia ceritakan pada seorang anak, dan juga Alfeus anak Sara, yang beberapa tahun lebih tua usianya dari BundaKu, dan adalah sahabat-Nya sepanjang periode singkat Ia tinggal di Nazaret…"
"Oh! Mohon, ceritakanlah pada kami…" pinta Yohanes.
Mereka semua duduk dalam sebuah lingkaran di bawah naungan pepohonan zaitun, dengan Yabes di tengah terpaku menatap Yesus seolah dia sedang mendengarkan sebuah kisah surgawi.
"Aku akan menceritakan kepada kalian mengenai pelajaran tentang kemurnian yang diberikan BundaKu pada sahabat kecil-Nya dan lebih banyak lagi orang beberapa hari sebelum masuk Bait Allah. Seorang gadis di Nazaret, seorang sanak Sara, menikah pada hari itu dan juga Yoakim dan Anna diundang ke perkawinan. Maria kecil pergi bersama mereka, dan bersama anak-anak lainnya. Ia harus menaburkan helai-helai bunga di jalan si mempelai. Mereka mengatakan bahwa Ia adalah yang paling cantik, sebagai seorang kanak-kanak, dan semua orang puas dengan-Nya sesudah kedatangan sukacita mempelai. Tidaklah mudah melihat Maria setiap hari, sebab Ia tinggal nyaris sepanjang waktu di rumah, di mana Ia mencintai sebuah grotto kecil lebih dari tempat lain manapun, dan bahkan pada masa sekarang Ia menyebutnya 'grotto perkawinan-Nya.' Jadi, apabila Ia tampil di luar, dengan rambut pirang, kemerahan dan lemah-lembut, Ia dihujani perhatian. Mereka biasa menyebut-Nya 'Bunga dari Nazaret' atau 'Mutiara dari Galilea' atau juga 'Damai dari Allah' dalam mengenang sebuah pelangi sangat besar, yang sekonyong-konyong muncul begitu Ia dilahirkan. Sesungguhnya Ia adalah semua itu, dan terlebih lagi. Ia adalah Bunga dari Surga dan dari ciptaan, Mutiara dari Firdaus dan Damai dari Allah… Ya, Damai dari Allah. Aku adalah Yang Damai sebab Aku adalah Putra Bapa dan Putra Maria: Damai Tak Terbatas dan Damai Yang Manis. Pada hari itu semua orang ingin mencium-Nya dan membawa-Nya ke pangkuan mereka. Dan sebab Ia enggan dicium dan disentuh, Ia berkata dengan keseriusan yang lembut: 'Tolong, jangan buat Aku kusut.' Mereka menyangka bahwa Ia sedang berbicara mengenai gaun linen-Nya, yang dikencangkan pada pinggang-Nya, pada kedua pergelangan tangan dan leher-Nya dengan sehelai pita biru, atau mengenai mahkota kecilnya yang dari bunga-bunga biru, dengan mana Anna mendandani kepala-Nya agar keriting ramput-Nya tertata rapi, dan mereka meyakinkan-Nya bahwa mereka tidak akan mengusutkan gaun ataupun mahkota-Nya. Namun, yakin pada Diri-Nya Sendiri, sebagai seorang perempuan kecil berusia tiga tahun yang berdiri di tengah lingkaran orang-orang dewasa, Ia mengatakan dengan serius: 'Aku tidak sedang memikirkan apa yang dapat diperbaiki. Aku sedang membicarakan jiwa-Ku. Jiwa-Ku milik Allah. Dan dia tidak ingin disentuh terkecuali oleh Allah.' Mereka menyanggah: 'Tapi kami mencium-Mu, bukan jiwa-Mu.' Ia menjawab: 'Tubuh-Ku adalah bait dari jiwa-Ku dan Roh adalah imamnya. Orang-orang tidak diperkenankan masuk ke halaman imam. Tolong, jangan masuk ke halaman Allah.' Alfeus, yang pada waktu itu berumur sekitar delapan tahun dan sangat sayang pada-Nya, amat terkesan oleh jawaban itu dan keesokan harinya, melihat-Nya dekat grotto kecil-Nya, dia bertanya pada-Nya: 'Maria, ketika Engkau dewasa, maukah Engkau menikah denganku?' Alfeus masih terkesan atas kegembiraan dari perjamuan perkawinan yang dihadirinya. Dan Ia menjawab: 'Aku sangat sayang padamu. Tapi aku tidak melihatmu sebagai seorang laki-laki. Aku akan mengatakan padamu suatu rahasia. Aku melihat hanya jiwa dari suatu hakikat hidup. Dan Aku sangat mencintainya, dengan segenap hati-Ku. Tapi Aku melihat hanya Allah sebagai "Hakikat Hidup Sejati" kepada Siapa Aku akan dapat memberikan Diri-Ku Sendiri.' Itu adalah satu dari kisah-Nya."
"'Hakikat Hidup Sejati'!!! Itu suatu perkataan yang sangat mendalam!" seru Bartolomeus.
Dan Yesus, dengan rendah hati dan tersenyum menjawab: "Ia adalah Bunda Kebijaksanaan."
"Ya kah?... Tapi bukankah Ia masih tiga tahun?"
"Ya. Aku sudah tinggal dalam-Nya, seperti Allah ada dalam-Nya, dalam Keesaan dan Trinitas-Nya yang paling sempurna, sejak Ia dalam kandungan."
"Maafkan aku jika aku, seorang pendosa, berani berbicara, tetapi apakah Yoakim dan Anna tahu bahwa Ia adalah Perawan yang dipilih?" tanya Yudas Iskariot.
"Tidak, mereka tidak tahu."
"Jika demikian, bagaimanakah Yoakim dapat mengatakan bahwa Allah telah menyelamatkan-Nya terlebih dahulu? Tidakkah itu menunjuk pada hak istimewa-Nya atas dosa?"
"Ya, memang. Tapi Yoakim berbicara dengan diilhami oleh Allah, seperti segenap nabi. Dia sendiri tidak memahami kebenaran adikodrati mulia yang dinyatakan Roh melalui bibirnya. Sebab Yoakim orang benar. Sebegitu benar hingga layak akan kebapakan yang demikian. Dan dia rendah hati. Tidak ada keadilan di mana ada kesombongan. Dia benar dan rendah hati. Dia menghibur Putrinya karena kasih kebapaan. Dia mengajari-Nya melalui kebijaksanaan seorang imam, sebab dia memang demikian sebagai seorang pelindung dari Tabut Allah. Sebagai seorang Pontiff dia mengkonsekrasikan-Nya dengan julukan termanis: 'Yang Tanpa Dosa.' Dan harinya akan datang ketika seorang Pontiff lainnya yang berambut abu-abu akan berkata kepada dunia: 'Ia adalah Yang Dikandung Tanpa Dosa' dan akan menyampaikan kebenaran ini kepada dunia orang-orang percaya, sebagai suatu dogma yang tak dapat disangkal, sehingga Perawan Allah Yang Tercantik, bermahkotakan bintang-bintang, berpakaian berkas-berkas bulan yang tidak semurni seperti Ia sendiri, lebih cemerlang dari segala bintang, Ratu dari Ciptaan dan dari Allah, dapat bersinar, sepenuhnya dinyatakan, di dunia yang pada masa itu akan tenggelam lebih dan lebih lagi dalam kabut abu-abu bidaah dan kejahatan. Sebab Allah-Raja memiliki sebagai RatuNya, dalam Kerajaan-Nya, Maria."
"Jadi Yoakim adalah seorang nabi?"
"Dia seorang benar. Jiwanya mengulang bagai suatu gema apa yang Allah katakan pada jiwanya yang dikasihi oleh Allah."
"Kapankah kita akan pergi kepada Bunda ini, Tuhan-ku?" tanya Yabes dengan mata antusias.
"Sore ini. Apa yang akan kau katakan pada-Nya ketika kau melihat-Nya?"
"'Aku menyalami Engkau, Bunda sang Juruselamat.' Apakah begitu baik?"
"Sangat baik," Yesus meneguhkan sembari membelainya.
"Tapi, apakah kita pergi ke Bait Allah hari ini?" tanya Filipus.
"Kita akan pergi ke sana sebelum berangkat ke Betania. Dan kau akan tinggal di sini dan menjadi anak yang baik. Ya?"
"Ya, Tuhan-ku."
Istri Yunus, pengurus hutan kecil zaitun, yang sudah datang mendekat dengan sangat pelan berkata: "Mengapakah Engkau tidak membawanya. Anak itu antusias untuk ikut…"
Yesus menatap padanya tanpa mengatakan apa-apa.
Perempuan itu mengerti dan berkata: "Aku mengerti! Seharusnya aku masih punya mantol kecil kepunyaan Markus. Aku akan mencarinya," dan dia berlari pergi.
Yabes menarik lengan baju Yohanes: "Apakah guru-gurunya galak?"
"Oh! tidak. Jangan takut. Bagaimana pun, bukan hari ini. Baru beberapa hari lagi, bersama BundaNya, kau akan lebih terpelajar dari seorang alim ulama," Yohanes menghiburnya.
Yang lain mendengar dan tersenyum mendengar kekhawatiran Yabes.
"Tapi siapakah yang akan mempersembahkannya seolah dia adalah ayahnya?" tanya Matius.
"Tentu saja aku! Terkecuali… Guru ingin mempersembahkannya," kata Petrus.
"Tidak, Simon. Aku tidak akan mempersembahkannya. Aku berikan kehormatan itu padamu."
"Terima kasih, Guru. Tapi… Engkau akan ada di sana juga?"
"Tentu. Kita semua akan ada di sana. Dia ini anak 'kita'…"
Maria istri Yunus kembali dengan sehelai mantol ungu tua, yang masih baik. Tapi warnanya! Dia mengatakannya sendiri: "Markus tidak pernah mau mengenakannya sebab dia tidak suka warnanya."
Tidak heran! Norak! Dan Yabes yang malang dengan warna kulitnya yang bak zaitun kelihatan mengerikan dalam warna ungu norak itu. Tapi dia tidak dapat melihat dirinya sendiri… dan sebab itu dia senang mempunyai mantol dengan mana dia dapat membalut dirinya seperti seorang dewasa.
"Santapan sudah siap, Guru. Perempuan itu baru saja mengeluarkan anak domba dari panggangan."
"Jadi, marilah kita pergi."
Dan dengan berjalan turun dari tempat di mana mereka berada, mereka masuk ke dalam sebuah dapur besar untuk bersantap.
|
|