195. DARI BEEROT KE YERUSALEM.    

Diogenes dari Sinope (412-323 SM), filsuf Yunani dari Mazhab Sinis.  
Diogenes menyalakan pelita pada siang hari bolong, dan pergi berkeliling seraya mengatakan, "Aku mencari seorang yang jujur."  

20 Juni 1945

Hari hujan dan Petrus bagiku tampak seperti kebalikan dari Aeneas, sebab bukannya menggendong ayahnya, tapi dia menggendong si Yabes kecil di atas pundaknya, yang sepenuhnya diselimuti oleh mantol Petrus yang besar. Kepala mungil si bocah muncul di atas kepala berambut abu-abu Petrus, yang, dengan lengan-lengan si bocah sekeliling lehernya, menceburkan kakinya dalam genangan-genangan kecil air, dengan tertawa sepenuh hati.

"Kita bisa menghindari semua ini," keluh Iskariot, yang sebal sebab air tercurah dari langit dan menciprati pakaiannya dengan lumpur.

"Eh! Banyak hal yang dapat dihindari!" jawab Yohanes dari En-Dor, dengan melirik pada si tampan Yudas dengan satu matanya yang baik, yang aku pikir dapat melihat sebaik dua mata.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku adalah bahwa sia-sia saja mengharapkan air memikirkan kita, ketika tidak ada seorang pun dari sesama kita yang memikirkan kita, dan itu menyangkut perkara-perkara yang jauh lebih penting dari sekedar beberapa tetes air atau cipratan lumpur."

"Itu betul. Tapi aku ingin kelihatan rapi dan bersih ketika aku pergi ke kota. Aku punya banyak teman di sana, dan dari golongan atas."

"Jadi, waspadalah agar kau jangan jatuh."

"Apa kau memperolokku?"

"Tidaaaak! Tapi aku adalah seorang guru yang tua dan… seorang murid yang tua. Aku sudah belajar sejak aku dilahirkan. Pertama-tama, aku belajar untuk sekedar hidup, kemudian aku mengamati hidup, kemudian aku menjadi akrab dengan kegetiran hidup, aku mempraktekkan suatu keadilan yang sia-sia, keadilan dari 'manusia yang seorang diri' melawan Allah dan masyarakat. Allah menghukumku dengan penyesalan mendalam, masyarakat menguhukumku dengan rantai belenggu, jadi, bagaimana pun, aku adalah kurban keadilan. Dan akhirnya, sekarang, aku sudah belajar, aku sedang belajar bagaimana 'untuk hidup'. Sekarang, sebab aku seorang guru sekaligus seorang murid, kau akan tahu bahwa adalah wajar bagiku untuk mengulangi pelajaran-pelajaran."

"Tapi aku ini seorang rasul…"

"Dan aku ini seorang buangan yang malang, aku tahu, dan aku sepatutnya tidak pernah boleh lancang mengajarimu. Tapi, lihat, kau tidak pernah tahu apa jadinya seseorang kelak. Tadinya, aku pikir bahwa aku akan mati sebagai seorang guru yang jujur dan terhormat di Cyprus dan nyatanya aku menjadi seorang pembunuh dan seorang narapidana yang menjalani hukuman penjara seumur hidup. Ketika aku mengangkat pisau untuk membalas dendam, dan ketika aku menyeret rantai belengguku dengan membenci semesta, andai ada orang yang mengatakan padaku bahwa aku akan menjadi murid dari Yang Kudus, aku akan meragukan apakah pikirannya waras. Dan meski begitu… Ini aku! Jadi, aku mungkin dapat memberikan suatu pelajaran yang baik juga untukmu, seorang rasul. Karena pengalamanku. Bukan karena kekudusanku, aku tidak akan memimpikannya."

"Si orang Romawi itu tepat dengan menyebutmu Diogenes."

"Tentu saja. Tapi Diogenes mencari seorang manusia dan tidak dapat menemukannya. Aku, yang lebih beruntung darinya, mendapati seekor ular di mana aku pikir ada seorang perempuan, dan seorang pezinah di mana aku pikir aku melihat seorang teman yang bersahabat, tetapi sesudah mengembara selama bertahun-tahun, sebab aku menjadi gila oleh pengalaman yang seperti itu, aku menemukan sang Manusia, Yang Kudus."

"Aku tidak mengenal kebijaksanaan lain selain dari kebijaksanaan Israel."

"Jika demikian halnya, kau sudah punya sarana keselamatan. Tapi sekarang kau punya juga pengetahuan, bukan, kebijaksanaan Allah."

"Itu hal yang sama."

"Oh! Tidak! Itu seperti hari yang berkabut dibandingkan dengan hari yang bersinar."

"Baiklah! Apa kau antusias untuk mengajari aku? Aku tidak merasa tertarik."

"Biarkan aku bicara! Dulu, aku biasa berbicara kepada anak-anak: mereka itu pelupa. Kemudian aku berbicara kepada bayang-bayang, mereka mengutuki aku. Kemudian kepada ayam-ayam: mereka lebih baik, jauh lebih baik dari kedua kelompok pertama. Sekarang aku berbicara kepada diriku sendiri sebab aku belum dapat berbicara kepada Allah. Mengapa kau hendak menghentikanku? Aku hanya punya satu mata, pertambangan-pertambangan sudah merusakkan hidupku, aku menderita akibat sakit hati selama bertahun-tahun. Setidak-tidaknya biarkan pikiranku menghasilkan buah."

"Yesus adalah Allah."

"Aku tahu, dan aku percaya. Lebih darimu. Sebab aku sudah hidup kembali melalui karya-Nya, sedang kau belum. Tak peduli betapa baiknya Ia, Ia tetap Allah, dan aku, seorang buangan malang yang tak berani memperlakukan-Nya penuh keakraban sepertimu. Jiwaku berbicara kepada-Nya… bibirku tidak berani. Jiwaku berbicara, dan aku pikir bahwa Ia melihat jiwaku itu menangis karena rasa syukur dan kasih pertobatan."

"Itu benar, Yohanes. Aku sungguh melihat jiwamu." Yesus masuk dalam pembicaraan keduanya. Yudas memerah wajahnya karena malu, si laki-laki dari En-Dor memerah karena sukacita. "Aku melihat jiwamu, itu benar. Dan Aku melihat juga karya pikiranmu. Apa yang tadi kau katakan itu benar. Apabila kau sudah dibentuk dalam Aku, pengalamanmu sebagai seorang guru dan seorang murid yang rajin akan menjadi suatu pertolongan besar bagimu. Berbicaralah, sungguh berbicaralah, juga kepada dirimu sendiri."

"Dulu, Guru, belum lama berselang, Engkau katakan padaku bahwa adalah salah berbicara kepada ego sendiri," kata Yudas lancang.

"Itu benar, Aku mengatakannya. Tapi itu karena kau berkeluh-kesah dengan egomu. Orang ini tidak berkeluh-kesah, dia bermeditasi, dan untuk suatu tujuan yang baik. Dia tidak melakukan suatu pun yang salah."

"Singkatnya, aku yang salah!" kata Yudas agresif.

"Tidak, hatimu tidak sabar. Tapi cuaca tidak selalu dapat bersahabat. Para petani menghendaki hujan. Adalah suatu cinta kasih untuk berdoa supaya hujan. Dan juga ini adalah cinta kasih. Tapi lihat, ada pelangi indah yang membentuk sebuah busur dari Atarot ke Rama. Kita sudah melewati Atarot, kita sudah melewati lembah menyedihkan yang luas, dan di sini negeri ditanami dan tampak menyenangkan di bawah matahari, yang menyembul melalui awan-awan. Apabila kita telah tiba di Rama kita akan tigapuluh enam stadia jauhnya dari Yerusalem. Kita akan melihat Kota Suci lagi sesudah bukit itu, dekat penduduk Gibea. Betapa mengerikannya kecondongan daging, Yudas…"

Yudas tidak menjawab, sebaliknya dia menahan diri dari mencipratkan air pada genangan-genangan kecil dengan marah.

"Ada apa dengannya hari ini?" tanya Bartolomeus.

"Diamlah, jangan sampai Simon anak Yohanes mendengarmu. Marilah kita menghindari semua argumentasi… dan janganlah kita membuat jengkel Simon. Dia sangat gembira dengan anaknya!"

"Ya, Guru. Tapi itu tidak betul. Aku akan berbicara padanya."

"Dia masih muda, Natanael. Kau dulu juga muda…"

"Ya… tapi… Dia tidak seharusnya tidak hormat terhadap Engkau!" Natanael meninggikan suaranya tanpa bermaksud demikian.

Petrus bergegas menghampiri mereka: "Ada apa? Siapa yang tidak hormat? Si murid baru?" dan dia menatap pada Yohanes dari En-Dor, yang diam-diam sudah undur diri ketika dia tahu bahwa Yesus sedang mengkoreksi si rasul dan sekarang dia berbicara kepada Yakobus Alfeus dan Simon Zelot.

"Sama sekali bukan. Dia sehormat seorang gadis belia."

"Oh! Bagus! Jika tidak… mata satu-satunya ada dalam bahaya. Baiklah… jadi pasti Yudas!..."

"Dengar, Simon, tak dapatkah kau menyibukkan diri dengan sobat kecilmu? Kau mengambilnya dari-Ku, dan sekarang kau ingin ikut campur juga dalam percakapan pribadi-Ku dengan Natanael. Tidakkah kau pikir bahwa kau ingin melakukan terlalu banyak hal?"

Yesus tersenyum sangat lembut hingga Petrus menjadi tidak yakin akan pemikirannya sendiri. Dia menatap pada Bartolomeus… yang, akan tetapi, sudah mendongakkan wajahnya yang bak rajawali dan tengah mengamati langit… Kecurigaan Petrus pun sirna.

Perhatian Petrus sepenuhnya teralihkan oleh penampakan Kota Suci, yang sekarang sudah dekat, dan terlihat dalam segala keindahan bukit-bukitnya, hutan-hutan kecil zaitun, rumah-rumah, dan lebih dari segalanya, Bait Allah, suatu pemandangan yang selalu merupakan sumber emosi dan kebanggaan bangsa Israel. Matahari bulan April yang hangat di Yudea telah segera mengeringkan lempeng-lempeng batu jalanan konsuler. Genangan-genangan kecil air telah lenyap sama sekali. Para rasul merapikan diri di sisi jalanan, mereka menurunkan jubah yang tadi telah mereka naikkan, mereka membasuh kaki mereka yang berlumpur di aliran air yang jernih, mereka merapikan rambut mereka dan menyelubungkan mantol mereka. Juga Yesus melakukannya. Aku melihat mereka semua melakukannya.

Masuk ke dalam Yerusalem pastilah merupakan suatu hal yang penting. Menghadirkan diri di tembok-temboknya pada hari-hari perayaan ini adalah seperti menghadirkan diri ke hadapan seorang raja atau ratu. Kota Suci adalah ratu 'sejati' bangsa Israel. Aku menyadarinya tahun ini, sebab aku dapat memperhatikan khalayak ramai dan perilaku mereka di jalanan konsuler. Prosesi-prosesi dari berbagai keluarga terbentuk di sini, para perempuan dalam satu kelompok, para laki-laki dalam kelompok lainnya, anak-anak dalam salah satu dari keduanya, tapi semuanya serius dan sekaligus khusuk. Sebagian melipat mantol lama mereka dan menarik keluar mantol yang baru dari tas bepergian mereka, atau berganti sandal. Gaya jalan mereka menjadi khidmad, sudah hierarkis. Dalam setiap kelompok ada seorang solo yang memberikan nada, dan madah-madah, madah-madah pujian mulia kuno dari Daud, dinyanyikan. Dan orang-orang saling menatap satu sama lain dengan lebih penuh kasih, seolah mereka telah ditenangkan oleh pemandangan Rumah Allah dan mereka menatap pada Rumah Suci, sebuah kubus marmer yang sangat besar dengan kubah-kubah keemasan di atasnya, yang ditempatkan bagai sebutir mutiara di tengah halaman mengesankan dari Bait Allah.  

Formasi prosesi apotolik adalah sebagai berikut: Yesus dan Petrus di depan, dengan si bocah di antara mereka; di belakang mereka ada Simon, Iskariot dan Yohanes; lalu Andreas, yang telah memaksa Yohanes dari En-Dor untuk berada di antara dirinya dengan Yakobus Zebedeus; di barisan keempat ada kedua sepupu Tuhan dan Matius; yang terakhir Tomas, Filipus dan Bartolomeus. Adalah Yesus Yang memadahkan dalam suara bariton ringan-Nya yang indah dan mantap, suara merdu dengan vibrasi tenor yang jernih, dan Yudas Iskariot, tenor murni, menjawab bersama Yohanes, dengan suara jernihnya yang khas anak muda, dua suara bariton dari kedua sepupu Yesus dan suara Tomas yang nyaris bas, yang suara baritonnya sangat rendah hingga susah digolongkan demikian. Yang lain-lainnya, yang tidak dianugerahi suara indah macam itu, mengikuti paduan suara dari mereka yang bersuara emas dengan bernyanyi dengan suara pelan. (Mazmur-mazmurnya sudah kita kenal, yang disebut mazmur tanggapan.) Yabes kecil, dengan suara seorang malaikat di antara suara-suara kuat para lelaki, menyanyi dengan sangat baik, mungkin karena dia mengenal Mazmur CXXI lebih baik dari yang lainnya: "Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: 'Mari kita pergi ke rumah TUHAN.'"  Wajah mungilnya, yang hanya beberapa hari lalu begitu sedih, sekarang berbinar dengan sukacita.   

Tembok-tembok sekarang sudah dekat. Inilah Gerbang Ikan. Dan jalanan-jalanan yang penuh sesak.

Mereka langsung menuju Bait Allah untuk mendaraskan doa pertama. Dan kemudian tenang dalam damai Getsemani, lalu bersantap malam dan beristirahat.

Perjalanan menuju Yerusalem pun berakhir.           
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 3                    Daftar Istilah                        Halaman Utama