184. DI MAGDALA DI RUMAH IBU BENYAMIN.
10 Juni 1945
Mukjizat pastilah terjadi baru beberapa saat yang lalu, sebab para rasul tengah membicarakannya, dan juga beberapa warga menyampaikan komentar-komentar, dengan menunjuk pada sang Guru, Yang dengan wajah serius langsung menuju daerah pinggiran kota, di mana orang-orang miskin tinggal.
Ia berhenti di sebuah rumah kecil, dari mana seorang anak lelaki kecil datang melompat keluar dengan diikuti oleh ibunya. "Perempuan, apakah kau mengijinkan Aku masuk ke dalam kebun sayur-mayur dan buah-buahanmu dan beristirahat di sana hingga hari sedikit lebih sejuk?"
"Masuklah, Tuhan-ku. Juga ke dalam dapur, jika Engkau mau. Aku akan mengambilkan makanan dan minuman untuk-Mu."
"Janganlah repot-repot. Sudahlah cukup bagi-Ku dapat tinggal di kebun yang damai ini."
Tapi perempuan itu menawari-Nya air yang dicampur dengan aku tidak tahu apa dan lalu dia mondar-mandir sekitar kebun sayur-mayur dan buah-buahan, seolah dia antusias tapi tidak berani berbicara. Dia menyibukkan diri dengan sayur-mayurnya, tapi itu hanya suatu dalih. Sesungguhnya dia memperhatikan sang Guru, tapi si anak kecil menjengkelkannya sebab setiap kali dia menangkap seekor kupu-kupu atau serangga, dia memekik dan dengan demikian menghalanginya mendengar apa yang Yesus katakan. Si ibu menjadi marah dan melayangkan sedikit tamparan padanya dan… si anak memekik terlebih keras lagi.
Yesus - Yang sedang memberikan jawaban pada Zelot yang bertanya padanya: "Apakah Engkau pikir Maria marah karenanya?" berkata: "Jauh lebih dari yang kau pikirkan …" - berbalik dan memanggil si anak, yang berlari menghampiri-Nya dan berhenti menangis di lutut-Nya.
Si perempuan berteriak: "Benyamin. Ke sini. Jangan ganggu Guru."
Namun Yesus berkata: "Tidak, biarkan dia. Dia akan menjadi baik dan akan meninggalkanmu dalam ketenangan." Ia lalu berkata kepada si anak: "Janganlah menangis. Mamamu tidak menyakitimu. Dia hanya membuatmu taat, atau, dia ingin membuatmu taat. Kenapa kamu berteriak-teriak ketika dia ingin kamu tenang? Mungkin dia sedang tidak enak badan, dan teriakanmu menjengkelkannya."
Si bocah, dengan kejujuran yang tak dapat diragukan dari seorang anak, yang memalukan orang-orang dewasa, segera berseru: "Tidak, dia sehat-sehat saja. Dia ingin mendengar apa yang Engkau katakan… Dia bilang begitu padaku. Tapi aku ingin datang pada-Mu, jadi aku sengaja membuat ribut, supaya Engkau melihat padaku."
Semua orang tertawa dan si perempuan wajahnya memerah.
"Janganlah tersipu, perempuan. Kemarilah. Kau ingin mendengarkan Aku berbicara? Kenapa?"
"Sebab Engkau adalah Mesias. Tak ada seorang pun selain Engkau yang dapat menjadi Mesias, dengan mempertimbangkan mukjizat yang telah Engkau kerjakan… Dan aku sangat ingin mendengarkan Engkau. Aku tidak pernah pergi keluar dari Magdala sebab aku punya… seorang suami yang sulit dan lima orang anak. Yang paling kecil baru berusia empat bulan… dan Engkau tidak pernah datang kemari."
"Aku telah datang, dan ke rumahmu, seperti kau lihat."
"Itulah sebabnya aku ingin mendengarkan Engkau."
"Di manakah suamimu?"
"Di laut, Tuhan-ku. Jika dia tidak mendapat ikan, maka tidak ada makanan buat kami. Aku cuma punya kebun kecil sayur-mayur dan buah-buahan ini. Dapatkah ini mencukupi kebutuhan tujuh orang? Dan meski begitu, itulah apa yang Zakheus ingin…"
"Bersabarlah, perempuan. Semua orang punya salib."
"Oh! Tidak! Perempuan-perempuan yang tidak tahu malu hanya menikmati kesenangan. Engkau telah melihat perbuatan-perbuatan mereka yang tidak tahu malu! Mereka menyenangkan diri mereka sendiri dan membuat orang lain menderita. Mereka tidak merasakan penderitaan melahirkan pula tidak merasakan punggung patah akibat bekerja. Tangan-tangan mereka tidak melepuh akibat menggali, pula tidak menjadi lecet akibat mencuci pakaian. Mereka cantik dan kelihatan segar. Hukuman atas Hawa tidak berlaku atas mereka. Bukan, mereka adalah hukuman bagi kami, sebab… laki-laki… Engkau tahu apa yang aku maksudkan."
"Aku mengerti. Tapi, percayalah pada-Ku, mereka punya salib yang mengerikan juga. Yang paling mengerikan, yang tak nampak: hati nurani mereka yang mencela mereka, dunia yang mengejek mereka, darah mereka yang mengingkari mereka, Allah yang mengutuk mereka. Mereka tidak bahagia, percayalah pada-Ku. Mereka tidak merasakan penderitaan melahirkan, mereka tidak merasakan pungggung patah akibat bekerja, mereka tidak melecetkan tangan mereka dengan bekerja. Tapi mereka merasakan remuk juga, dan malu. Hati mereka adalah satu luka besar. Janganlah iri terhadap penampilan mereka yang segar, penampilan mereka yang seolah damai tenang. Itu adalah selubung yang dipasang menutupi suatu kebobrokan yang menggigit dan tidak memberi damai. Janganlah iri akan tidur mereka, kau, seorang ibu yang punya mimpi atas anak-anaknya yang tak berdosa… Bantal mereka diselimuti mimpi-mimpi buruk. Dan di masa mendatang, pada masa tua mereka, dalam sengsara mereka, mereka tiada akan memiliki apa-apa selain dari penyesalan dan teror."
"Itu benar… Ampuni aku… Bolehkah aku tinggal di sini?"
"Ya, tinggallah. Aku akan menceritakan kepada Benyamin suatu perumpamaan yang manis dan mereka yang bukan lagi anak-anak akan dapat mengaplikasikannya pada diri mereka sendiri dan pada Maria dari Magdala. Dengarkanlah.
Kalian meragukan pertobatan Maria pada Yang Baik. Tidak ada tanda-tanda dalam dirinya ke arah itu. Tidak tahu malu dan tidak tahu aturan, sadar akan kedudukan dan kuasanya, dia berani menantang orang-orang dan datang tepat ke ambang rumah di mana mereka menangis karena dia. Dia menertawakan celaan Petrus. Dia menanggapi tatapan-Ku yang mengundang dengan bersikap angkuh. Mungkin sebagian dari kalian, entah demi Lazarus atau demi Aku, ingin Aku berbicara kepadanya secara langsung, panjang lebar, menundukkannya dengan kuasa-Ku, menunjukkan kekuatan-Ku sebagai Mesias dan Juruselamat. Tidak. Semua itu tidak diperlukan. Aku telah berbicara lama berselang, berbulan-bulan yang lalu, mengenai seorang pendosa lain. Jiwa-jiwa haruslah bereaksi dari diri mereka sendiri. Aku lewat dan menaburkan benih. Benih bekerja secara rahasia. Suatu jiwa haruslah dihormati dalam karya ini. Jika benih yang pertama tidak berakar, benih lainnya harus ditabur, dan benih yang ketiga… dan orang hanya boleh menyerah ketika ada suatu bukti pasti bahwa adalah sia-sia untuk menabur. Dan orang berdoa. Doa adalah bagai embun pada gumpalan tanah: embun membuat tanah tetap lembut dan memberinya makanan, sehingga benih dapat bertunas. Bukankah itu apa yang kau lakukan, perempuan, dengan sayur-sayuranmu?
Sekarang dengarkanlah perumpamaan tentang bagaimana Allah bekerja dalam hati manusia guna membangun Kerajaan-Nya di sana. Sebab setiap hati adalah kerajaan kecil Allah di dunia. Kelak, sesudah kematian, semua kerajaan-kerajaan kecil ini akan menyatu menjadi Kerajaan Surga yang satu, tak terbatas, kudus abadi.
Kerajaan Allah diciptakan dalam hati manusia oleh Penabur Ilahi. Ia datang ke ladangnya - manusia milik Allah, sebab setiap manusia pada mulanya adalah milik-Nya - dan menaburkan benih-Nya. Ia lalu pergi ke ladang-ladang lain, ke hati-hati yang lain. Siang berganti malam dan malam berganti siang. Siang mendatangkan berkas-berkas matahari dan hujan, dalam kasus kita berkas-berkas kasih ilahi dan pancaran Kebijaksanaan ilahi yang berbicara kepada roh. Malam mendatangkan bintang-bintang dan hening yang mengistirahatkan: dalam kasus kita panggilan-panggilan pencerahan dari Allah dan hening bagi jiwa supaya jiwa dapat menenangkan pikirannya dan bermeditasi.
Benih, dalam rangkaian pengaruh yang tak kasat mata namun penuh kuasa ini, menggembung, pecah, berakar, bertunas, bertumbuh. Dan semua itu terjadi tanpa campur-tangan apapun dari manusia. Tanah secara spontan menghasilan tunas-tunas dari benih, tanam-tanaman itu menjadi kuat dan menopang berkas-berkas yang muncul, berkas-berkas tumbuh, menggembung, mengeras, menjadi keemasan dan sempurna ketika berbiji. Ketika masak, si Penabur kembali dan menyabitnya sebab saat kesempurnaan sudah tiba bagi benih itu. Benih itu tak dapat berkembang lebih lanjut dan jadi benih itu dipanen.
Sabda-Ku mengerjakan karya yang sama dalam hati manusia. Yang Aku maksudkan adalah hati yang menyambut benih. Tapi itu merupakan suatu proses yang lama. Orang janganlah merusakkan semuanya dengan menjadi tergesa-gesa. Betapa susah-payah bagi benih kecil itu untuk pecah dan berakar! Karya yang demikian menyakitkan juga bagi hati yang keras dan liar. Hati harus membuka dirinya sendiri, membiarkan orang mencarinya, menerima hal-hal baru dan menghidupinya dengan kerja keras, tampil beda dengan dibalut oleh hal-hal berguna yang sederhana, dan bukannya oleh hal-hal mempesona, mewah, sia-sia, berlimpah seperti yang membalutnya sebelumnya. Jiwa harus puas dengan bekerja dengan rendah hati demi kepentingan Pikiran ilahi, tanpa menarik perhatian penuh kagum dari orang-orang lain. Jiwa harus mendayagunakan segala bakat-bakatnya untuk tumbuh dan menghasilkan berkas-berkas. Jiwa harus berkobar dalam kasih untuk menjadi gandum. Dan sesudah mengatasi segala ketakutan akan pendapat manusia, yang sangat mengerikan, sesudah bekerja keras, menderita dan menjadi terikat pada pakaian barunya, jiwa harus dijauhkan darinya oleh suatu sabitan yang kejam. Jiwa harus memberikan semuanya demi menerima semuanya. Jiwa harus ditelanjangi untuk diberi pakaian lagi di Surga dengan stola kekudusan. Hidup seorang pendosa yang menjadi seorang kudus merupakan suatu pergumulan yang paling panjang, paling gagah berani dan gemilang. Aku mengatakannya pada kalian.
Kalian akan sadar dari apa yang sudah Aku katakan bahwa adalah adil bahwa Aku seharusnya menangani Maria seperti yang sedang Aku lakukan. Apakah Aku bertindak beda terhadapmu, Matius?"
"Tidak, Tuhan-ku, tidak."
"Dan katakan pada-Ku sebenarnya: apakah yang lebih meyakinkanmu, kesabaran-Ku atau celaan pahit dari kaum Farisi?"
"Kesabaran-Mu, yang sungguh luar biasa hingga aku ada di sini. Kaum Farisi, dengan memandang rendah dan mengutuki aku, membuatku terhina, dan karena mendongkol aku melakukan yang lebih buruk dari yang sudah aku lakukan sebelumnya. Itulah yang terjadi. Para pendosa menjadi semakin berdegil ketika mereka sadar bahwa mereka diperlakukan sebagai pendosa. Tetapi apabila kami dibelai dan bukannya dihina, kami terkesima dan kami menangis… dan ketika orang menangis, seluruh kerangka dosa runtuh… Orang tinggal telanjang di hadapan Kebaikan dan orang memohon dengan sepenuh hati agar diberi pakaian kembali oleh Kebaikan."
"Kau benar. Benyamin, apakah kau suka cerita-Ku? Ya? Bagus. Di manakah ibumu?"
Yakobus Alfeus menjawab: "Dia pergi keluar di akhir perumpamaan dan berlari sepanjang jalan itu."
"Dia mungkin pergi ke tepi laut untuk melihat apakah suaminya datang," kata Tomas.
"Tidak. Dia pergi ke tempat ibunya yang sudah tua, untuk menjemput anak-anak. Mama membawa mereka ke sana supaya dia dapat bekerja," kata si anak kecil, yang bersandar akrab pada lutut Yesus.
"Dan dia menahanmu di sini, sobat kecilku? Kau pastilah seorang pembuat onar yang heboh jika dia menahanmu di sini sendirian!" komentar Bartolomeus.
"Aku anak tertua, dan aku membantunya…"
"Kau membantunya untuk memperoleh Firdaus, perempuan malang! Berapa umurmu?" tanya Petrus.
"Tiga tahun mendatang aku akan menjadi putra Hukum," jawab si berandal kecil dengan bangga.
"Kau dapat membaca?" tanya Tadeus.
"Ya… tapi sangat lambat… sebab guru mengusirku keluar hampir setiap hari…"
"Apa kataku!" seru Bartolomeus.
"Tapi aku berbuat seperti itu sebab gurunya sudah tua dan jelek dan mengatakan hal yang sama sepanjang waktu dan membuatmu tidur! Jika gurunya seperti Dia (dan dia menunjuk pada Yesus) aku akan memperhatikan. Apakah Engkau memukul mereka yang tidur atau bermain?"
"Aku tidak memukul siapapun. Tapi Aku mengatakan pada murid-murid-Ku: 'Perhatikanlah demi kebaikanmu sendiri dan demi Aku,'" jawab Yesus.
"Ya, itu benar! Karena kasih, bukan karena takut."
"Tapi jika kau baik, guru akan menyayangimu."
"Apa Engkau menyayangi hanya mereka yang baik? Engkau baru saja katakan bahwa Engkau sabar pada orang ini di sini, yang dulu tidak baik…" Logika si anak meyakinkan.
"Aku baik pada semua orang. Tapi ketika orang menjadi baik, Aku sangat mengasihi orang itu dan Aku sangat baik, juga."
Anak itu termenung… dia lalu mendongak dan bertanya pada Matius: "Dan apa yang kau lakukan untuk menjadi baik?"
"Aku mengasihi-Nya."
Anak itu menjadi termenung kembali dan lalu sambil menatap pada Keduabelas bertanya pada Yesus: "Apa mereka semua ini baik?"
"Tentu saja."
"Apa Engkau yakin? Aku kadang bersikap seperti seorang anak baik, tapi itu saat… aku sedang memikirkan suatu kejahilan besar."
Mereka semua meledak dalam tawa. Juga si teman kecil, yang dalam humor pengakuan, tertawa. Juga Yesus tertawa dengan mendekapkannya pada dada-Nya dan menciumnya.
Si anak, yang sekarang akrab dengan semua orang, ingin bermain dan berkata: "Sekarang aku akan mengatakan pada-Mu siapa yang baik" dan dia memulai seleksinya. Dia menatap pada mereka semua dan langsung menuju Yohanes dan Andreas yang ada dekat situ dan berkata: "Kau dan kau. Kemarilah." Dia lalu memilih kedua Yakobus dan menempatkan mereka bersama kedua yang lainnya. Dia lalu memilih Tadeus. Dia cukup termenung di depan Zelot dan Bartolomeus dan berkata: "Kau tua, tapi baik" dan dia menggabungkan keduanya pada yang lainnya. Dia mengamati Petrus, yang menjalani ujian pemeriksaan, dan dengan bergurau mengerutkan kening padanya, dan mendapatinya sebagai baik. Juga Matius dan Filipus lulus ujian. Dia berkata kepada Tomas: "Kau terlalu banyak tertawa. Aku bersungguh-sungguh. Tidakkah kau tahu bahwa guruku mengatakan bahwa dia yang selalu tertawa, gagal dalam ujian?" Bagaimanapun, juga Tomas lulus ujiannya, tapi dengan nilai rendah. Si anak lalu kembali pada Yesus.
"Hei, kau berandal! Aku di sini juga! Aku bukan pohon. Aku muda dan tampan. Mengapa kau tidak mengujiku?" kata Iskariot.
"Sebab aku tidak suka kamu. Ibuku bilang bila kamu tidak suka sesuatu, kamu jangan menyentuhnya. Kamu biarkan saja di atas meja, supaya orang-orang lain, yang mungkin menyukainya, dapat mengambilnya. Dan dia juga bilang jika kamu ditawari sesuatu yang kamu tidak suka, janganlah kamu katakan: 'aku tidak suka.' Tapi kamu katakan: 'Terima kasih, tapi aku tidak lapar.' Dan aku tidak lapar akan kamu."
"Kenapa tidak? Lihatlah, jka kau katakan bahwa aku baik, aku akan memberimu uang logam ini."
"Apa yang akan aku lakukan dengannya? Apa yang dapat aku beli dengan suatu kebohongan? Mama bilang bahwa uang yang adalah hasil kebohongan, akan menjadi jerami. Suatu kali di rumah nenekku, aku membuat mereka memberiku satu dirham dengan berkata bohong sebab aku ingin membeli beberapa kue madu, dan pada waktu malam uang itu berubah menjadi jerami. Aku menaruhnya dalam lubang itu yang di sana, di bawah pintu, untuk mengambilnya keesokan harinya, tapi aku mendapati segenggam jerami di tempatnya."
"Tapi bagaimana kau dapat tahu bahwa aku tidak baik? Apa yang salah denganku? Apa aku pincang? Apa aku bertampang jelek?"
"Tidak. Tapi kamu menakutkanku."
"Kenapa?" tanya Iskariot menghampirinya.
"Aku tidak tahu. Biarkan aku sendiri. Jangan sentuh aku atau aku akan mencakarmu."
"Dasar landak! Kamu bodoh." Yudas memaksakan diri untuk tertawa.
"Aku tidak bodoh. Kamu yang jahat," dan anak itu mencari perlindungan di pangkuan Yesus, Yang membelainya tanpa bicara.
Para rasul menjadikan peristiwa itu bahan olok-olok yang sangat menyebalkan Iskariot.
Sementara itu si perempuan kembali bersama setengah lusin orang, dan di belakang mereka, lebih banyak lagi. Mereka pastilah sekitar limapuluh orang. Semuanya orang-orang miskin.
"Maukah Engkau berbicara kepada mereka? Setidaknya beberapa patah kata. Ini ibu dari suamiku, ini adalah anak-anakku. Dan laki-laki yang di sana itu suamiku. Sepatah kata saja, Tuhan," mohon si perempuan.
"Ya, Aku akan berbicara. Terima kasih atas keramah-tamahanmu."
Perempuan itu masuk ke dalam rumah, di mana bayinya menuntut bagiannya dan dia duduk di ambang sambil menyusui bayinya.
"Dengarkanlah. Di sini di lutut-Ku ada seorang anak kecil yang telah berbicara dengan sangat bijaksana. Dia mengatakan: 'Semua yang didapatkan lewat kebohongan, akan menjadi jerami.' Ibunya yang mengajarinya kebenaran itu.
Itu bukanlah isapan jempol. Itu adalah kebenaran abadi. Apa yang dilakukan dengan tidak jujur, tidak akan pernah berhasil. Sebab kebohongan dalam perkataan, perbuatan dan dalam agama selalu merupakan tanda persekutuan dengan Setan, tuan dari kebohongan. Janganlah percaya bahwa perbuatan-perbuatan yang pantas mendapatkan Kerajaan Surga adalah perbuatan yang hingar-bingar atau sok pamer. Melainkan perbuatan-perbuatan yang biasa, yang terus-menerus dilakukan, tetapi dilakukan dengan tujuan adikodrati kasih. Kasih adalah benih dari tanaman yang bertunas dalam dirimu dan tumbuh hingga setinggi Surga, dan dia menaungi segala keutamaan-keutamaan lainnya yang bertunas. Aku akan membandingkannya dengan benih sesawi yang sangat kecil. Betapa kecilnya! Salah satu dari benih terkecil yang ditaburkan manusia. Tapi lihat betapa besar dan rindang ia jadinya ketika ia sudah tumbuh besar dan betapa banyak buah yang dihasilkannya. Bukan seratus persen, melainkan seratus banding satu. Yang paling kecil. Tapi yang paling rajin dalam bekerja. Betapa banyak keuntungan yang diberikannya padamu.
Sama halnya dengan kasih. Jika kamu menyimpan dalam hatimu sebenih kecil kasih kepada Allah Yang Mahakudus dan kepada sesamamu, dan jika kamu melakukan perbuatan-perbuatanmu dengan dibimbing oleh kasih, kamu tidak akan gagal dalam hukum manapun dari Dekalog. Kamu tidak akan berdusta kepada Allah lewat praktek agama yang munafik, tapi bukan dari roh. Kamu tidak akan berdusta kepada sesamamu, dengan berlaku sebagai anak durhaka, sebagai pezinah, sebagai suami atau istri yang terlalu menuntut, sebagai pencuri dalam bisnis, sebagai penipu dalam hidup, sebagai penuntut balas yang kejam terhadap para musuhmu. Lihatlah betapa banyak burung bernaung, di saat hari yang panas ini, di antara cabang-cabang pepohonan di kebun. Tak akan lama, sesawi yang ditanam itu, yang sekarang masih sangat kecil, akan sungguh menjadi suatu tempat bertengger bagi burung-burung. Segala burung akan datang untuk bernaung aman pada popohonan yang subur dan rindang itu dan anak-anak mereka akan belajar terbang dengan aman di antara cabang-cabang itu yang adalah bagai tangga-tangga dan suatu jaring, yang dapat mereka daki tanpa terjatuh. Demikianlah kasih, dasar dari Kerajaan Allah.
Kasihilah dan kamu akan dikasihi. Kasihilah dan kamu akan saling sabar satu terhadap yang lain. Kasihilah dan kamu tidak akan menjadi kejam dengan menginginkan lebih dari apa yang sah dari mereka yang ada di bawah kuasamu. Kasih dan ketulusan hati untuk mendapatkan damai dan kemuliaan Surga. Jika tidak, seperti dikatakan Benyamin, setiap tindakanmu yang dilakukan dengan berbohong pada kasih dan pada kebenaran akan berubah menjadi jerami untuk tempat tidurmu di neraka. Aku tidak akan mengatakan yang lainnya lagi pada kalian. Aku hanya akan mengatakan: selalu camkan dalam benak hukum agung kasih dan setialah pada Allah sang Kebenaran, pada kebenaran dalam setiap perkatan, perbuatan dan perasaan, sebab kebenaran adalah putri Allah. Biarlah karya menghantarkan diri kalian sendiri ke kesempurnaan terus berlangsung, sebagaimana benih terus bertumbuh hingga kesempurnaannya. Suatu karya yang diam-diam, rendah hati, sabar. Kalian dapat pastikan bahwa Allah melihat pergumulanmu dan Ia akan menganugerahimu ganjaran yang terlebih besar atas upayamu mengatasi cinta diri, atas upayamu menahan suatu perkataan kasar, atas upayamu memuaskan suatu kepentingan tanpa diperintahkan untuk melakukannya, daripada jika, bertempur dalam suatu peperangan, kamu membunuh musuh. Kerajaan Surga, yang akan kamu miliki jika kamu hidup sebagai orang-orang benar, dibangun dengan hal-hal kecil sehari-hari. Dengan kebaikan, kesederhanaan, kesabaran, merasa puas dengan apa yang dimiliki, saling sabar satu sama lain, dan dengan kasih, kasih, kasih.
Jadilah baik. Hiduplah dalam damai, satu dengan yang lainnya. Janganlah mengeluh. Janganlah menghakimi. Maka Allah akan bersamamu. Aku memberi kalian damai-Ku sebagai berkat dan syukur atas iman yang kalian miliki dalam Aku."
Kemudian Yesus berpaling kepada si perempuan dan berkata: "Kiranya Allah memberkatimu secara istimewa, sebab kau adalah seorang istri yang kudus dan seorang ibu yang kudus. Bertekunlah dalam keutamaan. Selamat tinggal, Benyamin. Kasihilah kebenaran dan taatilah ibumu. Berkat-Ku untukmu, untuk saudara-saudara kecilmu dan untukmu, ibu."
Seorang laki-laki maju. Dia malu dan berkata terbata-bata: "Tapi, tapi… aku tergerak oleh apa yang Engkau katakan mengenai istriku… aku tidak tahu…"
"Apakah kau tidak punya mata atau intelegensi?"
"Ya, aku punya."
"Mengapakah kau tidak menggunakannya? Haruskah Aku membersihkannya?"
"Engkau telah melakukannya, Tuhan-ku. Tapi aku mencintainya, Engkau tahu… Masalahnya adalah… bahwa, bahwa… orang terbiasa… dan… dan…"
"Dan orang berpikir bahwa adalah sungguh baik menuntut terlalu banyak, sebab yang lainnya lebih lembut dari kita… Janganlah lakukan itu lagi. Kau selalu ada dalam bahaya dalam perkerjaanmu. Janganlah takut akan badai jika Allah bersamamu. Tapi jika ada Ketidakadilan dalam dirimu, takutlah dengan lebih gentar. Mengertikah kau?"
"Lebih dari yang telah Engkau katakan. Aku akan melakukan yang terbaik untuk mentaati-Mu… aku tidak tahu…" dan dia menatap pada istrinya seolah dia baru melihatnya untuk pertama kali.
Yesus memberkati dan pergi keluar ke jalanan kecil. Ia kembali mengayunkan langkah melintasi negeri.
|
|