|
204. YESUS KEPADA ORANG-ORANG BUKAN YAHUDI: IMAN DIBANGUN SEPERTI KUILMU.
29 Juni 1945
Dalam damai hari Sabat Yesus beristirahat dekat sebuah ladang flax [sejenis tanaman rami halus dengan bunga-bunga berwarna biru, ditanam untuk diambil serat dan bijinya] yang sedang berbunga milik Lazarus. Daripada 'dekat' aku sebaiknya mengatakan bahwa Ia terbenam dalam tanam-tanaman flax yang tinggi. Duduk di tepi sebuah galur, Ia tenggelam dalam pikiran-Nya. Hanya seekor kupu-kupu terasing yang bisu mengepak-ngepakkan sayap dekat-Nya atau seekor kadal yang bergemerisik dekat sana, menatap pada-Nya dengan matanya yang hitam pekat, dengan mengangkat kepala kecilnya yang berbentuk segitiga dengan kerongkongannya berdegup lembut. Tak ada yang lain. Lewat tengah hari itu bahkan juga desah terhalus angin telah membisu di antara batang-batang yang tinggi.
Dari kejauhan, mungkin dari kebun Lazarus, dapat terdengar nyanyian seorang perempuan dan teriak sukacita bocah yang sedang bermain bersama seseorang. Kemudian satu, dua, tiga suara memanggil: "Guru! Yesus!"
Yesus bangkit dan berdiri. Meski tanam-tanaman flax yang sudah tumbuh sepenuhnya sangatlah tinggi, Yesus muncul menjulang di atas lautan biru-hijau.
"Ia di sana, Yohanes!" teriak Zelot.
Dan giliran Yohanes berseru: "Bunda! Guru di sini, di ladang flax."
Dan sementara Yesus menghampiri jalan setapak yang menghantar ke rumah-rumah, Maria tiba.
"Apakah yang Engkau inginkan, Bunda?"
"PutraKu, beberapa orang bukan Yahudi telah datang bersama beberapa nyonya. Mereka mengatakan bahwa mereka mendengar dari Yohana bahwa Engkau di sini. Mereka juga mengatakan bahwa mereka telah menantikan-Mu sepanjang beberapa hari ini dekat Antonia…"
"Ah! Aku tahu! Aku akan segera datang. Di manakah mereka?"
"Di rumah Lazarus, di kebunnya. Dia disukai oleh orang-orang Romawi dan dia tidak merasa jijik terhadap mereka seperti kita. Dia mengijinkan mereka masuk ke dalam kebun besar dengan kereta-kereta mereka, sehingga tak seorang pun akan digemparkan…"
"Baiklah, Bunda. Mereka adalah para prajurit dan para nyonya Romawi. Aku tahu."
"Dan apakah yang mereka inginkan dari-Mu?"
"Apa yang oleh banyak orang di Israel tak diinginkan: terang."
"Tetapi bagaimana dan apa yang mereka percayai akan Engkau? Allah mungkin?"
"Ya, dalam cara pikir mereka. Adalah lebih mudah bagi mereka untuk menerima gagasan mengenai inkarnasi seorang dewa dalam daging yang fana, daripada bagi kita."
"Jadi mereka percaya dalam iman kepada-Mu…"
"Belum, Bunda. Aku harus menghancurkan kepercayaan mereka terlebih dahulu. Untuk sementara ini mereka menganggap-Ku sebagai seorang bijak, seorang filsuf, begitu kata mereka. Tetapi baik kerinduan mereka untuk mengenal doktrin-doktrin filosofis maupun kecenderungan mereka untuk percaya bahwa inkarnasi seorang dewa itu adalah mungkin, merupakan pertolongan besar bagi-Ku dalam menghantar mereka kepada Iman yang benar. Percayalah pada-Ku, mereka lebih sederhana dalam cara pikir mereka, dibandingkan banyak orang Israel."
"Tetapi apakah mereka tulus? Menurut desas-desus bahwa Pembaptis…"
"Tidak. Andai itu mereka, Yohanes akan bebas dan aman. Orang-orang yang tidak memberontak dibiarkan dalam damai. Sebaliknya, Aku dapat pastikan pada-Mu bahwa bagi mereka menjadi seorang nabi - mereka menyebutnya seorang filsuf sebab keluhuran kebijaksanaan adikodrati masih merupakan filsafat bagi mereka - merupakan suatu jaminan respek. Janganlah khawatir, Bunda. Tak ada celaka yang akan menimpa-Ku dari sana…"
"Tetapi orang-orang Farisi… jika mereka tahu, apa yang akan mereka katakan mengenai Lazarus juga? Engkau adalah Engkau… dan Engkau harus membawa Sabda kepada dunia. Tetapi Lazarus!... Mereka sudah begitu banyak menyalahinya…"
"Tetapi mereka tidak dapat menyentuhnya. Mereka tahu bahwa dia dilindungi oleh Romawi."
"Aku meninggalkan-Mu, Nak. Ini Maximinus, dia akan menghantarkan-Mu kepada orang-orang bukan Yahudi itu," dan Maria, Yang tadinya berjalan di samping Yesus sepanjang waktu, dengan cepat undur diri, dan pergi menuju rumah Zelot. Yesus sebaliknya pergi melewati sebuah pintu besi kecil di tembok kebun, masuk jauh ke dalam kebun, yang sesungguhnya menjadi sebuah kebun buah-buahan dan tepat dekat tempat di mana Lazarus akan dimakamkan kelak.
Lazarus juga di sana, tapi tak ada yang lain. "Guru, aku memberanikan diri untuk menerima mereka…"
"Kau melakukan hal yang tepat. Di manakah mereka?"
"Di sana, di naungan semak box dan pepohonan salam. Seperti dapat Engkau lihat mereka setidaknya lima ratus langkah dari rumah."
"Tak mengapa… Kiranya Terang datang atasmu semua."
"Salam, Guru!" sambut Quintilian, yang mengenakan pakaian sipil.
Para perempuan bangkit berdiri untuk menyalami Yesus. Mereka adalah Plautina, Valeria dan Lydia; ada juga seorang perempuan lain yang agak tua, tetapi aku tidak tahu siapakah dia atau apakah dia sederajat dengan yang lainnya. Mereka semua mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa adanya tanda-tanda perbedaan.
"Kami antusias untuk mendengarkan Engkau, tetapi Engkau tidak pernah datang. Aku sedang bertugas ketika Engkau tiba. Tapi aku tidak pernah melihat-Mu."
"Pula di Gerbang Ikan Aku tidak melihat prajurit, yang adalah seorang teman-Ku. Namanya Aleksander…"
"Aleksander? Aku tidak yakin apakah dia adalah orang yang aku pikirkan. Aku tahu bahwa beberapa waktu yang lalu, demi menenangkan orang-orang Yahudi, kami harus memindahkan seorang prajurit yang bersalah sebab… berbicara kepada-Mu. Dia sekarang di Antiokhia. Tapi kemungkinan dia akan datang kemari lagi. Betapa menyebalkannya mereka… mereka ingin mengatur bahkan meski sekarang mereka adalah rakyat! Orang harus cerdik untuk menghindarkan masalah yang terlebih besar… Mereka mempersulit hidup kami, percayalah padaku… Tapi Engkau baik dan bijak. Maukah Engkau berbicara kepada kami? Aku akan segera meninggalkan Palestina, dan aku ingin memiliki sesuatu yang mengingatkanku akan Engkau."
"Ya, Aku akan berbicara kepadamu. Aku tidak pernah mengecewakan siapa pun. Apakah yang ingin kamu ketahui?"
Quintilian menatap pada para nyonya dengan ingin tahu.
"Apapun seturut kehendak-Mu, Guru," kata Valeria.
Plautina berdiri lagi dan berkata: "Aku banyak berpikir… ada begitu banyak yang ingin aku ketahui… semuanya, untuk dapat menilai. Tapi jika aku boleh bertanya, aku ingin tahu bagaimana dapat suatu iman, iman-Mu, misalnya, dibangun di atas dasar yang Engkau katakan tanpa iman sejati. Engkau katakan bahwa kepercayaan kami sia-sia. Jadi kami tidak punya apa-apa. Bagaimanakah kami dapat mencapai sesuatu?"
"Aku akan mengambil sebagai suatu contoh sesuatu dari yang kamu miliki. Kuil-kuilmu. Bangunan-bangunan sakralmu yang sungguh indah, yang satu-satunya ketidak-sempurnaannya adalah bahwa kuil-kuil itu didedikasikan pada Yang Tidak Ada, dapat mengajarkan padamu bagaimana orang dapat mencapai iman dan di mana menempatkannya. Lihatlah. Di manakah kuil-kuil itu dibangun? Tempat yang manakah, andai semuanya mungkin, yang dipilih untuknya? Bagaimanakah kuil-kuil itu dibangun? Tempatnya pada umumnya luas, terbuka dan tinggi. Dan ketika tempat itu tidak luas dan terbuka, maka tempat dijadikan luas dan terbuka dengan menghancurkan apa yang menghambat dan menghalanginya. Jika tempatnya tidak tinggi, maka mereka meninggikannya dengan sarana stereobate [podium kokoh di atas mana bangunan didirikan] yang lebih tinggi dari tiga anak tangga normal yang digunakan untuk kuil-kuil yang ditempatamukan pada ketinggian biasanya. Kuil-kuil pada umumnya dikelilingi oleh sebuah halaman sakral, yang dibentuk dengan barisan kolom-kolom dan serambi-serambi yang didalamnya terdapat pepohonan yang dikeramatkan bagi dewa-dewa, sumber-sumber air dan mezbah-mezbah, patung-patung dan stelae [prasasti] dan biasanya kuil didahului oleh suatu propylaeum yang di atasnya terdapat mezbah di mana doa-doa kepada dewa dipanjatkan. Di depannya terdapat tempat kurban, sebab kurban mendahului doa. Sering kali, dan teristimewa pada kuil-kuil yang lebih megah, suatu peristyle [serangkaian serambi-serambi yang dibentuk oleh barisan kolom-kolom] melingkupi kuil dengan ornamen dari batu-batu pualam yang berharga. Di bagian dalam terdapat vestibula depan, di luar atau di dalam peristyle, bilik dewa, dan vestibula belakang. Pualam-pualam, patung-patung, pediment [ruang segitiga di bawah atap], acroteria [hiasan pada puncak pediment] dan gable [struktur berbentuk segitiga], semuanya halus, mahal dan penuh dekorasi, menjadikan kuil sebagai suatu bangunan yang paling agung megah juga bagi mata yang paling kasar. Tidakkah demikian?"
"Ya, benar, Guru. Engkau telah melihat dan mempelajarinya dengan sangat baik," tegas Plautina memuji Yesus.
"Tetapi kita tahu bahwa Ia tidak pernah meninggalkan Palestina!?" seru Quintilian.
"Aku tidak pernah meninggalkan Palestina untuk pergi ke Roma ataupun Atena. Tetapi Aku mengenal arsitektur Yunani dan Romawi dan Aku ada ketika kejeniusan manusia mendekorasi Parthenon [kuil dewi Atena di atas Bukit Akropolis di Atena] sebab Aku ada di mana pun ada kehidupan atau manifestasi kehidupan. Di mana pun seorang bijak bermeditasi, seorang pemahat memahat, seorang penyair menulis, seorang ibu menyanyikan lagu ke atas buaian, seorang membanting tulang di ladang, seorang dokter memerangi penyakit, suatu makhluk hidup bernapas, seekor binatang hidup, sebatang pohon tumbuh, Aku di sana bersama dengan Ia dari Siapa Aku datang. Dalam gemuruh gempa bumi atau dalam guntur menggelegar, dalam terang bintang-bintang atau dalam air pasang dan surut, dalam terbang rajawali atau dalam dengung nyamuk, Aku di sana bersama Pencipta Yang Mahatinggi."
"Jadi… Engkau… Engkau tahu semuanya. Baik pikiran-pikiran maupun perbuatan-perbuatan manusia?" tanya Quintilian lagi.
"Ya, Aku tahu."
Orang-orang Romawi itu saling menatap satu sama lain dengan takjub. Ada suatu keheningan panjang dan lalu Valeria dengan malu-malu memohon: "Sudi perluaslah gagasan-Mu, Guru, supaya kami dapat tahu apa yang harus dilakukan."
"Ya. Iman dibangun seperti mereka membangun kuil-kuil yang begitu kamu banggakan. Mereka membuat ruang untuk kuil itu, mereka membebaskannya dari halangan, mereka meninggikannya."
"Tetapi di manakah kuil tempat orang harus menempatkan iman, dewa yang sejati?" tanya Plautina.
"Iman, Plautina, bukanlah dewa. Adalah suatu keutamaan. Tidak ada dewa-dewa dalam iman sejati. Hanya ada Allah Yang Satu dan Benar."
"Jadi… Ia di atas sana, di Olympus-Nya, sendirian? Dan apakah yang Ia lakukan jika Ia seorang diri?"
"Ia Mencukupi Diri-Nya Sendiri dan merawat semuanya yang dalam ciptaan. Baru saja Aku katakan kepadamu bahwa Allah hadir juga dalam dengung seekor nyamuk. Ia tiada pernah bosan, tiada khawatir. Ia bukanlah seorang laki-laki malang, tuan dari suatu kerajaan yang sangat besar di mana dia merasa bahwa dia dibenci dan hidup dalam gemetar ketakutan. Ia adalah Kasih dan hidup dengan mengasihi. Hidup-Nya adalah Kasih yang terus-menerus. Ia Mencukupi Diri-Nya Sendiri sebab Ia mahabesar dan mahakusa, Ia adalah Kesempurnaan. Begitu banyak yang diciptakan-Nya yang hidup sebab kehendak-Nya yang terus-menerus, hingga Ia tidak punya waktu untuk menjadi bosan. Bosan adalah buah dari kemalasan dan kejahatan. Di Surga Allah Yang Benar tidak ada baik kemalasan maupun kejahatan. Segera, di samping para malaikat yang sekarang melayani-Nya, Ia akan memiliki suatu himpunan besar orang-orang benar yang bersukacita dalam Dia dan himpunan itu akan bertambah semakin besar dengan orang-orang mendatang yang percaya pada Allah Yang Benar."
"Apakah para malaikat itu genii [bentuk jamak dari genius, Latin = makhluk halus pelindung seseorang atau suatu tempat tertentu]?" tanya Lydia.
"Bukan, para malaikat adalah makhluk rohani yang seperti Allah Yang menciptakan mereka."
"Jadi, genii itu apa?"
"Seperti kamu membayangkannya, genii itu bohong. Mereka tidak ada, seperti kamu membayangkannya. Tetapi sehubungan dengan kebutuhan instinktif manusia untuk mencari kebenaran, kamu juga telah menyadari bahwa manusia bukan hanya daging dan bahwa ada sesuatu yang abadi dalam tubuhnya yang dapat binasa. Dan itu merupakan konsekuensi dari dorongan jiwa, yang hidup dan ada juga dalam orang-orang yang tidak mengenal Allah, dan yang menderita dalam diri mereka, sebab dikecewakan dalam kerinduan-kerinduannya, sebab kerinduannya yang hebat akan Allah Yang Benar Yang diingatnya, dalam tubuh di mana dia tinggal dan yang dibimbing oleh pikiran kafir. Hal yang sama berlaku bagi kota-kota dan bangsa-bangsa. Dan demikianlah kamu percaya, kamu merasakan perlunya untuk percaya pada 'genii'. Dan demikianlah kamu memberikan pada dirimu sendiri genius pribadi, genius keluarga, genius kota, genius bangsa. Kamu punya 'genius Roma', 'genius kaisar.' Dan kamu menyembah genii di bawah dewa-dewa. Datanglah pada iman yang benar. Kamu akan mengenal dan bersahabat dengan malaikatmu, yang akan kamu hormati, tetapi tidak disembah. Hanya Allah yang disembah."
"Engkau katakan: 'Dorongan jiwa, yang hidup dan ada juga dalam orang-orang yang tidak mengenal Allah, dan yang menderita dalam diri mereka, sebab dikecewakan.' Tetapi dari siapakah jiwa berasal?" tanya Publius Quintilian.
"Dari Allah. Ia adalah sang Pencipta."
"Tetapi bukankah kita dilahirkan dari perempuan melalui persatuannya dengan laki-laki? Juga dewa-dewa kami dilahirkan demikian."
"Dewa-dewamu tidak ada. Mereka adalah fantasi dari pikiranmu yang butuh untuk percaya. Sebab kebutuhan macam itu lebih mutlak dari kebutuhan untuk bernapas. Juga dia, yang mengatakan bahwa dia tidak percaya, sesungguhnya percaya. Dia percaya pada sesuatu. Pernyataan sederhana: 'Aku tidak percaya kepada Allah' mengisyaratkan suatu iman yang lain. Kepada diri sendiri, mungkin, atau kepada pikiran sombong orang. Tetapi orang selalu percaya. Adalah seperti berpikir. Jika kamu katakan: 'Aku tidak mau berpikir', atau: 'Aku tidak percaya kepada Allah', dengan dua kalimat sederhana itu kamu membuktikan bahwa kamu berpikir: bahwa kamu tidak mau percaya kepada Ia Yang kamu tahu ada dan kamu tidak mau berpikir. Sehubungan dengan manusia, guna mengekspresikan konsep itu secara tepat orang harus mengatakan: 'Manusia, seperti semua binatang, dilahirkan melalui persatuan antara jantan dan betina. Tetapi jiwa, yang adalah hal yang membedakan binatang-manusia dari binatang-yang tak berakal budi, berasal dari Allah. Allah menciptakan jiwa, sementara dan ketika seorang manusia diprokreasikan, atau lebih mudah: ketika dia dikandung dalam sebuah rahim dan Ia menanamkan jiwa ke dalam tubuh yang jika tidak demikian akan menjadi sekedar binatang.'"
"Dan apakah kami memilikinya? Kami orang-orang kafir? Menurut orang-orang sebangsa-Mu kelihatannya tidak demikian…" kata Quintilian ironis.
"Setiap orang yang dilahirkan dari perempuan memilikinya."
"Tetapi Engkau katakan bahwa dosa membunuhnya. Jika demikian, bagaimanakah jiwa dapat hidup dalam diri kami orang-orang berdosa?" tanya Plautina.
"Kamu tidak berdosa melawan iman, sebab kamu percaya bahwa kamu ada dalam kebenaran. Ketika kamu mengenal Kebenaran dan kamu berdegil dalam kesesatanmu, maka kamu berbuat dosa. Begitu pula, banyak hal yang adalah dosa bagi orang-orang Israel, bukanlah dosa bagimu. Sebab tidak ada hukum ilahi yang melarangmu. Orang berdosa ketika orang secara sadar memberontak melawan perintah yang diberikan oleh Allah dan berkata: 'Aku tahu bahwa apa yang aku lakukan adalah salah. Tetapi meski begitu aku tetap mau melakukannya.' Allah itu adil. Ia tidak dapat menghukum orang yang melakukan hal yang salah dengan berpikir bahwa dia melakukan yang benar. Ia menghukum mereka yang, meski dapat membedakan Yang Baik dari Yang Jahat, memilih Yang Jahat dan berdegil di dalamnya."
"Jadi kami punya jiwa dan jiwa itu hidup dan ada dalam diri kami?"
"Ya, benar begitu."
"Dan apakah jiwa kami menderita? Apakah Engkau sungguh berpikir bahwa dia ingat akan Allah? Kami tidak ingat rahim yang melahirkan kami. Kami tidak dapat mengatakan seperti apa di dalamnya. Jika aku memahami Engkau dengan benar, jiwa itu secara rohani dilahirkan dari Allah. Dapatkah mungkin jiwa ingat akan Dia, jika tubuh kami tidak ingat akan masa panjangnya berada dalam rahim?"
"Jiwa itu bukan materiil, Plautina. Sebaliknya, embrio adalah materiil. Sesungguhnya jiwa ditanamkan ketika fetus sudah terbentuk (1). Jiwa, seperti Allah, adalah abadi dan rohani. Jiwa abadi sejak dari saat jiwa diciptakan, sementara Allah adalah Makhluk Abadi Yang Paling Sempurna dan dengan demikian tiada memiliki awal dan akhir. Jiwa, karya rohani Allah, yang berpikir jernih, inteligen, sungguh ingat. Dan jiwa menderita, sebab jiwa merindukan Allah, Allah Yang Benar, dari Siapa dia berasal, dan dia lapar akan Allah. Itulah sebabnya mengapa jiwa mendorong tubuh yang lamban untuk berupaya menghampiri Allah.
"Jadi kami memiliki jiwa seperti yang dimiliki mereka yang disebut 'orang-orang benar' dari bangsa-Mu? Tepat sama?"
"Tidak, Plautina. Itu tergantung pada apa yang kau maksudkan. Jika yang kau maksudkan adalah menurut asal dan kodratnya, maka adalah tepat sama seperti jiwa-jiwa dari orang-orang kudus kami. Tetapi jika yang kau maksudkan adalah formasinya, maka Aku katakan bahwa itu berbeda. Dan jika yang kau maksudkan adalah menurut kesempurnaan yang dicapai sebelum kematian, maka itu dapat sama sekali berbeda. Tetapi itu berlaku tidak hanya bagimu orang-orang yang tidak mengenal Allah. Juga seorang putra dari bangsa kami dapat sama sekali berbeda dari seorang kudus, dalam hidup mendatang. Pada suatu jiwa berlaku tiga fase. Yang pertama adalah penciptaan. Yang kedua adalah ciptaan baru. Yang ketiga adalah kesempurnaan. Yang pertama adalah umum bagi semua orang. Yang kedua adalah istimewa bagi orang-orang benar yang melalui kehendak mereka meninggikan jiwa mereka ke kehidupan baru yang lebih sempurna, dengan menggabungkan perbuatan-perbuatan baik mereka dengan kesempurnaan karya Allah, dengan jalan mana jiwa mereka secara rohani lebih sempurna dan membentuk suatu pertalian hubungan antara yang pertama dan yang ketiga. Yang ketiga adalah istimewa bagi jiwa-jiwa terberkati, atau santa santo, jika kau lebih suka mengatakannya demikian, yang telah melampaui seribu tingkat dari tingkat awal jiwa mereka, suatu tingkat yang pantas bagi manusia, dan yang telah mentransformasikan mereka menjadi sesuatu yang pantas untuk beristirahat dalam Allah."
"Bagaimanakah kami dapat membuat ruang, pembersihan dan peninggian bagi jiwa kami?"
"Dengan menghancurkan hal-hal sia-sia yang kamu miliki dalam 'ego'mu. Bersihkanlah dari segala pengetahuan yang salah, dan dengan reruntuhannya buatlah peninggian bagi bait yang mahakuasa. Suatu jiwa haruslah dibawa semakin tinggi, di atas ketiga anak tangga. Oh! kamu orang-orang Romawi suka simbol-simbol. Lihatlah ketiga anak tangga dalam suatu terang simbolis. Anak-anak tangga itu dapat memberitahukan namanya padamu: penitensi, kesabaran, ketekunan. Atau: kerendahan hati, kemurnian, keadilan. Atau: kebijaksanaan, kemurahan hati, belas-kasihan. Atau, yang terakhir, tiga keutamaan terluhur: iman, harapan, kasih. Lihatlah juga simbol dari halaman yang didekorasi sangat indah yang melingkupi area kuil. Kamu harus melingkupi jiwamu, yang adalah ratu dari tubuh, bait dari Roh Abadi, dengan suatu pembatas yang dapat melindunginya tanpa menghalangi terang atau menindasnya dengan pemandangan yang buruk. Suatu halaman haruslah aman dan bebas dari cinta dan nafsu akan apa yang lebih rendah: daging dan darah, dan harus diarahkan pada apa yang lebih tinggi: roh. Pahat kebebasan adalah kekuatan kehendakmu, yang akan menghaluskan pojok-pojok, dan menyingkirkan celah-celah, kotoran-kotoran dan cacat-cela dari pualam egomu, supaya dia menjadi sempurna sekeliling jiwamu. Dan sekaligus, halaman yang melindungi bait hendaknya kau pergunakan sebagai suatu naungan penuh belas-kasihan bagi orang-orang yang kurang bahagia yang tidak mengenal apa itu Cinta Kasih. Serambi-serambi adalah pancaran kasih, belas-kasihan, kerinduanmu agar lebih banyak orang datang kepada Allah, dan adalah bagai tangan-tangan penuh kasih yang terulur, bagai kelambu di atas buaian seorang anak yatim piatu. Dan dalam halaman: pepohonan yang paling elok dan paling harum adalah sembah sujud kepada sang Pencipta. Pepohonan, yang ditanam pada tanah yang sebelumnya gersang dan sesudahnya diolah melambangkan segala bentuk keutamaan dan membentuk halaman kedua yang hidup yang penuh bebungaan sekeliling bait; dan di antara pepohonan, yakni di antara keutamaan-keutamaan, ada sumber-sumber air, suatu pancaran lebih jauh dari kasih dan suatu pemurnian lain sebelum menghampiri propylaeum dekat mana orang harus mengurbankan kedagingannya dan menyangkal segala bentuk percabulan sebelum mendaki altar. Dan lalu kamu dapat maju lebih jauh, ke altar dan menempatkan persembahanmu di atasnya dan akhirnya, dengan melintasi vestibula, kamu dapat menghampiri bilik, di mana Allah berada. Dan akan seperti apakah bilik itu? Berlimpah-ruah dengan kekayaan rohani, sebab kamu tidak pernah dapat menghiasi Allah terlalu banyak. Sudah pahamkah kamu? Kamu menanyakan pada-Ku bagaimana Iman dibangun. Aku katakan kepadamu: 'Dengan mengikuti metode yang dipergunakan untuk membangun kuil.' Kamu bisa lihat bahwa itu benar.
Adakah yang lainnya yang ingin kamu tanyakan kepada-Ku?"
"Tidak, Guru. Aku pikir bahwa Flavia sudah menuliskan apa yang telah Engkau katakan. Claudia ingin tahu. Sudahkah kau menuliskan semuanya?"
"Aku sudah menuliskan semuanya dengan setepat-tepatnya," jawab si perempuan seraya menyerahkan lembaran-lembaran berlapis lilin.
"Lembaran lilin akan tahan lama dan akan memungkinkan orang membacanya."
"Adalah lembaran lilin. Mudah sekali musnah. Tuliskan semuanya dalam hatimu. Maka tidak akan pernah musnah."
"Guru, hati kami sarat dengan kuil-kuil kesia-siaan. Kami melemparkan perkataan-Mu atasnya guna menghancurkannya. Tetapi itu pekerjaan yang butuh waktu lama," kata Plautina sembari menghela napas panjang. Dan dia mengakhiri perkataannya: "Ingatlah kami di Surga-Mu…"
"Kamu dapat pastikan bahwa Aku akan melakukannya. Aku meninggalkanmu. Aku ingin kamu tahu bahwa kunjunganmu sangat menyenangkan-Ku. Selamat tinggal, Publius Quintilian. Ingatlah Yesus dari Nazaret."
Para perempuan mengucapkan selamat tinggal dan adalah yang pertama pergi. Kemudian Quintilian, yang agak termenung, pun pergi. Yesus mengamati mereka pergi bersama Maximinus yang menghantarkan mereka kembali ke kereta-kereta mereka.
"Apakah yang sedang Engkau pikirkan, Guru?" tanya Lazarus.
"Bahwa ada banyak orang yang tidak bahagia di dunia."
"Dan aku adalah seorang dari mereka."
"Mengapa, sahabat-Ku?"
"Sebab semua orang datang kepada-Mu, terkecuali Maria. Apakah dia yang paling bobrok?"
Yesus menatap padanya dan tersenyum.
"Engkau tersenyum? Tidakkah Engkau sedih bahwa Maria tidak dapat dipertobatkan? Tidakkah Engkau sedih bahwa aku menderita? Marta tidak melakukan apa-apa selain menangis sejak Senin sore. Siapakah perempuan itu? Tidak tahukah Engkau bahwa sepanjang hari kami berharap bahwa itu adalah dia?"
"Aku tersenyum sebab kau adalah seorang anak yang tidak sabar… Dan Aku tersenyum sebab Aku pikir bahwa kau membuang-buang tenaga dan airmata. Andai itu dia, Aku akan sudah bergegas memberitahukannya padamu."
"Jadi, bukan dia?"
"Oh! Lazarus!..."
"Engkau benar. Sabar! Masih harus sabar!... Guru, ini adalah perhiasan-perhiasan yang Engkau berikan padaku untuk dijual. Perhiasan-perhiasan itu sudah menjadi uang untuk orang-orang miskin. Perhiasan-perhiasan yang indah. Perhiasan perempuan terpandang."
"Perhiasan-perhiasan milik perempuan 'itu'."
"Sudah aku duga. Ah! Andai itu kepunyaan Maria… Tapi dia!... Aku hilang harapan, Tuhan-ku!..."
Yesus memeluknya beberapa saat lamanya tanpa berbicara. Ia lalu berkata: "Tolong jangan ceritakan mengenai perhiasan-perhiasan itu pada siapa pun. Perempuan itu pastilah sudah menghilang, tanpa dikagumi ataupun diinginkan lagi, bagai awan yang dihembus pergi angin ke tempat lain, tanpa meninggalkan jejak apapun di langit biru."
"Engkau dapat pastikan itu, Guru… dan, sebagai imbalannya, bawakan aku Maria, Maria kami yang tidak bahagia…"
"Damai sertamu, Lazarus. Aku akan menepati janji-Ku."
(1) Maksud Yesus dalam berbicara kepada para perempuan Romawi bukan untuk menentukan saat penanaman jiwa ke dalam suatu tubuh, melainkan untuk membuktikan adanya jiwa, kodrat rohaninya dan asalnya yang ilahi, dengan mempertentangkannya dengan kodrat materiil dan asal manusiawi dari tubuh, dan untuk memperjelas bahwa Ia menyatakan bahwa jiwa ditanamkan ke dalam embrio ketika embrio sudah cukup terbentuk untuk menerima jiwa, sehingga sebab jiwa berpikiran jernih dan inteligen, dia memiliki kilasan kenangan akan asalnya yang dari Allah sebelum ditanamkan ke dalam suatu tubuh.
|
||
|
|