389. KHOTBAH DAN MUKJIZAT DI EN-GEDI.             


21 Februari 1946   

Menjelang matahari terbenam, api yang bernyala-nyala memerahkan rumah-rumah putih di En-Gedi dan menjadikan Laut Mati bagaikan lapisan nacre [ibu mutiara] hitam. Yesus berangkat menuju alun-alun utama. Dia bersama anak laki-laki yang memberi-Nya tumpangan dan yang sekarang menghantar-Nya melalui jalan-jalan kota dengan arsitektur khas Asia.

Guna melindungi diri dari sinar matahari - yang tentunya sangat terik di tempat ini yang begitu terpapar pada sangat luasnya Danau Garam, yang setahuku pastilah memancarkan uap panas di bulan-bulan musim panas, dan begitu terpencil di tengah gurun pasir yang gundul, di mana matahari bersinar tanpa ampun membakar tanah - penduduk En-Gedi membangun jalan-jalan yang sangat sempit, yang terlihat bahkan terlebih sempit karena atap dan hiasan-hiasan di atas tembok gerbang rumah-rumah tempat tinggal yang menjorok, sehingga siapa pun yang mendongak ke atas hanya bisa melihat segaris tipis langit yang biru.

Bangunan-bangunannya tinggi, sebagian besar adalah rumah dua lantai, dengan teras atap yang dinaungi tanaman anggur, yang memberikan keteduhan dan buah anggur yang sedap, yang pastilah semanis kismis, saat buah-buah itu sudah matang sepenuhnya di bawah sinar matahari keemasan dan dalam pantulan panas tembok dan lantai teras. Dan tanaman-tanaman anggur itu saling berlomba untuk memberikan kenikmatan kepada manusia. Banyak burung, dari burung pipit hingga merpati, yang bersarang di En-Gedi. Pohon-pohon palma yang menjulang tinggi tumbuh di mana-mana. Pohon-pohon buah-buahan yang subur dan megah, yang tumbuh subur di halaman-halaman, di pekarangan-pekarangan, dan mengintip dari atas jalan-jalan kecil itu, bergelantungan di dinding-dinding putih dengan cabang-cabangnya sudah sarat dengan buah-buahan yang masak di bawah sinar matahari yang cerah, menjulur ke bagian bawah hiasan bangunan-bangunan melengkung, yang di beberapa bagian benar-benar membentuk terowongan, yang terputus di sana-sini karena alasan arsitektur, dan pohon-pohon itu menjulang menuju langit biru, langit yang begitu seragam dan lembut, hingga andai bisa disentuh, akan terasa seperti menyentuh beludru tebal atau kulit yang halus, yang dilukis dan diwarnai oleh pengrajin yang lihai dengan rona yang sempurna, indah, dan tak terlupakan, yang lebih gelap dari warna batu pirus dan lebih muda dari warna batu safir.

Dan air… Betapa banyak sumber mataair, besar dan kecil, yang pastinya bergemericik di halaman-halaman dan pekarangan-pekarangan, di antara ribuan tumbuh-tumbuhan! Sementara berjalan menyusuri jalan-jalan sempit, yang masih sepi, sebab orang-orang sedang bekerja atau di rumah, orang bisa mendengar air yang menetes, bergemericik, menggelegak bagai nada-nada harpa yang dimainkan oleh seorang pemusik yang tersembunyi. Dan pesonanya semakin digandakan oleh banyaknya bangunan melengkung dan sudut-sudut yang menghimpun suara-suara air itu, memperkeras suaranya dan memperbanyaknya melalui gaung gema sehingga membentuk suatu arpeggio yang harmonis.

Dan pohon-pohon palma yang tak ada habis-habisnya!... Di mana ada suatu bidang kecil, meskipun hanya seukuran sebuah ruangan, batang-batangnya yang sangat tinggi dan ramping menjulang ke angkasa, dan puncak-puncaknya, berkas-berkas daun yang bergemerisik yang terikat bagai sikat di sekeliling batang-batangnya, nyaris tak dapat bergerak di atas sana, dan bayangan-bayangannya di tengah hari jatuh tegak lurus ke alun-alun kecil, menutupinya sepenuhnya, sementara sekarang mereka membentuk desain-desain fantastis di teras-teras yang lebih tinggi.

Kota ini bersih dibandingkan kota-kota Palestina. Mungkin karena fakta bahwa rumah-rumah saling berdekatan dan masing-masing mempunyai pekarangan dan kebun yang diolah membantu mengajarkan kepada penduduk untuk tidak membuang sampah di jalan-jalan, tetapi mengumpulkan sampah dan kotoran hewan ke tempat pembuangan kotoran khusus untuk digunakan sebagai pupuk untuk pepohonan dan petak-petak bunga, atau itu... perkara kebersihan yang sangat langka. Jalan-jalan kecilnya bersih, kering di bawah matahari, dan tidak terlihat pemandangan yang tidak menyenangkan seperti sampah sayuran, sandal-sandal usang, gombal-gombal dekil, kotoran hewan dan sejenisnya, seperti yang biasa terlihat bahkan di Yerusalem, di jalan-jalan dekat pusat kota. Ada petani pertama yang pulang dari kerja dengan menunggang seekor keledai kecil berwarna abu-abu. Untuk melindungi hewan tersebut dari lalat, si petani sudah menghiasinya dengan ranting-ranting melati dan hewan itu sekarang sedang berderap pergi sembari menggoyang-goyangkan telinga dan lonceng-lonceng di bawah tirai ranting yang harum semerbak. Ketika laki-laki itu berbalik dan menyapanya, anak muda itu berkata, "Datanglah ke alun-alun utama. Kau akan mendengar Rabbi yang tinggal di rumahku."

Sekarang ada sekawanan domba yang menyerbu jalanan; mereka datang dari sebuah alun-alun kecil di balik mana orang dapat melihat latar belakang pedesaan. Mereka berjalan saling berhimpitan satu sama lain, masing-masing menjejakkan kakinya di tempat domba sebelumnya sudah menjejak, dengan kepala tertunduk seolah-olah kepala itu terlalu berat untuk lehernya - yang sangat kurus dibandingkan tubuh tambun mereka. Mereka berderap dengan cara yang aneh dan tubuh tambun mereka tampak seperti buntalan-buntalan yang bertumpu pada empat cagak…

Yesus, Yohanes dan Petrus meniru anak laki-laki yang bersama mereka; mereka merapat pada tembok hangat sebuah rumah guna membiarkan domba-domba itu lewat. Seorang laki-laki dan seorang bocah laki-laki mengikuti kawanan itu. Mereka melihat dan menyapa. Anak muda itu berkata, "Kandangkan domba-dombamu dan datanglah ke alun-alun utama bersama kerabatmu. Rabbi dari Galilea ada di sini bersama kita dan Dia akan berbicara kepada kita."

Dan ada perempuan pertama yang keluar, dikelilingi oleh sekelompok anak-anak, entah hendak pergi kemana. Anak muda itu berkata, "Datanglah bersama Yohanes dan putra-putranya untuk mendengarkan Sang Rabbi, Yang mereka sebut Mesias."

Rumah-rumah terbuka sedikit demi sedikit menjelang malam, menampilkan latar belakang asri dari kebun-kebun atau halaman-halaman yang damai di mana burung-burung merpati menyantap makanan terakhirnya. Anak itu mengintip di setiap pintu dan berteriak, "Ayo kita mendengarkan Sang Rabbi, Tuhan."

Akhirnya mereka tiba di sebuah jalan lurus, satu-satunya jalan lurus di kota ini, yang tidak dibangun sesuai keinginan penduduk, tetapi sesuai yang diinginkan oleh pepohonan palma atau pepohonan pistachio tua yang perkasa, yang dihormati sebagai tokoh oleh warga yang berhutang budi kepadanya sebab karena pepohonan itu mereka tidak mati akibat sengatan terik matahari. Di ujung jalan ada sebuah alun-alun di mana banyak batang pohon palma bertindak sebagai pilar-pilar; pemandangan yang tampak bagai sebuah aula kuil dan istana kuno hypostyle, yang terdiri dari sebuah ruangan besar dengan pilar-pilar yang ditempatkan simetris pada jarak tertentu membentuk hutan batu untuk menyangga atap. Pohon-pohon palma di sini bertindak sebagai pilar-pilar dan, sebab batang-batang itu tebal, dengan dedaunan lebatnya yang bergemerisik, mereka membentuk langit-langit zamrud di atas alun-alun yang putih yang di tengahnya terdapat sebuah sumber mataair persegi yang tinggi penuh berisi air sebening kristal yang terpancar dari sebuah tiang kecil di tengah cekungan; air jatuh ke cekungan-cekungan yang lebih rendah di mana hewan-hewan dapat minum. Burung-burung merpati yang jinak baru saja bergegas ke sana dan mereka minum atau menari minuet dengan kaki-kaki mungil mereka yang berwarna merah jambu di tepian atasnya, atau mereka mengibaskan bulu-bulu mereka yang menjadi berkilau warna-warni saat tetesan-tetesan air berhenti sejenak pada bulu-bulunya.

Ada banyak orang. Dan ada delapan rasul yang sudah pergi ke berbagai penjuru untuk mencari penginapan, dan masing-masing dari mereka sudah mengumpulkan pengikut, yang sangat ingin mendengarkan Dia, Yang dinyatakan oleh para rasul sebagai Mesias yang dijanjikan. Para rasul bergegas menghampiri Sang Guru dari segala penjuru, dengan dibuntuti, bagai komet, oleh kelompok-kelompok kecil yang sudah mereka taklukkan.

Yesus mengangkat tangan-Nya untuk memberkati para murid-Nya dan penduduk En-Gedi.

Yudas Alfeus berbicara atas nama semua orang, "Ini, Guru dan Tuhan. Kami sudah melakukan apa yang Engkau perintahkan dan orang-orang ini tahu bahwa Rahmat Allah ada di tengah mereka. Tetapi mereka juga menginginkan Sabda. Banyak yang tahu Engkau sebab sudah mendengar tentang Engkau. Banyak yang tahu Engkau sebab mereka bertemu dengan-Mu di Yerusalem. Semua orang, terutama para perempuan, ingin mengenal-Mu, dan yang terutama, kepala sinagoga mereka. Itu dia. Kemarilah, Abraham."

Seorang laki-laki yang sudah sangat lanjut usia maju ke depan. Dia tersentuh hatinya. Dia ingin berbicara, tapi karena sangat tersentuh, dia tidak bisa ingat sepatah kata pun yang sudah dipersiapkannya. Dia membungkuk untuk berlutut, dengan bertumpu pada tongkatnya, tetapi Yesus menghentikannya, langsung memeluknya dan berkata, "Damai bagi abdi tua Allah yang benar!" dan laki-laki itu, yang semakin tersentuh hatinya, hanya bisa menjawab, "Terpujilah Allah! Mataku telah melihat Mesias Yang Dijanjikan! Apakah lagi yang akan aku minta kepada Tuhan?" dan sambil mengangkat kedua tangannya, dalam sikap hierarkis, dia memadahkan Mazmur 40 Daud, "Aku sangat menanti-nantikan Tuhan dan Dia telah membungkuk ke atasku." Namun dia tidak memadahkan semuanya. Dia mengulang hanya ayat-ayat yang lebih cocok untuk peristiwa itu:

"Dia mendengar teriakku minta tolong
dan Dia mengangkat aku dari lobang kebinasaan, dari lumpur rawa…
Dia memberikan nyanyian baru dalam mulutku.
Berbahagialah orang yang menaruh kepercayaannya pada Tuhan.
Banyaklah perbuatan ajaib yang telah Kau lakukan bagi kami, ya Tuhan, Allah-ku.
Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau!
Aku mau mewartakannya lagi dan lagi,
tetapi terlalu banyak jumlahnya untuk dapat aku hitung.
Engkau tidak berkenan pada korban sembelihan dan korban sajian,
tetapi Engkau telah membuka telingaku...
(dia bahkan semakin lebih tersentuh hatinya).
Ada tertulis bahwa aku harus melakukan kehendak-Mu…
Taurat-Mu selalu ada dalam dadaku.
Aku selalu mewartakan keadilan-Mu dalam jemaat yang besar.
Aku tidak menahan bibirku, Engkau juga yang tahu, ya Tuhan.
Keadilan-Mu tidaklah kusembunyikan dalam hatiku,
tetapi aku telah mewartakan kesetiaan-Mu dan keselamatan daripada-Mu…
Engkau, Tuhan, janganlah menahan rahmat-Mu daripadaku…
sebab malapetaka yang tidak terbilang banyaknya mengepung aku.
(sekarang dia berurai airmata, mengucapkan kata-katanya dengan suara yang bahkan terlebih gemetar dan lirih karena air matanya)...
Aku ini sengsara dan malang, tetapi Tuhan memperhatikan aku.
Engkaulah pertolonganku, perlindunganku, ya Allah-ku, janganlah berlambat!...

Itulah mazmurnya, Tuhan-ku, dan aku menambahkan yang dari diriku sendiri: Katakan kepadaku: 'Datanglah' dan aku akan mengatakan kepada-Mu apa yang dikatakan mazmur, 'Aku datang, ya Tuhan!'"

Dia terdiam dan berderai airmata dengan segenap imannya berpadu di matanya yang redup oleh usia.

Orang-orang menjelaskan, "Putrinya meninggal dunia dan meninggalkan cucu-cucu yang masih kecil. Istrinya menjadi buta dan bodoh karena dukacita, dan mereka tidak tahu apa yang terjadi pada putra mereka satu-satunya. Dia tiba-tiba menghilang …"

Yesus menempatkan tangan-Nya di bahu orang lanjut usia itu dan berkata kepadanya, "Penderitaan orang benar seperti angin berlalu dibandingkan lamanya ganjaran abadi. Tapi kita akan mengembalikan kepada Sara penglihatannya yang seperti di masa lalu dan kecerdasannya yang seperti di masa mudanya, supaya dia bisa menghiburmu di hari tuamu."

"Namanya Colomba," kata salah seorang dari orang banyak...

"Dia adalah tuan putrinya. Tapi dengarkan perumpamaan yang akan Aku ceritakan kepadamu..."

"Tidakkah Engkau terlebih dahulu menghalau kegelapan dari mata dan pikiran istriku, supaya dia juga dapat menikmati Kebijaksanaan?" mohon kepala sinagoga tua itu penuh harap.

"Percayakah engkau bahwa Allah dapat melakukan segalanya dan bahwa kekuasaan-Nya tersebar ke seluruh alam semesta?"

"Ya, Tuhanku, aku percaya. Aku teringat akan suatu sore bertahun-tahun yang silam. Ketika itu aku bahagia, tetapi bahkan dalam kebahagiaan pun aku tetap beriman. Karena begitulah manusia! Di kala dia bahagia, dia bisa lupa juga akan Tuhan. Tapi aku tetap percaya kepada Tuhan bahkan di hari-hari bahagia itu, ketika istriku masih muda dan sehat, dan putriku Eliza tumbuh secantik pohon palma dan sudah bertunangan, dan Elisa adalah anak laki-laki yang tampan seperti Eliza adalah gadis yang cantik, tapi Elisa mengungguli Eliza dalam kekuatan seperti layaknya seorang laki-laki... Aku pergi bersama anak itu ke sumber mataair dekat kebun anggur, yang adalah mas kawin Colomba, sementara istri dan anak perempuanku tinggal di rumah untuk menenun pakaian pengantin perempuan... Tapi mungkin aku sudah membuat-Mu bosan... Seorang malang yang tengah bermimpi dengan mengenangkan kebahagiaan masa lalunya... tetapi orang-orang lain tidak tertarik..."

"Lanjutkan, lanjutkanlah!"

"Aku pergi bersama anak itu... Sumber mataair... Jika Engkau datang melalui jalan barat, Engkau tahu di mana sumber mataair itu berada... Sumber mataair berada di perbatasan tempat terberkati, dan dengan melihat ke balik gurun, orang bisa melihat batu-batu putih di jalanan Romawi, yang saat itu masih terlihat di antara pantai pasir Yehuda... Lalu kemudian... landmark itu juga menghilang! Tidak masalah jika landmark menghilang, di antara pantai pasir! Tapi sungguh buruk bahwa tanda Allah, yang dikirimkan untuk mengarahkan orang kepada-Mu, menghilang dari hati orang Israel. Dari terlalu banyak hati! Putraku berkata, 'Bapa! Lihat! Sebuah caravan besar, dengan kuda-kuda dan unta-unta, para pelayan dan tuan-tuan yang menuju En-Gedi. Mereka mungkin pergi ke sumber mataair sebelum hari gelap….' Sebab aku memeriksa cabang-cabang pohon anggur, aku mengangkat mataku, begitu letih sesudah panen yang melimpah, dan aku melihat… Orang-orang itu benar-benar datang ke sumber mataair. Mereka turun, mereka melihatku dan mereka bertanya apakah mereka boleh berkemah di sana untuk satu malam.

"Di En-Gedi ada rumah-rumah yang nyaman tempat menumpang dan letaknya tidak jauh," jawabku.

"Tidak. Kami akan tetap bersiaga agar siap melarikan diri, karena Herodes sedang mengejar kami. Para pengawal kami akan bisa memantau setiap jalan dari sini dan akan mudah untuk meloloskan diri dari mereka yang mencari kami."

"Kesalahan apakah yang telah kau lakukan?" Aku bertanya, karena aku sangat terkejut dan siap menunjukkan kepada mereka gua-gua di pegunungan kami, sebab adalah kebiasaan suci kami untuk menolong mereka yang dianiaya. Dan aku menambahkan, "Kamu adalah orang-orang asing dan kamu datang dari berbagai tempat yang berbeda… aku tidak mengerti bagaimana kamu bisa bersalah terhadap Herodes…."

"Kami telah menyembah Mesias Yang dilahirkan di Betlehem tanah Yudea dan yang oleh-Nya kami telah dipimpin oleh bintang Tuhan. Herodes mencari Dia, dan itulah sebabnya dia mencari kami, supaya kami dapat memberitahukan kepadanya di mana Anak itu berada. Tapi dia mencari Anak itu untuk membunuh-Nya. Kami mungkin akan mati di padang pasir, di suatu jalan panjang yang tak dikenal, tetapi kami tidak akan membuka rahasia di mana Anak Kudus Yang turun dari Surga itu!"

Sang Mesias! Impian setiap orang Israel sejati! Impianku! Dan Dia ada di dunia! Di Betlehem di tanah Yudea seperti yang dinubuatkan!... Dan sambil mendekapkan putraku ke dada, aku meminta lebih banyak keterangan yang rinci, seraya berkata: 'Dengarkan, Elisa! Ingatlah! Kau pasti akan melihat-Nya!' Aku sudah limapuluh tahun dan aku tidak lagi berharap untuk melihat-Nya... pun aku tidak berharap untuk berumur begitu panjang untuk melihat-Nya bertumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa... Elisa... tidak dapat lagi menyembah-Nya..."

Orang tua itu kembali bercucuran airmata. Namun dia menenangkan diri dan berkata, "Ketiga Orang Majus itu berbicara dengan ramah dan sabar dan mereka menggambarkan Engkau semasa Engkau adalah Bayi Kudus, dan Bunda-Mu dan bapa-Mu... Aku bisa saja menghabiskan malam bersama mereka... tetapi Elisa tertidur di pangkuanku. Aku berpamitan kepada ketiga Orang Majus dan aku berjanji tidak akan mengatakan sepatah kata pun yang mungkin dapat mencelakakan mereka. Tapi aku menceritakan semuanya pada Colomba di kamar tidur kami dan itulah satu-satunya harapan penuh sukacita kami di kemalangan kami selanjutnya. Kemudian kami mendengar tentang pembantaian itu... dan selama bertahun-tahun aku tidak tahu apakah Engkau masih hidup. Sekarang aku tahu. Tapi tinggal aku satu-satunya, karena Eliza meninggal, Elisa tidak lagi bersama kami, dan Colomba tidak dapat mengerti kabar gembira itu... Tapi imanku ada dalam kuasa Allah, iman yang sudah hidup dan menjadi sempurna sesudah malam yang jauh itu, ketika ketiga orang bijak, dari ras yang berbeda-beda, memberikan kesaksian akan kuasa Allah dengan bersatu, melalui suara bintang-bintang dan melalui jiwa mereka, di jalan Allah, untuk menyembah Sabda-Nya."

"Dan imanmu akan beroleh ganjaran. Sekarang dengarkanlah.

Apakah itu iman? Bagaikan benih keras pohon palma, terkadang berukuran sangat kecil dan tercakup dalam satu kalimat pendek, 'Allah ada,' didukung oleh satu pernyataan saja, 'Aku telah melihat-Nya.' Seperti iman Abraham kepada-Ku, melalui perkataan Tiga Orang Majus dari Timur. Seperti iman bangsa kita, dari para patriark yang paling kuno, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari Adam ke keturunannya; dari Adam yang berdosa, yang, kendati demikian, percaya ketika dia berkata, 'Allah ada, dan kita ada karena Dia menciptakan kita. Dan aku mengenal-Nya.' Seperti iman yang datang kemudian, dan yang lebih sempurna karena lebih mendalam yang didasarkan pada wahyu, dan yang merupakan warisan kita, bersinar dengan manifestasi ilahi, dengan penampakan malaikat dan cahaya Roh. Tetapi masih merupakan benih yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Yang Tak Terbatas. Benih yang sangat kecil. Tetapi ia berakar, dan membelah kulit keras dari sifat binatang dengan keraguan dan kecondongan dosanya, dan menang atas tumbuh-tumbuhan yang berbahaya: hawa nafsu, dosa, atas keputusasaan yang loyo dan sifat-sifat buruk yang merusak, atas segalanya, ia muncul dalam hati, ia bertumbuh, ia bergegas menuju matahari, ke Surga, naik, naik... sampai ia terbebas dari keterbatasan daging dan menyatu dengan Allah, dalam pengetahuannya yang sempurna dan kepemilikan penuh, melampaui hidup dan mati, dalam Kehidupan Sejati.

Siapa yang mempunyai iman, mempunyai jalan Hidup. Siapa yang bisa percaya, tidak bersalah. Seorang yang percaya melihat, mengetahui, melayani Tuhan dan memperoleh keselamatan kekal. Sepuluh Perintah Allah sangat penting baginya dan setiap perintah adalah permata, yang akan menghiasi mahkotanya di masa mendatang. Janji Sang Penebus adalah keselamatan baginya. Tidak masalah jika orang beriman itu meninggal sebelum Aku datang ke Bumi. Imannya menjadikannya setara dengan mereka yang sekarang menghampiri Aku dengan iman dan kasih. Orang-orang benar yang meninggal dunia akan segera bersukacita karena imannya akan segera diganjari. Sesudah menunaikan kehendak Bapa-Ku, Aku akan mendatangi mereka dan berkata, 'Datanglah!' dan semua orang yang mati dalam Iman akan naik bersama-Ku ke Kerajaan Tuhan.

Biarlah imanmu seperti pohon-pohon palma negerimu, yang bertunas dari biji yang sangat kecil, tapi bertekad untuk tumbuh tegak, sehingga mereka melupakan bumi dan jatuh cinta pada matahari, bintang, dan langit. Berimanlah kepada-Ku. Percayalah pada apa yang dipercayai oleh terlalu sedikit orang di Israel, dan Aku berjanji bahwa kamu akan memiliki Kerajaan surgawi, melalui pengampunan dosa asal dan ganjaran yang adil bagi semua orang yang mengamalkan doktrin-Ku, yang merupakan kesempurnaan termanis dari Sepuluh Perintah Allah yang sempurna.

Aku akan tinggal bersamamu hari ini dan besok, yaitu hari Sabat suci, dan Aku akan berangkat saat fajar keesokan hari sesudah hari Sabat. Biarlah mereka yang menderita datang kepada-Ku! Biarlah mereka yang ragu-ragu datang kepada-Ku! Biarlah mereka yang menginginkan Hidup datang kepada-Ku! Tanpa rasa takut, karena Aku adalah Kerahiman dan Kasih."

Dan Yesus membuat gerak isyarat lebar untuk memberkati dan membubarkan para pendengar-Nya, supaya mereka bisa pergi dan menyantap makan malam mereka serta beristirahat. Dia hendak berangkat, ketika seorang perempuan tua kecil, yang sejauh ini tersembunyi di sudut sebuah jalanan sempit, menerobos orang banyak yang masih berada di sekitar Guru, dan di tengah orang-orang yang ribut, dia berjalan dan jatuh berlutut di kaki Yesus seraya berseru, "Diberkatilah Engkau dan Yang Mahatinggi yang telah mengutus-Mu! Dan diberkatilah rahim yang sudah mengandung-Mu, sebab ia lebih mulia dari rahim semua perempuan, sebab ia dapat mengandung-Mu!"

Seruan seorang laki-laki berbaur dengan seruan si perempuan. "Colomba! Kau melihat! Kau mengerti! Kau berbicara dengan bijaksana saat mengenali Tuhan! Oh! Allah! Allah leluhurku! Allah Abraham, Ishak dan Yakub! Allah para nabi! Allah Yohanes, Sang Nabi! Allah! Allah-ku! Putra Bapa! Raja yang seperti Bapa! Juruselamat yang taat kepada Bapa! Allah yang seperti Bapa, dan Allah-ku, Allah hamba-Mu! Semoga Engkau diberkati, dikasihi, diikuti, disembah selamanya!"

Dan kepala sinagoga tua itu jatuh berlutut di samping istrinya, memeluk istrinya dengan lengan kirinya, mendekapnya dalam pelukannya, dia membungkuk dan membuat istrinya membungkuk untuk mencium kaki Sang Juruselamat, sementara sorak-sorai sukacita orang banyak begitu nyaring hingga membuat batang-batang pohon bergetar dan membuat takut burung-burung merpati, yang terbang dari sarang tempat mereka sudah beristirahat dan lalu terbang di atas En-Gedi, seolah-olah mereka hendak menyebarkan kabar ke seluruh penjuru kota bahwa Sang Juruselamat ada dalam naungan tembok-temboknya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 6                 Daftar Istilah                    Halaman Utama