|
298. MARIA DAN MATIAS DIPERCAYAKAN KEPADA YOHANA KHUZA.
11 Oktober 1945
Danau Tiberias bagai suatu lapisan air berwarna abu-abu; tampak bagai merkuri yang ternoda, begitu berat dalam ketenangannya yang beku yang membuatnya serupa dengan gelombang-gelombang letih, yang tidak berhasil memberikan buih, dan berhenti dan tenang sesudah melakukan sedikit gerakan, bercampur dengan air yang suram di bawah langit yang muram.
Petrus dan Andreas, Yakobus dan Yohanes berada dekat perahu masing-masing di pantai kecil Betsaida, bersiap untuk berlayar. Ada bau rumput dan tanah basah, dan ada kabut tipis di hamparan hijau yang terbentang menuju Korazim. Kemuraman bulan November bergelayut pada segalanya.
Yesus keluar dari rumah Petrus, dengan menggenggam tangan Matias dan Maria yang oleh Porphirea telah dirapikan dengan kasih keibuannya, dengan mengganti pakaian mungil Maria dengan salah satu pakaian Marjiam. Namun Matias terlalu kecil untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan dia masih menggigil dalam balutan pakaian katun mungilnya yang sudah pudar, menggigil sebegitu rupa hingga Porphirea, yang selalu penuh belas kasihan, kembali masuk ke dalam rumah dan membawa keluar sehelai selimut yang dia bungkuskan pada si bocah seolah-olah itu adalah sebuah mantol. Yesus berterima kasih kepadanya sementara perempuan itu berlutut untuk berpamitan dan lalu undur diri sesudah mencium kedua anak yatim itu sekali lagi.
"Hanya demi punya anak-anak dia pasti akan sudah mengambil kedua anak ini juga," kata Petrus, yang telah mengamati peristwa itu dan yang lalu membungkuk untuk memberi kedua anak itu sepotong roti yang diolesi madu, yang dia sisihkan di bawah kursi perahu. Andreas menertawakannya dan berkata, "Memangnya kau tidak begitu, ya kah? Kau bahkan mencuri madu istrimu demi membuat kedua anak ini senang."
"Mencuri? Ini maduku!"
"Ya, tapi saudari iparku akan cemburu, sebab itu untuk Marjiam. Dan karena kau tahu itu, maka tadi malam kau mengendap-endap masuk ke dapur, dengan bertelanjang kaki seperti seorang pencuri, dan mengambil cukup banyak madu untuk olesan roti itu. Aku melihatmu, saudaraku, dan aku tertawa karena kau kelihatan seperti seorang anak yang takut ditampar ibunya."
"Kau mata-mata yang mengerikan," jawab Petrus, tertawa seraya memeluk saudaranya, yang menciumnya sambil berkata, "Kakakku tersayang."
Yesus memperhatikan mereka dan tersenyum lebar sementara Dia berdiri di antara kedua anak yang melahap roti mereka.
Delapan rasul lainnya tiba dari Betsaida. Mungkin mereka menumpang di rumah Filipus dan Bartolomeus.
"Cepat!" teriak Petrus dan dia memeluk kedua anak itu sekaligus untuk membawanya ke perahu tanpa membuat kaki telanjang mereka basah. "Kamu tidak takut, kan?" dia bertanya kepada mereka saat dia berkecipak dalam air dengan kaki-kakinya yang pendek dan kuat, yang telanjang hingga sejengkal di atas lututnya.
"Tidak, Pak," kata si gadis kecil, tapi dia berpegangan erat dengan tegang pada leher Petrus sembari menutup matanya ketika Petrus menempatkannya ke dalam perahu, yang terombang-ambing karena berat Yesus, Yang juga masuk ke dalamnya. Si bocah laki-laki kecil, yang lebih berani, atau mungkin lebih tercengang, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Yesus duduk dengan mendekatkan anak-anak kecil itu kepada Diri-Nya, dan menyelubungi mereka dengan mantol besar-Nya, yang terlihat seperti sayap yang dibentangkan untuk melindungi dua anak ayam.
Mereka semua masuk ke dalam perahu, enam orang di masing-masing perahu. Petrus menyingkirkan papan pendaratan, dia mendorong perahu lebih jauh dan melompat masuk ke dalamnya, dengan diikuti oleh Yakobus di perahu lain. Tindakan Petrus ini menyebabkan perahu bergoyang hebat dan gadis itu mengerang, "Mama!" dengan menyembunyikan wajahnya di pangkuan Yesus dan memeluk lutut-Nya. Namun, perahu-perahu sekarang bergerak mulus, meskipun itu merupakan kerja keras bagi Petrus, Andreas dan pelayan yang harus mendayung, dengan bantuan Filipus yang adalah pendayung keempat. Layarnya tergantung bebas dan tidak berguna dalam ketenangan lembab yang berat itu. Mereka harus mendayung.
"Kita melaju dengan mulus!" teriak Petrus kepada mereka yang di perahu lain, di mana Iskariot adalah pendayung keempat dan Petrus memuji dayungannya yang sempurna.
"Ayo, Simon!" jawab Yakobus. "Dayunglah sekuat tenagamu atau kami akan mengalahkanmu. Yudas sama kuatnya seperti budak galley. Kerja bagus, Yudas!"
"Ya. Kami akan menjadikanmu kepala awak kapal," tegas Petrus yang mendayung sekuat mereka berdua. Dan dia tertawa seraya berkata, "Tapi kamu tidak akan berhasil mengalahkan rekor Simon anak Yunus. Ketika aku berumur duapuluh tahun, aku sudah menjadi pendayung utama dalam kompetisi antar desa," dan dia dengan gembira menepuk awak kapalnya, "Dayung ho!... Dayung ho!" Suara mereka tersebar dalam keheningan danau yang sepi di pagi hari.
Anak-anak bangkit kembali keberaniannya. Wajah kurus mereka mendongak dari bawah mantol, satu anak di setiap sisi Yesus, Yang memeluk mereka, dan mereka tersenyum samar. Mereka menaruh minat pada pekerjaan para pendayung dan saling bertukar komentar.
"Aku merasa seperti naik kereta tanpa roda," kata si bocah laki-laki itu.
"Tidak. Naik kereta di awan-awan. Lihat! Kita seperti sedang berjalan di langit. Lihat, kita mendaki awan!" kata Maria ketika dia melihat haluan perahu menerjang ke tempat yang merefleksikan segumpal awan bagai wol yang sangat besar. Dan dia tertawa kecil.
Namun, matahari menghalau kabut dan meski itu adalah matahari musim gugur yang memudar, awan gemawan menjadi keemasan dan danau merefleksikannya seolah-olah bersinar. "Oh! Sungguh indah! Kita sekarang pergi menuju api. Sungguh indah!" seru si bocah laki-laki itu sambil bertepuk tangan.
Namun gadis kecil itu terdiam dan meledak dalam tangis. Mereka semua bertanya mengapa dia menangis. Dia menjelaskan sambil tersedu, "Ibu biasa mengucapkan sebuah puisi, mazmur, aku tidak tahu, untuk membuat kami diam, supaya kami bisa berdoa bahkan meski dengan begitu banyak penderitaan... dan puisi itu menyebutkan Firdaus yang akan menjadi seperti suatu danau dari Cahaya, dari api yang lembut di mana tidak akan ada suatu pun selain Allah dan sukacita dan ke mana mereka semua yang baik akan pergi... setelah Juruselamat datang... Danau emas ini mengingatkanku tentangnya... Mamaku!"
Matias juga menangis dan semua orang iba kepada mereka.
Namun suara manis Yesus mengatasi gumaman dari berbagai suara dan erangan anak-anak kecil yatim piatu, "Jangan menangis. Ibumu yang membawamu kepada-Ku, dan dia di sini sekarang bersama kita, sementara Aku membawamu kepada seorang ibu yang tidak memiliki anak. Dia akan bahagia memiliki dua anak yang baik menggantikan bayinya sendiri, yang sekarang berada di tempat ibumu berada. Karena dia juga menangis, kamu tahu? Bayinya meninggal seperti ibumu..."
"Oh! Jadi kita sekarang akan pergi kepadanya dan bayinya akan pergi kepada ibu kami!" kata Maria.
"Ya benar. Dan kamu semua akan bahagia."
"Seperti apa perempuan itu? Apa kerjanya? Seorang petani? Apa dia punya majikan yang baik?" Anak-anak kecil itu sangat ingin tahu.
"Dia bukan petani, tapi dia punya taman yang penuh dengan bunga-bunga mawar dan dia sebaik malaikat. Dia punya suami yang baik. Suaminya akan mencintaimu juga."
"Apa Engkau pikir begitu, Guru?" tanya Matius yang agak kurang yakin.
"Aku yakin. Dan kau akan menjadi yakin. Beberapa waktu yang lalu Khuza ingin menjadikan Marjiam sebagai laskarnya."
"Sama sekali tidak bisa!" teriak Petrus.
"Marjiam akan menjadi laskar Kristus. Itu saja, Simon. Diamlah."
Danau berubah menjadi abu-abu kembali. Angin menerpa dan meriakkan danau. Layarnya terkembang dan perahu berlayar cepat dengan terombang-ambing. Namun anak-anak memimpikan ibu baru mereka dan mereka tidak takut.
Kota Magdala dengan rumah-rumah putihnya di antara tanam-tanaman hijau nan asri sudah terlewatkan. Dan pedesaan antara Magdala dan Tiberias pun sudah terlewatkan. Rumah-rumah pertama Tiberias mulai muncul.
"Ke mana, Guru?"
"Ke pelabuhan kecil keluarga Khuza."
Petrus mengubah haluan dan memberikan instruksi kepada pelayan. Layar diturunkan ketika perahu mendekati pelabuhan kecil, dan lalu memasukinya, berhenti dekat dermaga kecil, dengan diikuti oleh perahu lainnya. Kedua perahu itu berhenti berdampingan seperti dua ekor bebek yang letih. Mereka semua mendarat dan Yohanes berlari mendahului untuk memberitahu para tukang kebun.
Anak-anak kecil menghimpit Yesus dengan risau hati, dan Maria, dengan menarik jubah-Nya, bertanya sambil menghela napas, "Tapi, apakah dia benar-benar baik?"
Yohanes kembali, "Guru, seorang pelayan sedang membukakan pintu gerbang. Yohana sudah di atas."
"Sangat baik. Tunggu disini. Aku akan mendahului."
Dan Yesus pergi sendirian. Lain-lainnya yang menyaksikan-Nya pergi mengomentari tindakan-Nya. Ada banyak keraguan dan kritik. Tetapi dari tempat mereka berada, mereka hanya bisa melihat Khuza yang bergegas menghampiri Yesus; dia membungkuk nyaris ke tanah di pintu gerbang dan lalu memasuki taman di sisi kiri Yesus. Lalu, tidak ada lagi yang bisa dilihat.
Namun aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat Yesus berjalan perlahan di samping Khuza yang memperlihatkan betapa bahagianya dia mendapatkan Guru sebagai tamunya, "Yohanaku akan senang sekali. Dan aku juga. Dia merasa semakin baik. Dia menceritakan padaku tentang perjalanan itu. Benar-benar suatu kemenangan, Tuhan-ku!"
"Apa kau keberatan?"
"Yohana bahagia. Dan aku bahagia melihatnya demikian. Aku mungkin saja telah kehilangan dia beberapa bulan yang lalu, Tuhan-ku."
"Ya, bisa jadi... Dan Aku mengembalikannya padamu. Bersyukurlah kepada Allah untuk itu."
Khuza menatap-Nya dengan bingung... dia lalu berbisik, "Suatu teguran, Tuhan?"
"Tidak, suatu nasihat. Jadilah baik, Khuza."
"Guru, aku ini hamba Herodes..."
"Aku tahu. Tapi jiwamu tidak lain adalah hamba Allah, jika kau menghendakinya."
"Itu benar, Tuhan. Aku akan mengubah cara hidupku. Terkadang aku dikuasai oleh ketakutan akan opini publik..."
"Apa kau punya keberatan tahun lalu ketika kau ingin menyelamatkan Yohana?"
"Oh! Tidak. Dengan harga kehilangan segala kehormatan aku akan memohon kepada siapa pun yang bisa menyelamatkannya."
"Lakukan hal yang sama untuk jiwamu. Jiwamu bahkan lebih berharga dari Yohana. Ini dia datang."
Mereka mempercepat langkah mereka menuju Yohana yang berlari di sepanjang jalan untuk menemui mereka.
"Guru-ku! Aku tidak berharap bisa bertemu dengan-Mu secepat ini. Kebaikan apakah yang telah membawa-Mu kepada murid-Mu?"
"Bantuan, Yohana."
"Bantuan? Yang mana? Beritahu kami dan jika kami bisa, kami akan membantu-Mu," mereka berdua menjawab serempak.
"Kemarin sore di jalan gurun Aku menemukan dua orang anak yang malang, seorang gadis kecil dan seorang bocah laki-laki... mereka telanjang kaki, compang-camping, kelaparan, sendirian... dan Aku melihat mereka diusir pergi, seolah-olah mereka adalah serigala, oleh seorang yang berhati keras. Mereka akan mati kelaparan... Tahun lalu Aku memberikan begitu banyak kekayaan kepada orang itu. Dan dia tidak mau memberikan sepotong roti kepada dua anak yatim piatu. Karena mereka yatim piatu. Anak yatim piatu yang berkelana di jalan-jalan dunia yang kejam. Laki-laki itu akan menerima hukumannya. Apa kau mau menerima berkat-Ku? Aku mengulurkan tangan-Ku kepadamu, Aku seorang Pengemis cinta, untuk anak-anak yatim piatu itu yang tidak punya rumah, pakaian, makanan, cinta. Maukah kau menolong-Ku?"
"Tetapi, Guru, mengapa harus bertanya? Katakan padaku apa yang Engkau inginkan, berapa banyak yang Engkau inginkan; beritahu kami semuanya!..." kata Khuza terdorong oleh gerak hatinya.
Yohana tidak berbicara, tapi dengan kedua tangannya di dekapkan ke hatinya, airmata pada bulu matanya yang lentik, seulas senyum kerinduan di bibirnya yang merah merekah, dia menanti, dan keheningannya berbicara jauh lebih banyak dari perkataan.
Yesus menatap padanya dan tersenyum, "Aku ingin mereka punya seorang ibu, seorang ayah, sebuah rumah; dan nama ibunya adalah Yohana..."
Ia tidak punya waktu untuk menyelesaikan perkataan-Nya karena tangis Yohana meledak seperti tangis seorang yang dibebaskan dari penjara, sementara dia prostratio untuk mencium kaki Tuhan-nya.
"Dan bagaimana pendapatmu, Khuza ? Maukah kau menerima dalam nama-Ku mereka yang Aku kasihi, yang lebih berharga bagi hati-Ku daripada permata?"
"Guru, di manakah mereka? Bawalah aku kepada mereka dan atas kehormatanku, aku bersumpah kepada-Mu bahwa sejak dari saat aku menumpangkan tanganku ke atas kepala mereka yang tidak berdosa, aku akan mencintai mereka dalam nama-Mu seolah-olah aku adalah ayah kandung mereka."
"Jadi, ayo. Aku tahu bahwa Aku tidak akan datang dengan sia-sia. Ayo. Mereka kasar dan ketakutan, tapi mereka baik. Kau bisa mempercayai-Ku sebab Aku bisa membaca hati manusia dan masa depan. Mereka akan memberikan damai dan kekuatan pada persatuanmu, terlebih lagi di masa mendatang. Kamu akan menemukan dirimu lagi dalam kasih mereka. Pelukan tanpa dosa mereka akan menjadi perekat terbaik bagi rumah tanggamu. Dan Surga akan selalu bermurah hati, dan berbelas kasih kepadamu karena amal kasihmu. Mereka ada di luar pintu gerbang. Kami datang dari Betsaida..."
Yohana tidak mendengarkan lagi. Dia lari, dikuasai oleh kerinduan besar untuk membelai mereka. Dan dia melakukannya, dengan berlutut untuk mendekapkan kedua anak yatim piatu kecil itu ke hatinya, mencium pipi mereka yang kurus, sementara kedua anak ini terpana menatap seorang nyonya cantik dengan pakaian berhiaskan permata. Dan mereka menatap pada Khuza , yang membelai mereka dan mengangkat Matias masuk ke dalam pelukannya. Dan mereka melihat pada taman yang indah dan pada para pelayan yang berkeliling sekitar mereka... Dan mereka mengagumi rumah dengan pintu terbuka, yang memperlihatkan aulanya yang penuh dengan kekayaan, bagi Yesus dan para rasul-Nya. Dan mereka menatap pada Ester yang menghujani mereka dengan ciuman. Dunia mimpi terbuka bagi anak-anak kecil terlantar itu...
Yesus mengamati dan tersenyum...
|
|
|