123. YESUS DI "AIR JERNIH": "JANGAN BERZINAH."
4 Maret 1945
Yesus berkata kepadaku:
"Bersabarlah, jiwa terkasih-Ku, sehubungan dengan kerja dobel ini. Ini adalah masa bersabar. Kau tahu betapa letihnya Aku dalam hari-hari-Ku belakangan ini?! Kau melihatnya. Ketika berjalan Aku bersandar pada Yohanes, pada Petrus, pada Simon, juga pada Yudas… Ya. Dan meski mukjizat-mukjizat terpancar dari-Ku, bahkan dari sekedar bersentuhan dengan pakaian-Ku, Aku tak dapat mengubah hati itu! Biarkan Aku bersandar padamu, Yohanes kecil, untuk mengulang perkataan yang Aku ucapkan pada hari-hari terakhir kepada orang-orang dungu yang keras kepala itu yang mendengar pemakluman siksa-Ku tanpa terpengaruh olehnya. Dan biarkan sang Guru berkhotbah selama berjam-jam di dataran sedih Air Jernih. Dan aku akan memberkatimu dua kali lipat: atas jerih payahmu dan atas belas-kasihanmu. Aku menghitung upayamu, Aku mengumpulkan airmatamu. Untuk upayamu atas nama saudara-saudaramu, kau akan diganjari sebagai mereka yang berjerih-payah demi membuat Allah dikenal manusia. Airmata yang dicurahkan untuk penderitaan-Ku sepanjang minggu terakhir akan diganjari dengan ciuman Yesus. Tulislah dan kiranya engkau diberkati."
Yesus berdiri di atas semacam podium yang dibuat dari bilah-bilah papan di salah satu dari ruangan besar, ruangan yang terakhir, dan sedang berbicara dengan suara yang sangat lantang, dekat pintu, supaya suara-Nya dapat terdengar oleh mereka yang berada dalam ruangan dan juga oleh mereka yang berada di naungan atau di lantai pengirikan, yang banjir karena hujan. Orang-orang berdiri di sana dalam balutan mantol-mantol besar kasar berwarna gelap, yang kedap air, kelihatan seperti sangat banyak saudara awam. Orang-orang yang paling lemah ada dalam ruangan, para perempuan di bawah naungan, sementara yang paling kuat, kebanyakan laki-laki, berada di halaman, di bawah guyuran hujan.
Petrus, dengan bertelanjang kaki dan mengenakan hanya jubah pendeknya dan dengan sepotong kain di atas kepalannya, datang dan pergi, dan selalu dengan humor segar bahkan meski ia harus menerjang air dan sekonyong-konyong terkena cipratan air. Yohanes, Andreas dan Yakobus bersamanya. Mereka dengan berhati-hati memindahkan orang-orang sakit dari ruangan yang lain dan membimbing atau memapah mereka yang buta atau timpang.
Yesus dengan sabar menunggu mereka semua berada ditempatnya. Ia hanya menyesal bahwa keempat murid basah kuyup bagai spons yang dicelupkan ke dalam seember air.
"Itu bukan apa-apa! Jangan khawatir. Kami dibaptis kembali dan sang pembaptisnya adalah Allah Sendiri," Petrus menanggapi sesal Yesus.
Akhirnya mereka semua sudah berada pada tempatnya dan Petrus berpikir ia dapat pergi dan mengenakan jubah yang kering. Dan ia pun pergi bersama ketiga murid lainnya.
Tetapi ketika ia kembali lagi kepada sang Guru, ia melihat mantol besar abu-abu milik perempuan berkerudung muncul di pojok naungan dan ia pergi menghampirinya tanpa berpikir bahwa untuk melakukannya ia harus menyeberangi halaman secara diagonal di bawah guyuran hujan lebat yang semakin deras, sementara air dari genangan-genangan air terciprat hingga ke lututnya. Ia meraih siku perempuan itu, tanpa menggeser mantolnya, dan menariknya ke tembok ruangan besar, agar tidak kehujanan. Ia lalu menempatkan dirinya di samping perempuan itu, segalak dan sekaku seorang pengawal.
Yesus melihatnya dan Ia tersenyum seraya menundukkan kepala guna menyembunyikan senyum lebar-Nya. Ia mulai berbicara.
"Sebagian dari antara kalian, yang telah rutin datang kepada-Ku, janganlah berkata bahwa Aku tidak berbicara secara urut, dan bahwa Aku meloncati sebagian dari sepuluh perintah Allah. Kalian mendengar. Aku melihat. Kalian dengarkan. Aku menerapkan khotbah-Ku pada sakit dan luka-luka yang Aku lihat dalam diri kalian. Aku adalah sang Dokter. Seorang dokter mengunjungi terlebih dahulu mereka yang sakit lebih parah, mereka yang lebih dekat dengan kematian. Baru lalu dia mengunjungi mereka yang sakit tidak terlalu parah. Aku melakukan yang sama."
Hari ini Aku katakan kepada kalian: 'Jangan berzinah.'
Janganlah melihat sekeliling berupaya membaca kata 'berahi' pada wajah seseorang. Kasihilah satu sama lain. Apakah engkau akan mengasihi seorang yang membaca kata itu pada wajahmu? Tidak, tidak akan. Baik, jika demikian, janganlah mencoba membacanya dalam mata khawatir sesamamu atau pada wajahnya yang memerah dan menunduk ke tanah. Dan jadi… Oh! katakan pada-Ku, terutama kalian laki-laki. Siapakah di antara kalian yang belum mencicipi roti ini yang dibuat dengan abu dan kotoran badan, yang adalah kepuasan seksual? Dan apakah hanya berahi saja yang menghantarmu untuk selama satu jam lamanya berada dalam pelukan seorang pelacur? Bukankah berahi juga adalah penajisan persatuan dengan istrimu, penajisan sebab adalah kejahatan yang disahkan karena adalah kepuasan sensual timbal balik, yang, meski demikian, mengelakkan konsekuensinya?
Perkawinan berarti prokreasi dan perbuatannya berarti dan haruslah subur. Jika tidak, itu adalah amoral. Janganlah jadikan ranjang pengantinmu sebagai tempat pelacuran. Dan itulah apa jadinya mereka jika mereka dicemarkan oleh berahi dan tidak dikuduskan dengan keibuan. Dunia tidak menolak benih. Dunia menerimanya dan menjadikan tanaman darinya. Benih tidak menghindarkan diri dari galur sesudah ditempatkan di sana. Tapi benih segera berakar dan berjuang untuk tumbuh dan menghasilkan buah, yakni makhluk hidup sayur-sayuran yang dilahirkan dari persatuan antara tanah dan benih. Laki-laki adalah benih, perempuan adalah tanah, buahnya adalah anak. Adalah dosa untuk menolak menghasilkan buah dan menebar kekuatan dalam kejahatan. Adalah pelacuran yang dilakukan di atas ranjang pengantin, dan sama sekali tidak berbeda dari pelacuran lainnya, sebaliknya diperparah dengan ketidaktaatan pada perintah yang mengatakan: 'Jadilah satu daging dan bertambah banyaklah dengan melahirkan anak-anak.'
Oleh karenanya, perempuan yang dengan sengaja mandul, adalah istri yang sah dan jujur di mata dunia, tapi tidak di mata Allah, engkau dapat lihat bahwa kau dapat dianggap sebagai pelacur dan engkau sama saja berzinah bahkan meski hanya dengan suamimu, sebab engkau tidak mencari keibuan tetapi terlalu sering engkau hanya mengejar kesenangan. Dan tidakkah engkau berpikir bahwa kesenangan adalah racun yang mencemari setiap mulut yang merasakannya? Dia membakar dengan api yang tampaknya memuaskan, tapi sebaliknya dia jatuh dari tungku dan melahap, semakin tak terpuaskan, meninggalkan rasa masam debu pada lidah sekaligus kejijikan, kemuakan dan kehinaan baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pasangan dalam kesenangan, sebab ketika hati nurani hidup kembali, dan dia sungguh hidup kembali di antara dua panas, orang hanya dapat merasakan kehinaan macam itu atas dirinya sendiri, sebab direndahkan di bawah tingkat binatang.
'Jangan berzinah,' demikian dikatakan. Banyak perbuatan daging manusia adalah perzinahan. Dan Aku tidak membicarakan persatuan terkutuk yang tak terbayangkan yang dikutuk Lewi dengan perkataan berikut: "Laki-laki: janganlah kau tidur dengan seorang laki-laki seperti dengan seorang perempuan' dan 'Janganlah kau tidur dengan binatang apapun, sebab dengan demikian engkau akan menjadi najis. Dan perempuan akan melakukan hal yang sama dan tidak akan mempersembahkan dirinya pada seekor binatang, sebab itu merupakan hal yang terkutuk.' Tetapi sesudah menyebutkan kewajiban suami dan istri dalam perkawinan, yang tak lagi kudus ketika menjadi mandul melalui kejahatan, Aku akan berbicara mengenai perzinahan yang sesungguhnya antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan karena kejahatan timbal balik atau demi kompensasi dalam bentuk uang atau hadiah.
Tubuh manusia adalah bait mulia yang di dalamnya terdapat sebuah altar. Allah seharusnya ada di altar. Tapi Allah tidak ada di mana ada kerusakan. Sebab itu tubuh yang cemar memiliki altar yang najis tanpa Allah. Seperti seorang mabuk yang berkubang dalam lumpur dan dalam muntahan kemabukannya sendiri, manusia merendahkan dirinya sendiri dalam kebrutalan perzinahan dan menjadi lebih buruk dari cacing dan binatang liar yang paling najis.
Katakan pada-Ku, jika di antara kalian ada orang yang telah merusakkan dirinya sendiri hingga ke tingkat memperdagangkan tubuhnya seperti orang memperdagangkan barang atau hewan-hewan di pasar, keuntungan apakah yang dia peroleh? Tempatkan hatimu dalam tanganmu, periksalah, tanyailah, dengarkanlah, periksa luka-lukanya, sakitnya yang hebat dan lalu katakan kepada-Ku: apakah buahnya begitu manis hingga sepadan dengan sakit yang begitu rupa pada hati yang dilahirkan murni dan bahwa kau terbelenggu untuk hidup dalam suatu tubuh yang cemar, dan untuk bersusah-payah memberikan hidup dan panas bagi berahi, dan terkuras habis tenaganya oleh kejahatan? Katakan pada-Ku: apakah kau begitu rusak hingga kau tidak menangis diam-diam, mendengar suara seorang kanak-kanak yang memanggil: 'mama', atau memikirkan ibumu, kalian para perempuan pemuas nafsu yang telah melarikan diri dari rumah atau telah diusir dari rumah, agar buah yang busuk tidak mencemari dengan pancaran kebusukannya buah-buah lain yang baik? Memikirkan ibumu yang mungkin mati patah hati, sebab harus mengatakan: 'Aku melahirkan aib?'
Tidakkah kau merasa hatimu gemetar karena malu, ketika kau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang tampak berwibawa karena rambut putihnya dan kau berpikir bahwa kau telah mencemari kepala ayahmu dengan tangan-tangan penuh lumpur dan telah membuatnya menjadi bahan ejekan di tempat asalnya?
Tidakkah kau merasa isi perutmu melilit oleh sebab penyesalan ketika kau melihat seorang istri yang bahagia atau seorang dara yang tak berdosa sementara kau harus mengatakan: 'Aku telah menyerahkan itu semua dan aku tidak akan pernah menjadi seperti itu lagi!?'
Tidakkah kau sadari betapa menderitanya kau ketika kau haus akan ciuman seorang kanak-kanak dan kau tidak berani mengatakan: 'Berikan ciuman padaku' sebab kau telah membunuh kehidupan pada saat kelahiran mereka, kau telah menolak mereka sebagai beban yang menjemukan dan sebagai penghalang tak berguna, telah melepaskannya dari pohon yang telah membuahkannya, dan membuangnya sebagai kotoran hewan, dan sekarang kehidupan-kehidupan kecil itu berteriak kepadamu: 'pembunuh!'?
Tapi, di atas semua itu, tidakkah kau gentar terhadap Hakim Yang menciptakanmu dan menantikanmu untuk menanyaimu: 'Apakah yang telah kau lakukan terhadap dirimu sendiri? Apakah Aku, mungkin, memberimu hidup untuk itu? Betapa beraninya kau datang ke hadapan-Ku, sarangmu dikerumuni ulat-ulat dan kebusukan? Kau sudah mendapatkan semua dari apa yang adalah allahmu: kesenangan. Pergilah ke tempat sengsara abadi.'
Siapakah yang sedang menangis? Tidak ada? Apakah kau mengatakan: tidak ada? Dan meski begitu jiwa-Ku akan mendatangi jiwa lain yang sedang menangis. Mengapakah pergi menjumpainya? Untuk mengutukinya sebab dia adalah seorang pelacur? Tidak. Sebab Aku merasa kasihan kepada jiwanya. Aku merasa jijik atas keseluruhan tubuh cemarnya, yang melelehkan keringat amoral. Tapi jiwanya!
Oh! Bapa! Bapa! Juga demi jiwa ini Aku telah menjadi daging dan Aku meninggalkan Surga guna menjadi Penebus-nya dan Penebus banyak jiwa-jiwa yang seperti jiwanya! Mengapakah Aku tidak mendapatkan domba yang sesat ini dan membawanya kembali ke kawanannya, membasuhnya, mempersatukannya dengan kawanan, memberinya makan dan kasih yang sesempurna yang hanya dapat diberikan oleh Kasih-Ku, yang sangat berbeda dari kasih yang sejauh ini dia sebut kasih, tetapi sesungguhnya adalah kedengkian; Kasih yang begitu berbelas-kasihan, total, manis hingga dia tidak lagi menyesali masa lalu atau menyesalinya hanya untuk mengatakan: 'Terlalu banyak hari di mana aku sesat dari-Mu, ya Keindahan abadi. Siapakah gerangan yang akan mengembalikan kepadaku hari-hari yang telah aku hilangkan? Bagaimanakah aku dapat menikmati dalam waktu singkat apa yang masih tersisa padaku, apakah gerangan yang akan aku nikmati andai aku selalu murni?'
Den kendati demikian, o jiwa yang tertindas oleh segala nafsu dunia, janganlah menangis. Dengarkanlah: kau adalah kain kotor. Tapi kau dapat sekali lagi menjadi sekuntum bunga. Kau adalah onggokan kotoran hewan. Tapi kau dapat menjadi sepetak bedeng bunga. Kau adalah binatang najis. Tapi kau dapat menjadi seorang malaikat. Dulu engkau adalah seorang malaikat. Dan kau biasa menari di padang-padang penuh bunga, sekuntum mawar di antara bunga-bunga mawar, segar indah, harum semerbak dalam keperawanan. Dan kau menyanyikan dengan gembira nyanyian kekanak-kanakan, dan lalu kau akan lari kepada ibumu, kepada ayahmu dan berkata kepada mereka: 'Kau adalah kekasihku.' Dan pelindung tak kelihatan yang ada di sisi setiap makhluk akan tersenyum pada jiwamu yang biru-putih… Dan lalu? Mengapakah? Mengapakah kau merobekkan sayap-sayapmu, sayap-sayap makhluk kecil tanpa dosa? Mengapakah kau menginjak-injak hati ayah dan ibumu untuk mengejar hati-hati lain yang tak dapat diandalkan? Mengapakah kau memaksakan suara murnimu untuk menyuarakan perkataan-perkataan sensual yang palsu? Mengapakah kau mematahkan tangkai mawar dan mencemarkan dirimu?
Bertobatlah, putri Allah. Pertobatan menghidupkan kembali, memurnikan dan meninggikan. Tidak dapatkah manusia memaafkanmu? Bahkan ayahmu tidak dapat memaafkanmu? Tapi Allah dapat. Sebab kasih karunia Allah tak dapat dibandingkan dengan kebaikan manusia dan kerahiman-Nya lebih besar tanpa batas dibandingkan dengan kemalangan manusia. Hormatilah dirimu sendiri dengan menjadikan jiwamu terhormat melalui suatu hidup yang jujur. Benarkanlah dirimu di hadapan Allah dengan tidak lagi berbuat dosa melawan jiwamu. Perolehlah dari Allah sebuah nama baru. Itulah apa yang terpenting. Kau jahat. Jadilah jujur. Jadilah kurban dan martir dari pertobatanmu. Kau tahu bagaimana menjadikan hatimu martir demi memberikan kesenangan bagi tubuhmu. Sekarang jadikan tubuhmu martir demi memberikan damai abadi bagi hatimu.
Pergilah. Kalian semua boleh pergi. Masing-masing dengan bebannya dan pemikirannya, dan renungkanlah. Allah menantikan semua orang dan tidak menolak siapa pun dari mereka yang bertobat. Kiranya Allah menganugerahimu terang-Nya supaya kau dapat mengenal jiwamu. Pergilah."
Banyak yang pergi menuju desa. Sebagian masuk ke dalam ruangan besar. Yesus menghampiri orang-orang sakit dan menyembuhkan mereka.
Sekelompok orang sedang berbicara dengan suara pelan di pojok: mereka menggerak-gerakkan tangan dan semakian brsemangat dalam mendiskusikan beragam pendapat mereka. Sebagian mendakwa Yesus, sebagian membela-Nya, sebagian mendorong kedua pihak pada penilaian yang lebih matang. Pada akhirnya, kelompok yang paling mendongkol, mungkin karena jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dua kelompok lainnya, mengambil jalan tengah. Mereka mendatangi Petrus, yang bersama Simon sedang menyingkirkan tiga usungan dari orang-orang yang sudah disembuhkan secara mukjizat, sebab usungan-usungan itu sekarang tak lagi berguna, dan mereka menyerangnya dengan congkak di ruangan besar yang telah menjadi ruang tamu bagi para peziarah. Mereka berkata kepadanya: "Orang Galilea, dengarkan kami."
Petrus berbalik dan menatap mereka seolah mereka adalah binatang-binatang langka. Ia tidak berbicara, tapi ekspresi wajahnya sungguh mengagumkan. Simon memandang sekilas pada kelima orang yang geram itu dan lalu pergi keluar, sekonyong-konyong meninggalkan mereka semua.
Satu dari kelima orang itu kembali berbicara: "Aku Samuel, ahli taurat; ini Zadok, ahli Taurat; dan ini Eleazar, seorang Yudea yang tersohor dan berkuasa; dan ini Callascebona, tetua yang terpandang; dan akhirnya, ini Nahum. Kau mengerti? Nahum!" Nada suaranya sungguh berlebih-lebihan.
Petrus membungkuk sedikit setiap nama disebutkan, tapi pada nama terakhir kepalanya berhenti tengah jalan dan dengan sama sekali acuh tak acuh ia mengatakan: "Aku tidak tahu. Tidak pernah mendengarnya. Dan… aku tidak mengerti apa-apa."
"Kau nelayan kasar! Ingat baik-baik bahwa dia adalah bendahara Hanas!"
"Aku tidak tahu Hanas; atau tepatnya aku tahu banyak perempuan yang namanya Hana. Ada banyak juga di Kapernaum. Tapi aku tidak mengenal kepada siapa dia menjadi bendahara …"
"Dia? Aku kau sebut sebagai 'dia'?"
"Bagaimana kau ingin aku menyebutmu? Keledai atau burung? Ketika aku bersekolah guru mengajarkan kepadaku untuk menyebut 'dia' apabila berbicara mengenai orang, dan, jika aku tidak salah, kau adalah orang."
Orang itu menjadi sangat marah, seolah dia tersiksa dengan kata-kata itu. Seorang lainnya, yang pertama kali berbicara, menjelaskan: "Hanas adalah ayah mertua Kayafas…"
"Ah!... Begitu!!!! Jadi?"
"Aku katakan kepadamu bahwa kami sangat jengkel!"
"Atas apa? Cuaca? Aku jengkel juga. Aku sudah mengganti bajuku tiga kali dan aku tidak punya pakaian kering lagi."
"Jangan tolol!"
"Tolol? Itu betul. Jika kalian tidak jengkel terhadap cuaca, jadi terhadap apa? Terhadap orang-orang Romawi?"
"Terhadap Guru-mu! Dengan si nabi palsu!"
"Hey! Samuel sayang! Berhati-hatilah sebab jika aku bangun, aku akan seperti danau. Dari tenang teduh aku akan menjadi badai dalam sekejab. Jadi berhati-hatilah kau berbicara…"
Juga anak-anak Zebedeus dan anak-anak Alfeus telah masuk bersama dengan Iskariot dan Simon dan mereka berkumpul sekeliling Petrus yang berteriak semakin keras.
"Jangan kau menyentuh orang-orang besar Sion dengan tangan kampunganmu!"
"Oh! Pemuda-pemuda terhormat nan tampan! Dan jangan kalian menyentuh Guru-ku, atau, kalian akan seketika melayang masuk ke dalam sumur dan lalu kalian akan sungguh dimurnikan, baik batiniah maupun lahiriah."
"Aku ingin meminta perhatian para alim ulama dari Bait Allah atas kenyataan bahwa rumah ini adalah rumah pribadi," kata Simon dengan tenang. Dan Iskariot menegaskannya dengan mengatakan: "Dan aku dapat menjamin bahwa Guru selalu memiliki rasa hormat yang besar terhadap rumah-rumah orang lain, dan di atas segalanya terhadap Rumah Tuhan. Milikilah rasa hormat yang sama terhadap rumah-Nya."
"Diam kau, cacing licik."
"Licik dalam hal apa? Kalian menjijikkan dan aku telah datang ke tempat di mana tidak ada kejijikan. Dan Allah memberiku anugerah tidak menjadi sepenuhnya rusak oleh sebab bersama kalian!"
"Singkatnya: apakah yang kalian inginkan?" tanya Yakobus Alfeus dengan tajam.
"Dan siapakah kau?"
"Aku adalah Yakobus anak Alfeus, dan Alfeus anak Yakobus, dan Yakobus anak Matan, dan Matan anak Eleazar, dan jika kalian menghendakinya, aku akan menyebutkan seluruh leluhurku sampai Raja Daud dari siapa aku adalah keturunannya. Dan aku adalah sepupu dari Mesias. Jadi aku minta kalian berbicara kepadaku, sebab aku adalah anggota keluarga kerajaan dan seorang Yudea, jika keangkuhanmu merasa jijik berbicara kepada seorang Israel sejati yang mengenal Allah lebih baik dari Gamaliel dan Kayafas. Jadi, bicaralah."
"Guru-mu dan kaum-Nya membiarkan para pelacur mengikuti-Nya. Perempuan berkerudung itu adalah salah seorang dari antara mereka. Aku melihatnya ketika dia sedang menjual emas. Dan aku mengenalinya. Dia adalah kekasih Samai yang telah melarikan diri darinya. Yang merupakan aib bagi Samai."
"Kekasih siapa? Samai sang Rabbi? Kalau begitu perempuan itu pastilah seorang tua renta. Dan dengan demikian tidak berbahaya…" kata Iskariot mengejek.
"Diam, tolol! Samai anak Elchi, orang kesayangan Herodes."
"Baik! Itu artinya perempuan itu bukan lagi kekasih kesayangan. Dia harus pergi tidur bersama laki-laki itu. Bukan kau. Jadi kenapa cemas?" Yudas Iskariot sama sekali ironis.
"Sobat, tidakkah kau pikir bahwa kau mencemarkan dirimu sendiri dengan bertindak sebagai mata-mata?" tanya Yudas Alfeus. "Dan tidakkah kau pikir bahwa dia yang mencemarkan dirinya adalah dia yang merendahkan dirinya untuk berbuat dosa, bukan dia yang berusaha untuk menyelamatkan seorang pendosa? Mengapakah Guru dan Saudara-ku itu cemar, jika, apabila berbicara, suara-Nya menjangkau juga telinga-telinga yang dicemarkan oleh lelehen air liur orang-orang mesum di Sion?"
"Suara-Nya? Ah! Ah! Guru dan Sepupu-mu itu tigapuluh tahun umurnya dan Ia adalah seorang munafik yang terbesar dari yang lainnya. Dan kalian semua tidur nyenyak pada malam hari…"
"Kau reptil busuk. Enyah dari sini atau aku akan mencekikmu," teriak Petrus, dan Yakobus serta Yohanes menggemakan perkataannya, sementara Simon hanya mengatakan: "Tidak tahu malu! Kemunafikanmu begitu besar hingga meluber dan tumpah dan kau melelehkan liur bagai seekor siput di atas sekuntum bunga murni. Enyah dan jadilah manusia, sebab sekarang kau tak lain dari lelehan air liur. Aku kenal kau, Samuel. Hatimu selalu sama. Semoga Allah mengampunimu. Enyahlah dari hadapanku."
Sementara Iskariot dan Yakobus Alfeus memegangi Petrus, yang mendidih dalam amarah, Yudas Tadeus, yang lebih dari sebelumnya sekarang sungguh serupa dengan Sepupu-nya, memiliki tatapan kilatan biru dan ekspresi wibawa yang sama, berkata dalam suara yang menggelegar: "Dia yang mencemarkan orang yang tak bersalah mencemarkan dirinya sendiri. Allah menganugerahi kita penglihatan dan kemampuan berbicara untuk melakukan perbuatan-perbuatan kudus. Seorang pemfitnah menyalahgunakan dan melecehkannya, dengan mempergunakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Aku tidak akan mencemari diriku sendiri dengan suatu perbuatan kasar yang menghina rambut ubanmu. Tapi aku akan mengingatkanmu bahwa orang-orang jahat membenci seorang yang benar dan jujur, seorang bodoh melampiaskan murkanya pada perutnya tanpa berpikir bahwa dia mengkhianati dirinya sendiri. Barangsiapa tinggal dalam kegelapan salah mengira setangkai bunga sebagai seekor reptil. Tapi barangsiapa tinggal dalam terang melihat hal-hal sebagaimana adanya, dan jika hal-hal itu dijelek-jelekkan, dia akan membelanya demi keadilan. Kita tinggal dalam terang. Kita adalah keturunan yang murni, indah dari anak-anak terang, dan Pemimpin kita adalah Yang Kudus Yang tidak mengenal baik perempuan ataupun dosa. Kami mengikuti-Nya dan membela-Nya dari para musuh-Nya, orang-orang yang oleh-Nya diajarkan kepada kami untuk tidak dibenci melainkan didoakan. Meski kau sudah tua, kau dapat belajar dari seorang muda, yang telah menjadi matang karena Kebijaksanaan adalah guru-nya, agar jangan cepat dalam berbicara dan sama sekali tidak becus dalam melakukan yang baik. Pergilah. Dan beritahukan kepada mereka yang mengutus kalian bahwa Allah bersemayam dalam kemuliaan-Nya di kediaman miskin ini, bukan di rumah cemar yang ada di Gunung Moria. Selamat tinggal."
Kelima orang itu tidak berani menjawab dan mereka pun pergi.
Para murid berunding apakah mereka sebaiknya memberitahu Yesus Yang masih bersama orang-orang yang Ia sembuhkan. Dan mereka memutuskan adalah sebaiknya memberitahu-Nya. Mereka pergi menemui-Nya dan mereka menceritakannya kepada-Nya.
Yesus tersenyum damai dan menjawab: "Terima kasih sudah membela Aku… tapi apakah yang dapat kalian lakukan? Orang memberi apa yang dia punya."
"Akan tetapi, mereka tidak sepenuhnya salah. Kita punya mata untuk melihat dan banyak orang memang melihat. Perempuan itu selalu di sana, seperti anjing. Itu tidak baik bagi-Mu," kata banyak dari antara para murid.
"Biarkan dia. Dia tidak akan menjadi batu yang akan menghantam kepala-Ku. Dan jika dia diselamatkan… adalah sepadan dikecam seperti itu demi sukacita yang sebegitu!"
Semuanya pun berakhir dengan jawaban manis itu.
|
|