78. YESUS DI KERIOT. KEMATIAN SAUL TUA
14 Januari 1945
Aku berada di bawah kesan bahwa bagian paling curam, yakni jalinan paling dekat dari pegunungan Yudea, adalah antara Hebron dan Yuta. Tapi aku mungkin keliru, dan lembah ini mungkin lebih luas, terbuka pada cakrawala yang lebih luas, dengan pegunungan-pegunungan terpencil muncul di sana sini, tanpa membentuk suatu rantai yang sesungguhnya. Ini mungkin sebuah lembah di antara dua rantai pegunungan. Aku tidak tahu. Ini adalah pertama kali aku melihatnya, dan aku bingung. Ladang-ladangnya tidak terlalu luas, tapi diolah dengan baik dengan berbagai macam biji-bijian: kebanyakan barley dan gandum hitam. Ada juga beberapa kebun anggur yang cantik di bagian-bagian yang terpapar matahari. Lebih tinggi, aku dapat melihat beberapa hutan elok Pinetree dan cemara dan pohon-pohon khas hutan lainnya. Sebuah jalan yang cukup bagus menghantar ke sebuah desa kecil.
"Ini daerah pinggiran Keriot. Silahkan datang ke rumah desaku. Ibuku menantikan Engkau di sana. Kita akan pergi ke Keriot sesudahnya," kata Yudas yang lupa diri karena gembira.
Aku lupa menyebutkan bahwa hanya Yudas, Simon dan Yohanes yang sekarang bersama Yesus. Para gembala tidak ada. Mungkin mereka tinggal di padang-padang rumput Hebron atau mereka sudah kembali ke Betlehem.
"Terserah kau, Yudas, tapi kita bisa berhenti bahkan di sini untuk bertemu ibumu."
"Oh! Tidak! Itu hanya sebuah rumah pertanian. Ibuku datang ke sini pada saat panen. Tapi dia tinggal di Keriot. Dan tidakkah Engkau ingin orang-orang sekotaku bertemu dengan-Mu? Tidakkah Engkau ingin memberikan pencerahan-Mu kepada mereka?"
"Pasti Aku lakukan, Yudas. Tapi kau sudah tahu bahwa Aku tak keberatan dengan kesederhanaan tempat yang memberi-Ku tumpangan."
"Tapi hari ini Engkau adalah tamuku... dan Yudas tahu bagaimana menyambut dengan ramah."
Mereka berjalan beberapa yard lebih jauh di antara rumah-rumah yang tersebar di seluruh pedesaan, sementara para lelaki dan para perempuan mengamati, diteriaki oleh anak-anak. Jelas bahwa keingintahuan mereka telah bangkit. Yudas pastilah sudah mengirimkan pesan untuk memberitahu mereka.
"Inilah rumahku yang miskin. Maafkan kesederhanaannya."
Tapi, bagaimanapun, rumah itu bukanlah sebuah gubuk: terdiri dari lantai dasar saja yang besar dan terawat baik, di tengah sebuah kebun buah-buahan yang lebat dan tengah berbunga. Sebuah jalan kecil milik pribadi yang bersih terbentang dari jalan besar ke rumah.
"Bolehkah aku pergi mendahului-Mu, Guru?"
"Ya, pergilah."
Yudas pergi.
"Guru, Yudas melakukan hal-hal dengan selera tinggi," kata Simon, "Aku agak curiga. Tapi sekarang aku yakin. Guru, Engkau sering mengatakan, dan sungguh tepat, roh… Tapi dia... dia tidak melihat hal-hal dengan cara itu. Dia tidak akan pernah memahami-Mu… atau mungkin hanya dengan sangat lambat," dia menambahkan untuk tidak menyedihkan Yesus. Yesus menghela napas panjang dan diam.
Yudas keluar dengan seorang perempuan berusia sekitar limapuluh tahun. Dia agak tinggi, namun tidak setinggi putranya, yang memiliki mata berwarna gelap dan rambut keriting yang sama. Tapi matanya baik dan agak sedih, sedangkan mata Yudas sok kuasa dan cerdas.
"Aku menyambut Engkau, Raja Israel," perempuan itu berkata sembari prostratio dalam suatu penyambutan nyata seorang rakyat. "Ijinkan hamba-Mu memberi-Mu keramah-tamahan."
"Damai bagimu, perempuan. Dan kiranya Allah besertamu dan putramu."
"Oh! ya! Bersama putraku." Kedengarannya lebih seperti sebuah helaan napas daripada sebuah jawaban.
"Berdirilah, ibu. Aku punya seorang Bunda juga, dan Aku tak dapat membiarkanmu mencium kaki-Ku. Aku menciummu, perempuan, dalam nama BundaKu. Dia adalah saudarimu… dalam kasih dan dalam takdir nestapa seorang ibu dari mereka yang ditandai."
"Apa maksud-Mu, Mesias?" tanya Yudas agak khawatir.
Tetapi Yesus tidak menjawab. Ia merangkul perempuan itu, yang dengan lemah lembut dibangkitkannya dari tanah dan sekarang Ia cium kedua pipinya. Dan, dengan menggandeng tangannya, Ia berjalan menuju rumah.
Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan yang sejuk, yang dilindungi dengan tirai-tirai bergaris pelindung cahaya. Minuman dingin dan buah-buahan segar sudah dihidangkan. Tapi pertama-tama ibu Yudas memanggil seorang pelayan perempuan yang membawa masuk air dan nyonya rumah hendak melepaskan sandal Yesus dan membasuh kaki-Nya yang berdebu. Tetapi Yesus menolak. "Tidak, ibu. Seorang ibu adalah seorang yang terlalu suci, teristimewa jika dia seorang yang jujur dan baik, seperti engkau, untuk dibiarkan mengambil sikap seorang hamba…"
Sang ibu menatap Yudas... suatu tatapan yang aneh. Dia lalu pergi. Yesus telah menyegarkan diri. Ketika Ia hendak mengenakan sandal-Nya, perempuan itu kembali dengan sepasang sandal baru. "Ini, Mesias. Aku pikir aku telah melakukan yang benar… seperti yang diinginkan Yudas… Dia mengatakan kepadaku: 'Sedikit lebih panjang dari punyaku, tapi lebarnya sama."
"Tapi kenapa, Yudas?"
"Tidakkah Engkau membiarkanku memberi-Mu suatu hadiah? Bukankah Engkau Raja-ku dan Allah-ku?"
"Ya, Yudas. Tapi kau tidak harus membebankan begitu banyak kerepotan pada ibumu. Kau tahu seperti apa Aku…"
"Aku tahu. Engkau kudus. Tapi Engkau harus tampil sebagai seorang Raja yang kudus. Begitulah caranya bagaimana orang membuat dirinya mengesankan. Di dunia, di mana sembilan per sepuluh dari orang-orang desa adalah orang-orang bodoh, kita harus membuat diri kita mengesankan dengan penampilan kita. Percayalah padaku."
Yesus telah mengencangkan tali-temali kulit berwarna merah dari sandal baru-Nya, yang sampai ke mata kaki-Nya. Sandal itu jauh lebih bagus dari sandal pekerja-Nya yang sederhana, dan serupa dengan sandal Yudas, yang seperti sepatu dengan bagian terbuka yang memperlihatkan bagian-bagian kaki-Nya.
"Juga jubahnya, Raja-ku. Aku menyiapkannya untuk Yudas... Tapi dia menghadiahkannya kepada-Mu. Sehelai jubah linen: sejuk dan baru. Ijinkan seorang ibu mengenakannya pada-Mu… seolah Engkau adalah putranya sendiri."
Yesus sekali lagi menatap Yudas... tetapi tidak berbicara. Dia melepaskan tali dari jubah-Nya, sekeliling leher-Nya, dan membiarkan jubah lebar-Nya jatuh ke lantai dan dengan demikian mengenakan hanya jubah dalam-Nya yang pendek. Perempuan itu mengenakan pada-Nya pakaian baru yang indah. Dia menawari-Nya ikat pinggang, yang berupa jalinan penuh sulaman, darimana sebuah tali terjuntai, dihiasi dengan jumbai-jumbai yang sangat tebal. Yesus tentunya merasa nyaman dalam balutan pakaian yang bersih dan sejuk, tapi Ia tidak kelihatan terlalu senang. Sementara itu yang lainnya sudah membasuh diri.
"Ayo, Guru. Buah-buahan ini berasal dari kebunku yang miskin. Dan ini air bercampur madu, yang disiapkan oleh ibuku. Mungkin, Simon, kau lebih suka anggur putih ini. Minumlah. Itu adalah anggur dari kebun anggurku. Dan bagaimana denganmu, Yohanes? Apakah kau mau minuman yang sama seperti Guru?" Yudas meluap gembira saat menuangkan minuman ke cawan-cawan perak yang indah, dan dengan demikian menunjukkan kekayaannya.
Ibunya tidak terlalu banyak bicara. Dia menatap… menatap… pada Yudas, dan terlebih lagi pada Yesus, dan ketika Yesus, sebelum makan, menawarinya buah yang terbaik (mungkin aprikot yang sangat besar, buah-buahan merah kuning, yang pasti bukan apel) dan Ia mengatakan kepadanya: "Pertama-tama untuk ibu, selalu" matanya berlinang airmata.
"Ibu, apakah sisanya siap?" tanya Yudas.
"Ya, nak. Aku pikir aku sudah melakukan semuanya dengan baik. Tapi aku dibesarkan di sini dan aku selalu tinggal di sini dan aku tidak tahu... aku tidak tahu kebiasaan raja-raja."
"Kebiasaan yang mana, perempuan? Raja yang mana? Apa yang telah kau lakukan, Yudas?"
"Bukankah Engkau Raja Israel yang dijanjikan? Sudah saatnya dunia harus menyalami-Mu demikian, dan itu harus terjadi pertama kali di sini, di kotaku, dalam rumahku. Aku menghormati-Mu demikian. Demi kebaikanku, dan demi hormat bagi nama-Mu: Mesias, Kristus, Raja, yang diberikan para Nabi kepada-Mu atas perintah Yahweh, jangan berbohong kepadaku."
"Perempuan, teman-teman, silakan. Aku harus berbicara kepada Yudas. Aku ada pengajaran yang tepat untuknya."
Sang ibu dan para murid undur diri.
"Yudas: apa yang sudah kau lakukan ini? Apakah kau begitu sedikit memahami-Ku sejauh ini? Mengapa merendahkan-Ku ke tingkat menjadikan-Ku hanya seorang yang berkuasa dari dunia, bukan: seorang yang menaruh minat untuk menjadi penguasa? Dan tidak mengertikah kau bahwa itu adalah suatu pelanggaran, bukan, suatu penghalang bagi misi-Ku? Ya. Jangan menyangkal. Ini suatu penghalang. Israel ada di bawah kuasa Roma. Kau tahu apa yang terjadi jika mereka bangkit melawan Roma dengan mengangkat seorang yang seperti seorang pemimpin rakyat dan membangkitkan kecurigaan akan menimbulkan suatu pemberontakan. Baru beberapa hari yang lalu kau mendengar betapa tanpa ampunnya mereka terhadap seorang Kanak-kanak sebab mereka takut Ia akan menjadi seorang raja menurut dunia. Dan meski begitu kau!...
Oh! Yudas! Apakah yang kau harapkan dari kekuasaan daging? Apakah yang kau harapkan? Aku memberimu waktu untuk berpikir dan memutuskan. Aku berbicara kepadamu dengan sangat jelas dari saat pertama. Aku juga menyuruhmu pergi sebab Aku tahu… sebab Aku tahu, Aku membaca dan melihat apa yang ada dalam dirimu. Mengapakah kau ingin mengikuti Aku, jika kau tidak ingin menjadi seperti yang Aku inginkan? Pergilah, Yudas. Janganlah mencelaikai dirimu sendiri dan janganlah mencelakai Aku… Pergilah. Itu lebih baik bagimu. Kau bukan seorang pekerja yang layak untuk tugas ini. Ini jauh lebih tinggi di atasmu. Dalam dirimu ada kesombongan, ada ketamakan dan semua ketiga cabang-cabangnya, ada keangkuhan… bahkan ibumu harus takut kepadamu… kau condong pada kepalsuan… Tidak, pengikut-Ku tidak boleh seperti itu. Yudas, aku tidak membencimu, Aku tidak mengutukmu. Aku hanya mengatakan kepadamu, dan Aku mengatakannya dengan duka seorang yang tahu bahwa dia tak dapat mengubah orang yang dia kasihi, Aku hanya mengatakan kepadamu: pergiah di jalanmu, tentukan jalanmu di dunia, sebab itulah apa yang kau inginkan, tapi jangan tinggal bersamaku.
Hidup-Ku!... Istana kerajaan-Ku! Betapa kecil dan tak berartinya! Tahukah kau di mana Aku akan menjadi seorang Raja? Bilakah Aku akan dimaklumkan sebagai Raja? Ketika Aku ditinggikan, di atas sebuah kayu aib dan darah-Ku sendiri akan menjadi jubah ungu-Ku, dan mahkota-Ku adalah karangan onak duri dan dan lencana-Ku adalah sehelai poster cemoohan dan kutukan dari semua orang, orang-orang-Ku, akan menjadi terompet, rebana, organ, sitar yang menyalami pemakluman sang Raja. Dan tahukah kau atas perbuatan siapa semua ini akan terjadi? Atas perbuatan dia yang tidak mengerti Aku. Dia yang tidak akan mengerti sama sekali. Dia, yang hatinya adalah sebuah perunggu kosong, yang dipenuhi kesombongan, sensualitas dan ketamakan dengan humor mereka, yang akan membuahkan lilitan-lilitan ular yang akan digunakan untuk membelenggu-Ku dan… untuk mengutuki dia. Yang lain tidak begitu sadar akan takdir-Ku. Tolong jangan katakan kepada mereka. Marilah kita simpan ini untuk kita sendiri. Bagaimanapun, ini sebuah teguran… dan kau akan diam untuk menghindari perkataan: 'Aku ditegur'… Apakah itu jelas, Yudas?"
Yudas wajahnya begitu merah padam, hingga dia tampak ungu. Dia berdiri di hadapan Yesus, malu, kepalanya tertunduk… Dia jatuh berlutut dan dia menangis dengan kepalanya pada pangkuan Yesus: "Aku mengasihi Engkau, Guru. Jangan tolak aku. Ya, aku sombong dan bodoh, tapi jangan usir aku. Tidak. Guru. Aku tidak akan pernah melakukannya lagi. Engkau benar. Aku tanpa pikir. Tapi ada kasih dalam kesalahanku. Aku ingin menghormati Engkau… dan aku ingin yang lain menghormati Engkau juga… sebab aku mengasihi Engkau. Engkau berkata begitu tiga hari yang lalu: 'Apabila kau melakukan suatu kesalahan tanpa niat jahat, melainkan karena ketidaktahuan, maka itu bukan suatu kesalahan, melainkan suatu penilaian yang tidak sempurna: seperti kesalahan anak-anak, dan Aku di sini untuk mendewasakan kalian.' Di sini aku, di sini terpuruk di atas pangkuan-Mu… Kau bilang Kau akan menjadi seorang ayah bagiku… dan aku di sini di atas pangkuan-Mu seolah itu adalah pangkuan ayahku, dan aku mohon Engkau mengampuni aku, dan men-'dewasa'kan aku, seorang dewasa yang kudus… Jangan usir aku, Yesus, Yesus, Yesus… Tidak semuanya jahat dalam diriku. Engkau tahu: aku meninggalkan segala sesuatu demi Engkau dan aku datang kepada-Mu. Engkau jauh lebih dari sekedar kehormatan dan kemenangan yang aku terima dalam melayani orang lain. Engkau sungguh kekasih bagi Yudas yang malang dan tak bahagia yang tak hendak memberikan apapun kepada-Mu selain dari sukacita, dan tapi malahan sebaliknya menjadi penyebab dukacita bagi-Mu…"
"Tak apa, Yudas. Aku memaafkanmu sekali lagi..." Yesus kelihatan letih… "Aku memaafkanmu, berharap… berharap bahwa di masa mendatang kau akan memahami Aku."
"Ya Guru. Tapi, sekarang, jangan berbohong kepadaku, jika tidak aku akan ditertawakan. Semua orang di Keriot tahu bahwa aku datang bersama Keturunan Daud, Raja Israel... dan seluruh kota sudah melakukan persiapan untuk menyambut Engkau… Aku pikir aku melakukan suatu yang baik… menunjukkan kepada-Mu apa yang harus dilakukan orang agar dihormati dan ditaati… dan aku juga ingin menunjukkan kepada Yohanes dan Simon, dan melalui mereka, semua yang lain yang mengasihi Engkau tapi memperlakukan-Mu setara dengan mereka… Juga ibuku akan diejek, sebagai ibu dari seorang pendusta gila. Demi dia, Tuhan-ku… Dan aku bersumpah bahwa aku…"
"Jangan bersumpah kepada-Ku. Bersumpahlah kepada dirimu sendiri, jika kau dapat, bahwa kau tidak akan melakukan dosa yang begitu lagi. Demi ibumu dan orang-orang sekotamu Aku tidak akan mempermalukanmu dengan pergi tanpa mampir di sini. Berdirilah."
"Apakah yang akan Engkau katakan kepada yang lain?"
"Kebenaran…"
"Tidak, jangan."
"Kebenaran: bahwa Aku memberimu pengajaran untuk hari ini. Adalah selalu mungkin untuk mengatakan kebenaran dengan cara yang penuh kasih. Ayo kita pergi. Panggillah ibumu dan yang lain."
Yesus agak keras. Dia tersenyum kembali hanya ketika Yudas datang bersama ibunya dan para murid. Perempuan itu menatap Yesus, dia berbesar hati ketika dia melihat disposisi-Nya yang lemah lembut. Aku mendapat kesan bahwa dia stress berat.
"Kita pergi ke Keriot? Aku sudah beristirahat dan Aku ingin berterima kasih kepadamu, ibu, untuk segala kebaikanmu. Kiranya Surga mengganjarimu dan mengaruniakan istirahat dan damai kepada almarhum suamimu, demi segala kebaikanmu kepada-Ku."
Perempuan itu mencoba mencium tangan-Nya, tetapi Yesus membelai kepalanya dan dengan demikian mencegah dia melakukannya.
"Kereta sudah siap, Guru. Ayo."
Di luar, pada kenyataannya, sebuah kereta lembu baru saja tiba. Sebuah kereta yang nyaman, di mana mereka telah menempatkan bantal-bantal sebagai tempat duduk dan sebuah tenda merah sebagai penutup.
"Naiklah, Guru."
"Ibumu, yang pertama."
Perempuan itu naik dan lalu Yesus dan yang lainnya.
"Duduklah di sini, Guru." (Yudas tidak lagi memanggil-Nya raja).
Yesus duduk di depan, dan Yudas duduk di sebelah-Nya. Perempuan dan para murid di belakang. Kusir menghela lembu yang berjalan di samping mereka.
Suatu perjalanan jarak dekat: sekitar empatratus meter, mungkin lebih sedikit. Rumah-rumah pertama di Keriot sekarang tampak dan kelihatannya seperti sebuah kota kecil yang lumayan baik. Seorang anak laki-laki di jalan yang bermandikan matahari mengamati dan dia segera menghambur pergi. Ketika kereta tiba di rumah-rumah pertama, mereka yang terkemuka bersama orang banyak menyambut-Nya; rumah-rumah dihiasi dengan tirai-tirai dan ranting-ranting. Orang banyak berteriak gembira dan membungkuk dalam. Yesus, dari ketinggian tahta-Nya yang bergoyang-goyang, tak dapat tidak menyalami mereka dan memberkati mereka.
Kereta bergerak maju dan sesudah melintasi sebuah alun-alun berbelok masuk ke sebuah jalan, di mana kereta berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sudah terbuka lebar. Dua atau tiga perempuan berdiri di pintu. Kereta berhenti dan mereka turun dari kereta. "Rumahku adalah rumah-Mu, Guru."
"Damai baginya, Yudas. Damai dan kudus."
Mereka masuk. Setelah aula ada sebuah ruangan besar, dengan dipan-dipan rendah dan perabotan bertatah. Orang-orang terhormat setempat dan orang-orang lain masuk bersama Yesus. Ada banyak orang membungkuk hormat dan penuh rasa ingin tahu: suatu sukacita yang gemerlap. Seorang penatua yang mengesankan menyampaikan pidato: "Suatu kehormatan besar bagi tanah Keriot boleh menerima-Mu, Tuan-ku. Suatu keuntungan besar! Suatu hari yang membahagiakan! Suatu keuntungan besar menerima-Mu dan melihat bahwa seorang putra Keriot adalah sabahat-Mu dan asisten-Mu. Kiranya dia diberkati sebab dia bertemu Engkau sebelum yang lainnya! Dan semoga Engkau diberkati sepuluh kali sepuluh kali lipat sebab Engkau telah menyingkapkan Diri-Mu: Engkau adalah dia Yang dinanti-nantikan dari generasi ke generasi. Berbicaralah, Tuhan-ku dan Raja-ku. Hati kami antusias untuk mendengarkan perkataan-Mu, bagai tanah yang kering kerontang oleh musim panas yang terik menantikan hujan lembut pertama di bulan September."
"Terima kasih kepada siapapun engkau. Terima kasih. Dan terima kasih kepada warga di sini yang hatinya telah menghormati Sabda Bapa, dan Bapa Yang Sabdanya adalah Aku. Sebab kalian harus mengerti bahwa puji syukur dan hormat ditujukan bukan bagi Putra Manusia, Yang berbicara kepada kalian, melainkan bagi Allah Yang Mahatinggi, atas masa damai ini masa di mana Ia membangun kembali hubungan kebapakan yang putus dengan anak-anak manusia. Marilah kita memuliakan Allah yang benar, Allah Abraham Yang berbelas-kasihan dan mengasihi umat-Nya dan menganugerahkan kepada mereka Penebus yang dijanjikan. Kemuliaan dan pujian bukan bagi Yesus, hamba Kehendak Abadi, melainkan bagi Kehendak yang mengasihi."
"Perkataan-Mu adalah perkataan seorang kudus: aku adalah kepala sinagoga. Hari ini bukan hari Sabat. Tapi, datanglah ke rumahku, untuk menjelaskan Hukum, sebab Engkau diurapi lebih dengan Kebijaksanaan, daripada minyak kerajaan."
"Aku akan datang."
"Mungkin Tuhan-ku lelah..."
"Tidak, Yudas, Aku tidak pernah lelah berbicara tentang Allah dan Aku tidak pernah ingin mengecewakan hati manusia."
"Marilah, jika demikian," desak kepala sinagoga. "Seluruh Keriot ada di luar sana menantikan Engkau."
"Mari kita pergi."
Mereka pergi keluar. Yesus di antara Yudas dan kepala sinagoga, sekeliling mereka adalah orang-orang terpandang dan khalayak ramai. Yesus berjalan melewati mereka seraya memberkati.
Sinagoga berada di alun-alun. Mereka masuk. Yesus pergi ke mimbar. Ia mulai berbicara, kemilau dalam jubah indah-Nya, Wajah-Nya menginspirasi, lengan-lengan-Nya terentang dalam sikap biasanya.
"Orang-orang Keriot, Sabda Allah sedang berbicara kepada kalian. Dengarkanlah. Ia Yang sedang berbicara kepada kalian tiada lain adalah Sabda Allah. Kuasa-Nya berasal dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa sesudah Israel diinjili. Kiranya hati dan pikiran kalian terbuka pada kebenaran, agar kalian dapat dibebaskan dari kesalahan dan kebingungan.
Yesaya mengatakan: 'Sebab setiap sepatu tentara yang berderap-derap dan setiap jubah yang berlumuran darah akan menjadi umpan api. Sebab seorang Anak telah lahir untuk kita, seorang Putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahu-Nya, dan nama-Nya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.' Itulah Nama-Ku. Kita serahkan kepada Kaisar dan Raja Wilayah kurban-kurban mereka. Aku akan melakukan perampasan. Tapi bukan perampasan yang pantas untuk dihukum oleh api. Sebaliknya Aku akan merenggut dari api Setan banyak dari para kurbannya dan Aku akan membawa mereka ke Kerajaan Damai, di mana Aku adalah Raja, dan ke abad mendatang: masa abadi di mana Aku adalah Bapa.
'Allah,' kata Daud, dari keturunan siapa Aku berasal, seperti dinubuatkan oleh mereka yang melihat masa mendatang karena kekudusan mereka yang begitu berkenan bagi Allah, hingga Ia memilih mereka sebagai para utusan-Nya, 'Allah memilih satu saja... putraku… tetapi karyanya agung: istana ini bukan untuk manusia melainkan untuk Allah.' Demikianlah. Allah, Raja segala raja, memilih satu orang saja: PutraNya, untuk membangun rumah-Nya dalam hati manusia. Dan Ia telah menyediakan materialnya. Oh! Betapa banyak emas cinta kasih! dan tembaga, perak, besi, kayu-kayu langka dan batu-batu mulia! Semuanya itu disatukan dalam Sabda-Nya Yang mempergunakannya untuk membangun kediaman Allah dalam diri kalian. Tapi jika manusia tidak membantu Tuhan, maka Tuhan akan membangun tempat kediaman-Nya dengan sia-sia. Orang harus menanggapi emas dengan emas, perak dengan perak, tembaga dengan tembaga, besi dengan besi. Yakni, kasih harus diberikan untuk kasih, pengendalian diri demi melayani Kemurnian, ketekunan untuk setia, kekuatan untuk berkanjang. Dan orang haruslah membawa batu-batu hari ini, kayu esok hari: kurban hari ini, perbuatan esok hari dan demikianlah membangun. Kalian harus senantiaa membangun Bait Allah dalam hati kalian.
Sang Guru, Mesias, Raja dari Israel yang abadi dan dari umat Allah yang abadi, memanggil kalian. Tapi Ia ingin kalian murni untuk karya itu. Buang kesombongan: pujian hanya bagi Allah. Buang pikiran-pikiran manusia: Kerajaan adalah milik Allah. Jadilah rendah hati dan katakan bersama-Ku: 'Semua adalah milik-Mu, Bapa. Semua yang baik adalah milik-Mu. Ajarilah kami bagaimana mengenal-Mu dan melayani-Mu dalam kebenaran.' Katakan: 'Siapa aku ini?' Dan akui bahwa kalian hanya akan menjadi sesuatu hanya jika kalian menjadi tempat kediaman yang murni ke dalam mana Allah dapat turun dan beristirahat.
Kalian semua adalah peziarah dan orang-orang asing di dunia ini, belajarlah bagaimana berkumpul bersama dan maju menuju Kerajaan terjanji. Jalannya: perintah-perintah yang ditaati bukan karena takut akan hukuman, melainkan demi cinta kepada-Mu, Bapa yang kudus. Tabutnya: suatu hati yang sempurna di mana manna kebijaksanaan yang memberi hidup disimpan sebagai pusaka dan cabang dari kehendak yang murni pasti berbunga. Dan datanglah kepada Terang dunia, agar rumah-rumah kalian dapat menjadi cemerlang oleh terang. Aku membawakan Terang bagi kalian. Tak ada yang lain. Aku tak punya kekayaan dan Aku tidak menjanjikan kemuliaan duniawi. Tapi Aku punya segala kekayaan adikodrati BapaKu dan Aku menjanjikan kemuliaan abadi Surgawi kepada mereka yang mau mengikuti Allah dengan kasih dan kemurahan hati. Damai beserta kalian."
Orang-orang yang telah mendengarkan dengan seksama, mulai berbisik-bisik gelisah agaknya. Yesus berbicara kepada kepala sinagoga. Orang-orang lain, mungkin kaum terkemuka, menggabungkan diri dalam kelompok.
"Guru, tapi bukankah Engkau Raja Israel? Kami diberitahu…"
"Ya."
"Tapi Engkau mengatakan..."
"Bahwa Aku tak punya pun tak menjanjikan kekayaan duniawi. Aku tak dapat berbicara selain dari kebenaran. Ya, memang demikian. Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Tapi kesalahannya ada pada salah tafsir dan hormat kalian yang besar kepada Yang Mahatinggi. Kalian diberitahu: 'Mesias akan datang' dan kalian pikir, seperti banyak orang di Israel, bahwa Mesias dan Raja adalah hal yang sama. Naikkan pikiran kalian lebih tinggi. Lihatlah langit musim panas yang indah ini. Apakah kalian pikir itu berakhir di sana, di mana udara kelihatan seperti sebuah kubah safir? Tidak, lapisan-lapisan yang paling murni, yang paling biru ada di atasnya, tinggi setinggi Firdaus, yang tak dapat dibanyangkan seorang pun, di mana Mesias akan memimpin semua mereka yang benar yang mati dalam Tuhan. Perbedaan yang sama ada antara Kerajaan Mesias, sebagaimana dimengerti oleh manusia, dan Kerajaan-Nya yang sebenarnya: yang sepenuhnya ilahi."
"Tetapi akankah kami, orang-orang malang, dapat menaikkan pikiran kami begitu tinggi?"
"Ya, hanya jika kalian menginginkannya. Dan jika kalian menginginkannya, Aku akan menolong kalian."
"Bagaimana kami seharusnya menyebut-Mu, jika Engkau bukan seorang raja?"
"Sebut Aku Guru, atau Yesus, sesuka kalian. Aku Guru dan Aku Yesus, Juruselamat."
Seorang laki-laki tua mengatakan: "Dengarkanlah, Tuhan-ku. Beberapa waktu yang lalu, lama berselang, pada saat dekrit, kami mendengar di sini bahwa Juruselamat dilahirkan di Betlehem... dan aku pergi ke sana bersama orang-orang lain... aku melihat seorang Bayi mungil, persis sama seperti semua bayi yang baru dilahirkan lainnya. Tapi aku menyembah-Nya dengan iman. Kemudian aku dengar bahwa ada seorang kudus, yang namanya adalah Yohanes. Yang manakah Mesias yang sebenarnya?"
"Ia Yang engkau sembah. Yang lainnya adalah Perintis Jalan-Nya: seorang kudus besar di mata Yang Mahatinggi. Tapi dia bukan Mesias."
"Apakah itu Engkau?"
"Itu Aku. Dan apakah yang engkau lihat di sekeliling Kanak-kanak yang baru dilahirkan?"
"Kemiskinan dan kebersihan, kejujuran dan kemurnian... Seorang tukang kayu yang berwibawa dan baik hati, yang namanya adalah Yosef, seorang tukang kayu tapi dari Keturunan Daud, seorang ibu muda, cantik dan baik hati, yang namanya adalah Maria, yang di hadapan keanggunan-Nya bunga-bunga mawar Engedi yang paling elok tampak pucat dan bunga-bunga lili dari petak-petak bunga kerajaan tampak buruk bentuknya, dan seorang Kanak-kanak dengan mata biru yang besar dan rambut emas pucat… Aku tidak melihat yang lainnya… Dan aku masih dapat mendengar suara sang Bunda yang berkata kepadaku: 'Atas nama AnakKu Aku katakan kepadamu: semoga Allah bersamamu hingga perjumpaan abadi dan semoga Rahmat-Nya turun atasmu dalam perjalananmu.' Aku delapanpuluh empat tahun… perjalananku sudah menjelang akhir. Aku tak lagi berharap bertemu dengan Rahmat Allah. Sebaliknya aku menemukan Engkau… dan sekarang aku tak berharap melihat terang lain selain dari terang-Mu… Ya. Aku melihat Engkau sebagaimana Engkau adanya dalam pakaian kerahiman ini, yang adalah daging yang Engkau kenakan. Aku melihat Engkau! Dengarkanlah suara seorang yang melihat Terang Allah sementara dia di ambang ajal!"
Orang-orang berdesakan sekeliling laki-laki tua yang terinpirasi itu, yang ada dalam kelompok Yesus. Tak lagi bertumpu pada tongkat bantu jalannya, dia mengedangkan lengan-lengannya yang gemetar dan mengangkat kepalanya yang putih, yang, dengan jenggotnya yang terbelah dua, kelihatan seperti kepala seorang patriark atau seorang nabi.
"Aku melihat-Nya: Yang Terpilih, Yang Mahamulia, Yang Sempurna, Yang turun ke sini karena kasih, aku melihat-Nya naik kembali ke sisi kanan Bapa dan menjadi Satu dengan-Nya. Tapi… Oh! Ia bukan sekedar Suara atau Esensi tanpa tubuh, seperti Musa melihat Yang Mahatinggi, atau seperti dalam Kejadian dikatakan bagaimana Orangtua Pertama kita mendengar-Nya dan berbicara kepada-Nya dalam hembusan angin sore. Aku melihat-Nya sebagai Daging yang nyata naik kepada Bapa yang Kekal. Daging yang Menyala! Daging yang Mulia! Oh! Keagungan Daging Ilahi! Oh! Betapa elok Manusia-Allah! Ia adalah Raja! Ya. Raja. Bukan raja Israel: tapi raja dunia. Semua kerajaan dunia tunduk pada-Nya dan segala tongkat kuasa dan mahkota pudar dalam semarak tongkat kuasa dan permata-Nya. Pada kepala-Nya ada mahkota dan pada tangan-Nya ada tongkat kuasa. Ia mengenakan rasio pada dada-Nya: yang bertahtakan butir-butir mutiara dan batu-batu delima, yang kemilaunya tiada pernah terlihat sebelumnya. Api memancar darinya seolah itu adalah suatu tungku perapian yang bernyala-nyala. Ada dua batu delima pada kedua pergelangan tangan-Nya dan gesper-gesper bertahtakan batu-batu delima pada kaki-Nya yang kudus. Ada begitu banyak cahaya dari batu-batu delima! Kekaguman, orang-orang, Raja Abadi! Aku melihat Engkau! Aku melihat Engkau! Aku naik bersama Engkau… Ah! Tuhan! Penebus kami!... Terang semakin bertambah dalam jiwaku… Raja berhiaskan Darah-Nya Sendiri! Mahkota-Nya adalah karangan onak duri yang berdarah. Tongkat kuasanya adalah sebuah salib… Inilah Manusia itu! Ia di sini! Itu Engkau!... Tuhan, demi kurban-Mu kasihanilah hamba-Mu, Yesus, aku serahkan jiwaku ke dalam kerahiman-Mu." Laki-laki tua, yang selama itu berdiri, diremajakan kembali oleh api nubuat, sekonyong-konyong roboh dan pastilah terjatuh andai Yesus tidak cepat mendekapkannya pada dada-Nya.
"Saul."
"Saul sekarat!"
"Tolong!"
"Cepat."
"Damai bagi orang benar yang sedang di ambang ajal," kata Yesus, Yang dengan perlahan-lahan berlutut untuk menopang si orang tua, yang telah menjadi semakin berat.
Ada keheningan.
Kemudian Yesus membaringkannya di atas tanah. Dan Ia berdiri. "Damai bagi jiwanya. Ia wafat dengan melihat Terang. Dalam penantiannya yang akan menjadi masa yang singkat, dia akan sudah melihat wajah Allah dan akan berbahagia. Tak ada kematian, itu adalah perpisahan dari hidup, bagi mereka yang meninggal dalam Tuhan."
Orang-orang, setelah beberapa saat, pergi dengan berkomentar. Para tua-tua, Yesus, para murid-Nya dan kepala sinagoga tetap tinggal.
"Apakah dia bernubuat, Tuhan?"
"Matanya melihat Kebenaran. Mari kita pergi."
Mereka pun keluar.
"Guru, Saul meninggal terpesona oleh Roh Allah. Kami menyentuhnya, apakah kami tahir atau najis?"
"Najis."
"Dan bagaimana dengan Engkau?"
"Aku sama seperti yang lainnya. Aku tidak mengubah Hukum. Hukum adalah hukum dan bangsa Israel mentaatinya. Kita najis. Dalam hari ketiga atau hari ketujuh kita harus menerima pentahiran. Sampai saat itu, kita najis. Yudas, Aku tidak akan kembali ke rumah ibumu. Aku tak ingin membawa kenajisan ke rumahnya. Kirimkan pesan kepadanya lewat seseorang yang dapat pergi ke sana. Damai bagi kota ini. Mari kita pergi."
Aku tidak melihat apa-apa lagi.
|
|