76. YESUS DI YUTA BERSAMA GEMBALA ISHAK
![]() 12 Januari 1945
Sebuah lembah yang segar bergema dengan gemericik air dari sebuah sungai kecil keperakan yang mengalir berbuih-buih ke selatan di antara bebatuan. Kesegaran ceria air menyebar di padang rumput kecil pada tepian-tepian sungai, tapi kelembaban tampaknya merangkak naik hingga ke lereng-lereng bukit yang sangat hijau. Hijau zamrud yang indah dan beragam, yang dari tanah melewati semak dan belukar mencapai puncak pepohonan kayu yang tinggi. Kebanyakan adalah pohon kenari. Kayunya bertutul-tutul dengan banyak rongga terbuka berwarna hijau, diselimuti rumput tebal, yang adalah rumput yang baik dan sehat untuk ternak.
Yesus turun menuju sungai bersama para murid-Nya dan ketiga gembala. Ia berhenti dengan sabar untuk menunggu seekor domba yang tertinggal atau apabila seorang dari gembala harus lari untuk mengejar anak domba yang tersesat. Ia adalah Gembala Yang Baik sekarang. Ia telah melengkapi Diri dengan sebuah dahan panjang untuk menyibakkan ranting-ranting blackberry, hawthorn dan clematis, yang mencuat ke segala arah, dan menggaet pakaian. Dan tongkat itu melengkapi figur pastoral-Nya.
"Lihat? Yuta di atas sana. Kita akan menyeberangi sungai, ada arung-arungan [= bagian sungai yg dangkal tempat orang menyeberang], yang sangat berguna pada waktu musim panas, tanpa harus menggunakan jembatan. Akan lebih cepat melalui Hebron. Tapi Engkau tidak menghendakinya."
"Tidak. Kita akan pergi ke Hebron nanti. Kita harus selalu pertama-tama pergi kepada mereka yang menderita. Mereka yang meninggal tidak lagi menderita apabila mereka adalah orang-orang benar. Dan Samuel adalah seorang benar. Dan apabila orang mati membutuhkan doa-doa kita, tidak harus berada dekat tulang-belulang mereka untuk berdoa bagi mereka.
Tulang-belulang? Apakah itu? Suatu bukti akan kuasa Allah Yang menjadikan manusia dari debu. Tidak lain. Juga binatang punya tulang-belulang. Tetapi kerangka segala binatang tidak sesempurna kerangka manusia. Hanya manusia, raja ciptaan, yang punya posisi tegak lurus, sebagai seorang raja atas rakyatnya, dan wajahnya menatap ke depan dan ke atas tanpa harus memutar lehernya; manusia menatap ke atas, ke Tempat Tinggal Bapa. Tapi mereka masih tulang-belulang. Debu yang akan kembali menjadi debu. Kasih karunia yang kekal telah memutuskan untuk menyatukannya kembali pada Hari abadi untuk memberikan bahkan sukacita yang terlebih besar kepada jiwa-jiwa terberkati. Bayangkan: bukan saja jiwa-jiwa hanya akan dipersatukan kembali dan akan saling mengasihi satu sama lain seperti dan bahkan lebih dari yang mereka lakukan di bumi, tapi mereka juga akan bersukacita melihat satu sama lain dengan ciri-ciri yang sama seperti yang mereka miliki di dunia: anak-anak terkasih yang berambur keriting, seperti anak-anakmu, Elia, para ayah dan ibu dengan hati yang mengasihi dan wajah serupa wajah kalian Lewi dan Yusuf. Tidak, dalam kasusmu Yusuf, itu akan menjadi hari ketika pada akhirnya kau akan melihat wajah-wajah yang kau rasakan sebagai nostalgia. Tak ada lagi anak yatim piatu, tak ada janda di antara orang-orang benar, di sana...
Doa untuk orang-orang yang sudah meninggal dapat dipanjatkan di mana saja. Adalah doa dari suatu jiwa untuk jiwa seorang sanak kepada Roh Yang Sempurna, Yang adalah Allah, Yang ada di mana-mana. Oh! kebebasan suci dari apa yang rohani! Tak ada jarak, tak ada pengasingan, tak ada penjara, tak ada makam… Tak ada suatu pun yang dapat memisahkan atau membatasi dengan ketakberdayaan yang menyakitkan apa yang di luar dan di atas rantai daging. Kalian akan pergi dengan bagian kalian yang lebih baik, kepada orang-orang terkasih kalian. Dan mereka akan datang kepada kalian dengan bagian mereka yang lebih baik. Dan seluruh gejolak jiwa-jiwa yang mengasihi akan berputar sekeliling Titik Tumpu Abadi, sekeliling Allah: Roh Paling Sempurna, Pencipta dari segala yang ada, sekarang dan yang akan datang, Kasih yang mengasihi kalian dan mengajar kalian bagaimana mengasihi… Nah, di sinilah kita, di arung-arungan sungai. Aku bisa melihat sebaris batu-batu muncul dari air yang dangkal."
"Ya, Guru, ini yang di sana itu. Pada waktu banjir ini adalah air terjun yang gemuruh, sekarang ada tujuh sungai kecil yang mengalir tenang di antara enam batu besar di arung-arungan."
Sesungguhnya enam batu besar, terbelah cukup tegak lurus, terbentang ke seberang sungai, sekitar satu kaki jaraknya satu sama lain dan air, yang di depan mereka bagai sehelai pita besar yang kemilau, terbagi menjadi tujuh sungai kecil, yang dengan gembira bergegas untuk bersatu kembali di balik arung-arungan, membentuk satu saja sungai segar yang mengalir, menggelegak di antara bebatuan.
Para gembala mengawasi domba- domba menyeberang, sebagian berjalan di atas batu-batu, sebagian memilih untuk mengarungi sungai, yang hanya satu kaki dalamnya, dan mereka minum air murni yang menggelegak.
Yesus menyeberang di atas batu-batu diikuti para murid-Nya. Mereka kembali berjalan di tepi seberang sungai.
"Engkau katakan bahwa Engkau ingin memberitahu Ishak bahwa Engkau di sini, tapi Engkau tak hendak masuk ke dalam desa?"
"Ya, itu yang Aku inginkan."
"Yah, sebaiknya kita berpisah. Aku pergi kepadanya, Lewi dan Yusuf akan tinggal bersama kawanan ternak dan bersama Engkau. Aku naik di sini. Akan lebih cepat." Dan Elia mulai mendaki sisi gunung, menuju rumah-rumah putih yang begitu kemilau di sana di bawah sinar matahari.
Aku tampaknya mengikutinya. Dia sekarang berada di rumah-rumah pertama. Dia berjalan sepanjang sebuah jalan setapak kecil di antara rumah-rumah dan kebun-kebun sayur-mayur dan buah-buahan. Dia berjalan sekitar sepuluh meter. Lalu dia berbalik ke sebuah jalan yang lebih lebar dan lalu memasuki alun-alun. Aku lupa menyebutkan bahwa ini terjadi pada pagi hari. Aku mengatakannya sebab sekarang pasar masih berlangsung di alun-alun dan para ibu rumah tangga dan para penjaja saling berteriak di bawah pepohonan teduh di alun-alun.
Elia pergi dengan yakin ke ujung di mana alun-alun berakhir dan suatu jalan yang menarik mata dimulai. Mungkin yang paling indah di desa. Di sudut ada sebuah rumah kecil, atau tepatnya, sebuah ruangan dengan pintu terbuka lebar. Nyaris di ambang pintu ada sebuah pembaringan kecil, di atas mana seorang laki-laki kurus kering yang sakit sedang terbaring, dengan suara lirih meminta sedekah dari mereka yang lewat. Elia bergegas masuk. "Ishak... ini aku."
"Kau? Aku tidak menyangka kau datang. Kau ke sini bulan lalu."
"Ishak... Ishak... Tahukah kau kenapa aku datang?"
"Tidak... Kau bersemangat. Apa yang terjadi?"
"Aku telah bertemu Yesus dari Nazaret, Ia seorang dewasa, sekarang, Ia seorang rabbi. Ia datang mencariku... dan Ia ingin bertemu dengan kita. Oh! Ishak! Apakah kau tidak sehat?"
Ishak, sesungguhnya, telah jatuh ke belakang seolah dia sekarat. Tapi dia siuman: "Tidak. Berita itu… Di manakah Dia? Seperti apa Dia? Oh! Andai aku dapat bertemu dengan-Nya!"
"Ia ada di bawah di lembah. Ia mengutusku untuk mengatakan kepadamu tepat seperti ini: 'Mari, Ishak, sebab Aku ingin bertemu denganmu dan memberkatimu.' Aku akan panggil seseorang sekarang untuk membantuku dan aku akan membawamu ke bawah sana."
"Itukah yang Ia katakan?"
"Ya. Tapi apa ini yang kau lakukan?"
"Aku pergi."
Ishak membuang selimut-selimutnya, dia menggerakkan kakinya yang lumpuh, dia melemparkannya dari kasur jerami, dia menempatkan kakinya di atas lantai, dia berdiri, masih agak ragu, dan gemetar. Semuanya terjadi dalam sekejap, di depan mata Elia yang terbuka lebar… yang akhirnya mengerti dan mulai berteriak-teriak… Seorang perempuan kecil menjenguk ke dalam penuh ingin tahu. Dia melihat si sakit berdiri dan membungkus dirinya dengan salah satu selimutnya, sebab dia tidak punya yang lain, dan berlari, berteriak-teriak seperti orang gila.
"Ayo kita pergi... lewat sini, akan lebih cepat dan kita tidak akan bertemu banyak orang... Cepat, Elia." Mereka berlari lewat sebuah pintu kecil kebun sayur-mayur dan buah-buahan di belakang, mereka mendorong pintunya, yang terbuat dari dahan-dahan kering, dan begitu di luar, mereka berlari sepanjang sebuah jalan setapak sempit yang kumuh, lalu menuruni sebuah jalan kecil sepanjang kebun sayur-mayur dan buah-buahan dan akhirnya melintasi padang rumput dan semak belukar, turun ke sungai.
"Itu Yesus, di sana," kata Elia, menunjuk pada-Nya. "Yang tinggi, tampan, berambut pirang, dengan jubah putih dan mantol merah..."
Ishak berlari, dia memotong area domba-domba yang sedang merumput, dan dengan suatu teriakan kemenangan, sukacita dan adorasi dia prostratio di kaki Yesus.
"Berdirilah, Ishak. Aku sudah datang. Untuk membawa damai dan berkat bagimu. Berdirilah, supaya Aku dapat melihat wajahmu."
Tapi Ishak tak dapat berdiri. Terlalu banyak sukacita pada saat yang bersamaan dan dia tinggal prostratio, dengan wajahnya mencium tanah, menangis bahagia.
"Kau langsung datang. Kau tidak khawatir apakah kau dapat..."
"Engkau menyuruhku datang… dan aku datang."
"Dia bahkan tidak menutup pintu ataupun mengambil sedekah, Guru."
"Tak apa. Para malaikat akan mengawasi rumahnya. Apakah kau bahagia, Ishak?"
"Oh! Tuhan-ku!"
"Panggil Aku Guru."
"Ya, Tuhan-ku, Guru-ku. Bahkan andai Engkau tidak menyembuhkanku pun, aku akan bahagia bertemu dengan-Mu. Bagaimana aku bisa mendapatkan begitu banyak kemurahan dari-Mu?"
"Sebab iman dan kesabaranmu, Ishak. Aku tahu betapa banyak kau menderita..."
"Itu bukan apa-apa! Bukan apa-apa! Tak mengapa! Aku telah menemukan Engkau. Engkau hidup. Engkau di sini. Itu yang penting. Lainnya, semua lainnya sudah berakhir. Tapi, Tuhan-ku dan Guru-Ku, Engkau tidak akan pergi lagi, ya kan?"
"Ishak, ada padaku seluruh Israel untuk diinjili. Aku akan pergi… Tapi meski Aku tak dapat tinggal, kau dapat selalu melayani dan mengikuti Aku. Apakah kau mau menjadi murid-Ku, Ishak?"
"Oh! Tapi aku tak mampu!"
"Dapatkah kau mengakui siapa Aku? Mengakuinya kendati cemooh dan ancaman? Dan mengatakan kepada orang banyak bahwa Aku memanggilmu dan kau datang?"
"Bahkan andai Engkau tak menginginkannya, aku akan mengakui semua itu. Aku akan tidak mentaati-Mu dalam hal itu, Guru. Maafkan aku sebab mengatakannya."
Yesus tersenyum. "Jadi kau dapat lihat bahwa kau mampu menjadi seorang murid!"
"Oh! Jika cuma itu yang harus dilakukan! Aku pikir itu sesuatu yang lebih sulit, yakni kita harus pergi ke sekolah bersama para rabbi untuk belajar bagaimana melayani-Mu, Rabbi dari segala rabbi… dan bersekolah di usiaku…" Orang itu mestinya berusia tak kurang dari imapuluh tahun.
"Kau sudah menamatkan sekolahmu, Ishak."
"Aku? Tidak."
"Ya, sudah. Bukankah kau terus percaya dan mengasihi, menghormati dan memberkati Allah dan sesamamu, tidak iri hati, tidak mengingini apa yang menjadi milik orang lain, dan bahkan apa yang dulunya adalah milikmu sendiri dan sekarang tak lagi kau miliki, berbicara hanya yang benar, bahkan meski itu membahayakan bagimu, tidak bersekongkol dengan Setan untuk berbuat dosa? Tidakkah kau melakukan semua ini, dalam tigapuluh tahun terakhir kemalanganmu?
"Ya, Guru."
"Jadi kau lihat, kau sudah menamatkan sekolahmu. Teruslah melakukannya dan singkapkan, sebagai tambahan, kepada dunia, bahwa Aku di dunia. Tak ada lain lagi yang harus dilakukan."
"Aku sudah mewartakan Engkau, Tuhan Yesus. Aku mewartakan Engkau kepada anak-anak, yang biasa datang, ketika aku datang lumpuh di desa ini, meminta-minta untuk mendapatkan roti dan melakukan beberapa pekerjaan, seperti mencukur domba dan pekerjaan peternakan, dan anak-anak biasa datang sekeliling tempat tidurku, ketika kondisiku semakin parah dan aku lumpuh mulai dari pinggang ke bawah. Aku mewartakan Engkau kepada anak-anak dari masa yang silam, dan kepada anak-anak dari masa yang sekarang, yang adalah anak-anak dari anak-anak yang sebeumnya… Anak-anak baik dan mereka selalu percaya… Aku menceritakan kepada mereka tentang kelahiran-Mu… para malaikat… Bintang dan Para Bijak… dan tentang BundaMu… Oh! Katakan padaku! Apakah Ia masih hidup?"
"Ia masih hidup dan Ia mengirimkan salam-Nya kepadamu. Ia selalu berbicara tentang kalian semua."
"Oh! Andai aku dapat bertemu dengan-Nya!"
"Kau akan bertemu dengan-Nya. Engkau akan datang ke rumah-Ku suatu hari kelak. Maria akan menyalamimu dengan mengatakan: 'sahabat-Ku'."
"Maria… ya, ketika Engkau mengucapkan nama itu rasanya seperti mengisi mulutmu dengan madu… Ada seorang perempuan di Yuta, sekarang dia seorang wanita dewasa, dia melahirkan anaknya yang keempat belum lama berselang; ketika masih kanak-kanak, dia adalah salah seorang dari teman-teman kecilku… dan dia menamai anak-anaknya: Maria dan Yosef untuk kedua anak pertamanya, dan sebab dia tidak berani menamai anak ketiganya Yesus, dia menamainya Imanuel, sebagai pertanda baik bagi dirinya, rumahnya dan Israel. Dan dia sekarang sedang memikirkan nama yang akan diberikan kepada anak keempatnya, yang dilahirkan enam hari lalu. Oh! Jika dia mendengar bahwa aku sembuh! Dan bahwa Engkau di sini! Sara itu sebaik roti buatan rumah, dan suaminya Yoakim juga sangat baik. Dan sanak keluarga mereka? Aku berhutang hidup pada mereka. Mereka selalu menolong dan memberiku naungan."
"Ayo kita pergi dan meminta tumpangan kepada mereka sepanjang jam-jam terpanas hari ini dan memberkati mereka atas kebaikan hati mereka."
"Lewat sini, Guru. Lebih mudah untuk domba-domba dan kita akan menghindari banyak orang, yang sudah pasti antusias. Perempuan tua itu, yang melihatku bangun, pasti sudah memberitahu mereka."
Mereka menyusuri sungai, lalu lebih jauh ke selatan, mereka berangkat dari situ, dan mengambil jalan setapak yang curam, mengikuti ketinggian gunung yang berbentuk seperti haluan kapal. Sekarang sungai mengalir ke arah yang berlawanan dengan mereka yang mendaki. Air mengalir sepanjang sebuah lembah tak rata yang indah, yang dibentuk oleh persimpangan dua jajaran gunung. Aku mengenali tempat itu. Tak mungkin salah. Ini adalah pemandangan dari penglihatan akan Yesus bersama anak-anak, yang aku lihat musim semi yang lalu. Tembok kecil biasanya yang dari batu kering menandai batas-batas wilayah, yang menurun ke arah lembah. Aku melihat padang rumput dengan pohon-pohon apel, pohon-pohon ara, pohon-pohon kenari, lalu rumah putih itu yang dikelilingi oleh halaman berumput hijau, dengan sayap menjorok yang melindungi tangga dan membentuk sebuah serambi dan loggia. Dan ada kubah kecil di puncaknya, kebun sayur-mayur dan buah-buahan dengan sumur, pergola dan petak-petak bunga...
Orang dapat mendengar banyak teriakan dari rumah. Ishak berjalan di depan mereka semua. Dia masuk. Dia memanggil dengan sekuat tenaga: "Maria, Yusuf, Imanuel! Di mana kalian? Datanglah kepada Yesus."
Tiga anak kecil berlarian datang: seorang gadis kecil berumur sekitar lima tahun, dan dua anak laki-laki, sekitar empat dan dua tahun, yang bungsu itu masih agak tertatih-tatih jalannya. Mereka terpana ketika mereka melihat… orang yang hidup kembali. Lalu si gadis kecil berteriak: "Ishak! Mama! Ishak di sini! Yudit benar."
Seorang perempuan keluar dari sebuah ruangan, di mana ada banyak ribut-ribut dan teriakan: seorang ibu yang montok sehat, tinggi, berkulit coklat dari penglihatan yang lalu, sangat cantik dalam gaun terbaiknya: gaun linen putih salju, seperti gaun panjang longgar yang mewah terjuntai dalam kerut-kerut hingga ke mata kakinya, diikatkan pada pingangnya yang ramping dengan sebuah selendang bergaris warna-warni, yang membalut pinggulnya yang indah dan terjuntai dalam jumbai-jumbai hingga ke lututnya di belakang, sementar di bagian depan diikatkan di bawah gesper filigree dan ujung-ujungnya tergantung bebas. Sebuah kerudung tipis bermotif ranting-ranting mawar di atas dasar coklat muda dijepitkan pada jalinan rambut hitamnya, seperti sebuah serban kecil, dan jatuh di ke lehernya dalam lipatan-lipatan dan lalu ke bahu dan dada. Kerudung dipasangkan erat pada kepalanya dengan sebuah mahkota kecil dari medali-medali yang diikat bersama dengan sebuah rantai kecil. Anting-anting berat tergantung di telinganya, dan gaunnya dibalutkan erat pada lehernya dengan sebuah kalung perak yang melewati lubang-lubang pada gaunnya. Dia mengenakan gelang-gelang perak yang berat pada tangannya.
"Ishak! Apa ini? Yudit... aku pikir dia sudah gila... Tapi kau berjalan! Apa yang terjadi?"
"Juruselamat! Oh! Sara! Ia di sini! Ia telah datang!"
"Siapa? Yesus dari Nazaret? Di mana Dia?"
"Di sana! Di balik pohon kenari, dan Ia ingin tahu apakah kau mau menerima-Nya!"
"Yoakim! Ibu! Datanglah kemari, kalian semua! Mesias di sini!"
Para perempuan, para lelaki, anak-anak laki-laki, anak-anak kecil berlarian keluar sembari berteriak dan bersorak... tetapi ketika mereka melihat Yesus, tinggi dan berwibawa, mereka berkecil hati dan menjadi patung.
"Damai bagi rumah ini dan bagi kalian semua. Damai dan berkat dari Allah." Yesus berjalan perlahan, tersenyum, kepada kelompok orang banyak. "Sahabat-Ku: maukah kalian memberikan tumpangan kepada sang Musafir?" Dan Ia tersenyum lebih ramah. Senyum-Nya mengatasi segala ketakutan. Sang suami berbesar hati: "Masuklah, Mesias. Kami telah mengasihi Engkau sebelum bertemu dengan Engkau. Kami akan terlebih lagi mengasihi Engkau setelah bertemu dengan Engkau. Pada hari ini seisi rumah sedang berpesta karena tiga alasan: karena Engkau, karena Ishak dan karena sunat putra ketigaku. Berkatilah dia, Guru. Perempuan, bawa ke sini bayinya! Masuklah, Tuhan-ku."
Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan yang dihiasi untuk pesta. Ada meja-meja dengan sajian makanan, karpet dan ranting-ranting di mana-mana.
Sara kembali dengan seorang bayi elok yang baru dilahirkan dalam gendongannya. Dia menyerahkannya kepada Yesus.
"Semoga Allah selalu bersamanya. Siapa namanya?"
"Belum punya nama. Ini Maria, ini Yusuf, ini Imanuel… tapi yang ni belum punya nama…" Yesus menatap pada si kedua orangtua, yang saling dekat satu sama lain, Ia tersenyum: "Carilah sebuah nama, jika dia akan disunat pada hari ini…" Mereka saling berpandangan satu sama lain, mereka menatap pada-Nya, mereka membuka mulut dan membungkamnya kembali tanpa mengatakan apapun. Semua orang memperhatikan.
Yesus mendesak: "Sejarah Israel punya sangat banyak nama besar yang manis dan terberkati. Yang paling manis dan paling terberkati sudah digunakan. Tapi mungkin masih ada yang tersisa."
Kedua orangtua serentak berseru: "Nama-Mu, Tuhan!" dan ibundanya menambahkan: "Tapi itu terlalu suci…"
Yesus tersenyum dan bertanya: "Kapan dia akan disunat?"
"Kami sedang menunggu orang yang akan menyunatnya."
"Aku akan hadir dalam upacara. Sementara itu Aku ingin berterima kasih kepada kalian atas apa yang telah kalian lakukan untuk Ishak-Ku. Dia tidak lagi membutuhkan pertolongan orang-orang baik. Tetapi orang-orang baik masih membutuhkan Allah. Kau beri nama putra ketigamu: Allah beserta kita. Tapi kalian sudah memiliki Allah sejak kalian berbelas kasihan kepada hamba-Ku. Kiranya kalian diberkati. Kebaikan hati kalian akan dikenang di Surga dan di bumi."
"Apakah Ishak akan pergi sekarang? Apakah dia akan meninggalkan kami?"
"Apakah itu menyedihkan kalian? Tapi dia harus melayani Guru-nya. Tapi dia akan datang, begitu pula Aku. Sementara itu, kalian akan berbicara tentang Mesias... Ada begitu banyak yang harus dikatakan demi meyakinkan dunia! Tapi, itu dia orang yang kalian tunggu."
Seorang terkemuka yang merasa dirinya penting datang bersama seorang pelayan. Ada salam dan membungkukkan badan. "Di mana anak itu?" dia bertanya dengan angkuh.
"Dia di sini. Tapi salamilah Mesias. Dia di sini."
"Mesias! Dia yang menyembuhkan Ishak? Aku mendengarnya. Tapi… Kita akan membicarakannya nanti. Aku sangat tergesa-gesa. Anak dan namanya."
Orang-orang yang hadir malu dengan sikap orang itu. Tapi Yesus tersenyum seolah ketidaksopanan itu tidak ditujukan kepada-Nya. Yesus mengambil sang bayi, Ia menyentuh dahi kecilnya dengan jemari-Nya yang indah, seakan Ia hendak mengkonsekrasikannya dan berkata: "Namanya Jesai" dan Ia menyerahkannya kembali kepada ayahnya, yang pergi ke sebuah ruangan lain bersama si orang angkuh dan orang-orang lain. Yesus tetap di tempat di mana Ia berada hingga mereka kembali dengan sang bayi, yang menjerit-jerit sekuat tenaga.
"Perempuan, berikan anak itu kepada-Ku. Dia tidak akan menangis lagi." Ia berkata untuk menghibur sang ibu yang stress. Sesungguhnya, si bayi, begitu dibaringkan di atas lutut Yesus, menjadi diam.
Yesus membentuk suatu kelompok-Nya sendiri, dengan anak-anak kecil sekeliling-Nya, dan juga para gembala dan para murid. Domba yang ditempatkan Elia di halaman tengah mengembik di luar. Ada hiruk-pikuk pesta dalam rumah. Mereka membawakan manisan dan minuman kepada Yesus. Tetapi Yesus memberikannya kepada anak-anak.
"Tidakkah Engkau minum, Guru? Tidakkah Engkau mau sesuatu? Kami menawarkannya dengan senang hati."
"Aku tahu, Yoakim, dan Aku menerimanya dengan sepenuh hati. Tapi biarkan Aku membuat anak-anak kecil ini senang terlebih dulu. Mereka adalah sukacita-Ku..."
"Jangan pedulikan orang itu, Guru."
"Tidak, Ishak. Aku akan berdoa agar dia dapat melihat Terang. Yohanes, bawalah kedua anak laki-laki melihat domba. Dan kau, Maria, mendekatlah kepada-Ku dan katakan: Siapakah Aku?"
"Engkau Yesus, Putra Maria dari Nazaret, dilahirkan di Betlehem. Ishak melihat-Mu dan dia memberiku nama BundaMu, agar aku menjadi baik."
"Untuk meneladani-Nya, kau harus sebaik malaikat Allah, yang lebih murni dari bunga lily yang mekar di puncak bukit, sesaleh kaum Lewi yang paling kudus. Apakah kau mau seperti itu?"
"Ya, Yesus."
"Katakan: Guru atau Tuhan, gadis kecil."
"Biarkan dia memanggil-Ku dengan nama-Ku, Yudas. Hanya ketika diucapkan oleh bibir yang tak berdosa, nama-Ku tak kehilangan suara yang ada pada bibir BundaKu. Semua orang, sepanjang abad-abad mendatang, akan menyebut nama itu, sebagian karena suatu kepentingan atau yang lainnya, sebagian untuk mengutukinya. Hanya orang-orang yang tak berdosa, tanpa kepentingan dan tanpa kebencian, akan mengucapkannya dengan kasih yang sama seperti gadis kecil ini dan BundaKu. Juga orang-orang berdosa akan berseru kepada-Ku sebab mereka membutuhkan belas-kasihan. Tetapi BundaKu dan anak-anak kecil! Mengapa kau memanggil-Ku Yesus?" Ia bertanya, seraya membelai si gadis kecil.
"Sebab aku mengasihi-Mu… seperti aku mengasihi ayah, ibu dan adik-adikku," katanya, sembari memeluk lutut Yesus, dan tersenyum dengan kepalanya mendongak ke atas. Dan Yesus membungkuk dan menciumnya… dan semuanya pun berakhir demikian.
|
||||||
|