Uskup Desmon Tutu:
Hukuman Mati Tidak Akan Menyelesaikan Apapun
Senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya seakan telah menguburkan kepedihannya ketika selama berpuluh-puluh tahun menyaksikan sesama kulit hitam di negaranya menjadi korban ketidakadilan politik apartheid. Kegigihannya memperjuangkan keadilan dan perdamaian di negaranya itulah yang kemudian membawa Uskup kulit hitam pertama dari Afrika Selatan ini meraih hadiah Nobel Perdamaian tahun 1984.
Komitmennya yang kuat pada perdamaian dan keadilan selalu mewarnai ceramah-ceramahnya selama hampir satu pekan di Ubud, Bali dalam sebuah Konferensi Internasional Global Healing awal Mei 2006. Dan karena komitmen itu pula, ia mau membagi waktunya yang sedemikian padat untuk menerima tim PADMA Newsletter di penginapannya di Arma Museum, Ubud, Bali 7 Mei lalu.
Ternyata tidaklah mudah mendapatkan waktu khusus untuk bertemu Tutu. Bertemu Pater Michel, sekretaris pribadi Tutu untuk membuat appointment pun harus menempuh jalan berliku. Setelah menunggu tiga hari, akhirnya disepakati untuk wawancara singkat pada Minggu pagi, 7 Mei 2006 setelah misa. Sekitar 15 orang termasuk tim Padma Newsletter hadir dalam Misa Kudus yang dipimpin Uskup Desmon Tutu, di kamar pribadinya. Usai misa, Tim PADMA Newsletter diterima untuk wawancara. Kesediaan Tutu diwawancarai PADMA Newsletter karena dua alasan. Pertama, karena komitmen Yayasan Padma Indonesia memperjuangkan perdamaian dan keadilan di daerah konflik; dan kedua, karena kesamaan perjuangan menolak hukuman mati.
Kesempatan yang sangat berharga itu dimanfaatkan oleh PADMA Newsletter untuk meminta dukungan pemimpin Gereja dari Afrika Selatan itu terhadap perjuangan PADMA Indonesia membebaskan Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan Dominggus da Silva dari jeratan hukuman mati, serta advisnya dalam rangka rekonsiliasi menyeluruh pasca konflik di Poso, Sulawesi Tengah.
Uskup kelahiran 7 Oktober 1931 itu tampak sangat respek menyimak paparan singkat drama panjang kekerasan Poso yang dibeberkan tim Padma Newsletter. Ssesekali ia menyela singkat, “Oh... no!”
Sambil menghela napas panjang, tokoh perdamaian dunia itu berujar, “… And what can I do for Tibo and the others?” Pertanyaan itu mengingatkan kita pada doa Santo Fransiskus dari Asisi: Lord, what do you want me to do for you!
Singkat kata, pertemuan istimewa itu melahirkan sebuah gagasan mulia. Uskup Desmon Tutu akan menulis surat kepada Presiden SBY tentang komitmen pribadinya menentang hukuman mati, tidak saja untuk Tibo Cs tetapi juga untuk orang-orang lainnya yang secara hukum telah divonis mati.
Karena hukuman mati adalah sesuatu yang tidak dapat diperkenankan, terhadap siapapun, karena alasan apapun, untuk kepentingan apapun dan dengan cara apapun, tegas sahabat Nelson Mandela ini.
Desmon juga akan mengkampanyekan dukungan terhadap upaya perdamaian di Poso melalui The Desmon Tutu Peace Centre, sebuah lembaga yang ia dirikan di Cape Town Afrika Selatan, untuk mengembangkan inspirasi kepada generasi-generasi baru terhadap prinsip- prinsip dan visi perdamaian. Lembaga ini sudah memiliki beberapa afiliasi dan jaring kerja di beberapa kota di di Eropa dan Asia Pasifik.
Ketika beberapa kali tampil sebagai pembicara dalam Konferensi Internasional di Ubud tersebut, Tutu tak henti-hentinya mengkampanyekan perdamaian dan keadilan. Ini adalah bagian dari obsesinya sejak masih muda, yang mengidamkan dunia sebagai sebuah komunitas yang demokratis, adil dan tanpa diskriminasi ras.
“If we want peace, so we have been told, let us work for justice. There is no peace if no justice!” imbau peraih Sidney Peace Prize tahun 1999 ini dengan nada antusias.
Dari mimbar konferensi ini pula, Tutu mengungkapkan penolakannya terhadap hukuman mati. Karena, menurutnya, hukuman mati bukan satu-satunya jalan untuk menenegakkan keadilan, dan bahwa hukuman mati tidak akan pernah menyelesaikan apapun.
Semoga pertemuan singkat dengan tokoh perdamaian dan keadilan itu dan kehadirannya di Indonesia beberapa waktu lalu itu, dapat memberikan sedikit sumbangsih bagi upaya rekonsiliasi di daerah-daerah konflik di tanah air, khususnya di Poso.
Sumber : PADMA Newsletter, Edisi 019 Tahun II, Mei 2006
|