Kasus Poso Tiga:
Adakah Konspirasi Politik Menjatuhkan Orang Katolik?
Menanti Mujizat Tuhan di Balik Keruji Besi
Dalang atau aktor intelektualis Terorisme Poso memang licin bak belut dalam oli. Bersembunyi sambil “merakit bom politik SARA” (suku, agama, ras, dan antargolongan), yang kapan saja meledak dan meminta korban. Inilah yang menimpa Tibo cs, tiga pria Katolik asal Flores, NTT yang merantau dan menetap di Poso. Lima tahun silam mereka divonis mati oleh PN setempat atas tuduhan terlibat dalam kerusuhan Poso. Upaya hukum telah sampai ke tingkat grasi ke Presiden RI, namun ditolak. Mungkinkah Tuhan berkenan melaksanakan mujizat-Nya di balik jeruji besi di Poso dan membebaskan tiga umat-Nya itu?
Sang dalang terorisme Poso rupanya pandai “merakit” bom politik SARA dalam kasus Poso Satu dan Poso Dua, untuk meledakkan kasus Poso Tiga. Kasus Poso Satu terjadi tahun 1998 dan Kasus Poso Dua terjadi bulan Desember 1999 yang dilakukan oleh Pasukan Putih (Muslim) terhadap Pasukan Merah (Kristen). Sedangkan Kasus Poso Tiga, Mei 2000 adalah pembalasan Kristen terhadap Muslim. Dalam tiga kasus Poso ini, ada Fabianus Tibo cs yang menjadi “korban”. Rupanya sang dalang mengetahui latar belakang hidup Tibo yang bisa dijadikan objek empuk untuk rekayasa kegiatan terorisme.
Menurut cerita Robertus Tibo, putra sulung Fabianus Tibo, kepada wartawan Sabda, ayahnya pernah menjadi korban permusuhan antara masyarakat Poso keturunan Bali dan masyarakat Poso keturunan Flores Muslim yang terjadi sekitar tahun 1991 di Kampung Walangke. Ketika itu, ada keributan antara keluarga asal Bali dengan keluarga Muslim asal Flores, NTT yang merantau di sana.
Orang-orang asal Bali ini sering melakukan tindakan kekerasan terhadap keluarga Muslim keturunan Flores. Suatu saat, keluarga Muslim FIores ini sedang sembayang di masjid, tiba-tiba mereka dilempari batu. Tidak hanya melempari batu, tetapi mereka sampai masuk ke masjid dan memukul orang-orang yang sedang sholat. Bahkan sampai ibu-ibu dari keluarga Muslim FIores itu berjalan di jalan pun sering ditabrak dengan sepeda, sampai korbannya jatuh tersungkur. Sudah begitu masih juga diperlakukan secara kasar.
“Karena diperlakukan secara kasar, maka keluarga korban yang dipukul tadi melaporkan ke Papa. Dari situlah timbul perkelahian antara dua suku asal Bali dan Flores Muslim. Perkelahian sempat menelan korban dua orang keluarga dari Ba1i yang meninggal dunia. Kasus itu menyebabkan Papa akhimya dipenjara selama tujuh tahun. Dalam peristiwa Walangke itu masyarakat Flores Muslim ada 12 orang dan keluarga Katolik asal Flores 9 orang. Jadi mereka yang dipenjara sebanyak 21 orang. Ini juga aneh, mereka yang lain hanya menjalani hukuman 2-3 tahun, tetapi Papa saya justru 7 tahun,” papar Robertus.
Dengan latar belakang Fabianus Tibo yang pemah masuk penjara, sang dalang berpikir bahwa tidak ada salahnya kalau Tibo cs bisa dimainkan lagi untuk terorisme Poso Tiga, Mei 2000. Untuk itu, isu SARA harus dimainkan lagi. Maka sang aktor intelektualis yang licin bagai belut dalam oli itu, mulai menghembuskan isu.
Orang Katolik Serang Gereja Sendiri?
Maka, sekitar pertengahan hingga akhir bulan Mei 2000, disebarlah isu bahwa Gereja Katolik Poso (Gereja Induk) akan diserang. Demi mendengar isu itu, maka Fabiasnus Tibo yang sudah menjadi sesepuh masyarakat Flores di Poso dipercayakan untuk membantu menjemput anak-anak dari asrama panti asuhan yang terletak dalam kompleks Gereja Katolik induk di Poso. Anak-anak berasal dari dua kampung, yakni Betelenge dan Kampung Jamur. Dalam kompleks tersebut selain panti asuhan, juga ada sekolahan Santa Maria, susteran, dan pastoran paroki.
Di sana secara kebetulan Tibo bertemu dengan dua orang Flores lainnya, yaitu Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Ketiganya datang ke gereja dengan tujuan untuk menyelamatkan gereja mereka yang akan diserang oleh kelompok militan yang kerjanya hanya mengacaukan stabilitas keamanan dan hukum di negeri ini.
“Pada tangga1 23 Mei 2000, tepatnya pukul 03.30 waktu setempat, terjadi penyerangan terhadap Gereja Katolik oleh Kelompok Merah, yaitu kelompok Kristen di Kelurahan Kayu Manya, dipimpin oleh Ir. Lateka, menuju kompleks Gereja Katolik. Kelompok Putih mengejar mereka. Saat itu Papa bersama beberapa orang umat ada di dalam Kompleks Gereja Katolik itu,” kisah putra sulung Fabianus Tibo.
Pada saat itu Kelompok Merah hanya masuk ke kompleks gereja, lalu mereka lari keluar lewat pintu belakang gereja dan asrama. Itu pun hanya numpang lewat saja. Di situlah massa dari kelompok Putih yang sudah masuk dalam kompleks itu berteriak-teriak dan berontak.
“Jadi, saat massa Putih menyerang kompleks Gereja Katolik tidak ada perlawanan dari kelompok Merah sebab tidak ada pasukan merah di kompleks Gereja Katolik. Namun hanya Pak Tibo yang ada untuk mau menjemput anak-anak sekolah. Maka, masa Putih menuduh bahwa Pak Tibolah yang melakukan penyerangan dan pembunuhan di Kayamanya pada tanggal 23 Mei 2000 subuh. Maka nyatalah Gereja Katolik sengaja dilibatkan,” beber Robertus Tibo.
Diceritakan, penyerangan dari kelompok Merah kepada kelompok Putih memakan korban satu orang anggota polisi. Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Merah ini adalah penyerangan balas dendam atas kerusuhan Poso Satu dan Poso Dua yang dilakukan oleh kelompok Putih di mana saat kerusuhan Satu dan Dua, Gereja Katolik tak pernah diganggu oleh kelompok Putih.
Menurut Romo Jimmy Antonius Tumbellaka Pr, Pastor Paroki Gereja Katolik Poso, perlu diketahui, bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya gereja yang tidak dibakar oleh orang-orang Muslim yang marah terhadap umat Kristen di Poso. Justru umat Muslim setempat melindungi Gereja Katolik. Umat Muslim tahu bahwa Gereja Katolik hadir untuk masyarakat setempat. Artinya di sana dibangun sarana pendidikan bagi masyarakat umum, bukan hanya untuk kalangan Gereja Katolik atau orang Kristiani semata.
“Masyarakat Muslim di Poso itu tahu persis keberadaan Gereja Katolik di Poso. Gereja Katolik di sana itu tidak fanatik bodoh-bodoh. Masyarakat miskin di Poso itu tahu persis keberadaan Gereja Katolik di Poso, untuk itulah mereka melindungi gereja dari aksi pembakaran gereja-gereja Kristen di Poso,” papar Romo Jimmy bersemangat.
Dari penuturan Robertus Tibo dan Romo Jimmy Pr tersebut di atas, maka sangat tidak masuk akal kalau orang Katolik dalam hal ini Tibo cs itu menyerang gerejanya sendiri. Ini sebuah konspirasi politik yang ingin menjatuhkan orang Katolik.
Peradilan Indonesia Tak Profesional
Kasus Poso Tiga ini memang penuh dengan ketidakadilan. Kurang lebih 70 orang tersangka, 65 orang di antaranya sudah dibebaskan. Dua orang tersangka lainnya hukuman ringan, sementara tiga orang umat Katolik (Tibo, Dominggus, dan Marinus) asal Flores, NTT, justru dijatuhkan hukuman mati. Seorang teman Tibo bernama Heri Mengkawai, yang justru banyak mengetahui kasus itu malah dimasukan ke penjara, supaya tidak bicara.
Heri Mengkawai malah pemah mau dibunuh, tetapi diselamatkan oleh Tibo. Oleh karena itu, saksi kunci dalam kasus Tibo ini berada dalam tangan Heri Mengkawai. Ia sangat bersedia untuk mengungkapkan kasus Tibo yang sebenamya. “Dan saya juga berjanji kasus Heri Mengkawai ini pun akan kami bantu proses secara hukum dan secara adil,” ungkap Romo Jimmy.
Menurutnya, sejak awal sudah ada proses untuk menyembunyikan fakta itu. Dan inilah peradilan di Indonesia yang tidak profesional dan tidak adil secara hukum. Malah ada 16 nama yang masih dilindungi. “Harapan kami agar pemerintah masih punya hati nurani untuk membuka kasus ini. Jangan membiarkan orang-orang yang tidak berperikemanusiaan itu berkeliaran mengorbankan orang lain yang tak bersalah," ujar Romo Jimmy berharap.
Mukjizat Tuhan & “16 Orang”
Mengingat kinerja aparatus hukum Indonesia (polisi, jaksa, hakim) tidak profesional dan tidak adil, sementara permohonan grasi kepada Presiden RI pun ditolak dan ketiganya tinggal menunggu hari eksekusi mati, maka satu-satunya harapan yang masih tersisa adalah mukjizat Tuhan Yesus Kristus, yang juga pemah diadili secara tidak adil di muka bumi ini, dan juga pertolongan dari Bunda Maria, terjadi atas diri Tibo cs.
Pertolongan dari Tuhan tentu saja harus disertai dengan upaya manusia. Advokasi hukum dan politik lobi pun dijalankan baik nasional, ke DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), maupun intemasional. Inilah yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh PADMA Indonesia.
Apakah Tuhan mulai mendengarkan doa Tibo cs dan anggota keluarga mereka serta upaya PADMA? Yang jelas pertemuan antara PADMA dan DPD (13/2/'06) menghasilkan desakan kepada Kejaksaan Agung RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk memeriksa 16 orang yang disebut-sebut oleh Tibo cs dan telah tercantum dalam putusan PN Palu Nomor 459/PID.B/2000/PN.PL, tanggal 3 April 2001 silam.
Selain meminta 16 orang itu diperiksa secara tuntas, DPD juga mendukung penundaan eksekusi mati atas Tibo cs. Jadi selama 16 orang itu belum diperiksa dan diadili secara benar-benar adil, jujur, objektif, dan trasparan, maka demi Tuhan, demi hukum, dan demi keadilan, Tibo cs tidak bisa dieksekusi mati. Bila terbukti secara hukum 16 orang itulah yang seharusnya dipidana, maka Tibo cs harus dibebaskan.
Daftar Nama 16 “jenderal” Pasukan Merah yang diduga kuat menjadi aktor intelektualis Kasus Poso Tiga, Mei 2000 silam.
1.
|
Paulus Tungkanan (Purn. TNI)
|
2.
|
Ladue (Purn. TNI)
|
3.
|
Theo Manjayo (Purn. TNI)
|
4.
|
Limpadeli (Pensiunan PNS)
|
5.
|
Eric Rombot (PNS Kehutanan)
|
6.
|
Edi Bunkundapu (PNS Pemda Tk II Poso)
|
7.
|
Yahya Patiro (PNS Pemda Tk II Poso)
|
8.
|
Sigilipu H.X. Obed Tampai (Pegawai Perhubungan / LAJR)
|
9.
|
Rungadai Son (PNS Guru SD)
|
10.
|
Yanis Simangunsong
|
11.
|
Angkou
|
12.
|
Angky Tungkanan
|
13.
|
Heri Banibi
|
14.
|
Sarjun alias Gode, Guntur Tarinje
|
15.
|
Ventje
|
16.
|
Sanrua Gadi
|
Sumber: Tabloid Rohani Populer Sabda, No. 81/Thn IX/2006, April 2006
|