Apakah Absolusi Umum itu Sah?
oleh: P. William P. Saunders *
Masa Prapaskah yang lalu, saya mengunjungi kerabat di New Jersey. Di paroki mereka tidak ada pengakuan dosa secara pribadi seperti pada umumnya, melainkan suatu upacara di mana semua orang berdoa dan kemudian imam menyampaikan absolusi. Saya pikir hal ini sungguh aneh, tetapi mereka mengatakan bahwa “absolusi umum” diperkenankan. Praktek ini juga diangkat dalam sebuah artikel di Washington Post baru-baru ini. Saya tidak terlalu paham apa itu absolusi umum. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Potomac Falls
Sebagai kelanjutan dari mandat Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI mempromulgasikan Dekrit mengenai Ritus Tobat (1973) yang menegaskan, “Pengakuan dosa secara lengkap dan pengampunan perorangan tetap merupakan jalan biasa satu-satunya untuk pendamaian umat beriman dengan Allah dan dengan Gereja, kecuali pengakuan dosa semacam itu tidak mungkin secara fisik atau secara moral.” (Ketentuan ini dimaklumkan kembali dalam Kitab Hukum Kanonik, No. 960 dan Katekismus Gereja Katolik, No. 1420 dst.) Sebab itu, Gereja menjunjung tinggi praktek seturut tradisi di mana peniten memeriksa batinnya, menyesali dosa dan bertobat setulus hati atas dosa-dosanya itu, berketetapan teguh untuk tidak berbuat dosa lagi, mengakukan dosa-dosanya itu kepada imam secara pribadi dan menerima absolusi, dan lalu menunaikan penitensi yang diberikan kepadanya. Perilaku rohani ini penting demi mencapai kekudusan.
Seperti dinyatakan dalam dekrit tahun 1973, ada kemungkinan terjadi keadaan-keadaan yang sangat mendesak, yang wajar, yang menghalangi pengakuan dosa secara pribadi dan dibutuhkannya penyampaian absolusi umum. Keadaan yang demikian muncul pada suatu masa krisis, bahaya kematian, dan tak dapat tersedia cukup bapa pengakuan untuk mendengarkan pengakuan masing-masing dalam waktu yang layak, sehingga peniten tanpa kesalahannya sendiri akan terpaksa lama tidak dapat menikmati rahmat Sakramen Tobat serta Komuni Suci, dan dengan demikian jiwa mereka berada dalam bahaya.
Suatu contoh penyampaian absolusi umum secara tepat terjadi pada tanggal 29 Maret 1979, ketika pembangkit tenaga nuklir Three Mile Island dekat Harrisburg, Pennsylvania berada dalam bahaya meledak. Jika reaktor meledak, maka bahan radioaktif dalam jumlah yang sangat besar akan terlepas mencemari lingkungan, mengancam hidup warga masyarakat yang tak terhitung banyaknya. Uskup Keeler dari Harrisburg (sekarang Kardinal - Uskup Agung Baltimore) memberikan absolusi umum kepada umat beriman sebab tidak akan ada waktu bagi masing-masing orang untuk mengakukan dosanya secara pribadi.
Keadaan lain yang mungkin terjadi pada masa kita sekarang ini adalah apabila orang banyak terjebak dalam sebuah bangunan, misalnya World Trade Towers, atau berada dalam suatu pesawat yang dibajak, dan maut dapat sekonyong-konyong menjemput. Dalam kasus macam itu, seorang imam (andai ia ada di sana) dapat memberikan absolusi umum.
Namun demikian, ketentuan-ketentuan yang ketat membatasi praktek absolusi umum. Imam wajib memberikan suatu penjelasan kepada umat beriman, membacakan ayat-ayat yang dipilih dari Kitab Suci, dan menyampaikan suatu homili singkat. Peniten, yang terhalang dari mengakukan dosanya secara pribadi, wajib mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan memeriksa batin, menyesali dosa, bertobat atas dosa, dan berketetapan teguh untuk tidak berbuat dosa lagi; persiapan pribadi yang tulus ini sungguh penting demi penerimaan sakramen secara sah. Bersama-sama, para peniten mendaraskan suatu rumusan bagi tobat umum, seperti seruan Tobat (“Saya mengaku kepada Allah yang Mahakuasa…). Imam akan memberikan penitensi dan kemudian menyampaikan absolusi. Ibadat akan diakhiri dengan ungkapan syukur kepada Tuhan atas belas kasihan-Nya, dan kemudian diberikan berkat. (Bedakan Dekrit, No. 35, dan Kitab Hukum Kanonik, No. 962.)
Beberapa peringatan yang wajib diperhatikan: Pertama, seorang yang dosa-dosa beratnya diampuni dengan absolusi umum, hendaknya datang mengaku secara pribadi sesegera mungkin begitu ada kesempatan, selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu tahun (terkecuali jika terdapat alasan yang wajar yang menghalanginya).
Kedua, hanya Uskup diosesan yang dapat menentukan apakah keadaannya tepat untuk memberikan absolusi umum. Imam wajib pertama-tama menanyakan kepada Uskup sebelum imam memberikan absolusi umum. Namun demikian, dalam keadaan darurat, seorang imam dapat menyampaikan absolusi umum dan kemudian melaporkannya kepada Uskup.
Terakhir, jumlah peniten yang sangat banyak, seperti dapat terjadi pada suatu hari pesta besar, tidak dapat dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Sebagai misal, dalam suatu paroki terdapat pelayanan rutin pengakuan dosa sepanjang Masa Prapaskah, di mana umat beriman berkumpul untuk berdoa, mendengarkan Kitab Suci dan homili yang disampaikan guna mempersiapkan individu untuk pengakuan dosa secara pribadi yang dilayani oleh sekelompok imam. Hanya karena jumlah peniten yang banyak dan pengakuan dosa dapat berlangsung untuk jangka waktu yang lebih lama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyampaikan absolusi umum. Absolusi umum dapat disampaikan hanya dalam kasus-kasus kebutuhan yang sangat mendesak.
Sayangnya, seperti dinyatakan dalam pertanyaan pembaca di atas, praktek absolusi umum telah disalahgunakan. Ketika saya seorang pastor mahasiswa di Marymount, lebih dari satu kesempatan, mahasiswa yang datang untuk mengaku dosa belum pernah mengakukan dosanya secara pribadi, melainkan hanya menerima absolusi umum. Betapa tragis! Pelanggaran yang demikian menjauhkan orang dari perjumpaan yang indah, yang akrab mesra dengan Tuhan kita, sang Penyembuh Ilahi jiwa kita.
Dalam surat apostolik Misericordia Dei, Paus Yohanes Paulus II menyesali diabaikannya pengakuan dosa secara pribadi dan disalahgunakannya absolusi umum. Ia mengulang kembali ketentuan mengenai pengakuan dosa, “mengingat di beberapa tempat telah terjadi kecenderungan untuk mengabaikan pengakuan dosa secara pribadi dan menyalahgunakan absolusi `umum' atau `bersama.'” Bapa Suci melanjutkan, “Dalam hal ini, absolusi umum tidak lagi dipandang sebagai suatu sarana luar biasa untuk dipergunakan dalam keadaan-keadaan yang sepenuhnya luar biasa. Atas dasar perluasan sewenang-wenang dari syarat-syarat yang dituntut bagi kebutuhan yang sangat mendesak, maka dalam praktek didapati melonggarnya kesetiaan terhadap penetapan ilahi atas sakramen ini, dan khususnya terhadap kebutuhan akan pengakuan dosa secara pribadi, dengan konsekuensi kerugian yang serius pada kehidupan rohani umat beriman dan pada kekudusan Gereja.”
Memang, mengakukan dosa-dosa kita secara pribadi kepada seorang imam terasa jauh lebih sulit daripada menerima absolusi umum; akan tetapi sungguh jauh lebih banyak manfaat rohani pribadi yang diperoleh dengan secara lahiriah mengatakan dosa-dosa kita itu kepada seorang imam, yang adalah sekaligus pelayan sakramen dan wakil Gereja. Pengakuan dosa secara pribadi merupakan suatu unsur penting dalam proses pertobatan dan pertumbuhan kita dalam kekudusan.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College.
sumber : “Straight Answers: Is General Absolution Licit?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|