|
Penempatan Tabernakel
oleh: P. William P. Saunders *
Sementara saya berkeliling negeri, saya memperhatikan bahwa beberapa gereja menempatkan tabernakel tepat di tengah, sebagian lain menempatkannya di samping, dan yang lainnya menyembunyikannya di suatu tempat dalam kapel. Adakah peraturan mengenai di manakah seharusnya tabernakel ditempatkan?
~ seorang pembaca di Ashburn
Guna menjawab pertanyaan ini dengan adil dan tepat, kita perlu memahami beberapa norma liturgis sepanjang sejarah seputar masalah tabernakel. Sesungguhnya norma pertama mengenai tabernakel dipromulgasikan pada Abad Pertengahan. Hingga waktu ini, tidak ada kebiasaan yang seragam mengenai di mana seharusnya tabernakel ditempatkan dalam gereja. Konsili Lateran Keempat (1215) mendekritkan bahwa Sakramen Mahakudus hendaknya disimpan dalam suatu wadah yang aman dan ditempatkan di suatu tempat yang bersih dan mencolok. Sinode Cologne (1281) dan Munster (1279) menetapkan bahwa Sakramen Mahakudus disimpan di atas altar; terkadang dalam tabernakel yang dibentuk seperti burung merpati dan digantung dengan rantai. (Contoh dari tabernakel jenis ini dipamerkan di koleksi dari abad pertengahan di National Gallery of Art.) Secara keseluruhan, sepanjang masa ini, Sakramen Mahakudus disimpan dengan empat cara yang mungkin: dalam suatu lemari yang dikunci di sakristi, kebiasaan yang berasal dari gereja awali; dalam suatu lemari di dinding di bagian paduan suara, atau dalam suatu lemari yang disebut “Rumah Sakramen,” yang dibentuk serupa menara dan ditempelkan ke dinding dekat altar; dalam suatu wadah “burung merpati” yang digantung di atas altar; dan dalam suatu tabernakel di atas altar itu sendiri atau dalam reredos altar.
Pada abad keenam belas, Sakramen Mahakudus biasa disimpan dalam suatu tabernakel yang ditempatkan di atas altar atau di bagian reredos. Tetapi, baru pada tahun 1863, Kongregasi Ritus melarang penggunaan burung merpati yang digantung dan rumah sakramen.
Reformasi liturgis dari Konsili Vatikan Kedua mendorong dilakukannya suatu “pemikiran kembali” mengenai lokasi tabernakel dalam gereja. Dua point penting hendaknya senantiasa dicamkan: Pertama, penghormatan terhadap Ekaristi Kudus wajib dipelihara dan dilestarikan. “Konstitusi tentang Liturgi Kudus” menekankan bahwa Ekaristi Kudus adalah “sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (No. 47). Kedua, makna dari persembahan Misa itu sendiri di mana Ekaristi Kudus yang dirayakan harus dipelihara dan dilestarikan. “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” menegaskan, “Dengan ikut serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah” (No. 11).
Sehubungan dengan itu, Instruksi “Eucharisticum Mysterium” (1967) menerbitkan peraturan-peraturan (yang dikemudian hari dimasukkan dalam Kitab Hukum Kanonik yang baru) mengenai tabernakel (bdk No. 52-57 dan Kanon 934-944): Ekaristi mahakudus pada umumnya hendaknya hanya disimpan dalam satu tabernakel dari suatu gereja atau tempat ibadat (Kan 938.1); Di samping tabernakel di mana Ekaristi mahakudus disimpan, hendaknya selalu dinyalakan lampu khusus untuk menandakan dan menghormati kehadiran Kristus (Kan 940). Tabernakel di mana Ekaristi mahakudus biasa disimpan, hendaknya bersifat tetap, terbuat dari bahan yang keras yang tak tembus pandang dan terkunci sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin terhindarkan dari bahaya profanasi (Kan 938.3). Tabernakel, di mana disimpan Ekaristi mahakudus, hendaknya terletak pada suatu bagian gereja atau ruang ibadat yang utama, tampak, dihias pantas, layak untuk doa (Kan 938.2).
Di sinilah muncul kerancuan. Guna menumbuhkembangkan doa dan devosi, instruksi menyatakan, “Oleh sebab itu disarankan agar, sejauh hal itu mungkin, tabernakel ditempatkan dalam suatu kapel terpisah dari bagian tengah atau bagian utama gereja, terutama di gereja-gereja di mana sering diadakan perkawinan dan pemakaman, dan di tempat-tempat yang banyak dikunjungi oleh karena peninggalan-peninggalan artistik atau sejarahnya” (No. 53). Sebagai contoh, di Katedral St Patrick di New York City, yang terus-menerus dikunjungi wisatawan, Sakramen Mahakudus disimpan di Kapel Santa Perawan yang terletak di belakang altar utama; kapel yang indah ini menyediakan tempat yang tenang bagi umat beriman untuk berdoa tanpa gangguan dari orang-orang yang berlalu-lalang. Situasi serupa terjadi di Basilika SP Maria yang Dikandung Tanpa Dosa di Washington, pula di Basilika St Petrus di Roma.
Namun, anjuran ini tidak mewajibkan agar interior gereja-gereja “kuno” dirombak demi memindahkan tabernakel. Instruksi tersebut menyatakan, “ Dalam menata kembali gereja, perhatian perlu diberikan agar tidak merusakkan peninggalan-peninggalan suci yang bernilai seni” (No. 24). Di samping itu, renovasi apapun hendaknya dilakukan dengan “bijaksana.” Saya geram memikirkan begitu banyak gereja yang indah telah di-“whitewash” (= dilabur kembali guna menghilangkan lukisan-lukisan yang ada) dan karya-karya seni yang indah dibuang atau dikirim ke pedagang-pedagang barang antik hanya karena seseorang ingin melakukan pembaharuan liturgi. Saya juga bertanya-tanya berapa banyak yang patah hati karena renovasi yang ceroboh ini (yang lebih tepat dikatakan “pengrusakan”). Sungguh menyedihkan, saya mengunjungi beberapa gereja - baik yang baru maupun yang telah direnovasi - di mana tampaknya posisi tabernakel lebih merupakan hasil dari pikiran yang terlintas kemudian daripada usaha untuk menyediakan suatu tempat yang utama, mencolok, dihias indah serta layak untuk doa.
Selain dari itu, rekomendasi intruksi tersebut tidak melarang apabila tabernakel ditempatkan di bagian utama gereja, dengan menyatakan, “Sakramen Mahakudus hendaknya disimpan dalam sebuah tabenakel yang terbuat dari bahan yang kokoh, terhindar dari profanasi, yang ditempatkan di tengah altar utama atau di pada suatu altar samping, tetapi di suatu tempat yang sungguh utama” (No 54).
Guna menjelaskan masalah ini, Paus Yohanes Paulus II menyetujui serta meneguhkan Instruksi “Inaestimabile Donum” yang diterbitkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen yang mengajarkan, “Tabernakel di mana Ekaristi disimpan, dapat ditempatkan pada altar, maupun di luar altar, di suatu tempat dalam Gereja yang sungguh utama, sungguh terhormat dan dihias dengan anggun, atau dalam sebuah kapel yang cocok untuk doa pribadi dan untuk adorasi umat beriman” (No 24). Ajaran ini menggarisbawahi pandangan bahwa di gereja-gereja di mana terdapat “tingkat wisatawan” yang tinggi, maka suatu kapel untuk doa pribadi dan untuk adorasi di hadapan tabernakel diperkenankan; tetapi, dalam suatu gereja paroki yang normal, tidak demikian adanya.
Pedoman Umum Misale Romawi (2000) menyatakan, “Sangatlah sesuai dengan makna simbolisnya, kalau tabernakel sebagai tempat menyimpan Sakramen Mahakudus tidak diletakkan di atas altar di mana dirayakan Ekaristi. Oleh karena itu, sesuai dengan kebijakan uskup diosesan, tabernakel lebih baik ditempatkan: a) kalau di panti imam, terpisah dari altar yang digunakan untuk merayakan Ekaristi, dalam bentuk dan tempat yang serasi, tidak terkecuali pada altar lama yang tidak lagi digunakan untuk merayakan Ekaristi; b) di kapel yang cocok untuk sembah sujud dan doa pribadi umat beriman; dari segi tata bangun, kapel ini hendaknya terhubung dengan gereja dan mudah dilihat oleh umat” (No. 315). Jelaslah bahwa untuk gereja paroki, pilihan No. 1 lebih sesuai; untuk gereja-gereja dengan tingkat wisatawan yang tinggi, pilihan No. 2 lebih sesuai. Kesimpulan ini juga dicantumkan dalam Kitab Hukum Kanonik (No 898): “Umat beriman kristiani hendaknya menaruh hormat yang sebesar-besarnya terhadap Ekaristi mahakudus, dengan mengambil bagian aktif dalam perayaan Kurban mahaluhur itu, dengan menyambut sakramen itu secara hormat serta kerap, dan dengan bersembah sujud menghormatinya….” Menempatkan altar dan tabernakel saling berdekatan dalam panti imam merupakan yang terbaik demi memungkinkan umat memenuhi perintah ini.
Bagi mereka yang lebih suka memindahkan tabernakel dari bagian utama dan menempatkannya di samping, dalam sebuah kapel (beberapa di antaranya berupa lemari kecil yang dikuduskan), atau bahkan di suatu tempat di mana umat tidak dapat berlutut di hadapannya, menekankan gagasan bahwa fokus Misa adalah tindakan dan Komuni yang disambut. Sebagai tanggapan, Paus Benediktus XVI (waktu itu Kardinal Ratzinger) mengajarkan, “Komuni hanya mencapai kedalamannya yang sejati apabila didukung dan dikelilingi sembah sujud. Kehadiran Ekaristi dalam tabernakel tidak memberikan pandangan lain akan Ekaristi sepanjang ataupun bertentangan dengan perayaan Ekaristi, melainkan sekedar memaknai kepenuhan kegenapannya. Sebab Kehadiran ini mendatangkan dampak, tentu saja, untuk menyimpan Ekaristi selamanya dalam gereja. Gereja tidak akan pernah menjadi suatu tempat tanpa kehidupan, melainkan senantiasa dipenuhi dengan kehadiran Tuhan, yang hadir dalam perayaan, menghantar kita masuk ke dalamnya, dan senantiasa membuat kita ikut ambil bagian dalam Ekaristi surgawi. Manusia beriman manakah yang tidak mengalaminya? Suatu gereja tanpa Kehadiran Ekaristi bagaimanapun adalah mati, walau mengundang orang untuk berdoa. Tetapi suatu gereja di mana terang abadi menyala di hadapan tabernakel senantiasa hidup, senantiasa lebih dari sekedar bangunan yang dibuat dari batu. Di tempat inilah Tuhan senantiasa menantiku, memanggilku, rindu menjadikanku `ekaristis'. Dengan demikian, Ia mempersiapkanku untuk Ekaristi, mempersiapkanku dalam menyongsong kedatangan-Nya kembali” (The Spirit of the Liturgy, h. 90).
Dari sudut pandang murni pendidikan, kebaikan memiliki tabernakel dalam gereja, entah di bagian utama atau setidaknya di samping namun dalam panti imam, adalah bahwa hal itu menanamkan devosi kepada Sakramen Mahakudus. Sebagai misal, orang berlutut demi menghormati Sakramen Mahakudus. Di gereja-gereja paroki di mana tabernakel dipindahkan ke suatu kapel di samping gereja dan tak terlihat, orang tidak berlutut, tidak menjaga keheningan dalam gereja, dan kehilangan khidmad yang mendalam terhadap Kehadiran Nyata Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus. Gereja menjadi “di-Protestan-kan,” dan terutama anak-anak dijauhkan dari perasaan cinta yang tumbuh dan berkembang kepada Sakramen Mahakudus.
Karena hari di mana paling banyak umat paroki datang ke gereja adalah hari Minggu, maka menempatkan tabernakel di suatu tempat utama yang kelihatan dan mencolok membuat mereka menyadari kehadiran ekaristis Tuhan kita. Umat terlebih lagi diingatkan bahwa gereja itu sendiri adalah “Rumah Tuhan” dan merupakan suatu tempat yang kudus, bukan sekedar rumah pertemuan. Di samping itu, umat terlebih menyadari bahwa Kurban Kudus Misa pada hakekatnya berhubungan erat dengan Kehadiran Nyata Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus. Dalam abad di mana banyak orang ragu dan tidak percaya, kita patut berjuang melakukan segala yang dapat kita lakukan demi memupuk dan menumbuh-kembangkan devosi kepada Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Placement of the Tabernacle” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|