192. DARI ESDRAELON KE EN-GANIM DENGAN BERHENTI DI MEGIDO.    


17 Juni 1945

"Itukah puncak Gunung Karmel, Tuhan-ku?"  tanya Yakobus sepupu-Nya.

"Ya, saudara-Ku. Itu adalah rangkaian Karmel dan puncaknya yang tertinggi adalah yang memberikan nama pada rangkaian gunung itu."

"Dunia pastilah indah juga dari sana. Pernahkah Engkau ke atas sana?"

"Ya, satu kali, Sendirian, di awal misi-Ku. Dan di kakinya Aku menyembuhkan penderita kusta pertama. Tapi kita akan pergi ke sana bersama-sama, untuk mengenangkan Elia…"

"Terima kasih, Yesus. Seperti biasanya, Engkau sudah memahami aku."  

"Dan seperti biasanya, Aku puas denganmu, Yakobus."

"Kenapa?"

"Alasannya tertulis di Surga."

"Tidak maukah Engkau mengatakannya padaku, saudara-Ku, sebab Engkau dapat membaca apa yang tertulis di Surga?"

Yesus dan Yakobus  tengah berjalan berdampingan dan hanya Yabes kecil, yang digandeng tangannya oleh Yesus, yang dapat mendengar percakapan rahasia di antara dua sepupu yang tersenyum seraya saling menatap mata satu sama lain.

Yesus merengkuh bahu Yakobus dengan lengan-Nya untuk menariknya dekat pada Diri-Nya dan bertanya: "Apa kau sungguh ingin tahu? Baiklah, Aku akan mengatakannya padamu melalui sebuah teka-teki, dan apabila kau menemukan jawabannya kau akan menjadi bijaksana. Dengarkanlah: 'Sesudah mengumpulkan nabi-nabi palsu di Gunung Karmel, Elia maju di hadapan seluruh rakyat: "Berapa lama lagi," katanya, "kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia." Tetapi rakyat itu tidak menjawabnya sepatah katapun. Lalu Elia berkata kepada rakyat itu: "Aku, hanya aku seorang diri, yang tinggal sebagai nabi Tuhan" dan satu-satunya kekuatan dari nabi yang tanpa dukungan itu adalah seruannya: "Jawablah aku, ya Tuhan, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkau-lah Allah, ya Tuhan, dan Engkau-lah yang membuat hati mereka tobat kembali." Lalu turunlah api Tuhan menyambar habis korban bakaran.' Tebaklah, saudara-Ku."

Yakobus termenung dengan kepalanya tertunduk dan Yesus menatap padanya sambil tersenyum. Mereka berjalan beberapa yard seperti itu, lalu Yakobus  bertanya: "Apakah itu sehubungan dengan Elia atau dengan masa depanku?"

"Dengan masa depanmu, tentu saja…"

Yakobus  menjadi termenung kembali dan lalu berbisik: "Apakah aku mungkin ditakdirkan untuk mengundang bangsa Israel mengikuti suatu jalan dengan ketulusan hati? Apakah aku ditakdirkan untuk menjadi satu-satunya yang tersisa di Israel? Kalau begitu, apakah maksud-Mu semua yang lainnya akan dianiaya dan diserakkan dan bahwa… Aku akan berdoa untuk-Mu demi pertobatan bangsa ini… seolah aku adalah seorang imam… seolah aku adalah… suatu kurban… Tapi jika demikian, Yesus, kobarkanlah aku sejak dari sekarang…"

"Kau sudah berkobar. Tapi kau akan dibawa pergi oleh Api, seperti Elia. Itulah sebabnya mengapa kau dan Aku akan pergi, sendirian, ke Gunung Karmel untuk berbicara…"

"Kapan? Sesudah Paskah?"

"Ya, sesudah suatu Paskah. Dan pada waktu itulah Aku akan mengatakan padamu banyak hal …"

Sebuah sungai kecil yang menawan yang mengalir menuju laut dan yang sedang meluap sebab hujan musim semi dan salju yang mencair, menghalangi mereka bergerak maju.

Petrus berlari menghampiri mereka dan berkata: "Jembatannya di depan sana, di mana terbentang jalanan dari Ptolomais ke En-Ganim."

Yesus kembali dengan taat dan menyeberangi sungai kecil itu melalui sebuah jembatan batu yang kokoh. Segera sesudahnya mereka mendapati beberapa pegunungan dan perbukitan kecil, tetapi tempat-tempat itu tidaklah penting.

"Akankah kita tiba di En-Ganim sebelum sore?" tanya Filipus.  

"Tentu… Tapi… ada pada kita anak ini sekarang. Apa kau lelah, Yabes?" tanya Yesus penuh sayang. "Jujurlah seperti seorang malaikat."

"Sedikit, Tuhan. Tapi aku akan berusaha sekuatnya untuk berjalan."

"Anak ini sangat lemah," kata laki-laki yang dari En-Dor dalam suara paraunya.

"Tidak heran!" seru Petrus. "Mengingat hidup yang dijalaninya selama berbulan-bulan! Kemarilah, aku akan menggendongmu."

"Oh! Tidak, tuan. Janganlah melelahkan dirimu. Aku masih bisa berjalan."

"Kemari, kemarilah. Kau tentunya tidak berat. Kau kelihatan seperti seekor burung kecil yang kekurangan makan," dan Petrus menempatkan si bocah duduk mengangkang di atas bahunya yang bidang, dengan memegangi kedua kakinya.

Mereka berjalan cepat sebab matahari sekarang bersinar terik dan mendorong mereka untuk segera tiba di bukit-bukit yang teduh.

Mereka berhenti di sebuah desa, yang namanya aku dengar adalah Mageddo, untuk menyantap makanan dan beristirahat dekat sebuah sumber mataair yang sangat sejuk, yang juga berisik sebab berlimpahnya air yang membual keluar dan jatuh ke dalam sebuah kolam batu yang gelap. Namun tak seorang pun dari desa yang ambil peduli pada para pengelana itu, yang anonim di antara banyak peziarah lainnya yang lebih ataupun kurang mampu, yang berjalan kaki ataupun menunggang keledai atau bagal sedang menuju Yerusalem untuk merayakan Paskah. Sudah terasa suasana hari raya dan ada banyak anak laki-laki di antara para pengelana itu, yang bersukacita pada gagasan upacara akil balig mereka.*

Dua anak laki-laki, dari keluarga berada, yang datang untuk bermain dekat sumber matair sementara Yabes di sana bersama Petrus - yang membawa si bocah bersamanya kemana pun dengan membuatnya tertarik pada seribu satu hal-hal kecil - bertanya pada si bocah: "Apa kau pergi juga untuk menjadi seorang putra Hukum?"

Yabes menjawab malu-malu: "Ya" dengan nyaris menyembunyikan dirinya di belakang Petrus.

"Apa dia bapamu? Apa kau miskin?"

"Ya, aku miskin."

Kedua anak itu, mungkin anak-anak dari kaum Farisi, memandang padanya dengan ironis dan penuh ingin tahu dan lalu berkata: "Sudah kelihatan."

Memang sudah kelihatan, sungguh… Jubahnya sama sekali usang! Mungkin si bocah sudah bertumbuh, dan meski keliman jubahnya sudah diturunkan, pakaian itu, yang berwarna coklat yang pudar oleh cuaca buruk, hanya mencapai separuh dari kaki-kaki kurusnya. Kedua kaki mungilnya dilindungi dengan buruk oleh dua buah sandal yang nyaris tak lagi berbentuk yang diikatkan dengan tali-temali yang pastilah menyiksa kakinya.

Anak-anak itu, dengan tanpa perasaan dan keegoisan seperti yang khas pada banyak anak dan dengan kekejaman dari anak-anak berandal yang berperilaku buruk, berkata: "Oh! Kalau begitu kau tidak akan mendapatkan seperangkat pakaian baru untuk pestamu! Tidak seperti kami!... Benar begitu Yoakim? Kepunyaanku semuanya berwarna merah dengan mantol yang sepadan. Kepunyaannya, sebaliknya, berwarna biru langit. Dan kami akan punya sandal dengan gesper-gesper perak, sebuah ikat pinggang yang mahal harganya dan sebuah tallit [kerudung doa berjumbai] yang dijepit dengan sebuah daun emas pucat dan…"

"… dan hati yang dari batu, dapat aku katakan!" celetuk Petrus, yang sudah selesai menyejukkan kakinya dan mengambil air untuk memenuhi semua kirbat. "Kalian anak-anak jahat. Upacara dan pakaianmu tidak ada artinya sama sekali jika hatimu tidak baik. Aku lebih suka anakku. Pergi sana, kalian anak-anak berandal yang sombong! Pergilah ke kalangan orang-orang kaya tapi hormatilah orang-orang miskin dan orang-orang jujur. Ayo, Yabes!  Air ini baik untuk kakimu yang lelah! Kemarilah supaya aku dapat membasuhnya. Kau akan berjalan lebih enak sesudahnya. Lihat betapa tali-tali ini sudah menyakitimu! Kau jangan berjalan lagi. Aku akan menggendongmu sampai kita tiba di En-Ganim. Aku akan mencari seorang tukang sepatu di sana dan aku akan membelikanmu sepasang sandal baru." Dan Petrus membasuh dan mengeringkan kaki-kaki kecil itu yang tidak mendapatkan begitu banyak belaian untuk jangka waktu yang lama.

Bocah itu menatap padanya, ragu-ragu, lalu membungkuk ke atas dia yang sedang mengikatkan sandal-sandalnya dan memeluknya dengan lengan-lengannya yang kurus kering seraya berkata: "Betapa baiknya engkau!" dan mencium rambut abu-abunya.

Petrus tersentuh hatinya. Dia duduk di atas tanah yang lembab, dan dalam posisi seperti itu, membawa si bocah dalam pangkuannya dan berkata padanya: "Panggil aku 'bapa', kalau begitu."        

Mereka membentuk suatu kelompok yang penuh kasih sayang. Yesus dan yang lain-lainnya menghampiri mereka.

Akan tetapi sebelum kedua kelompok itu bertemu, kedua anak kecil sombong yang disebutkan di atas, yang masih tinggal di sana penuh selidik, bertanya: "Tapi, apa dia bukan bapamu?"

"Dia bapa dan ibu bagiku," jawab Yabes tanpa ragu.

"Ya, sayang! Kau benar: bapa dan ibu. Dan, tuan-tuan kecilku terkasih, aku dapat pastikan pada kalian bahwa dia akan mengenakan pakaian yang pantas untuk upacara itu. Dia, juga, akan punya pakaian yang pantas untuk seorang raja, yang semerah api; dan sebuah ikat pinggang yang sehijau daun; dan tallit yang seputih salju."

Dan meski perpaduannya bukan yang sangat serasi, namun membuat kedua anak yang besar kepala itu terperanjat dan menghalau mereka pergi.

"Apa yang kau lakukan, Simon, duduk di atas tanah yang basah?" tanya Yesus seraya tersenyum.

"Basah? Ah! ya. Aku baru memperhatikannya. Apa yang aku lakukan? Aku menjadi anak domba lagi dengan memiliki yang tak berdosa ini dalam hatiku. Ah! Guru. Baik, marilah kita pergi. Tapi Engkau harus menyerahkan anak ini ke dalam tanganku. Sesudahnya aku akan menyerahkannya kembali. Tapi dia milikku sampai dia menjadi seorang Israel sejati.

"Baiklah! Dan kau akan menjadi pelindungnya, seperti seorang bapa tua. Baikkah begitu? Marilah kita pergi, supaya kita dapat tiba di En-Ganim sebelum sore, tanpa membuat anak ini terlalu banyak berlari."

"Aku akan menggendongnya. Jala ikanku lebih berat. Dia tidak dapat berjalan dengan sol patah seperti ini. Kemarilah." Dan dengan anak baptisnya duduk mengangkang di bahunya Petrus dengan gembira menempuh perjalanan kembali. Jalanan sekarang lebih teduh, melintasi hutan-hutan dari berbagai ragam pepohonan, dan dengan lembut menanjak ke perbukitan, dari mana mata orang dapat melayangkan pandangannya ke atas dataran subur Esdraelon.

Mereka sudah dekat En-Ganim - yang tentunya sebuah kota kecil yang indah yang disuplai air yang dialirkan dari bukit-bukit melalui sebuah saluran air yang tinggi, mungkin pekerjaan Romawi - ketika suara gaduh dari suatu pasukan militer yang datang mendekat membuat mereka menyingkir ke tepi jalanan. Derap kuda menggema di jalanan, yang di sini, dekat kota, menunjukkan tanda-tanda akan adanya paving yang muncul melalui kisaran debu di atasnya bersama puing-puing. Jalanan itu jelas tidak pernah disapu.

"Salam, Guru! Bagaimanakah Engkau bisa kebetulan ada di sini?" teriak Publius Quintilianus seraya turun dari kudanya, dan menghampiri Yesus dengan seulas senyum lebar, dengan menuntun kudanya pada tali kekangnya. Para prajuritnya memperlambat derap kuda agar seiring dengan superior mereka.

"Aku sedang dalam perjalanan ke Yerusalem untuk merayakan Paskah."

"Aku pergi juga. Kami memperkuat penjagaan untuk perayaan, pula sebab Pontius Pilatus akan datang ke kota juga, dan Claudia ada di sana. Kami adalah para utusan Claudia. Jalanan-jalanan sangat tidak aman! Burung-burung elang menghalau pergi serigala-serigala," kata si prajurit sembari tertawa dan menatap pada Yesus. Dia lalu melanjutkan dengan suara pelan: "Pengawasan digandakan tahun ini, untuk melindungi si busuk Antipas. Ada banyak rasa dengki karena penangkapan sang Nabi. Rasa dengki di Israel… dan sebagai konsekuensinya ketidakpuasan di antara kami. Tapi… kami sudah memastikan bahwa Imam Besar dan kaki-tangannya sudah… diperingatkan dengan baik…" dan dia mengakhirinya dengan suara rendah: "Pergilah tanpa was-was. Semua cakar sudah ditarik kembali dalam cengkeraman. Oh! Mereka takut pada kami. Apabila kami sekedar berdehem, mereka menganggapnya suatu raungan. Akankah Engkau berbicara di Yerusalem? Datanglah dekat Praetorium. Claudia membicarakan Engkau sebagai seorang filsuf besar. Itu suatu hal yang baik sebab Claudia adalah Proconsul." Dia memandang berkeliling dan melihat Petrus yang merah padam dan berkeringat karena bebannya. "Dan anak itu?"

"Seorang anak yatim piatu yang Aku bawa bersamaku."

"Tapi orang-Mu itu bekerja terlalu berat! Bocah, apakah kau takut naik kuda bersamaku sejauh beberapa yard? Aku akan menempatkanmu di bawah chlamys [= mantol pendek yang dikenakan para pemuda pada masa Yunani kuno] dan aku akan berjalan perlahan. Aku akan menyerahkanmu kembali padanya ketika kita sampai di gerbang."

Si bocah tidak menolak, dia selembut seekor anak domba, dan Publius mengangkatnya dan menempatkannya di atas pelana.    

Dan sementara dia memerintahkan para prajuritnya untuk berjalan perlahan, dia melihat juga laki-laki yang dari En-Dor. Dia terbelalak melihatnya dan berkata: "Apa! Kau di sini?"

"Aku di sini. Aku berhenti menjual telur kepada orang-orang Romawi. Tapi ayam-ayamnya masih di sana. Aku sekarang bersama Guru…"

"Bagus untukmu! Kau akan mendapatkan penghiburan besar. Selamat tinggal. Salam, Guru. Aku akan menantikan Engkau di rumpun pepohononan sana." Dan dia menghela kudanya.

"Apa kau mengenalnya? Dan apa dia mengenalmu?" banyak dari mereka bertanya pada Yohanes dari En-Dor.

"Ya, sebagai supplier ayamnya. Dia tidak mengenalku sebelumnya, tetapi suatu kali aku dipanggil ke kantor pusat yang di Nain untuk menetapkan harga, dan dia ada di sana. Sejak itu dia selalu berbicara kepadaku apabila aku pergi ke Kaisarea untuk membeli buku-buku atau perkakas. Dia menyebutku Cyclops [ras raksasa dalam mitologi Yunani dengan satu mata di tengah dahi] atau Diogenes. Dia bukan seorang yang jahat, dan meski aku tak tahan dengan orang-orang Romawi, aku tidak pernah menghinanya sebab dia mungkin dapat berguna untukku."

"Engkau dengarkah itu, Guru? Perkataanku pada si Centurion di Kapernaum adalah suatu hal yang baik. Aku merasa lebih rileks sekarang," kata Petrus.

Mereka tiba di semak-semak di naungan di mana prajurit patrol itu sudah turun dari kudanya.

"Aku menyerahkan anak ini kembali pada-Mu. Ada perintah, Guru?"

"Tidak, Publius. Kiranya Allah menunjukkan Diri-Nya padamu."

"Salam," dia menaiki kuda dan menghelanya, dengan diikuti oleh orang-orangnya dan diiringi suara gemuruh derap kuda dan gemerincing baju perang.

Mereka memasuki kota dan Petrus bersama sobat kecilnya pergi membeli sandal.

"Oang itu setengah mati merindukan seorang anak," kata Zelot, dan dia mengakhiri: "Dia benar."

"Aku akan memberi kalian beribu-ribu anak. Sekarang marilah kita pergi mencari tempat untuk beristirahat, supaya besok kita dapat mulai saat fajar."    

* Upacara Akil Balig: Bar Mitzvah [bar = putra, mitzvah  = hukum] dan Bat Mitzvah [bat = putri, mitzvah  = hukum], 12 tahun
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 3                    Daftar Istilah                        Halaman Utama