386. DI GILGAL. OGLA SI PENGEMIS. KEDUABELAS BATU.             


18 Februari 1946   

Aku tidak tahu seperti apa Gilgal sekarang. Ketika Yesus memasukinya, ia adalah sebuah kota Palestina biasa, cukup padat penduduknya, terletak di sebuah bukit rendah yang sebagian besar diselimuti kebun anggur dan hutan kecil zaitun. Namun, ia berlimpah sinar matahari, sehingga juga serealia bisa ditanam, secara acak, di bawah pepohonan atau di antara barisan pohon anggur. Dan serealia itu bisa masak kendati dedaunan yang menaunginya, sebab matahari sangat panas dan pengaruh dari gurun di dekatnya sangat terasa.

Ada debu, kebisingan, kotoran, dan kekacauan di hari-hari pasar. Dan selalu saja ada, kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat biasanya yang fanatik dan tidak percaya, yang berdiskusi dengan sikap angkuh dan memamerkan pengetahuan mereka di sudut terbaik alun-alun, dengan berpura-pura tidak melihat Yesus atau tidak mengenal-Nya.

Yesus terus berjalan lurus dan kemudian menyantap makanan-Nya di sebuah alun-alun kecil, nyaris di pinggiran, yang dinaungi dengan baik oleh cabang-cabang berbagai jenis tanaman yang saling terjalin. Aku mendapat kesan bahwa itu adalah bagian dari gunung yang baru-baru ini digabungkan ke desa dengan masih mempertahankan keadaan alaminya.

Orang pertama yang menghampiri Yesus, Yang sedang makan roti dan buah zaitun, adalah seorang laki-laki berpakaian compang-camping. Dia minta sedikit roti. Yesus memberikan roti bagian-Nya dengan semua buah zaitun yang ada di tangan-Nya.

"Dan bagaimana dengan-Mu? Engkau tahu bahwa kita tidak punya uang," kata Petrus. "Kita memberikan semuanya pada Ananias..."

"Tidak masalah. Aku tidak lapar. Tapi Aku haus..."

Pengemis itu berkata, "Ada sebuah sumur di ujung desa... Tetapi kenapa Engkau memberikan semuanya padaku? Engkau kan bisa memberiku separuh dari roti-Mu... Jika Engkau tidak jijik mengambilnya kembali..."

"Makanlah. Aku tidak apa-apa tidak makan. Tetapi untuk menyingkirkan segala keraguan bahwa Aku merasa jijik padamu, berilah Aku dengan tanganmu sendiri sesuap saja dan Aku akan memakannya untuk menjadi temanmu..."

Wajah laki-laki itu, yang tadinya sedih dan muram, berbinar dengan seulas senyum terkejut dan dia berkata, "Oh! Ini pertama kalinya sejak aku menjadi Ogla yang malang, ada orang yang berkata kepadaku bahwa dia ingin menjadi temanku!" dan dia memberikan sesuap roti kepada Yesus. Dan dia bertanya, "Siapakah Engkau? Siapa nama-Mu?"

"Aku Yesus dari Nazaret, Rabbi dari Galilea."

"Ah!... Aku mendengar tentang-Mu dari orang-orang lain... Tapi... bukankah Engkau Mesias?..."

"Ya."

"Dan Engkau, Sang Mesias, apakah Engkau begitu baik terhadap para pengemis? Tetrarch [raja wilayah] menyuruh pelayan-pelayannya untuk memukuli kami, jika dia melihat kami di jalannya..."

"Aku Juruselamat. Aku tidak memukuli orang, Aku mengasihi." Laki-laki itu menatap-Nya. Dan dia mulai menangis perlahan.

"Mengapa kau menangis?"

"Karena... Aku ingin diselamatkan... Apakah Engkau tidak lagi haus, Tuhan? Aku bisa menghantar-Mu ke sumur dan berbicara kepada-Mu..."

Yesus mengerti bahwa laki-laki itu ingin mengakukan sesuatu dan Dia bangkit seraya berkata, "Ayo kita pergi."

"Aku juga ikut!" seru Petrus.

"Tidak. Bagaimanapun, Aku akan segera kembali... Dan kita harus menghormati mereka yang bertobat."

Dia pergi bersama si pengemis ke balik sebuah rumah, yang di dekatnya terdapat pedesaan.

"Sumurnya ada di sana... Minumlah, dan lalu Engkau bisa mendengarkanku."

"Tidak, sobat. Luahkan dulu kegalauan hatimu pada-Ku dan lalu... Aku akan minum. Dan mungkin Aku akan mendapatkan bagi haus-Ku ini suatu mataair yang bahkan lebih nikmat daripada air sumur ini."

"Yang mana, Tuhan?"

"Pertobatanmu. Mari kita pergi ke bawah pepohonan itu. Para perempuan mengawasi kita di sini. Ayo," dan seraya menumpangkan tangan-Nya ke bahu si pengemis, Dia membimbingnya ke arah pepohonan zaitun.

"Bagaimana Engkau tahu bahwa aku bersalah dan bahwa aku bertobat?"

"Oh!... Bicaralah dan jangan takut padaku."

"Tuhan... Kami tujuh bersaudara yang lahir dari satu ayah, tetapi aku lahir dari perempuan yang dinikahi ayahku ketika dia sudah menjadi duda. Dan aku dibenci oleh keenam saudara lainnya. Ketika ayahku meninggal, dia mewariskan jumlah yang sama kepada masing-masing kami. Namun sesudah kematiannya, keenam saudara laki-lakiku menyuap para hakim, merampas semuanya dariku, dan mengusir ibuku dan aku dengan tuduhan yang keji. Ibuku meninggal ketika aku berumur enambelas tahun... dan dia meninggal akibat kemiskinan... Dan sejak itu tak ada seorang pun yang mencintaiku..." dia bercerita dengan menangis tak terkendali. Dia menenangkan diri dan melanjutkan, "Keenam saudaraku kaya dan bahagia dan mereka juga hidup makmur dengan apa yang menjadi milikku, sementara aku sekarat karena kelaparan, sebab aku sudah jatuh sakit saat merawat ibuku yang lemah... Tapi Allah memukul mereka satu per satu. Aku mengutuki mereka dan sangat membenci mereka, hingga aku mengawasi mereka dengan mata jahat. Apakah aku melakukan hal yang salah? Tentu. Aku tahu sekarang. Dan aku tahu kala itu. Tapi bagaimana mungkin aku tidak membenci dan mengutuki mereka? Yang terakhir, yang sebenarnya adalah anak ketiga, bertahan dari semua kutukan, tidak, dia bahkan semakin makmur dengan harta kelima saudara lainnya, karena dia secara sah mendapatkan harta dari ketiga adik laki-laki yang meninggal tanpa tanggungan, dan dia menikahi janda dari anak sulung yang meninggal tanpa anak, dan dia secara curang merenggut harta anak kedua, dengan menipu janda dan anak-anak yatimnya dengan merampas sebagian besar bagian mereka dengan tipu muslihat dan pinjaman. Dan ketika dia secara kebetulan bertemu denganku di pasar, di mana aku biasa pergi sebagai pelayan dari seorang kaya untuk berjualan makanan, dia menghina dan memukuliku... Aku bertemu dengannya suatu malam... Aku sendirian dan dia sendirian. Dia mabuk anggur... Aku mata gelap sebab kenangan pahit dan kebencian... Itu adalah peringatan sepuluh tahun kematian ibuku... Dia menghinaku dan ibuku yang sudah meninggal... Dia menyebut ibuku 'perempuan jalang yang kotor' dan dia menyebutku 'anak hyena…' Tuhan… andai dia tidak menghina ibuku, aku akan menanggungnya. Tapi dia menghina ibuku… Aku merenggut lehernya. Kami berkelahi. Aku hanya ingin menghajarnya. Tapi dia terpeleset dan jatuh ke tanah.. dan tanah yang landai itu berselimutkan rerumputan licin.. dan di bawahnya ada jurang dan sungai berarus deras.. Dia yang mabuk berbalik dan tergelincir jatuh... Mereka masih mencarinya sesudah bertahun-tahun... Dia terkubur di antara bebatuan dan pasir di salah satu aliran sungai deras di Lebanon. Aku tidak kembali kepada tuanku. Dan dia tidak pernah kembali ke Kaisarea Paneas. Aku sudah mengembara tanpa damai... Ah! Kutukan Kain! Takut hidup... dan takut mati.. hingga aku jatuh sakit... Dan kemudian... Aku mendengar tentang Engkau... Tapi aku takut. Mereka bilang Engkau dapat membaca hati manusia. Dan para rabbi Israel sangat jahat!... Mereka tidak kenal apa itu belas kasihan... Engkau, Rabbi segala rabbi, adalah terorku... Dan aku melarikan diri dari hadapan-Mu. Tetapi, aku rindu diampuni..." Dia prostratio di tanah dan menangis...

Yesus menatapnya dan berbisik, "Aku juga akan memikul dosa-dosa itu!... Dengar, Nak! Aku adalah Kerahiman, bukan teror. Aku telah datang juga untukmu. Janganlah malu dihadapan-Ku... Aku Sang Penebus. Apakah kau ingin diampuni? Dari apa?"

"Dari kejahatanku. Kenapa bertanya padaku? Aku membunuh saudaraku."

"Kau katakan: 'Aku hanya ingin menghajarnya' karena kau sudah dihina dan kau marah. Tetapi ketika kau membenci dan mengutuki bukan hanya satu, tetapi enam saudara, kau bukan tersinggung atau marah. Kau melakukannya secara spontan seperti kau bernapas. Kebencian dan kutukan, dan kegembiraan saat melihat mereka dihajar adalah makanan rohanimu, bukan begitu?"

"Ya, Tuhan. Itu adalah rotiku selama sepuluh tahun."

"Jadi, kejahatan terbesarmu dimulai saat kau membenci dan mengutuki. Kau adalah pembunuh saudara-saudaramu enam kali lipat."

"Tapi, Tuhan, mereka sudah menghancurkanku dan membenciku... Dan ibuku mati kelaparan..."

"Apakah maksudmu kau punya alasan untuk membalas dendam?"

"Ya."

"Kau tidak punya alasan untuk itu. Allah-lah yang menghukum. Kau seharusnya mengasihi. Dan Allah akan memberkatimu di bumi dan di surga."

"Jadi, apakah Dia tidak akan pernah memberkatiku?"

"Pertobatan mendatangkan kembali berkat. Tapi betapa banyak kesusahan, betapa banyak kegalauan yang sudah kau akibatkan bagi dirimu sendiri! Dan kau mendatangkannya jauh lebih dahsyat melalui kebencianmu itu dibandingkan yang diakibatkan oleh saudara-saudaramu!..."

"Itu benar! Terorku sudah berlangsung selama duapuluh enam tahun. Oh! ampunilah aku dalam nama Tuhan. Kau bisa lihat bahwa aku berduka atas dosaku! Aku tidak meminta apa pun untuk hidupku. Aku seorang pengemis dan aku sakit. Dan aku ingin tetap seperti itu, menderita dan menyilih. Tapi berilah aku damai, Tuhan! Aku mempersembahkan kurban di Bait Allah dan aku kelaparan demi mengumpulkan uang untuk kurban bakaran itu. Tapi aku tidak bisa mengakukan kejahatanku dan aku tidak tahu apakah kurban itu diterima."

"Tidak. Bahkan jika kau mempersembahkannya setiap hari, apalah artinya bagimu, jika kau bertindak dengan kepalsuan? Ritus yang tidak didahului dengan pengakuan dosa yang tulus adalah takhayul dan tidak ada nilainya. Itu adalah dosa yang ditambahkan pada dosa, dan dengan demikian lebih dari sekedar tidak berguna. Persembahan sakrilegi. Apa yang kau katakan kepada imam?"

"Aku biasa mengatakan: 'Aku berdosa karena ketidaktahuan, melakukan apa yang dilarang oleh Tuhan, dan aku ingin menyilihnya.' Aku biasa berpikir: 'Aku tahu apa dosaku, dan Allah tahu. Tapi aku tidak bisa mengatakan kepada semua orang secara terang-terangan. Allah, Yang melihat segala sesuatu, tahu bahwa aku sedang memikirkan dosaku.'

"Reservasi mental [= pengelabuan yang tidak melibatkan pendustaan secara langsung], berarti jalan praktis untuk mendapatkan sesuatu meski tidak pantas. Yang Mahatinggi membencinya. Ketika orang berdosa, dia harus menyilihnya. Jangan pernah lakukan itu lagi."

"Tidak. Tuhan. Dan apakah aku akan diampuni? Atau haruskah aku pergi dan mengakui semuanya? Dan membayar dengan nyawaku untuk nyawa yang kucabut? Yang aku inginkan hanyalah mati dengan pengampunan Allah."

"Hidup untuk menyilih. Kau tidak bisa mengembalikan suami kepada jandanya atau ayah kepada anak-anaknya... Orang harus berpikir sebelum membunuh, sebelum membiarkan kebencian menguasainya! Tapi bangkit dan berjalanlah di jalan yang baru. Dalam perjalananmu, kau akan bertemu dengan murid-murid-Ku. Mereka pastinya berada di pegunungan Yudea dan kau akan mendapati mereka jika kau pergi dari Tekoah ke Betlehem dan lebih jauh ke arah Hebron. Katakan kepada mereka bahwa Yesus telah mengutusmu dan bahwa Dia mengatakan bahwa sebelum Pentakosta Dia akan naik ke Yerusalem melalui Bet-Zur dan Bether. Carilah Elia, Yusuf, Lewi, Matias, Yohanes, Benyamin, Daniel, Ishak. Apakah kau bisa mengingat nama-nama itu? Temui secara khusus mereka. Ayo kita pergi sekarang..."

"Tetapi apakah Engkau tidak akan minum?"

"Aku telah minum airmatamu. Suatu jiwa yang kembali kepada Allah! Tidak ada yang lebih menyegarkan bagi-Ku daripada itu."

"Jadi, aku diampuni?! Engkau katakan: 'Kembali kepada Allah'..."

"Ya. Kau diampuni. Tapi jangan pernah membenci siapa pun lagi."

Laki-laki itu membungkuk kembali, sebab tadi dia sudah berdiri, dan mencium kaki Yesus.

Mereka kembali kepada para rasul dan mendapati mereka sedang berselisih dengan beberapa ahli Taurat.

"Ini dia Guru. Dia akan dapat membalasmu dan memberitahumu bahwa kamu adalah orang-orang berdosa."

"Ada apa?" tanya Yesus, Yang memberi salam dengan hormat tetapi tidak dibalas.

"Guru, mereka menyerang kita dengan pertanyaan-pertanyaan dan ejekan..."

"Adalah tindak belas kasih untuk bersabar terhadap orang-orang yang menyusahkan."

"Tetapi mereka menghina-Mu. Mereka menjadikan-Mu bahan tertawaan... dan orang-orang menjadi bimbang. Lihat? Kami sudah berhasil mengumpulkan banyak orang... Tapi siapakah yang masih tinggal sekarang? Dua atau tiga orang perempuan..."

"Oh! bukan! Ada juga pada-Mu seorang laki-laki, seorang laki-laki kotor! Dia bahkan keterlaluan untuk-Mu! Tetapi, Guru, tidakkah Engkau pikir bahwa Engkau sudah menjadi terlalu tercemar sekarang, sebab Engkau selalu mengatakan bahwa kekotoran membuat-Mu jijik?" ejek seorang ahli Taurat muda seraya menunjuk ke arah si pengemis di samping Yesus.

"Dia bukan kekotoran. Dia bukanlah kekotoran yang menjijikkan-Ku. Dia adalah 'seorang yang malang'. Orang-orang yang malang tidak menjijikkan. Kemelaratan mereka seharusnya menginspirasi jiwa-jiwa dengan perasaan belas kasih dalam persaudaraan. Aku merasa jijik dengan kemelaratan moral, dengan hati yang busuk, dengan jiwa yang terkoyak-koyak, dengan roh yang terluka."

"Dan tahukah Engkau bahwa dia bukan orang seperti itu?"

"Aku tahu bahwa dia percaya dan berharap kepada Allah dan kepada kerahiman-Nya, sekarang sesudah dia berkenalan dengannya."

"Berkenalan dengannya? Di mana ia tinggal? Beritahu kami, supaya kami juga bisa pergi untuk melihat wajahnya. Ah! Allah yang dahsyat, yang Musa saja tidak berani melihat-Nya, pastilah memiliki wajah yang mengerikan bahkan dalam kerahiman-Nya, meskipun kekerasan-Nya telah melunak sesudah berabad-abad!" ahli Taurat muda itu bersikeras seraya tertawa dan tawanya lebih bersifat menyangkal daripada menghujat.

"Aku, Yang berbicara kepadamu, adalah Kerahiman Allah!" seru Yesus, yang berdiri tegak, yang mempesona dengan kuasa mata dan gerak tubuh-Nya.

Aku tidak tahu bagaimana orang itu tidak takut... Namun, meski dia tidak melarikan diri, dia tidak lagi bisa berkata sarkastik dan dia terdiam, sementara ahli Taurat lain menggantikannya, "Oh! betapa banyak perkataan yang sia-sia! Kami hanya ingin bisa percaya. Kami tidak bisa minta yang lebih baik dari itu. Tapi untuk percaya, kita harus punya bukti. Guru, tahukah Kau apa arti Gilgal bagi kami?"

"Apakah menurutmu Aku ini orang tolol?" kata Yesus. Dan dengan nada mazmur, dengan ucapan perlahan agak diperlambat, Dia mulai: "Yosua bangun pagi-pagi, lalu ia dan semua orang Israel berangkat dari Sitim, dan sampailah mereka ke Sungai Yordan, maka bermalamlah mereka di sana, sebelum menyeberang. Setelah lewat tiga hari, para pengatur pasukan menjalani seluruh perkemahan, dan memberi perintah kepada bangsa itu, katanya: 'Segera sesudah kamu melihat tabut perjanjian TUHAN, Allahmu, yang diangkat para imam, yang memang suku Lewi, maka kamu harus juga berangkat dari tempatmu dan mengikutinya -- hanya antara kamu dan tabut itu harus ada jarak kira-kira dua ribu hasta panjangnya, janganlah mendekatinya -- maksudnya supaya kamu mengetahui jalan yang harus kamu tempuh, sebab jalan itu belum pernah kamu lalui dahulu…."

"Cukup. Engkau tahu pelajarannya. Sekarang, supaya bisa percaya, kami menginginkan mukjizat serupa dari-Mu. Pada hari Paskah yang lalu saat perjamuan di Bait Allah, kami mendengar kabar yang dibawa oleh seorang tukang perahu bahwa Engkau menghentikan sungai yang sedang penuh dan mengalir deras. Sekarang, jika untuk seorang jelata saja Engkau melakukan begitu banyak, kami, yang jauh lebih dari sekedar rakyat jelata, meminta-Mu untuk turun ke Sungai Yordan bersama murid-murid-Mu dan menyeberanginya tanpa membasahi kaki-Mu, seperti yang dilakukan Musa di Laut Merah dan Yosua di Gilgal. Ayo! Ilmu sihir hanya bisa mengibuli orang-orang bodoh. Tetapi kami tidak akan tertipu oleh sihir-Mu, meski sudah tersohor bahwa Engkau akrab dengan rahasia dan jampi-jampi gaib Mesir."

"Aku tidak perlu itu."

"Ayo kita turun ke sungai dan kami akan percaya kepada-Mu."

"Ada tertulis: 'Jangan mencobai Tuhan Allahmu!'"

"Engkau bukan Allah! Engkau adalah seorang tolol yang menyedihkan. Engkau adalah orang yang memperdaya orang banyak yang bodoh. Itu mudah bagi-Mu karena Beelzebul menyertai-Mu. Tapi bagi kami, yang berhiaskan kuasa eksorsisme [pengusiran setan], Engkau sama sekali bukan apa-apa," kata seorang ahli Taurat dengan pedas.

"Jangan menyinggung Dia! Mohon pada-Nya untuk memenuhi permintaan kita. Caramu memperlakukan-Nya, Dia akan kehilangan baik nyali maupun kuasa-Nya. Ayo, Rabbi Nazaret! Beri kami bukti dan kami akan menyembah-Mu," kata seorang ahli Taurat tua yang berbisa, yang bersikap lebih sengit dalam sanjungan munafiknya dibandingkan yang lain-lainnya dengan kesengitannya yang terang-terangan.

Yesus memandang padanya. Kemudian Dia berpaling ke arah barat daya dan dengan merentangkan kedua tangan-Nya Dia berkata, "Gurun Yudea ada di sana dan di sana Roh Jahat meminta-Ku untuk mencobai Tuhan AllahKu. Dan Aku menjawab: 'Enyahlah, Iblis! Ada tertulis bahwa Allah hanya untuk disembah; bukan untuk dicobai. Dan Dia harus diutamakan di atas daging dan darah.' Aku mengatakan yang sama kepadamu."

"Apakah Engkau menyebut kami Iblis? Benarkah? Ah! Terkutuklah Engkau!" dan bertingkah lebih seperti bajingan daripada alim ulama Taurat, mereka mulai memunguti batu-batu di tanah untuk melempari-Nya, dan mereka berteriak-teriak, "Pergi! Semoga Engkau dikutuk untuk selama-lamanya!"

Yesus menatap mereka tanpa gentar. Dia melumpuhkan mereka dalam tingkah laku sakrilegi mereka. Dia memungut mantol-Nya dan berkata, "Mari kita pergi! Sobat, berangkatlah mendahului-Ku," dan Dia kembali ke sumur dan masuk ke dalam hutan kecil zaitun tempat pengakuan... Dan Dia menundukkan kepala-Nya, tampak sama sekali remuk redam, sementara dua aliran airmata yang tak tertahankan menuruni wajah-Nya yang pucat.

... Mereka tiba di suatu jalan. Yesus berhenti dan berkata kepada si pengemis, "Aku tidak bisa memberimu uang, karena Aku tidak punya uang. Aku memberkatimu. Selamat jalan. Lakukan apa yang Aku perintahkan kepadamu." Mereka pun berpisah...

Para rasul merasa tertekan. Mereka diam-diam saling melirik satu sama lain...

Yesus memecah keheningan dengan mendaraskan kembali nada mazmur yang disela oleh si ahli Taurat, "Berfirmanlah TUHAN kepada Yosua, demikian:      'Pilihlah dari bangsa itu dua belas orang, seorang dari tiap-tiap suku, dan perintahkanlah kepada mereka, demikian: Angkatlah dua belas batu dari sini, dari tengah-tengah sungai Yordan ini, dari tempat berjejak kaki para imam itu, bawalah semuanya itu ke seberang dan letakkanlah di tempat kamu akan bermalam nanti malam.' Lalu Yosua memanggil kedua belas orang yang ditetapkannya dari orang Israel itu, seorang dari tiap-tiap suku, dan Yosua berkata kepada mereka: 'Menyeberanglah di depan tabut TUHAN, Allahmu, ke tengah-tengah sungai Yordan, dan angkatlah masing-masing sebuah batu ke atas bahumu, menurut bilangan suku orang Israel, supaya ini menjadi tanda di tengah-tengah kamu. Jika anak-anakmu bertanya di kemudian hari: Apakah artinya batu-batu ini bagi kamu? maka haruslah kamu katakan kepada mereka: Bahwa air sungai Yordan terputus di depan tabut perjanjian TUHAN; ketika tabut itu menyeberangi sungai Yordan, air sungai Yordan itu terputus. Sebab itu batu-batu ini akan menjadi tanda peringatan bagi orang Israel untuk selama-lamanya.'"

Dia kemudian mengangkat kepala-Nya, dan mengarahkan tatapan-Nya pada para rasul yang tengah menatap pada-Nya. Dengan suara yang berbeda, suara dari saat-saat duka yang terdalam, Dia berkata, "Dan Tabut kala itu ada di sungai. Bukan air, melainkan langit yang terbuka demi hormat kepada Sang Sabda Yang menyucikan mereka dan menjadikan mereka lebih suci daripada yang dilakukan oleh Tabut, dengan berdiri di palung sungai. Dan Sang Sabda memilih duabelas batu. Dia memilih batu-batu yang sangat kokoh, karena batu-batu itu harus bertahan hingga akhir dunia, dan mereka akan menjadi pondasi dari Bait Allah yang baru dan dari Yerusalem yang abadi. Duabelas. Ingatlah. Itulah angkanya. Dan kemudian Dia memilih duabelas orang lagi sebagai saksi kedua. Para murid-gembala yang pertama dan Habel si kusta dan Samuel si timpang, mereka yang pertama-tama disembuhkan terlebih dahulu... dan bersyukur... Mereka sangat kokoh juga, karena mereka akan harus bertahan dari deraan Israel, yang membenci Allah!... Yang membenci Allah!..."

Betapa sedih dan lirih suara Yesus - nyaris seperti suara seorang anak laki-laki - saat Dia menangisi kekerasan hati Israel. Dia melanjutkan, "Waktu dan orang-orang menyerakkan batu-batu peringatan di sungai... Kebencian akan menyerakkan keduabelas rasul-Ku di bumi. Di tepian-tepian sungai, waktu dan orang-orang sudah menghancurkan mezbah peringatan... Batu yang pertama dan yang kedua tidak lagi bisa dikenali: kedengkian getir setan, yang tinggal tidak hanya di neraka, tetapi juga dalam hati manusia, sudah menggunakannya untuk semua tujuan. Sebagian sudah digunakan juga untuk membunuh. Dan bagaimana Aku tahu bahwa di antara batu-batu yang diangkat untuk melawan-Ku, tidak ada serpihan dari batu-batu yang sangat keras yang dipilih oleh Yosua? Sangat keras! Sangat memusuhi! Oh! Sangat keras! Juga di antara para pengikut-Ku sebagian orang yang sesat akan bertindak sebagai paving bagi setan-setan yang berderap melawan Aku... dan mereka akan menjadi batu-batu untuk menyerang-Ku... dan mereka tidak akan lagi menjadi batu-batu pilihan... tetapi setan-setan... Oh! Yakobus, saudara-Ku terkasih! Betapa keras Israel terhadap Tuhan-nya!" dan, apa yang belum pernah terlihat sebelumnya, Yesus, yang diliputi oleh aku tidak tahu depresi sangat mendalam entah apa gerangan, bersandar pada bahu Yakobus Alfeus dan memeluknya sambil menangis...
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 6                 Daftar Istilah                    Halaman Utama