383. DI RUMAH SALOMO. ANANIAS TUA.
![]()
![]() 15 Februari 1946
Rumah mungil Salomo, yang aku lihat dalam penglihatan kebangkitan Lazarus pada tahun 1944 tanpa tahu siapa pemiliknya, adalah salah satu dari rumah-rumah terakhir di satu-satunya jalan yang menghantar orang ke sungai, di desa terpencil yang miskin ini, satu dusun kecil tukang perahu, di mana rumah... "mereka yang lebih kaya" terletak di sepanjang jalan kecil berdebu, dan yang lainnya tersebar acak di antara pepohonan di tanggul. Jumlahnya tidak banyak. Aku pikir seluruhnya tidak sampai limapuluh. Dan ukurannya sangat kecil, sehingga semuanya bisa ditampung di salah satu dari rumah-rumah petak di kota-kota besar modern. Saat ini rumah-rumah itu tampak tidak terlalu menyedihkan karena dihiasi oleh kesegaran musim semi, dengan rangkaian-rangkaian bunga bindweed atau juntaian tumbuh-tumbuhan merambat, atau bunga-bunga kuning sayuran marrow yang tersenyum ceria yang menghiasi pagar-pagar kasar yang menandai batas-batas properti, tepian-tepian atap, pintu-pintu rumah. Ada juga sekuntum mawar yang ganjil, yang kelihatan salah tempat, yang dalam keindahannya berada di tengah petak-petak bunga mustard kuning yang sedang mekar dan biji-biji awal kacang-kacangan yang merunduk dan berayun-ayun.
Juga jalanan tampak lebih indah, karena rumpun bambu Canebrake (Arundinaria gigantea) di ujung-ujang jalan, dan gladioli liar yang memamerkan dedaunnya yang berbentuk bak pedang dan bunga-bunganya yang indah berwarna cerah, sementara tumbuhan bindweed dengan batang-batangnya yang bagai benang memeluk si bambu dan jalin-menjalin di sekelilingnya dan di setiap putarannya ia memunculkan bunga kecil seperti piala yang sangat lembut berwarna merah muda lilac. Dan beribu-ribu burung bercumbu di antara rumpun buluh, bergenit-genit di rumpun bambu, berayun-ayun di dahan bearbine [Convolvulus], memeriahkan tanggul rawa yang hijau dengan kicauan dan bulunya yang berwarna-warni.
Yesus mendorong gerbang kecil pedesaan yang menghantar ke sebuah kebun kecil sayur-mayur dan buah-buahan atau pekarangan kecil. Kalau itu dulunya adalah kebun sayur-mayur dan buah-buahan, sekarang hanya tinggal belitan rumput liar, kalau itu dulunya adalah pekarangan sekarang hanya tinggal ilalang liar yang ditaburkan angin. Hanya beberapa sayuran marrow berlaku bijak dengan bergayut pada satu-satunya pohon anggur dan pohon ara, dengan merambat naik untuk memunculkan mulut bunganya yang tersenyum dekat berkas-berkas kecil buah anggur, atau dekat daun-daun mungil nan lembut pohon ara, yang pada ruas-ruasnya, di tempat tumbuhnya batang, terdapat berlian-berlian keras bunga-bunga ara yang baru saja terbentuk. Tumbuh-tumbuhan jelatang sungguh menyiksa kaki telanjang para rasul, sebegitu rupa hingga Petrus dan Tomas memungut dua buah dayung yang sudah dimakan ngengat dan sibuk memukuli tumbuhan yang mengganggu itu untuk mengurangi efek racunnya.
Sementara itu Yakobus dan Yohanes mencoba membuka gembok besar yang berkarat, dan ketika berhasil, mereka membuka pintu, memasuki ruang dapur yang berbau pengap. Debu dan sarang laba-laba menghiasi dinding. Sebuah meja kasar, beberapa bangku dan kursi, dan sebuah rak melengkapi ruang dapur; ada dua pintu di salah satu temboknya.
Petrus menjelajahi rumah... "Ada sebuah kamar yang kecil dengan satu tempat tidur saja. Itu baik untuk Yesus... Dan di sana? Ah! Aku tahu! Ini ruang penyimpanan, gudang kayu, lumbung dan sarang tikus... Lihat bagaimana tikus-tikus itu lari! Mereka sudah menggerogoti segalanya selama bulan-bulan belakangan ini. Tapi sekarang aku akan menghadapimu, jangan khawatir. Guru... bisakah kita berlaku seolah-olah kita berada di rumah sendiri di sini?"
"Itulah yang dikatakan Salomo."
"Sungguh baik! Dengar, saudaraku, dan kau, Yakobus. Kemarilah dan tutup semua lubang ini. Dan kau, Matius, berdirilah di sini di pintu bersama Yudas, dan pastikan tidak ada bahkan seekor tikus pun yang lolos. Bayangkan saja kau masih seperti pemungut cukai di Kapernaum. Tidak ada seorang pun yang bisa lolos darimu saat itu, bahkan meski dia sudah menjadi sekurus kadal sesudah hibernasi... Dan kau pergi dan ambil sebanyak mungkin rumput liar di kebun sayur-mayur dan buah-buahan dan bawalah ke sini. Dan Engkau, Guru, pergilah... ke mana pun Engkau suka, sementara aku akan memberantas setan-setan kotor ini, yang sudah merusak jaring-jaring yang bagus ini dan sudah memakan seluruh lunas perahu..." Dan sambil berbicara dia mengumpulkan potongan-potongan kayu yang sudah digerogoti, potongan-potongan jaring yang sudah dikerikiti, berkas-berkas kayu bakar... semuanya ditempatkannya di tengah ruangan, dan ketika dia mendapatkan rumput hijau, dia menempatkannya di atas tumpukan itu dan lalu membakarnya dan berlari keluar ketika kepulan pertama asap membubung dari sana. Dan dia tertawa seraya berkata, "Biarkan semua orang Filistin mati!"
"Tapi tidakkah kau akan membakar semuanya?" tanya Simon Zelot.
"Tidak sayangku. Karena rumput hijau yang lembap meredam api, dan api menghembuskan asap dari rumput dan dengan demikian, seperti sekutu yang baik, unsur-unsur yang kering dan yang hijau akan saling membantu satu sama lain dalam balas dendam ini. Bisakah kau cium bau busuknya? Dan tak lama lagi kau akan mendengar jeritan-jeritannya! Siapa itu yang memberitahuku bahwa angsa bernyanyi sebelum mati? Ah! Sintikhe! Tikus-tikus itu juga akan segera bernyanyi."
Yudas Iskariot sekonyong-kongyong berhenti tertawa dan menyeletuk. "Kita belum bisa mendapatkan kabar apa pun tentang dia. Dan kita belum mendengar berita apa pun tentang Yohanes dari Endor. Aku ingin tahu di mana mereka berada."
"Di tempat yang tepat tentunya," jawab Petrus.
"Tahukah kau di mana?"
"Aku tahu bahwa mereka tidak lagi berada di sini untuk diusik oleh niat-niat jahat."
"Pernahkah kau bertanya tentang mereka? Aku sudah."
"Aku tidak. Aku tidak tertarik untuk tahu di mana mereka berada. Aku cukup puas memikirkan dan berdoa agar mereka dapat bertekun dalam kekudusan."
Tomas menimpali, "Beberapa orang Farisi yang kaya bertanya kepadaku tentang keduanya. Orang-orang Farisi itu adalah pelanggan ayahku. Aku jawab bahwa aku tidak tahu."
"Dan apakah kau tidak ingin tahu?"
"Tidak, dan itulah kenyataannya..."
"Dengar! Dengar! Asapnya mulai berpengaruh. Tapi ayo kita keluar, kalau tidak, kita akan sesak napas juga," kata Petrus. Dan dengan demikian distraksi itu mengakhiri pembicaraan.
Yesus berada di kebun sayur-mayur dan buah-buahan. Dia sedang meluruskan batang tanaman polong-polongan yang merambat di tanah, yang sudah tumbuh dari benih yang jatuh di sana.
"Apakah Engkau sedang bekerja sebagai tukang kebun?" tanya Filipus seraya tersenyum.
"Ya. Aku sedih melihat tanaman yang merambat sia-sia, padahal ia ditakdirkan untuk tumbuh ke arah matahari dan menghasilkan buah."
"Subjek yang indah untuk khotbah, Guru," komentar Bartolomeus. " Ya. Indah. Tetapi semua bisa digunakan sebagai subjek, jika orang tahu bagaimana bermeditasi."
"Kami juga akan membantu-Mu. Ayo! Siapa yang mau turun ke sungai untuk mencari cagak untuk polong-polongan?"
Murid-murid yang lebih muda pergi sembari tertawa-tawa, dan murid-murid yang lebih tua mulai sibuk mencabuti rumput dengan hati-hati.
"Oh! Orang bisa melihat bahwa itu adalah kebun sayur-mayur dan buah-buahan yang seperti itu. Tidak ada selada. Tapi ada daun bawang, bawang putih, sayur-sayuran, tanaman bumbu dan polong-polongan. Dan sayuran marrow! Alangkah banyaknya! Pohon anggur perlu dipangkas dan pohon ara perlu ditebang..."
"Tapi, Simon, kita tidak akan tinggal di sini!..." kata Matius.
"Tetapi kita akan sering datang ke sini." Dia bilang begitu. Dan tidak ada salahnya jika ada sedikit keteraturan di sini. Lihat! Ada juga bunga melati; bunga malang yang berada di bawah berkas-berkas marrow ini. Jika Porphirea melihat tanaman ini yang begitu terlantar, dia akan menangisinya, dan dia akan berbicara kepadanya seperti kepada seorang kanak-kanak. Tentu saja, sebelum dia mendapatkan Marjiam dia biasa berbicara kepada bunga-bunganya seolah-olah mereka adalah anak-anaknya... Ini dia! Aku sudah membuat ruang di sini. Aku menyingkirkan marrow-nya karena... Oh! Anak-anak datang dengan membawa cagak dan... Guru, ada pekerjaan untuk-Mu. Dia buta!"
Sesungguhnya, Yakobus, Yohanes, Andreas dan Tomas datang dengan membawa banyak cagak, dan Tomas nyaris menggendong seorang laki-laki lanjut usia yang malang, yang berbalut kain compang-camping; kedua matanya putih karena katarak.
"Guru, dia berusaha mencari sayuran chicory di tepian sungai dan hampir terjatuh ke dalam sungai. Sudah beberapa bulan ini dia ditinggalkan sendirian, karena anak laki-laki yang merawatnya meninggal, dan menantu perempuannya pulang kembali ke rumah orangtuanya dan dia... sebisa-bisanya bertahan hidup. Benar begitu, bapa?"
"Ya. Di manakah Tuhan?" katanya seraya memutar matanya yang berselaput.
"Dia ada di sini. Bisakah kau melihat yang putih panjang itu? Itulah Dia."
Namun Yesus menyongsongnya dan menggandengnya. "Apakah kau sendirian, bapa yang malang? Dan kau tidak bisa melihat?"
"Tidak bisa. Semasa aku masih bisa melihat, aku membuat keranjang, pukat, dan aku juga membuat jaring. Tapi sekarang... Aku bisa melihat lebih banyak dengan jemariku dibandingkan dengan mataku. Terkadang aku keliru saat mencari sayur-sayuran, terkadang aku sampai sakit perut karena tumbuhan yang membahayakan."
"Tapi di desa..."
"Oh! Mereka semua miskin dan punya banyak anak, dan aku sudah tua... Jika seekor keledai mati... orang sedih. Tetapi jika seorang laki-laki renta yang mati!... Apa gunanya orang yang sudah tua itu? Aku ini siapa? Menantu perempuanku membawa pergi semuanya. Andai saja dia membawaku bersamanya, seperti seekor domba tua, supaya aku bisa dekat dengan cucu-cucuku... anak-anak dari putraku..." Dan laki-laki itu menangis dengan menyandarkan kepalanya di dada Yesus, Yang memeluknya dan membelainya.
"Apakah kau punya rumah?"
"Dia menjualnya."
"Dan bagaimana kau bertahan hidup?"
"Seperti binatang. Mulanya orang-orang desa membantuku, kemudian mereka menjadi bosan..."
"Kalau begitu Salomo bukan dari ras yang sama, karena dia murah hati," komentar Matius.
"Tapi terhadap kita saja. Kenapa dia tidak memberikan rumahnya kepada orang tua ini?" tanya Filipus.
"Karena terakhir kali dia datang ke sini, aku masih punya rumah. Salomo itu baik. Tapi selama beberapa waktu penduduk desa mengatakan bahwa dia gila, dan mereka tidak lagi melakukan apa yang diajarkan Salomo kepada mereka," kata lelaki tua itu.
"Maukah kau tinggal bersama-Ku?"
"Oh! Aku tidak lagi akan menyesali cucu-cucuku!"
"Bahkan meski kau tetap miskin dan buta, apakah kau akan berbahagia hanya dengan melayani-Ku?"
"Ya!" Ya yang gemetar, tetapi begitu tegas...
"Baiklah, bapa. Dengarkanlah. Kau tidak bisa bepergian seperti Aku. Dan Aku tidak bisa tetap di sini. Tapi kita bisa saling mengasihi dan berbuat baik satu sama lain."
"Engkau bisa, ya, untukku. Tapi aku... Apa yang bisa dilakukan si tua Ananias?"
"Bisakah kau mengurus rumah dan kebun sayur-mayur dan buah-buahan supaya Aku bisa mendapatinya dalam keadaan baik ketika Aku kembali? Apakah kau suka ide itu?"
"Ya, aku mau! Tapi aku buta... Untuk rumah aku akan terbiasa dengan tembok-temboknya. Tapi kebun sayur-mayur dan buah-buahan, bagaimana aku bisa mengurusnya, jika aku tidak bisa membedakan tanaman yang satu dengan yang lain? Oh! Betapa indahnya melayani-Mu seperti itu, Tuhan! Dan dengan demikian akhir hidupku..." Laki-laki tua itu menekankan tangannya ke dadanya, memimpikan apa yang tadinya mustahil.
Yesus membungkuk seraya tersenyum dan mencium matanya yang redup...
"Tetapi aku... Aku mulai bisa melihat... Aku bisa melihat... Oh! Oh!..." Dia terhuyung-huyung dalam sukacitanya dan pastilah terjatuh jika Yesus tidak menopangnya.
"Eh! betapa sukacita!..." kata Petrus dengan suara yang sangat tersentuh.
"Dan kelaparan... Dia mengatakan bahwa dia bertahan hidup hanya dengan makan chicory selama berhari-hari, tanpa minyak atau pun garam..." Tomas mengakhiri.
"Ya, itu sebabnya kami membawanya ke sini. Untuk memberinya makan..."
"Jiwa tua yang malang!" mereka semua berseru penuh simpati.
Orang tua itu tersadar kembali dan menangis. Air mata malang seorang lanjut usia juga begitu menyedihkan meski itu adalah airmata sukacita, dan dia berbisik, "Sekarang... sekarang aku bisa melayani-Mu, Engkau Yang Diberkati!" dan dia hendak membungkuk untuk mencium kaki-kaki Yesus.
"Tidak, bapa. Sekarang kita akan masuk ke dalam dan kita akan makan. Kemudian kami akan memberimu pakaian dan kau akan berada di antara anak-anakmu, dan kami akan punya seorang bapa yang akan menyambut kami setiap kali kami kembali dan yang akan memberkati kami setiap kali kami berangkat. Kami akan pergi dan mencarikan dua ekor burung merpati, supaya akan selalu ada makhluk hidup di sekitarmu. Kami akan mendapatkan benih untuk kebun sayur-mayur dan buah-buahan dan kau akan menaburkannya di tanah dan kau akan menaburkan iman kepada-Ku di hati orang-orang di sini."
"Aku akan mengajari mereka amal kasih, karena mereka sama sekali tidak memikikinya!"
"Ya, juga amal kasih. Tapi bersikaplah lemah-lembut..."
"Oh! Ya. Aku tidak mengucapkan sepatah kata kasar pun kepada menantu perempuanku ketika dia meninggalkanku. Aku mengerti dan aku memaafkan."
"Aku membaca itu di dalam hatimu. Itu sebabnya Aku mengasihimu. Ayo. Ikutlah Aku..." Dan Yesus masuk ke dalam rumah sambil menggandeng tangan orang tua itu.
Petrus memandang mereka, dan dengan punggung tangannya dia menyeka air mata, sebelum mulai bekerja kembali.
"Apakah kau menangis, saudaraku?" Petrus tidak menjawab. Andreas mendesak, "Mengapa kau menangis, saudaralu?"
"Urus urusanmu sendiri, dalam hal ini: rumput liar. Jika aku menangis, itu karena... itu karena aku tahu mengapa..."
"Beritahu kami juga, jadilah baik," kata beberapa di antara rasul.
"Itu karena, pelajaran-pelajaran ini... yang diberikan seperti itu... lebih menyentuh hatiku daripada ketika Dia menggelegar dengan dahsyat..."
"Tapi dengan begitu kita melihat Raja di dalam Dia!" seru Yudas.
"Dan di sini kita melihat Orang Kudus. Petrus benar," kata Bartolomeus.
"Tapi Dia harus berkuasa untuk memerintah."
"Dan Dia harus kudus untuk menebus."
"Aku setuju sehubungan dengan jiwa-jiwa. Tapi sehubungan dengan Israel..."
"Israel tidak akan pernah menjadi Israel kecuali jiwa-jiwa menjadi kudus."
Terjadilah adu argumentasi.
Laki-laki tua itu keluar dengan membawa sebuah tempayan air. Dia hendak pergi ke sumber mataair. Dia sangat berbahagia hingga tampak benar-benar berbeda dari dia sebelumnya.
"Bapa tua, dengarkan. Menurutmu, apakah yang dibutuhkan Israel untuk menjadi besar?" tanya Andreas kepadanya. "Seorang raja atau seorang kudus?"
"Ia membutuhkan Tuhan. Tuhan Yang berdoa dan bermeditasi di sana. Ah! Anak-anakku! Jadilah baik, kamu yang mengikut-Nya! Jadilah baik, sangat baik! Ah! Betapa besar anugerah yang Tuhan berikan kepadamu! Anugerah yang luar biasa!" dan dia pergi sambil mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berbisik, "Anugerah yang luar biasa! Anugerah yang luar biasa!"...
|
||||||||||||
|