344. DI KASTIL DI KAISAREA PANEAS.            


29 November 1945  

Perjamuan di rumah tumpangan sudah selesai. Dan Yesus keluar bersama keduabelas rasul,  para murid-Nya, dan tuan rumah yang sudah lanjut usia. Mereka kembali ke Mataair Besar. Namun mereka tidak berhenti di sana. Mereka melanjutkan perjalanan di jalan yang sama, yang menanjak sepanjang jalan, ke utara.

Jalannya, sangat curam, tapi nyaman, dapat dilalui juga oleh kereta dan kuda. Di ujung jalan, di puncak gunung, ada kastil atau benteng raksasa, apa pun itu, yang menakjubkan karena bentuknya unik. Tampaknya terdiri dari dua bangunan, yang ditempatkan pada permukaan tanah yang tingginya berbeda, sehingga bagian belakang, yang juga tampak lebih seperti perang, beberapa meter lebih tinggi dari bagian depan, yang mendominasi dan melindunginya. Di antara kedua bangunan itu ada tembok tinggi yang lebar dibentengi dengan menara-menara persegi; tetapi pastinya itu satu bangunan saja karena dikelilingi oleh tembok ashlar, dengan batu-batu ashlar miring di dasarnya untuk menopang berat benteng. Aku tidak bisa melihat sisi barat. Namun sisi utara dan sisi selatan jatuh curam ke gunung, yang terpencil dan turun secara vertikal di kedua sisi. Aku pikir sisi barat juga serupa itu.

Benyamin tua, yang, seperti kita semua, bangga akan kotanya, menjelaskan pentingnya kastil Tetrarch [= raja wilayah], yang selain sebagai kastil, juga sebagai benteng kota, dan dia menunjukkan keindahannya, soliditasnya yang sangat kuat, kekhasannya seperti waduk, tong-tong air, luasnya, pemandangan sekeliling, posisinya, dll. "Juga orang Romawi mengatakan bahwa kota ini indah. Dan mereka adalah juri yang baik!..." orang tua itu mengakhiri perkataannya. Dia lalu menambahkan, "Aku kenal dengan sang superintenden. Itu sebabnya aku bisa masuk. Aku akan menunjukkan kepada-Mu pemandangan Palestina yang paling luas dan paling indah."

Yesus mendengarkannya dengan baik dan sabar. Yang lain-lainnya tersenyum samar: mereka sudah melihat begitu banyak pemandangan... tetapi laki-laki tua itu begitu baik hingga mereka tidak sampai hati mengecewakannya dan mereka mengiyakan keinginannya untuk menunjukkan hal-hal indah kepada Yesus.

Mereka mencapai puncak. Pemandangannya benar-benar menakjubkan bahkan dari emplasemen sebelum gerbang besi utama. Namun lelaki tua itu berkata, "Ayo... ayo! Lebih indah di dalam. Kita akan pergi ke puncak menara tertinggi di benteng... Kau akan lihat..."

Dan mereka memasuki sebuah koridor gelap yang digali di tembok, yang lebarnya beberapa meter, hingga mereka tiba di halaman di mana superintenden sedang menantikan mereka bersama keluarganya.

Kedua kawan itu saling menyapa dan lelaki tua itu menjelaskan alasan kunjungannya.

"Rabbi Israel?! Sayang sekali Filipus tidak di sini. Dia sangat ingin bertemu dengan-Nya, karena kami mendengar tentang kemasyhuran-Nya. Dia sangat suka dengan para rabbi sejati, karena merekalah satu-satunya yang membela hak-haknya, dan juga untuk menjengkelkan Antipas yang tidak menyukai mereka. Ayo, ayo!..." Laki-laki itu mengamat-amati Yesus dengan sangat cermat terlebih dahulu dan lalu memutuskan untuk menghormati-Nya dengan membungkukkan badan seperti layaknya kepada seorang raja.

Mereka melewati koridor lain menuju ke halaman kedua di mana ada gerbang besi lain menuju halaman ketiga, yang di baliknya terdapat parit yang dalam dan tembok benteng yang bermenara. Wajah-wajah prajurit yang penuh rasa ingin tahu muncul dari mana-mana. Mereka memasuki benteng dan kemudian, dengan menaiki sebuah tangga sempit, mereka tiba di bastion dan lalu menara. Hanya Yesus, superintenden, Benyamin dan keduabelas rasul yang memasuki menara, dan mereka berdesakan bagai ikan sarden, sehingga yang lain-lainnya tidak bisa masuk dan tetap tinggal di bastion.

Yesus dan mereka yang bersama-Nya menikmati pemandangan yang luar biasa mengagumkan ketika mereka keluar ke teras kecil di puncak menara dan melihat dari tembok pembatas batu yang tinggi! Memandang dari atas jurang di sisi barat ini, bagian tertinggi kastil, mereka bisa melihat seluruh Kaisarea yang terbentang di kaki gunung, dan mereka bisa melihatnya dengan sangat baik, karena tidak terhampar di tanah yang datar, tetapi di lereng-lereng yang landai. Di luar Kaisarea ada dataran subur yang membentang sampai ke Danau Merom. Dan danau itu kelihatan seperti laut hijau kecil, airnya berkilauan seakan-akan batu-batu pirus muda bertebaran di atas hamparan hijau yang luas bagi partikel-partikel langit yang cerah. Dan lalu ada bukit-bukit yang indah, terbentang di sana sini di batas-batas dataran, bagai kalung zamrud gelap bergaris-garis perak pohon zaitun. Dan pohon-pohon airy plumes yang sedang berbunga, atau pepohonan yang sedang berbunga sepadat bola-bola besar... Dan memandang ke utara dan ke timur ada Libanon yang megah dan Hermon yang bercahaya di bawah sinar matahari dengan saljunya yang bak mutiara dan pegunungan Iturea; dan orang bisa melihat sekilas lembah Yordan yang mengesankan, yang terbentang di antara perbukitan Laut Tiberias dan pegunungan Gaulanitis, samar-samar di kejauhan bagai mimpi.

"Betapa indahnya! Benar-benar indah!" seru Yesus mengagumi pemandangan dan Dia seolah-olah memberkati atau ingin memeluk tempat-tempat indah ini dengan membuka kedua tangan-Nya lebar-lebar dan tersenyum sukacita. Dan Dia menjawab para rasul yang meminta penjelasan ini atau itu, dengan menunjuk tempat-tempat di mana mereka pernah berada, yaitu ke berbagai daerah dan arah di mana tempat-tempat itu terletak.

"Tapi aku tidak bisa melihat Sungai Yordan," kata Bartolomeus.

"Kau tidak bisa melihatnya, tetapi itu ada di sana, di hamparan itu, di antara dua rantai pegunungan. Sungai Yordan berada tepat di seberang sisi barat. Kita akan turun ke sana, karena Perea dan Dekapolis masih menantikan Sang Penginjil."

Namun Dia berbalik, seolah-olah Dia sedang mendengarkan udara, karena erangan panjang yang seolah tercekik yang Dia dengar lebih dari sekali. Dia menatap pada superintenden, seolah bertanya apa yang terjadi.

"Itu adalah salah satu perempuan di kastil. Seorang istri yang masih muda. Dia akan memiliki bayi. Ini akan menjadi bayinya yang pertama sekaligus yang terakhir karena suaminya meninggal pada awal bulan Kislew. Aku tidak tahu apakah perempuan itu akan hidup, karena sejak suaminya meninggal, dia tidak melakukan apa-apa selain terus-menerus menangis. Dia sudah kehabisan tenaga. Bisakah Kau mendengarnya? Dia bahkan tidak punya kekuatan untuk menangis... Tentu saja... Seorang janda di usia tujuhbelas tahun... Dan mereka sangat saling mencinta. Istriku dan ibu mertuaku terus mengatakan kepadanya, 'Kau akan mendapatkan Toby-mu dalam anakmu.' Tapi itu hanya perkataan belaka..."

Mereka turun dari menara dan mengelilingi bastion sementara mengagumi tempat dan pemandangannya. Superintenden kemudian mendesak menawarkan buah-buahan dan minuman kepada para tamu dan mereka dihantar ke sebuah ruangan besar di depan kastil, di mana para pelayan membawakan apa yang sudah dipesan.

Erangan itu semakin menyayat hati dan semakin jelas, dan superintenden meminta maaf juga karena kejadian itu membuat istrinya tidak dapat menyambut Sang Guru. Namun ratap tangis, yang bahkan lebih menyakitkan daripada erangan sebelumnya, sekarang terdengar, dan tangan-tangan yang membawa buah atau cawan ke mulut berhenti mengawang di udara.

"Aku akan melihat apa yang terjadi," kata superintenden. Dan dia keluar sementara suara erangan dan tangis yang menyakitkan terdengar lebih jelas melalui pintu yang setengah terbuka.

Sang superintenden kembali, "Bayinya meninggal begitu lahir... Sungguh siksaan! Dia mencoba untuk menghidupkannya kembali dengan sisa kekuatannya... Tapi bayi itu tidak bernafas lagi. Warnanya ungu!..." dan sambil menggelengkan kepalanya dia berkata, "Dorca yang malang!"

"Bawalah bayinya kepada-Ku."

"Tapi bayinya sudah mati, Tuhan."

"Aku katakan: Bawalah bayinya kepada-Ku. Seperti apa adanya. Dan beritahu ibunya untuk memiliki iman."

Superintenden itu berlari pergi dan segera kembali, "Dia tidak mau memberikannya. Dia mengatakan bahwa dia tidak akan memberikannya kepada siapa pun. Dia kelihatan seperti gila. Dia mengatakan bahwa kita mencoba merebutnya darinya."

"Bawa Aku ke pintu kamarnya, supaya dia bisa melihat Aku."

"Tetapi..."

"Tidak apa! Aku akan ditahirkan nanti, jika perlu..."

Mereka berjalan cepat di sepanjang koridor yang gelap sampai ke sebuah kamar tertutup. Yesus sendiri yang membuka pintunya dan tetap di ambang pintu dengan menghadap tempat tidur di mana seorang perempuan yang sangat pucat mendekapkan ke dadanya seorang bayi mungil yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

"Damai sertamu, Dorca. Lihat Aku. Jangan menangis. Aku Juruselamat. Berikan bayimu pada-Ku..."

Aku tidak tahu apa yang ada dalam suara Yesus. Aku tahu bahwa si perempuan yang malang, begitu melihat-Nya, mendekapkan bayi yang baru lahir itu ke dadanya dengan sikap liar, lalu dia memandang-Nya dan raut wajahnya yang berduka berubah menjadi sedih tetapi sekaligus penuh harapan. Dia menyerahkan bayi yang dibungkus kain lampin kepada istri superintenden... dan tetap tidak bergerak, dengan kedua tangan terentang, dengan mata lebarnya penuh iman dan hidup, tuli terhadap permintaan ibu mertuanya, yang menginginkannya berbaring di atas bantal di tempat tidur.

Yesus mengambil buntalan kain lampin dengan bayi yang setengah dingin itu, mengangkat si bayi pada ketiaknya agar dalam posisi berdiri, menempatkan bibir-Nya pada bibir mungil bayi yang setengah tertutup, membungkuk sedikit karena kepala mungil itu terkulai ke belakang. Dia meniup dengan keras pada tenggorokan yang tanpa daya... dan diam beberapa saat dengan bibir-Nya menempel pada mulut mungil itu... lalu Dia bergerak menjauh... dan suatu suara lemah bergetar di udara yang beku... lalu suara yang lebih keras... suara yang ketiga... dan akhirnya tangis nyata dari kepala mungil yang bergetar... Bayi itu menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, dan sementara itu, selama tangis kemenangannya yang panjang, kepalanya yang gundul dan wajahnya yang mungil mulai merona. Dan ibunya berseru, "Putraku! Cintaku! Keturunan Toby-ku! Jantung hatiku! Datanglah ke hatiku!... agar aku bisa mati dengan bahagia..." gumamnya, suaranya melemah menjadi bisikan, yang berakhir dengan ciuman dan dalam reaksi relaksasi logis.

"Dia sekarat!" teriak para perempuan.

"Tidak. Dia mulai beristirahat, sebagaimana patut baginya. Apabila dia bangun, katakan padanya untuk menamai bayinya: Yesai Tobia. Aku akan menemuinya di Bait Allah pada hari pentahirannya. Selamat tinggal. Damai sertamu."

Dengan perlahan Dia menutup pintu dan berbalik untuk kembali kepada murid-murid-Nya. Namun mereka semua ada di sana, begitu tersentuh hatinya dengan apa yang baru saja mereka lihat dan menatap pada-Nya dengan penuh kekaguman.

Mereka kembali bersama ke halaman. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada superintenden yang tercengang, yang terus mengulang, "Betapa akan menyesalnya Tetrarch karena dia tidak di sini!" dan mereka mulai turun menuju kota.

Yesus meletakkan tangan-Nya pada bahu Benyamin tua seraya berkata, "Terima kasih karena apa yang sudah kau tunjukkan kepada kami dan karena sudah menjadi perantara terjadinya suatu mukjizat."...
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 5                 Daftar Istilah                    Halaman Utama