334. ISMAEL BEN FABI. PERUMPAMAAN TENTANG PERJAMUAN.            


11 September 1944  

Aku melihat Yesus berjalan cepat di sepanjang sebuah jalan utama, di mana angin dingin dari suatu pagi musim dingin menyapu dan membuat beku. Ladang-ladang di kedua sisi jalan berselimutkan selubung hijau tipis tunas gandum, yang baru saja mulai tumbuh dan merupakan janji akan roti masa depan, meskipun janji itu bahkan sulit dibayangkan. Ada deretan alur-alur di tempat teduh, yang masih tanpa tunas-tunas hijau di alurnya, dan hanya di tempat-tempat yang lebih terpapar matahari ada selubung hijau muda yang begitu riang sebab ia memaklumkan musim semi yang akan segera tiba. Pohon buah-buahan masih gundul, belum ada cabang-cabang gelapnya yang berpucuk. Hanya pepohonan zaitun yang memiliki daun-daun hijau keabu-abuan lestarinya, yang sama sedihnya dalam siraman berkas-berkas matahari bulan Agustus maupun dalam cahaya pertama pagi musim dingin itu. Juga daun-daun tebal kaktus berwarna hijau, hijau lembut bagai keramik yang baru dicat.

Seperti biasa, Yesus berjalan dua atau tiga langkah di depan murid-murid-Nya. Mereka semua terbungkus dalam mantel wol mereka. Pada titik tertentu Yesus berhenti dan berbalik, Dia bertanya kepada para murid, "Apa kamu tahu jalannya?"

"Inilah jalannya, tapi kami tidak tahu di mana rumahnya, karena lebih jauh ke pedalaman... Mungkin di sana, di mana ada pohon-pohon zaitun itu..."

"Tidak. Pasti di bawah sana, di dasar, di mana ada pohon-pohon besar yang gundul itu..."

"Semestinya ada jalan untuk kereta..."

Singkatnya: mereka tidak tahu dengan tepat. Tidak ada orang yang terlihat di jalan atau di ladang-ladang. Mereka melanjutkan secara acak, mencari jalan.

Mereka menemukan sebuah rumah kecil orang-orang miskin, dengan dua atau tiga ladang kecil sekelilingnya. Seorang gadis kecil sedang menimba air dari sebuah sumur.

"Damai sertamu, gadis kecil," kata Yesus yang berhenti di pagar tanam-tanaman di mana ada jalan masuk.

"Damai serta-Mu. Apakah yang Engkau inginkan?"

"Beberapa informasi. Di manakah rumah Ismael, orang Farisi itu?"

"Engkau berada di jalan yang salah, Tuan. Engkau harus kembali ke persimpangan jalan dan mengambil jalan yang ke arah matahari terbenam. Tetapi itu perjalanan yang jauh, sangat jauh, karena Engkau harus kembali ke persimpangan jalan dan lalu berjalan cukup jauh. Apakah Engkau punya sesuatu untuk dimakan? Udaranya dingin dan orang lebih merasakan dinginnya dengan perut kosong. Masuklah, jika Engkau mau. Kami miskin. Tapi Engkau juga tidak kaya. Engkau bisa mendapatkan yang terbaik dari situasi ini. Mari." Dan dengan suaranya yang melengking dia berteriak, "Ibu!"

Seorang perempuan berusia sekitar tigapuluh lima empatpuluh tahun datang ke pintu. Wajahnya jujur tapi agak sedih. Dia menggendong seorang anak kecil yang setengah telanjang berusia sekitar tiga tahun.

"Masuklah. Perapiannya menyala. Aku akan memberimu roti dan susu."

"Aku tidak sendirian. Ada teman-teman ini bersama-Ku."

"Biarkan mereka semua masuk dan semoga berkat Allah datang bersama para peziarah yang aku beri tumpangan."

Mereka memasuki sebuah dapur gelap yang rendah yang dijadikan ceria oleh api yang menyala-nyala. Mereka duduk di sana-sini di peti-peti pedesaan.

"Aku akan menyiapkan sesuatu sebentar lagi... Ini masih pagi... Aku belum membereskan apa pun... Permisi."

"Apa kau sendirian?" tanya Yesus.

"Aku sudah menikah dan punya tujuh anak. Dua yang pertama masih di pasar di Nain. Mereka harus pergi karena ayah mereka tidak sehat. Ini situasi yang sangat menyedihkan... Anak-anak perempuan membantuku. Ini yang paling kecil. Ada lagi yang sedikit lebih besar."

Si kecil, yang sekarang sudah mengenakan jubah kecilnya, berjalan tanpa alas kaki ke arah Yesus dan menatap-Nya penuh rasa ingin tahu. Yesus tersenyum padanya. Mereka berteman.

"Siapa Kau?" tanya anak laki-laki itu penuh percaya diri.

"Aku Yesus."

Perempuan itu berbalik dan menatap-Nya dengan seksama. Dia berhenti di antara perapian dan meja makan, dengan sebongkah roti di tangannya. Dia membuka mulut untuk berbicara, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Anak laki-laki itu melanjutkan, "Ke mana Kau akan pergi?"

"Sepanjang jalan-jalan dunia."

"Untuk apa?"

"Untuk memberkati anak-anak yang baik dan rumah mereka di mana tinggal orang-orang yang setia kepada Hukum."

Perempuan itu membuat gerak isyarat. Kemudian dia mengangguk pada Yudas Iskariot yang paling dekat dengannya. Yudas membungkuk ke arah si perempuan yang bertanya, "Tapi siapakah temanmu?"

Dan Yudas menjawab dengan angkuh, "Dia adalah Rabbi dari Galilea: Yesus dari Nazaret. Tidak tahukah kau, perempuan?"

"Ini adalah jalan terpencil dan aku punya begitu banyak kesedihan!... Tapi... bisakah aku berbicara dengan-Nya tentang itu?"

"Ya, kau bisa," jawab Yudas dengan nada merendahkan. Dia tampak seperti seorang penting duniawi yang memberikan ijin audiensi.

Yesus masih berbicara kepada anak laki-laki yang bertanya kepada-Nya apakah Dia punya anak.

Sementara gadis kecil yang terlihat di sumur dan seorang lagi yang lebih besar membawakan susu dan mangkuk-mangkuk, perempuan itu mendekati Yesus. Dia terdiam sejenak karena tegang, kemudian dia menahan tangis, "Yesus, kasihanilah suamiku!"

Yesus berdiri. Dia mendominasinya dengan perawakan tinggi-Nya, tetapi menatap padanya dengan begitu lemah lembut hingga perempuan itu dapat mengerahkan keberaniannya kembali. "Apa yang kau ingin Aku lakukan?"

"Dia sakit parah. Dia bengkak seperti kantong anggur dan dia tidak bisa membungkuk untuk bekerja. Dia tidak bisa beristirahat karena dia tercekik dan terguling-guling... Dan kami masih punya anak-anak kecil..."

"Apa kau ingin Aku menyembuhkannya? Tapi mengapa kau menginginkan itu dari-Ku?"

"Karena Engkau adalah Engkau. Aku tidak mengenal-Mu, tetapi aku mendengar orang berbicara tentang-Mu. Keberuntunganku sudah membawa-Mu ke rumahku sesudah aku mencari-Mu tiga kali di Nain dan Kana. Suamiku bersamaku dua kali. Dia mencari-Mu, meskipun bepergian dengan kereta membuatnya sangat menderita... Bahkan sekarang dia pergi dengan saudaranya... Kami diberitahu bahwa Rabbi, setelah meninggalkan Tiberias, akan menuju Kaisarea Filipi. Dia sudah pergi ke sana menantikan-Mu..."

"Aku tidak pergi ke Kaisarea. Aku akan menemui Ismael, orang Farisi itu dan kemudian Aku akan pergi ke Sungai Yordan…"

"Apa? Engkau, seorang yang baik, akan pergi ke Ismael?"

"Ya, benar. Kenapa?"

"Karena... karena... Tuhan, aku tahu Engkau mengatakan bahwa kita tidak boleh menghakimi, bahwa kita harus saling mengampuni dan mengasihi satu sama lain. Aku belum pernah bertemu dengan-Mu sebelumnya. Tetapi aku sudah mencoba belajar sebanyak yang aku bisa tentang-Mu, dan aku sudah berdoa kepada Bapa Yang Kekal supaya memperkenankanku mendengarkan-Mu setidaknya sekali. Aku tidak ingin melakukan apa pun yang mungkin tidak menyenangkan-Mu... Tapi bagaimana bisa orang tidak menghakimi Ismael dan bagaimana bisa orang mengasihinya? Aku tidak ada kepentingan dengannya dan karena itu aku tidak punya apa pun untuk memaafkannya. Kami hanya mengebaskan kata-kata hinaan yang dia lontarkan kepada kami ketika dia berpapasan dengan kemiskinan kami dalam perjalanannya, dengan kesabaran yang sama seperti kami mengebaskan debu dan lumpur yang dia cipratkan kepada kami saat dia lewat dengan kereta cepatnya. Tapi terlalu sulit untuk mengasihinya dan tidak menghakiminya... Dia sangat jahat!"

"Apakah dia sangat jahat? Kepada siapa?"

"Kepada semua orang. Dia menindas hamba-hambanya, dia meminjamkan dengan riba dan memeras tanpa belas kasihan. Dia hanya mencintai dirinya sendiri. Dia adalah orang paling kejam di daerah pedesaan ini. Dia tidak layak, Tuhan."

"Aku tahu. Kau sudah mengatakan yang sebenarnya."

"Dan Engkau akan pergi ke sana?"

"Dia mengundang-Ku."

"Jangan percaya kepadanya, Tuhan. Dia tidak melakukannya karena kasih. Dia tidak bisa mengasihi. Dan Engkau... Engkau tidak bisa mengasihinya."

"Aku mengasihi juga orang-orang berdosa, perempuan. Aku datang untuk menyelamatkan mereka yang tersesat..."

"Tapi Engkau tidak akan menyelamatkannya. Oh! Ampuni aku karena menghakimi! Engkau tahu... Semua yang Engkau lakukan baik! Ampuni lidahku yang bodoh dan janganlah menghukumku."

"Aku tidak akan menghukummu. Tapi jangan melakukannya lagi. Kasihilah juga orang-orang jahat. Bukan karena kejahatan mereka, tetapi karena lewat kasih, kerahiman dianugerahkan kepada mereka, sehingga mereka bisa bertobat. Kau baik dan mau menjadi bahkan lebih baik. Kau mencintai Kebenaran dan Kebenaran berbicara kepadamu mengatakan bahwa Dia mencintaimu karena kau berbelas-kasihan kepada para tamu dan para peziarah seturut Hukum dan kau sudah membesarkan anak-anakmu seturut Hukum. Allah akan menjadi ganjaranmu. Aku harus menemui Ismael yang mengundang-Ku untuk menunjukkan-Ku kepada banyak temannya yang ingin bertemu dengan-Ku. Aku tidak bisa menunggu lebih lama untuk suamimu, yang kebetulan sedang dalam perjalanan pulang. Tapi katakan kepadanya untuk bersabar sebentar lagi dan untuk segera datang ke rumah Ismael. Dan aku memintamu untuk datang juga. Aku akan menyembuhkannya."

"Oh! Tuhan!..." perempuan itu berlutut di kaki Yesus dan menatap pada-Nya dengan tersenyum dan menangis. Dia lalu berkata, "Tapi ini hari Sabat!..."

"Aku tahu. Aku memang butuh hari Sabat untuk mengatakan sesuatu kepada Ismael tentang itu. Segala yang Aku lakukan, Aku lakukan untuk suatu tujuan pasti yang tepat. Kamu semua harus tahu akan hal itu, termasuk kamu, sahabat-sahabat-Ku, yang takut dan ingin Aku mengikuti sikap yang sesuai kenyamanan manusia demi menghindari kemalangan yang akhirnya terjadi. Kamu dipimpin oleh kasih. Aku tahu. Tetapi kamu harus mengasihi mereka yang kamu kasihi dengan suatu cara yang lebih baik. Jangan tunda kepentingan Allah demi kepentingan orang yang kamu kasihi. Perempuan, Aku harus pergi sekarang, Aku akan menunggumu. Kiranya damai tinggal selamanya di rumah ini di mana Allah dan Hukum-Nya dicintai, pernikahan dihormati, anak-anak dibesarkan dengan kudus, sesama dikasihi dan Kebenaran dicari. Selamat tinggal."

Yesus menumpangkan tangan-Nya ke atas kepala si perempuan dan kedua gadis belia, Dia lalu membungkuk untuk mencium anak-anak yang lebih kecil dan keluar.

Sinar matahari musim dingin sekarang meredakan udara yang sangat dingin. Seorang anak laki-laki berusia sekitar limabelas tahun sudah menunggu dengan kereta papa pedesaan

"Hanya ini yang aku punya. Tapi ini akan lebih cepat dan lebih nyaman untuk-Mu."

"Tidak, perempuan. Biarkan kudanya tetap segar untuk datang ke rumah Ismael. Tunjukkan saja kepada-Ku jalan terpendek."

Anak laki-laki itu lalu berjalan di sisi-Nya dan mereka melintasi ladang-ladang dan padang-padang rumput menuju tanah yang turun naik, yang di baliknya ada lembah kecil yang diolah dengan baik beberapa hektar luasnya, dan di tengahnya ada sebuah rumah yang rendah, besar nan indah, dikelilingi oleh sebuah taman yang terawat baik.

"Itu rumahnya, Tuhan," kata si anak laki-laki. "Jika Engkau tidak lagi membutuhkanku, aku akan pulang ke rumah untuk membantu ibuku."

"Pergi dan jadilah selalu anak yang baik. Tuhan sertamu."

... Yesus memasuki rumah pedesaan Ismael yang megah. Banyak pelayan bergegas menyongsong sang Tamu, Yang tentunya diharapkan. Beberapa pergi dan memberitahu tuan tanah, yang keluar untuk menemui Yesus dengan membungkuk dalam-dalam.

"Selamat datang di rumahku, Guru!"

"Damai sertamu, Ismael Ben Fabi. Kau ingin melihat Aku. Inilah Aku. Mengapa kau menginginkan Aku?"

"Untuk mendapatkan kehormatan menerima kunjungan-Mu dan memperkenalkan-Mu kepada teman-temanku. Aku ingin mereka menjadi teman-teman-Mu juga. Karena aku ingin Engkau menjadi temanku."

"Aku adalah teman semua orang, Ismael."

"Aku tahu. Tapi, Kau tahu! Adalah bijaksana untuk punya teman-teman yang tinggi. Dan aku dan teman-temanku seperti itu. Maafkan aku karena mengatakannya kepada-Mu, tetapi Engkau mengabaikan terlalu banyak orang yang bisa membantu-Mu..."

"Dan apakah kau salah satunya? Kenapa?"

"Aku. Kenapa? Karena aku mengagumi-Mu dan aku ingin Engkau menjadi temanku."

"Teman! Tapi tahukah kau, Ismael, arti teman bagi-Ku? Teman bagi banyak orang berarti kenalan, bagi sebagian orang berarti kaki tangan, bagi sebagian yang lain berarti pelayan. Bagi-Ku berarti: setia kepada Sabda Bapa. Siapa yang tidak seperti itu, tidak bisa menjadi teman-Ku, pun Aku tidak bisa menjadi temannya."

"Aku ingin bersahabat dengan-Mu, Guru, justru karena aku ingin menjadi setia. Tidakkah Kau percaya kepadaku? Lihat: ada Eleazar datang. Tanyakan kepadanya bagaimana aku membela-Mu di hadapan Tua-tua. Halo, Eleazar. Kemarilah, Rabbi ingin menanyakan sesuatu padamu."

Mereka bertukar salam dengan sedikit membungkuk dan tatapan penuh ingin tahu.

"Maukah kau mengulangi, Eleazar, apa yang aku katakan untuk Guru terakhir kali kita bertemu?"

"Oh! Sungguh benar-benar pujian! Perkataan yang berkobar-kobar! Ismael berbicara begitu baik tentang Engkau, Guru, sebagai Nabi terbesar yang pernah datang kepada orang-orang Israel, hingga sejak itu aku rindu untuk mendengarkan-Mu. Aku ingat dia mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki perkataan yang lebih bijaksana daripada-Mu, atau pesona yang lebih besar, dan bahwa jika Engkau bisa menggunakan pedang semahir Engkau berbicara, tidak akan ada raja yang lebih besar dari-Mu di Israel."

"Kerajaan-Ku!... Kerajaan itu, Eleazar, bukan kerajaan manusiawi."

"Tapi Raja Israel!"

"Bukalah pikiranmu untuk memahami arti dari perkataan terselubung. Kerajaan dari Raja segala raja akan datang. Tapi tidak menurut standar manusia. Tidak sehubungan dengan apa yang binasa; tetapi sehubungan dengan apa yang kekal. Kamu tidak memasukinya lewat sepanjang jalan kemenangan yang berbunga-bunga atau di atas karpet yang dijadikan ungu oleh darah musuh; tetapi mendaki jalan kurban yang curam dan tangga lembut pengampunan dan kasih. Kemenangan kita atas diri kita sendiri akan memberi kita Kerajaan itu. Dan Allah memperkenankan sebagian besar orang di Israel bisa memahami Aku. Tapi tidak akan demikian halnya. Kamu memikirkan apa yang tidak ada. Tongkat kuasa akan ada di tangan-Ku, dan akan ditempatkan di sana oleh orang-orang Israel. Tongkat kerajaan yang kekal. Tidak akan pernah ada seorang raja pun yang bisa menyingkirkan Rumah-Ku. Tetapi banyak orang di Israel tidak akan bisa melihatnya tanpa gemetar ketakutan, karena ia akan memiliki nama yang menakutkan bagi mereka."

"Apakah menurut-Mu kami tidak bisa mengikuti-Mu?"

"Jika kamu mau, kamu bisa. Tapi kamu tidak mau. Kenapa kamu tidak mau? Kau sudah tua sekarang. Usiamu seharusnya membuatmu mengerti dan benar, juga demi dirimu sendiri. Orang-orang muda... mungkin berbuat kesalahan dan kemudian bertobat. Tapi kau! Kematian selalu dekat dengan orang-orang tua. Eleazar, kau kurang telibat dalam teori-teori banyak orang dari tingkatanmu. Bukalah hatimu kepada Terang..."

Ismael kembali bersama lima orang Farisi yang lebih angkuh, "Masuklah," kata tuan rumah. Mereka meninggalkan aula, yang dilengkapi kursi-kursi dan karpet-karpet nan indah, dan memasuki suatu ruangan ke mana amphora-amphora dibawa untuk ritual pembasuhan. Mereka kemudian masuk ke ruang makan, di mana semuanya sudah diatur dengan megah.

"Yesus di sampingku. Di antara aku dan Eleazar," perintah tuan rumah. Dan Yesus, Yang masih tetap berada di ujung ruangan, dekat murid-murid yang agak terintimidasi dan diabaikan, harus duduk di tempat terhormat.

Perjamuan dimulai dengan berbagai hidangan daging panggang dan ikan.

Anggur dan sirup, aku pikir, atau setidaknya air yang dimaniskan dengan madu, disajikan beberapa kali.

Semua orang berusaha membuat Yesus berbicara. Seorang laki-laki tua yang gemetar bertanya dengan suara jomponya yang berdecap, "Benarkah apa yang dikatakan orang, bahwa Engkau akan mengubah Hukum?"

"Aku tidak akan mengubah satu iota pun dari Hukum. Sebaliknya (dan Yesus menekankan perkataan-Nya) aku datang untuk menyempurnakannya kembali, seperti yang diberikan kepada Musa."

"Apakah maksud-Mu Hukum diubah?"

"Tidak, tidak pernah. Hukum hanya memiliki nasib yang sama seperti semua hal mulia yang dipercayakan kepada manusia."

"Apa maksud-Mu? Tolong jelaskan."

"Aku maksudkan bahwa manusia, melalui kesombongan lama atau dorongan lama dari keinginan yang tiga kali lipat, ingin memermak perkataan Hukum yang terus terang dan hasilnya adalah sesuatu yang menindas orang-orang percaya yang setia, sementara, sehubungan dengan mereka yang memermaknya, itu tidak lain adalah setumpuk kalimat... untuk diserahkan kepada orang-orang lain."

"Tapi, Guru! Para rabbi kami..."

"Itu adalah tuduhan!"

"Jangan kecewakan keinginan kami untuk membantu-Mu!..."

"He! Mereka benar mengatakan bahwa Engkau seorang pemberontak!"

"Tenang! Yesus adalah tamuku. Biarkan Dia berbicara dengan bebas."

"Para rabbi kita memulai pekerjaan mereka dengan tujuan suci untuk mempermudah pelaksanaan Hukum. Allah Sendiri yang memulai sekolah itu ketika Dia menambahkan penjelasan-penjelasan detail pada perkataan dari Sepuluh Perintah Allah. Sehingga orang tidak dapat menemukan alasan bahwa dia tidak mengerti. Oleh karenanya, pekerjaan para guru itu, yang memecah-mecahkan menjadi remah-remah bagi anak-anak Allah, roti yang diberikan Allah bagi jiwa mereka, adalah pekerjaan suci. Tapi hal itu suci ketika mengejar tujuan yang benar. Yang tidak selalu demikian halnya. Dan paling tidak saat ini. Tetapi mengapa kamu ingin Aku berbicara, sementara kamu tersinggung jika Aku menyebutkan kesalahan-kesalahan para penguasa?"

"Kesalahan! Apakah kami tidak punya apa-apa selain kesalahan?"

"Aku berharap kamu tidak punya apa-apa selain kebaikan!"

"Tapi kami tidak mempunyainya. Itulah apa yang Engkau pikirkan dan apa yang mata-Mu katakan. Yesus, orang tidak mendapatkan teman yang sangat kuat dengan mengkritik mereka. Kau tidak akan memerintah. Kau tidak mengerti seni itu."

"Aku tidak minta untuk memerintah sesuai idemu, pun Aku tidak memohon persahabatan. Aku menghendaki kasih. Kasih suci yang jujur. Kasih yang diperluas dari Aku kepada mereka yang Aku kasihi dan ditunjukkan dengan mengamalkan apa yang Aku khotbahkan: belas kasihan."

"Sejak aku mendengar-Mu, aku tidak lagi meminjamkan dengan riba," kata seseorang.

"Dan Allah akan mengganjarimu untuk itu."

"Allah adalah saksiku bahwa aku tidak mendera hamba-hambaku lagi, meski mereka pantas dicambuk, sesudah aku mendengar salah satu perumpamaan-Mu," kata yang lain.

"Dan bagaimana dengan aku? Aku meninggalkan lebih dari sepuluh gantang jelai di ladang untuk orang-orang miskin!" kata orang yang ketiga.

Orang-orang Farisi memuji diri mereka sendiri dengan luar biasa.

Ismael belum berbicara. Yesus bertanya kepadanya, "Dan bagaimana denganmu, Ismael?"

"Oh! Aku! Aku sudah selalu menggunakan belas kasihan. Aku harus lanjut seperti aku bersikap di masa lalu."

"Bagus kau! Jika benar-benar begitu, kau benar-benar orang yang tidak merasakan penyesalan sama sekali."

"Tidak! Aku benar-benar tidak menyesal."

Tatapan mata biru safir Yesus menembusinya.

Eleazar berkata seraya menyentuh lengan-Nya, "Guru, dengarkan aku. Aku punya perkara khusus untuk diserahkan kepada-Mu. Baru-baru ini aku membeli sebuah properti dari seorang celaka malang yang menghancurkan dirinya demi seorang perempuan. Dia menjualnya kepadaku, tanpa memberitahuku bahwa ada seorang pelayan tua, inangnya, di dalamnya. Perempuan itu sekarang buta dan pikun. Si penjual tidak menginginkannya. Aku... juga tidak ingin menginginkannya. Tapi untuk mengusirnya... Apa yang akan Engkau lakukan, Guru?"

"Apa yang akan kau lakukan jika kau menasihati orang lain?"

"Aku akan mengatakan, 'Peliharalah dia. Sepotong roti tidak akan menjadikanmu miskin.'"

"Mengapa kau berkata begitu?"

"Yah!... karena aku pikir itulah yang akan aku lakukan dan apa yang aku ingin orang lakukan terhadapku..."

"Kau sangat dekat dengan Kebenaran, Eleazar. Lakukan seperti yang akan kau nasihatkan dan Allah Yakub akan selalu sertamu."

"Terima kasih, Guru."

Yang lain menggerutu di antara mereka sendiri.

"Apa yang membuatmu menggerutu?" tanya Yesus. "Apakah yang Aku katakan tidak benar? Dan apakah Eleazar tidak berbicara dengan benar? Ismael, karena kamu selalu berbelas-kasihan, belalah tamumu."

"Guru, Engkau benar, tetapi... jika orang selalu melakukan itu!... Orang akan menjadi korban dari orang-orang lain."

"Padahal, menurutmu, lebih baik jika orang-orang lain yang menjadi korban kita, begitu?"

"Bukan begitu maksudku. Tapi ada perkara-perkara..."

"Hukum mengatakan bahwa kita harus berbelas-kasihan..."

"Ya, kepada saudara yang miskin, kepada orang asing, peziarah, janda, kepada yatim piatu. Tetapi perempuan tua ini, yang ada di properti Eleazar, bukanlah saudaranya, peziarah, orang asing, yatim piatu, ataupun janda. Dia bukan apa-apa baginya. Dia hanyalah perabot tua, yang bukan miliknya, dan dilupakan oleh tuannya yang sebenarnya dalam properti yang dijual. Oleh karenanya, Eleazar bisa mengusirnya tanpa ragu sama sekali. Dia tidak akan bertanggung jawab atas kematian perempuan tua itu. Tuannya yang sebenarnya akan..."

"... dan dia tidak dapat memeliharanya lagi karena dia sendiri miskin dan dengan demikian dia juga bebas dari kewajiban. Jadi jika perempuan tua itu mati kelaparan, itu adalah kesalahannya sendiri. Bukankah begitu?"

"Betul, Guru. Itu adalah takdir mereka yang... tidak lagi berguna. Orang sakit, orang tua, orang yang tidak berguna dikutuk dalam kesengsaraan, untuk mengemis. Dan kematian adalah hal terbaik bagi mereka... Selalu seperti itu sejak awal dunia, dan akan selalu begitu..."

"Yesus, kasihanilah aku!" Suara erangan terdengar melalui jendela-jendela yang tertutup; ruangan itu sesungguhnya tertutup dan lampu-lampu gantung dinyalakan. Mungkin karena hawa dingin.

"Siapa yang memanggil-Ku?"

"Seorang pengganggu. Aku akan suruh pelayan mengusirnya. Atau seorang pengemis. Aku akan suruh pelayan memberikan sepotong roti kepadanya."

"Yesus, aku sakit. Selamatkanlah aku!"

"Seperti yang aku katakan, itu adalah seorang pengganggu. Aku akan menghukum pelayan  karena membiarkannya masuk." Dan Ismael berdiri.

Namun Yesus Yang setidaknya duapuluh tahun lebih muda darinya dan perawakan-Nya lebih tinggi, membuatnya duduk kembali, dengan meletakkan tangan di bahunya dan memerintahkan, "Duduklah, Ismael. Aku ingin melihat orang yang mencari Aku. Biarkan dia masuk."

Seorang laki-laki berambut gelap masuk. Dia pastilah sekitar empatpuluh tahun. Tetapi dia bengkak seperti tong dan kuning seperti lemon, bibirnya yang setengah terbuka berwarna ungu dan dia terengah-engah. Perempuan yang terlihat di bagian pertama visiun ini ada bersamanya. Laki-laki itu maju dengan susah payah karena penyakitnya dan karena takut. Sesungguhnya dia melihat bahwa dia sedang ditatap oleh banyak mata yang begitu jahat!

Namun Yesus telah meninggalkan tempat-Nya dan pergi menghampiri laki-laki malang itu, memegang tangannya dan membawanya ke tengah ruangan, yakni di ruang yang kosong dari meja berbentuk 'U', tepat di bawah lampu gantung. "Apa yang kau inginkan dariku?"

"Guru... Aku sudah mencari-Mu kemana-mana, begitu lama... Aku tidak menginginkan apa-apa selain kesehatan... demi anak-anakku dan istriku... Engkau bisa melakukan segalanya... Lihatlah bagaimana keadaanku..."

"Dan apa kau percaya bahwa Aku bisa menyembuhkanmu?"

"Aku sungguh percaya itu!... Setiap langkah... setiap gerakan menyakitkan... meski begitu aku sudah bepergian bermil-mil jauhnya demi mencari-Mu... dan aku juga mengikuti-Mu dengan kereta, tanpa pernah bertemu dengan-Mu... Tentu saja aku percaya!... Aku heran bahwa aku belum sembuh, padahal tanganku sudah ada dalam tangan-Mu, karena segala sesuatu dalam Engkau adalah kudus, oh Manusia Kudus Allah."

Laki-laki malang itu tersengal-sengal dan terengah-engah karena upaya berbicara begitu banyak. Istrinya menatapnya dan menatap Yesus dan menangis.

Yesus menatap mereka dan tersenyum. Dia kemudian berbalik dan bertanya, "Kau, ahli Taurat tua (Ia berbicara kepada orang lanjut usia yang gemetar yang tadi pertama berbicara), katakan kepada-Ku: apakah diperbolehkan menurut Hukum menyembuhkan pada hari Sabat?"

"Tidak sah menurut Hukum melakukan pekerjaan apa pun pada hari Sabat."

"Bahkan meski untuk menyelamatkan orang dari keputusasaan? Ini bukan pekerjaan fisik."

"Hari Sabat adalah kudus bagi Tuhan."

"Perbuatan apakah yang lebih layak pada hari kudus selain dari membuat seorang anak Allah berkata kepada Bapa: Aku mengasihi dan memuji Engkau karena Engkau telah menyembuhkanku?!"

"Dia harus melakukan itu bahkan ketika dia sedih."

"Hananya, tahukah kau bahwa hutanmu yang paling indah sedang terbakar tepat saat ini dan seluruh lereng Hermon menyala dalam kobaran api?"

Laki-laki tua itu melompat seolah-olah dia digigit ular berbisa, "Guru, apakah Engkau mengatakan yang sebenarnya atau apakah Engkau bercanda?"

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku melihat dan Aku tahu."

"Oh! Malangnya aku! Hutanku yang terindah. Ribuan syikal menjadi abu! Sialan! Terkutuklah anjing-anjing yang membakarnya! Semoga perut mereka terbakar seperti hutanku!" Orang tua kecil itu mengumpat dalam keputusasaan.

"Itu hanya hutan, Hananya, dan kau mengeluh! Mengapa kau tidak memuji Allah dalam kemalanganmu? Orang ini tidak kehilangan hutan, yang akan tumbuh kembali, tetapi hidupnya sendiri dan makanan untuk anak-anaknya, dan dia harus memuji Allah, sedangkan kau tidak. Nah, ahli Taurat, apakah boleh Aku menyembuhkannya pada hari Sabat?"

"Terkutuklah Kau, dia dan hari Sabat! Aku punya hal-hal yang lebih penting untuk dipikirkan..." dan dengan mendorong ke samping Yesus, Yang telah meletakkan tangan pada lengannya, dia bergegas keluar dengan marah dan dapat terdengar dia berteriak dengan suaranya yang berdecap memerintahkan orang untuk menyiapkan keretanya.

"Dan sekarang?" kata Yesus sambil memandang berkeliling pada yang lain-lainnya. "Sekarang, maukah kamu mengatakan kepada-Ku? Apakah sah menurut Hukum atau tidak?"

Tak ada jawaban. Eleazar menundukkan kepalanya, sesudah menggerakkan bibirnya, yang dia katupkan kembali, syok oleh atmosfer dingin di aula.

"Baiklah, Aku akan bicara," kata Yesus. Wajah-Nya mengesankan dan suara-Nya menggelegar seperti biasa ketika Dia akan mengerjakan mukjizat. "Aku akan bicara. Dan Aku kataan: Sobat, terjadilah padamu menurut imanmu. Kau sembuh. Pujilah Allah Yang Kekal. Pergilah dalam damai."

Laki-laki itu tetap terpaku. Mungkin dia berpikir bahwa dia akan menjadi sekurus seperti di masa lalu secara tiba-tiba. Dan dia tidak berpikir bahwa dia sudah sembuh. Tapi aku bertanya-tanya apakah yang dia rasakan... Dia berteriak kegirangan penuh sukacita dan menjatuhkan dirinya di kaki Yesus dan menciumnya.

"Pergilah. Kau boleh pergi! Jadilah selalu baik. Selamat tinggal!"

Dan laki-laki itu keluar dengan diikuti oleh si perempuan, yang berbalik sampai detik terakhir untuk menyalami Yesus.

"Tapi, Guru... Di rumahku... Pada hari Sabat..."

"Kau tidak setuju? Aku tahu. Itu sebabnya mengapa Aku datang. Kau adalah teman-Ku? Bukan. Kau adalah musuh-Ku. Kau tidak tulus baik kepada-Ku maupun kepada Allah."

"Apakah Engkau menyinggung aku sekarang?"

"Tidak. Aku mengatakan yang sebenarnya. Kau mengatakan bahwa Eleazar tidak wajib memelihara perempuan tua itu karena dia bukan apa-apanya. Tetapi ada dua anak yatim yang ada hubungannya denganmu. Mereka adalah anak dari dua pelayan setiamu, yang mati karena bekerja untukmu, yang laki-laki dengan sabit di tangannya, dan yang perempuan karena terlalu banyak bekerja, sebab dia harus melayanimu baik untuk dirinya sendiri maupun untuk suaminya, sebab kau memerasnya, demi mempertahankannya. Sesungguhnya kau berkata, 'Aku membuat perjanjian untuk pekerjaan dua orang dan jika kau ingin tinggal di sini, aku ingin pekerjaanmu dan pekerjaan suamimu yang sudah meninggal. Dan dia memberimu itu dan mati dengan anak yang dikandungnya. Karena perempuan itu adalah seorang ibu. Dan baginya bahkan tidak ada belas kasihan yang dirasakan orang untuk binatang yang akan melahirkan bayinya. Di mana kedua anak itu sekarang?"

"Aku tidak tahu... Suatu hari mereka menghilang."

"Jangan berbohong sekarang. Sudah cukup berlaku kejam. Tidak perlu menambahkan kebohongan untuk membuat hari-hari Sabatmu dibenci oleh Allah, bahkan meski hari-hari itu bebas dari pekerjaan perhambaan. Di mana anak-anak itu?"

"Aku tidak tahu. Percayalah padaku."

"Aku tahu. Aku mendapati mereka pada suatu malam yang dingin, basah, dan gelap di bulan November. Aku menemukan mereka kelaparan dan menggigil, dekat sebuah rumah, bagaikan dua anjing kecil yang mencari sesuap makanan... Dikutuk dan diusir oleh seorang laki-laki yang lebih buruk dari seekor anjing, karena anjing akan menaruh belas kasihan kepada dua anak yatim piatu kecil itu. Tapi kau dan laki-laki itu tidak punya belas kasihan. Orangtua mereka tidak lagi berguna untukmu, betul kan? Mereka sudah mati. Dan orang mati hanya bisa menangis, dalam kubur mereka, mendengar isak tangis anak-anak mereka yang malang, yang diabaikan orang-orang lain. Tetapi orang mati, dengan jiwa mereka, membawa airmata mereka dan airmata anak-anak yatim piatu mereka kepada Allah dan berkata, 'Tuhan, balaskan dendam atas nama kami karena dunia menindas kami ketika dunia tidak lagi bisa mengeksploitasi kami.' Kedua anak kecil itu masih belum bisa melayanimu, kan? Mungkin si gadis kecil bisa mengais... Dan kau mengusir mereka dan merampas dari mereka juga beberapa barang, yang adalah milik ayah dan ibu mereka. Mereka mungkin mati kelaparan dan kedinginan, seperti dua anjing di jalanan. Mereka mungkin hidup, menjadi seorang pencuri dan yang lainnya menjadi seorang pelacur. Karena kelaparan menghantar kepada dosa. Tapi apa urusannya denganmu? Beberapa saat yang lalu kau mengutip Hukum untuk mendukung teorimu. Bukankah Hukum mengatakan: 'Jangan bersikap kasar terhadap janda, atau terhadap anak-anak yatim piatu, jika kamu kasar terhadap mereka dan mereka berseru kepada-Ku, Aku akan mendengar seruan mereka dan amarah-Ku akan meledak dan Aku akan membunuhmu dengan pedang, istrimu sendiri akan menjadi janda, anak-anakmu menjadi yatim piatu'? Bukankah Hukum menyatakan itu? Nah, lalu mengapa kau tidak mengamalkannya? Dan kau membela-Ku melawan orang-orang lain? Kalau begitu, mengapa kau tidak membela doktrin-Ku dalam dirimu sendiri? Kau ingin menjadi teman-Ku? Lalu, kenapa kau melakukan kebalikan dari apa yang Aku katakan? Salah satu darimu lari terbirit-birit, mengoyakkan rambutnya, karena kehancuran hutannya. Dan dia tidak mengoyakkannya karena kehancuran hatinya! Dan apa yang kau tunggu untuk melakukannya? Mengapa kamu, yang telah ditinggikan oleh takdir, selalu ingin menganggap dirimu sempurna? Dan seandainya kamu sempurna dalam satu hal, mengapa kamu tidak berusaha untuk menjadi sempurna dalam segala hal? Mengapa kamu membenci Aku, karena Aku menyingkapkan luka-lukamu? Aku-lah Dokter bagi jiwamu. Bisakah dokter menyembuhkan suatu luka jika dia tidak menyingkapkannya dan membersihkannya? Tidak tahukah kamu bahwa banyak orang, dan perempuan yang baru saja keluar itu adalah salah satunya, yang pantas mendapatkan tempat-tempat utama dalam perjamuan Allah, kendati mereka berpenampilan menyedihkan? Penampilan lahiriah tidak penting; adalah hati dan jiwa yang penting. Allah melihatmu dari ketinggian takhta-Nya. Dan Dia menilai kamu. Betapa banyak yang Dia lihat lebih baik darimu! Jadi dengarkanlah. Sebagai kaidah, selalu bertindaklah sebagai berikut: Ketika kamu diundang ke suatu pesta perkawinan, selalu pilih tempat paling belakang. Kehormatan ganda akan datang kepadamu ketika tuan rumah berkata, 'Majulah, temanku.' Kehormatan bagi jasamu dan kerendahan hatimu. Sementara itu... akan menjadi saat menyedihkan bagi seorang congkak yang dipermalukan ketika tuan rumah berkata, 'Pergilah ke tempat paling belakang, karena ada seorang di sini yang lebih pantas daripadamu.' Dan lakukan hal yang sama dalam perjamuan rahasia jiwamu di pesta perkawinan bersama Allah. Barang siapa merendahkan diri akan ditinggikan dan barang siapa meninggikan diri akan direndahkan. Ismael, jangan membenci Aku karena menyembuhkanmu. Aku tidak membencimu. Aku datang untuk menyembuhkanmu. Kau sakit lebih parah daripada orang itu. Kau mengundang-Ku demi gengsimu dan memuaskan teman-temanmu. Kau sering mengundang orang, tetapi kau melakukannya karena kesombongan dan demi kesenangan. Jangan lakukan itu. Jangan mengundang orang-orang kaya, kerabat, dan teman-teman. Bukalah rumahmu dan hatimu untuk orang-orang miskin, para pengemis, mereka yang timpang, mereka yang lumpuh, anak-anak yatim piatu dan para janda. Sebagai imbalannya mereka akan memberimu berkat. Dan Allah akan mengubahnya menjadi rahmat. Dan pada akhirnya... alangkah bahagia takdir mereka semua yang berbelas kasihan yang akan diganjari Allah pada saat kebangkitan orang-orang mati! Celakalah mereka yang hanya mengharap keuntungan dan lalu menutup hati terhadap saudara-saudara yang tidak lagi bisa melayani mereka. Celakalah mereka! Aku akan membalaskan dendam mereka yang berduka."

"Guru... aku... aku ingin menyenangkan-Mu. Aku akan membawa anak-anak itu kembali."

"Tidak, kau tidak akan melakukannya."

"Kenapa?"

"Ismael?!..."

Ismael menundukkan kepalanya. Dia ingin tampak rendah hati. Namun dia adalah ular beludak yang dilucuti racunnya dan tidak menggigit karena dia tahu tidak lagi ada racunnya, tetapi menanti kesempatan untuk menggigit...

Eleazar berusaha memulihkan kedamaian dengan mengatakan, "Berbahagialah mereka yang berpesta bersama Allah, dalam jiwa mereka dan dalam Kerajaan yang kekal. Tapi, percayalah padaku, Guru. Terkadang hiduplah yang menghalangi kita melakukannya. Jabatan... pekerjaan..."

Pada titik ini Yesus menceritakan perumpamaan tentang pesta perkawinan dan mengakhiri, "Jabatan... pekerjaan, katamu. Itu benar. Itulah sebabnya Aku mengatakan kepadamu, di awal perjamuan ini, bahwa Kerajaan-Ku ditaklukkan melalui kemenangan atas diri sendiri, bukan melalui kemenangan di medan perang. Tempat-tempat di Perjamuan Agung adalah untuk orang-orang yang rendah hati, yang agung melalui kasih setia mereka, yang tidak memperhitungkan pengorbanan, dan mengatasi semua kesulitan untuk datang kepada-Ku. Bahkan satu jam sudah cukup untuk mengubah hati. Asalkan hati itu mau berubah. Dan satu kata sudah cukup. Aku telah memberitahumu banyak. Dan aku melihat... Sebatang pohon suci bersemi dalam sebentuk hati. Dan dalam hati-hati yang lain, ada duri-duri untuk-Ku, dan dalam duri-duri ada ular berbisa dan kalajengking. Tidak masalah. Aku akan terus berjalan di jalan-Ku yang lurus. Biarlah mereka yang mengasihi Aku mengikuti-Ku. Aku pergi berkeliling dan memanggil... Biarlah orang-orang benar datang kepada-Ku. Aku pergi berkeliling dan mengajar... Biarkan para pencari kebenaran menghampiri Sumber Mataair. Sehubungan dengan yang lain-lainnya... Bapa Yang Kudus akan mengadili. Ismael, aku mengucapkan selamat tinggal kepadamu. Jangan membenci-Ku. Renungkanlah. Kau akan melihat bahwa Aku keras karena kasih, bukan karena benci. Damai bagi rumah ini dan bagi mereka yang tinggal di dalamnya, damai bagi semua orang, jika kamu pantas mendapatkan damai."
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 5                 Daftar Istilah                    Halaman Utama