311. YOHANES EN-DOR AKAN HARUS PERGI KE ANTIOKHIA.
AKHIR TAHUN KEDUA.            


24 Oktober 1945  

Suatu pagi di musim dingin yang basah. Yesus sudah bangun dan sedang sibuk dalam bengkel-Nya. Dia membuat barang-barang kecil. Namun, di salah satu sudut ada alat tenun baru, bukan yang sangat besar, tapi bentuknya bagus dan dipoles.

Maria masuk dengan secangkir susu panas yang mengepul. "Minumlah ini, Yesus. Kau sudah lama bangun. Dan udaranya lembab dan dingin..."

"Ya, tapi setidaknya Aku bisa menyelesaikan semuanya... Delapan hari perayaan sudah melumpuhkan pekerjaan-Ku..." Yesus duduk di bangku tukang kayu, agak menyamping, dan meminum susu sementara Maria melihat alat tenun dan mengusapkan tangan ke atasnya untuk membelainya.

"Apakah Engkau memberkatinya, Bunda?" tanya Yesus seraya tersenyum.

"Tidak, Aku membelainya sebab Engkau yang membuatnya. Engkau memberkatinya dengan membuatnya. Ide yang bagus membuatnya. Ini akan sangat berguna untuk Sintikhe. Dia adalah penenun yang sangat terampil. Ini akan membantunya untuk mendekati para perempuan dan gadis. Apa lagi yang telah Engkau buat, Aku melihat serutan tipis zaitun, Aku pikir, dekat alat bubut?"

"Aku telah membuat hal-hal berguna untuk Yohanes. Lihat? Kotak stylus dan papan tulis. Dan meja-meja ini di mana dia bisa menyimpan gulungan-gulungannya. Aku tidak bisa membuat semua barang-barang ini jika Simon anak Yunus tidak berpikir untuk mendapatkan kereta. Tapi sekarang kita bisa memuat barang-barang ini juga... dan juga melalui barang-barang kecil ini mereka akan merasakan bahwa Aku mengasihi mereka..."

"Engkau menderita karena menyuruh mereka pergi bukan?"

"Ya... Demi Diri-Ku sendiri dan demi mereka... Aku telah menantikan hingga saat ini untuk memberitahu mereka dan adalah aneh bahwa Simon belum datang bersama Porphirea. Aku harus memberitahu mereka sekarang... Hati-Ku sakit sepanjang hari-hari belakangan ini dan bahkan cahaya dari begitu banyak lampu tampak suram bagi-Ku… Suatu penderitaan yang sekarang harus Aku katakan kepada orang lain… Ah! Bunda, sesungguhnya Aku ingin menyimpan semuanya untuk Diri-Ku sendiri."

"PutraKu yang baik," Maria membelai tangan-Nya untuk menghibur-Nya. Ada keheningan... Kemudian Yesus melanjutkan berbicara, "Apakah Yohanes sudah bangun?"

"Ya. Aku mendengar dia batuk. Dia mungkin di dapur mengambil susunya. Yohanes yang malang!..." airmata menuruni pipi Maria.

Yesus bangkit berdiri. "Aku pergi... Aku harus pergi dan memberitahunya. Akan lebih mudah dengan Sintikhe... Tapi dengannya... Bunda, pergilah kepada Marjiam, bangunkan dia dan berdoalah sementara aku berbicara dengan Yohanes... Aku merasa seolah-olah aku harus mengocok isi perutnya. Aku bisa membunuh atau melumpuhkan vitalitas rohaninya... Betapa menyakitkan, Bapa!... Aku pergi..." dan Dia benar-benar tertekan ketika Dia keluar.

Ia menapaki beberapa langkah yang memisahkan-Nya dari kamar Yohanes, yang adalah kamar yang sama di mana Yunus meninggal, yakni kamar Yosef. Dia bertemu Sintikhe, yang masuk dengan kayu bakar dari oven batu dan yang menyalami-Nya, sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi. Walau tenggelam dalam pikiran-Nya, Dia membalas salam perempuan Yunani itu dan berhenti untuk melihat ke bedeng bunga-bunga lili yang mulai menampakkan seberkas kecil dedaunan. Namun aku tidak yakin apakah Dia benar-benar melihatnya... Dia kemudian membuat keputusan. Dia berbalik dan mengetuk pintu Yohanes, yang membuka pintu dan wajahnya bersinar melihat Yesus datang menemuinya.

"Bolehkah Aku masuk sebentar?" tanya Yesus.

"Oh! Guru! Tentu saja! Aku sedang menulis apa yang Engkau katakan tadi malam tentang kebijaksanaan dan ketaatan. Aku pikir lebih baik jika Engkau memeriksanya, karena aku pikir aku tidak ingat semuanya tentang kebijaksanaan."

Yesus telah di dalam ruangan kecil, yang telah dirapikan dan di mana mereka sudah menempatkan meja kecil untuk kenyamanan si guru tua. Yesus membungkuk di atas perkamen dan membaca. "Sangat baik. Kau sudah mengulanginya dengan sangat baik."

"Lihatlah ini. Aku pikir kalimat ini kurang tepat. Engkau selalu mengatakan bahwa tidak perlu khawatir tentang hari esok dan tentang raga kita. Sekarang aku pikir bahwa adalah salah mengatakan itu sebagai kebijaksanaan, juga sehubungan dengan hal-hal yang menyangkut hari esok, itu adalah keutamaan. Kesalahanku, tentu saja."

"Tidak. Kau tidak salah. Itu adalah tepat yang Aku katakan. Kekhawatiran yang berlebihan dan membuat orang takut, yang dimiliki seorang yang egois, berbeda dari kepedulian yang bijaksana dari seorang yang benar. Adalah dosa menjadi tamak demi masa depan, yang, mungkin, tidak akan pernah kita lihat. Tetapi adalah tidak berdosa menjadi cermat untuk menghemat sepotong roti, juga untuk sanak saudara, ketika terjadi kekurangan. Pemeliharaan tubuh secara egois adalah dosa, ketika orang menuntut agar semua orang di sekelilingnya harus mengkhawatirkannya, dan orang menghindari semua pekerjaan atau kurban agar tubuhnya tidak menderita. Tetapi adalah tidak berdosa untuk menghindarkan tubuh dari penyakit yang sia-sia, akibat perilaku yang tidak bijaksana, di mana penyakit menjadi beban bagi sanak saudara dan hilangnya kesempatan kerja yang menguntungkan bagi diri kita sendiri. Hidup diberikan oleh Allah. Hidup adalah anugerah-Nya. Sebagai konsekuensi, kita harus menggunakannya secara suci, tanpa menjadi ceroboh atau egois. Lihat? Kadang-kadang kebijaksanaan mendorong tindakan, yang oleh orang bodoh mungkin dianggap pengecut atau tidak konstan, padahal itu adalah hasil dari kebijaksanaan yang suci dalam terang peristiwa-peristiwa baru, yang sudah terjadi. Sebagai misal: jika Aku mengutusmu sekarang ini ke tengah-tengah orang yang mungkin mencelakaimu... misalnya ke sanak saudara istrimu atau penjaga tambang di mana kau dulu bekerja, apakah Aku melakukan hal yang baik atau buruk?"

"Aku... aku tidak ingin menghakimi-Mu. Tetapi aku katakan bahwa akan lebih baik untuk mengutusku ke tempat lain, di mana tidak ada bahaya yang membuat keutamaanku yang kecil ini dihadapkan pada ujian yang terlalu berat."

"Itulah dia! Kau akan menilai dengan arif dan bijaksana. Itulah sebabnya mengapa Aku tidak akan pernah mengutusmu ke Bithynia atau Mysia, di mana kau pernah berada sebelumnya. Aku juga tidak akan mengutusmu ke Cintium, meskipun kau punya kerinduan rohani untuk pergi ke sana. Semangatmu mungkin akan dikuasai oleh banyak kekerasan manusia dan mungkin akan jatuh kembali. Kebijaksanaan, oleh karenanya, mengajari-Ku untuk tidak mengutusmu ke tempat di mana kau akan menjadi tidak berharga, sementara Aku bisa mengutusmu ke tempat lain yang bisa mendatangkan kebaikan bagi-Ku, demi jiwa-jiwa sesamamu dan jiwamu sendiri. Bukankah itu benar?"

Karena Yohanes sama sekali tidak menyadari akan nasib yang sudah menantinya, dia tidak menangkap kiasan Yesus tentang kemungkinan misi di luar Palestina. Yesus mengamati wajahnya dan melihat bahwa dia tenang, benar-benar bahagia mendengarkan-Nya, dan cepat dalam menjawab, "Tentu saja, Guru, aku akan lebih berguna di tempat lain. Ketika beberapa hari yang lalu aku katakan, 'Aku ingin pergi ke antara orang-orang bukan Yahudi untuk memberikan teladan yang baik di mana aku dulu memberikan contoh yang buruk,' aku mencela diriku sendiri dengan mengatakan, 'Di antara orang-orang bukan Yahudi, ya, karena kau tidak penuh prasangka seperti orang Israel. Tapi tidak di Cintium, atau di pegunungan terpencil, di mana aku dulu tinggal sebagai seorang narapidana dan seperti serigala di tambang-tambang timah dan di tambang-tambang marmer berharga. Bahkan demi kurban yang sempurna kau tidak dapat pergi ke sana. Hatimu akan kecewa oleh kenangan akan kekejaman, dan jika mereka mengenalimu, bahkan meski mereka tidak bertindak kejam terhadapmu, mereka akan berkata, "Diamlah, pembunuh. Kami tidak bisa mendengarkanmu." Jadi akan sangat tidak berguna untuk pergi ke sana.' Itulah apa yang aku katakan kepada diriku sendiri. Dan aku benar."

"Oleh karenanya, kau bisa lihat bahwa kau memiliki kebijaksanaan. Aku juga memilikinya. Itulah sebabnya mengapa Aku menjauhkanmu dari kerja keras kerasulan, seperti yang dilakukan oleh yang lain-lainnya, dan Aku membawamu ke sini, untuk beristirahat dan berada dalam damai."

"Oh! Ya! Betapa damai! Jika aku tinggal di sini selama seratus tahun, aku akan masih sama. Ini adalah damai adikodrati. Dan jika aku pergi, aku akan membawanya bersamaku. Aku akan membawanya juga ke kehidupan selanjutnya... Kenangan mungkin masih mengacaukan hatiku dan kejahatan mungkin membuatku menderita, karena aku manusia. Tetapi aku tidak akan pernah bisa membenci lagi, karena kebencian sudah disterilkan di sini untuk selamanya, sejauh dampaknya yang paling jauh. Dan aku tidak lagi punya kebencian kepada perempuan, yang aku anggap sebagai binatang yang paling kotor dan paling kejam di bumi. Bundamu tak diragukan lagi. Aku memuliakan-Nya sejak pertama kali aku melihat-Nya sebab aku merasa bahwa Dia berbeda dari semua perempuan. Dia adalah keharuman perempuan, tetapi keharuman perempuan yang suci. Siapakah yang tidak menyukai aroma bunga-bunga termurni? Tetapi juga perempuan-perempuan lain, para murid perempuan yang baik, yang penuh kasih dan sabar di bawah beban penderitaan mereka, seperti Maria Klopas dan Eliza; yang murah hati seperti Maria Magdala yang begitu total dalam perubahan hidupnya; yang baik hati dan murni seperti Marta dan Yohana; yang berwibawa, cerdas, bijaksana dan tulus, seperti Sintikhe; mereka sudah mendamaikanku dengan perempuan. Sintikhe, aku akui, adalah yang paling aku sukai. Kesamaan pikiran dan keadaannya membuat dia tersayang bagiku: dia adalah seorang budak, aku seorang narapidana, dan itu membuatku akrab dengannya, yang tidak mungkin dengan yang lain-lainnya karena perbedaan. Dia adalah damai dan tenang bagiku. Aku tidak bisa mengatakannya dengan tepat apa artinya dia bagiku dan apa anggapanku tentangnya. Karena aku jauh lebih tua dibandingkan dengannya, aku melihatnya sebagai seorang putri, putri yang bijaksana dan suka belajar seperti yang aku inginkan... Tetapi aku, seorang sakit yang dia sembuhkan dengan begitu banyak kasih, seorang yang sedih dan sebatang kara yang sepanjang hidupnya sudah menyedihkan dan mendukakan ibunya, dan sudah mencari sosok ibu dalam setiap perempuan, tanpa pernah menemukannya, sekarang aku melihat mimpiku menjadi kenyataan dalam dirinya dan aku merasakan embun kasih keibuan turun ke atas kepalaku yang letih dan ke atas jiwaku sementara aku menghampiri kematianku... Engkau bisa melihat bahwa, aku merasakan dalam diri Sintikhe jiwa seorang putri dan jiwa seorang ibu, aku melihat dalam dirinya kesempurnaan kewanitaan, dan demi dia aku memaafkan semua kejahatan yang sudah aku terima dari para perempuan. Andai, apa yang tidak mungkin, bahwa istriku yang celaka itu, yang aku bunuh, bangkit dari mati, aku merasa bahwa aku akan memaafkannya karena aku sekarang sudah mengerti jiwa perempuan, yang cenderung mencintai, murah hati dalam memberikan dirinya... baik dalam kebaikan maupun dalam kejahatan."

"Aku senang bahwa kau telah menemukan semua itu dalam diri Sintikhe. Dia akan menjadi rekan-serta yang baik untukmu sepanjang sisa hari-harimu dan kamu akan melakukan banyak hal baik bersama-sama. Sebab Aku akan menjadikanmu rekan sejawat..."

Yesus mengamati Yohanes sekali lagi. Tetapi tidak ada tanda-tanda bangkitnya minat dalam diri sang murid, meskipun dia bukan seorang yang dangkal. Kerahiman ilahi manakah yang menyembunyikan keputusannya sampai saat yang kritis? Aku tidak tahu. Aku tahu bahwa Yohanes tersenyum seraya berkata, "Kami akan berupaya melayani-Mu sebaik-baiknya dengan kemampuan kami."

"Ya. Dan Aku yakin kau akan melakukan itu, tanpa mempertanyakan pekerjaan ataupun tempat, yang akan Aku berikan kepadamu, meskipun itu bukanlah yang kau inginkan..."

Yohanes mendapatkan firasat pertama akan apa yang menantinya. Wajah dan rona mukanya berubah. Dia menjadi serius dan pucat dan satu-satunya matanya menatap penuh perhatian dan tanda tanya pada wajah Yesus, Yang melanjutkan, "Apa kau ingat, Yohanes, ketika Aku berkata kepadamu, untuk mengenyahkan keragu-raguanmu tentang pengampunan Allah: 'Untuk membuatmu memahami Kerahiman, Aku akan memakaimu dalam perbuatan-perbuatan belas kasih yang khusus dan Aku akan mengenakan padamu perumpamaan-perumpamaan tentang belas kasih'?"

"Ya. Dan Engkau telah melakukannya. Engkau telah meyakinkanku dan Engkau telah menganugerahiku kesempatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan belas kasih, dan akan aku katakan, yang paling lembut, seperti memberikan amal kasih dan mengajar seorang bocah, seorang Filistin, dan seorang perempuan Yunani. Itu menjadikan jelas bagiku bahwa Allah tahu tobat sejatiku, dan dengan demikian Dia mempercayakan kepadaku jiwa-jiwa yang tak berdosa atau jiwa-jiwa yang bertobat, supaya aku bisa menyempurnakan mereka."

Yesus memeluk Yohanes, dan menariknya dekat ke sisi-Nya, seperti yang biasa Dia lakukan pada Yohanes yang lain, dan menjadi pucat karena kesedihan yang harus Dia akibatkan, Dia berkata, "Juga sekarang Allah akan mempercayakan suatu tugas suci yang lembut kepadamu. Suatu tugas kesukaan. Hanya kau yang murah hati, tanpa pamrih dan tidak memihak, bijaksana, dan di atas segalanya, telah menyerahkan dirimu untuk semua penyangkalan dan penitensi demi menyilih sisa penyucian dan hutang yang masih kau miliki kepada Allah, hanya kau yang bisa melakukannya. Orang lain akan menolak, dan memang benar, karena dia tidak cukup memiliki persyaratan yang diperlukan. Tidak seorang pun dari rasul-Ku memiliki apa yang kau miliki, untuk pergi dan mewartakan jalan Tuhan... Lebih jauh, namamu adalah Yohanes. Jadi kau akan menjadi Perintis Jalan dari Doktrin-Ku... kau akan mempersiapkan jalan bagi Guru-mu... bukan, kau akan bertindak dalam nama Guru-mu, Yang tidak bisa pergi sebegitu jauh itu... (Yohanes mulai berusaha untuk membebaskan dirinya dari pelukan Yesus, untuk melihat wajah-Nya, tetapi dia tidak berhasil, karena pelukan Yesus lembut tetapi berwibawa, sementara bibir-Nya menyampaikan pukulan terakhir)... Dia tidak bisa pergi sebegitu jauh... sejauh Siria... sejauh Antiokhia..."

"Tuhan!" seru Yohanes seraya membebaskan dirinya dengan paksa dari pelukan Yesus. "Tuhan! Ke Antiokhia? Katakan bahwa aku salah paham! Katakan padaku, tolonglah!..." Dia berdiri... Keseluruhan sikapnya adalah suatu permohonan: matanya yang hanya satu, wajahnya yang sudah berubah menjadi putih pucat, bibirnya yang bergetar, tangan terulurnya yang gemetaran, kepalanya yang tertunduk, yang seolah-oleh tertindih oleh beban berita itu.

Namun Yesus tidak bisa mengatakan, "Kamu salah paham." Dia merentangkan kedua tangan-Nya, berdiri untuk merengkuh si guru tua dalam pelukan-Nya, dan Dia membuka bibir-Nya untuk menegaskan, "Ya, ke Antiokhia. Ke rumah Lazarus. Bersama Sintikhe. Kau akan berangkat besok atau lusa."

Remuk redam hati Yohanes benar-benar menyayat hati. Dia setengah membebaskan dirinya dari pelukan, dan berhadapan muka, dengan pipinya yang kurus dan basah oleh air mata, dia berseru, "Ah! Engkau tidak menginginkanku lagi!! Dalam hal apakah aku telah menyinggung-Mu, Tuhan-ku?" Dia bebas dari pelukan Yesus dan menjatuhkan diri ke meja, dalam ledakan isak tangis yang memilukan, yang terinterupsi oleh batuk, tiada lagi peka terhadap belaian Yesus. Dia mengerang, "Engkau mengusirku, Engkau menolakku, aku tidak akan pernah melihat-Mu lagi..."

Yesus sudah pasti berduka dan Dia berdoa... Dia kemudian keluar perlahan dan melihat Maria bersama Marjiam di pintu dapur. Si bocah ketakutan mendengar tangisan Yohanes... Sedikit lebih jauh, ada Sintikhe, yang juga tercengang. "Bunda kemarilah sebentar."

Maria segera datang. Dia pucat pasi. Mereka masuk bersama. Maria membungkuk di atas laki-laki yang menangis itu seolah-olah dia adalah seorang anak yang malang, sembari berkata, "Baiklah, jadilah baik, anak-Ku yang malang! Jangan menangis seperti itu! Kau akan menyakiti dirimu sendiri."

Yohanes mengangkat wajahnya yang bergetar dan berseru, "Ia menyuruhku pergi!... Aku akan mati sendirian, di negeri yang jauh... Oh! Dia bisa menunggu beberapa bulan dan membiarkanku mati di sini. Mengapa hukuman ini? Dalam hal apakah aku sudah berdosa? Pernahkah aku menyusahkan-Mu? Mengapa memberiku semua damai ini, dan lalu... dan lalu..." Sekali lagi dia roboh di atas meja, dengan menangis terlebih keras, dengan terengah-engah...

Yesus menempatkan tangan-Nya pada bahu kurus Yohanes yang gemetar seraya berkata, "Dan mungkinkah kau bisa percaya bahwa jika Aku bisa, Aku tidak akan menahanmu di sini? Oh! Yohanes! Ada kebutuhan yang sangat di jalan Tuhan! Dan karenanya, Aku-lah yang pertama menderita, karena Aku harus menanggung dukacita-Ku dan dukacita seluruh dunia. Tataplah Aku, Yohanes. Lihatlah apakah wajah-Ku adalah wajah orang yang membencimu, dan yang capai denganmu... Marilah, ke dalam pelukan-Ku, dan rasakan bagaimana hati-Ku berdegup karena duka. Pahamilah Aku, Yohanes, jangan salah paham. Ini adalah silih terakhir yang Allah berikan padamu, untuk membukakan pintu-pintu gerbang Surga bagimu. Dengarkan..." dan Dia membangkitkannya dan memeluknya. "Dengar... Bunda, keluarlah sebentar... Dengarkan sekarang, kita sendirian. Kau tahu siapa aku. Apakah kau percaya teguh bahwa Aku-lah Sang Penebus?"

"Tentu saja. Itulah sebabnya mengapa aku ingin tinggal bersama-Mu, untuk selamanya, sampai mati..."

"Mati... Kematian-Ku akan menjadi kematian yang sangat mengerikan!..."

"Kematianku, maksudku. Kematianku..."

"Kematianmu adalah dalam damai, dihibur oleh kehadiran-Ku, yang akan menanamkan ke dalammu kepastian akan kasih Allah, dan dihibur oleh kasih Sintikhe, juga oleh sukacita karena telah mempersiapkan kemenangan Injil di Antiokhia. Tapi kematian-Ku! Kau akan melihat Tubuh-Ku direndahkan menjadi setumpukan daging penuh luka, penuh ludah, hina, diserahkan kepada khalayak yang murka, dihukum mati dengan digantung di kayu salib seperti seorang penjahat... Bisakah kau menanggung semua itu?"

Yohanes yang, pada setiap detail tentang bagaimana Yesus akan diperlakukan selama Sengsara-Nya, sudah mengerang, "Tidak, tidak!" dia meneriakkan "tidak" yang tajam dan menambahkan, "Aku akan mulai membenci umat manusia lagi... Tapi aku akan mati; karena Kau masih muda dan..."

"Dan Aku akan merayakan hanya satu lagi hari raya Pentahbisan Bait Allah."

Yohanes menatap pada-Nya, tercekam kengerian...

"Aku katakan secara rahasia untuk membuatmu tahu bahwa itu adalah salah satu alasan mengapa Aku mengirimmu pergi. Tapi kau bukan satu-satunya. Aku akan mengirim, sebelumnya, mereka semua yang Aku tidak ingin mereka berdukacita lebih dari yang mungkin bisa ditanggung kekuatan mereka. Dan menurutmu itu tidak mengasihi?..."

"Allah-ku yang martir... Tapi aku harus meninggalkan-Mu... dan aku akan mati jauh dari-Mu."

"Dalam nama Kebenaran yang adalah Aku, Aku berjanji kepadamu bahwa Aku akan membungkuk di atas bantal sakrat mautmu."

"Bagaimanakah itu mungkin, jika aku begitu jauh dan Engkau katakan bahwa Engkau tidak bisa pergi sebegitu jauh? Engkau mengatakan itu untuk membuat kepergianku tidak terlalu menyedihkan..."

"Yohana Khuza, yang di ambang ajal di di kaki Libanon, melihat-Ku meskipun Aku nun jauh dan dia belum mengenal-Ku, dan dari tempat di mana Aku berada, Aku membawanya kembali ke kehidupan malang dunia ini. Percayalah, pada hari kematian-Ku dia akan menyesal telah bertahan hidup!... Tetapi untukmu, sukacita Hati-Ku selama tahun kedua pengajaran-Ku ini, Aku akan melakukan lebih banyak. Aku akan datang untuk membawamu kepada damai, dan Aku akan mempercayakan kepadamu misi untuk mengatakan kepada mereka yang menunggu, 'Saat Tuhan telah tiba. Seperti musim semi tiba di bumi, demikian pula musim semi Firdaus tengah terbit bagi kita.' Tapi itu bukan satu-satunya saat Aku akan datang... Aku akan datang... kau akan merasakan-Ku... selalu... Aku bisa dan Aku akan melakukannya. Akan ada sang Guru dalam dirimu. Karena Kasih dapat dikomunikasikan kepada mereka yang dikasihinya, dan begitu sensitif sebab menyentuh tidak saja roh mereka, melainkan juga perasaan mereka. Apa kau lebih tenang sekarang, Yohanes?"

"Ya Tuhan-ku. Tapi betapa aku berduka!"

"Namun, kau tidak memberontak..."

"Memberontak? Tidak pernah! Aku akan kehilangan Engkau sama sekali. Aku katakan Bapa Kami-'ku': Terjadilah kehendak-Mu."

"Aku tahu bahwa kau akan memahami Aku..." Dia mencium pipi Yohanes, yang masih basah dengan air mata yang terus mengalir kendati lebih tenang.

"Maukah Engkau mengizinkanku mengucapkan selamat tinggal kepada si bocah?... Itu adalah kesedihan yang lain... Aku menyayanginya..." dia menangis getir kembali...

"Ya. Aku akan segera memanggilnya... Dan Aku juga akan memanggil Sintikhe. Dia akan menderita juga. Kau harus menolongnya, kau, yang seorang laki-laki..."

"Ya Tuhan-ku."

Yesus pergi keluar sementara Yohanes menangis dan mencium dan membelai tembok dan perabotan dalam kamar tumpangan yang kecil itu.

Maria dan Marjiam masuk bersama.

"Oh! Bunda! Apakah Engkau mendengar? Apakah Engkau tahu?"

" Aku tahu. Dan Aku bersedih... Tapi Aku juga berpisah dengan Yesus... Dan aku adalah Bunda-Nya..."

"Itu benar!... Marjiam, kemarilah. Tahukah kau bahwa aku akan pergi dan kita tidak akan bertemu lagi?..." Dia ingin tampak kuat. Namun dia merengkuh si bocah dalam pelukannya, dia duduk di tepi tempat tidur dan menangis di atas kepala Marjiam yang berambut hitam, yang segera menirunya.

Yesus masuk bersama Sintikhe, yang bertanya, "Mengapa menangis begitu rupa, Yohanes?"

"Ia mengutus kita pergi, tidak tahukah kau? Apa kau belum diberitahu? Dia mengutus kita ke Antiokhia!"

"Jadi? Tidakkah Dia mengatakan bahwa di mana ada dua orang berkumpul dalam nama-Nya, Dia akan berada di antara mereka? Ayolah, Yohanes! Sejauh ini, mungkin, kau sudah memilih nasibmu sendiri, dan dengan demikian penetapan kehendak oleh orang lain, bahkan meski kehendak kasih, membuatmu takut. Aku... Aku terbiasa menerima nasib yang ditetapkan untukku oleh orang lain. Dan betapa takdir yang luar biasa!... Jadi aku sekarang dengan rela tunduk pada nasib baru ini. Kenapa tidak? Aku tidak berontak melawan perbudakan yang lalim, terkecuali ketika itu hendak menguasai jiwaku. Dan haruskah sekarang aku berontak melawan perbudakan kasih yang manis ini, yang tidak melukai tetapi menaikkan jiwa kita dan menganugerahkan kepada kita kehormatan menjadi pelayan-Nya? Apakah kau takut akan hari esok karena kau tidak sehat? Aku akan merawatmu. Apakah kau takut ditinggalkan sendirian? Tapi aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Yakinlah akan hal itu. Aku tidak punya tujuan lain dalam hidup selain mengasihi Allah dan sesamaku. Dan kau adalah sesama yang Allah percayakan kepadaku. Oleh karenanya, pikirkanlah, apakah kau tersayang bagiku!"

"Kamu tidak perlu bekerja untuk hidup, karena kamu akan berada di rumah Lazarus. Tetapi Aku menasehatkanmu untuk menggunakan pengajaran sebagai sarana untuk mendekati orang. Kau, Yohanes, sebagai guru, dan kau, Sintikhe, dengan jahit-menjahit. Itu akan berguna untuk kerasulanmu dan akan memberikan tujuan untuk hidup keseharianmu."

"Akan dilaksanakan, Tuhan," Sintikhe menjawab mantap.

Yohanes masih memeluk si bocah dan menangis dalam diam. Marjiam membelainya... "Apakah kau akan mengingatku?"

"Ya, Yohanes, selalu, dan aku akan mendoakanmu... Bukan... Tunggu sebentar..." Dia berlari keluar.

Sintikhe bertanya, "Bagaimana kami akan pergi ke Antiokhia?"

"Melalui laut. Apakah kau takut?"

"Tidak, Tuhan. Bagaimanapun, Engkau yang mengutus kami, dan itu akan melindungi kami."

"Kau akan pergi dengan kedua Simon, kedua saudara-Ku, kedua anak Zebedeus, Andreas dan Matius. Dari sini ke Ptolemais kau akan pergi naik kereta, di mana kami akan menempatkan lemari-lemari, dan alat tenun yang sudah Aku buat untukmu, Sintikhe, dan beberapa barang yang akan berguna untuk Yohanes..."

"Aku membayangkan sesuatu ketika aku melihat lemari-lemari dan pakaian-pakaian. Dan aku mempersiapkan jiwaku untuk perpisahan. Terlalu indah tinggal di sini!..." tangis yang tertahan membuat suara Sintikhe tersendat. Tapi dia menghimpun kekuatan untuk mendukung keberanian Yohanes. Dia bertanya dengan suara mantap, "Kapan kami akan pergi?"

"Begitu para rasul datang, mungkin besok."

"Baiklah, jika Engkau tidak keberatan, aku akan pergi dan mengemas pakaian dalam lemari... Berikan gulungan-gulunganmu, Yohanes." Aku pikir Sintikhe sangat ingin segera sendirian supaya dia bisa menangis...

Yohanes menjawab, "Ambillah... tapi berikan gulungan yang diikat dengan pita biru itu."

Marjiam masuk dengan toples madunya. "Ini, Yohanes, ambillah. Kau akan memakannya untukku..."

"Tidak, Nak! Kenapa?"

"Karena Yesus mengatakan bahwa sesendok madu yang dipersembahkan sebagai kurban bisa memberikan damai dan harapan bagi jiwa yang menderita. Kau menderita... Aku memberikan kepadamu semua madunya supaya kau terhibur sepenuhnya."

"Tapi itu kurban yang terlalu besar untukmu, Nak."

"Oh! tidak! Dalam doa Yesus kita mendaraskan, 'Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.' Toples ini adalah pencobaan untukku... dan mungkin bisa jadi suatu yang jahat karena mungkin bisa membuatku melanggar nazarku. Sekarang aku tidak akan melihatnya lagi... dan itu lebih mudah... dan aku yakin bahwa Allah akan menolongmu, sebab kurban baru ini. Tapi janganlah menangis lagi. Dan kau juga, Sintikhe..."

Pada kenyataannya perempuan Yunani itu sekarang menangis, tanpa suara, saat membereskan gulungan-gulungan Yohanes. Dan Marjiam membelai mereka secara bergantian, dengan perasaan kuat ingin ikut menangis juga. Sintikhe keluar dengan membawa gulungan-gulungan dan Maria mengikutinya dengan toples madu.

Yohanes sendirian bersama Yesus, Yang duduk di sampingnya, dan dengan si bocah dalam pelukan-Nya. Dia tenang, tapi sedih.

"Masukkan tulisan terakhirmu dalam gulungan itu," saran Yesus. "Aku pikir kau hendak memberikannya kepada Marjiam..."

"Ya... Aku punya salinannya untukku sendiri... Ini, Nak. Ini adalah sabda Guru. Sabda yang Dia ucapkan ketika kau dan yang lain-lainnya tidak di sini... Aku ingin terus menyalinnya untukmu, sebab kau punya seluruh hidup di depanmu... dan kebaikan tahu seberapa banyak kau akan menginjili... Tapi aku tidak bisa melakukannya lagi... Sekarang akulah yang akan ditinggalkan tanpa sabda-Nya..." Dan dia mulai menangis getir kembali.

Marjiam baik hati dan jantan dalam perilaku barunya. Dia merangkul leher Yohanes dan berkata, "Aku akan menuliskannya untukmu sekarang dan aku akan mengirimkannya kepadamu... Betul begitu, Guru? Itu bisa dilakukan, kan?"

"Tentu saja bisa. Dan akan menjadi cinta kasih yang besar jika dilakukan."

"Aku akan melakukannya. Dan jika aku tidak ada, maka Simon Zelot yang akan melakukannya. Dia mengasihiku dan dia mengasihimu dan dia akan melakukannya karena cinta kasih. Jadi janganlah menangis lagi. Dan aku akan datang menemuimu... Kau pasti tidak akan pergi sangat jauh..."

"Oh! sangat jauh! Ratusan mil... Dan aku akan segera mati." Si bocah kecewa dan patah hati. Namun dia menghimpun kekuatannya dengan ketenangan indah seorang anak yang berpikir bahwa segalanya itu mudah. "Jika kau bisa pergi ke sana, maka aku bisa datang bersama bapaku. Dan... kita akan saling menulis satu sama lain. Ketika orang membaca kitab suci, itu seperti bersama dengan Allah, bukan? Jadi ketika kita membaca surat, itu seperti bersama dengan orang yang kita kasihi dan yang menulisnya. Ayo, ayo kita pergi ke kamar sebelah, ikutlah denganku..."

"Ya, ayo kita pergi, Yohanes. Saudara-saudara-Ku akan segera berada di sini bersama Zelot. Aku mengirim pesan untuk memanggil mereka datang."

"Apakah mereka tahu?"

"Belum. Aku menunggu untuk memberitahunya sampai mereka semua ada di sini..."

"Baiklah, Tuhanku. Mari kita pergi..."

Laki-laki tua yang meninggalkan kamar Yosef benar-benar dibungkukkan oleh usia. Dan dia terlihat seperti mengucapkan selamat tinggal kepada setiap batang, setiap pohon, kepada sumber mataair dan gua, sementara pergi menuju bengkel di mana Maria dan Sintikhe tanpa bersuara sudah menempatkan barang-barang dan pakaian dalam lemari...

Dan Simon, Yudas dan Yakobus mendapati mereka demikian... tanpa bersuara dan sedih. Para rasul mengamatinya… tetapi tidak bertanya dan aku bertanya-tanya apakah mereka sudah menyadari kebenarannya.  




Yesus berkata:

"Untuk memberikan petunjuk yang jelas kepada para pembaca, Aku telah menunjukkan tempat penjara Yohanes dengan nama yang sekarang digunakan. Seseorang berkeberatan mengenai ini. Jadi sekarang Aku akan menjelaskan masalahnya: Bithynia dan Mysia, bagi mereka yang menginginkan nama kuno. Tetapi ini adalah Injil untuk orang-orang kecil dan sederhana, bukan untuk alim ulama, yang bagi kebanyakan mereka nama ini tidak bisa diterima dan tidak berguna. Dan orang-orang kecil dan sederhana lebih mengerti 'Anatolia' daripada 'Bithynia atau Mysia'. Bukankah begitu, Yohanes kecil, yang sekarang menangisi dukacita Yohanes En-Dor? Tetapi ada begitu banyak Yohaness En-Dor di dunia! Mereka adalah saudara-saudara terlantar bagi siapa Aku membuatmu menderita tahun lalu. Beristirahatlah sekarang, Yohanes kecil, karena kau tidak akan pernah diutus jauh dari Sang Guru, tidak, kau akan lebih dekat dan lebih dekat kepada-Nya.

Dan tahun kedua dari kehidupan publik dan pewartaan berakhir demikian: tahun Kerahiman... Dan Aku tidak dapat tidak mengulangi ratapan yang didiktekan pada penutupan tahun pertama. Tapi itu tidak melibatkan juru bicara-Ku, yang melanjutkan pekerjaannya berjuang melawan segala macam rintangan. Sungguh bukan orang-orang 'hebat' melainkan orang-orang 'kecil' yang maju sepanjang jalan kegagah-beranian, dengan meratakan jalan melalui kurban-kurban mereka, juga bagi mereka yang terbeban oleh terlalu banyak hal. Orang-orang 'kecil, yaitu mereka yang sederhana, lemah lembut, murni hatinya dan berakal: 'anak kecil'. Dan Aku berkata kepadamu, hai anak-anak kecil, dan kepadamu, Romualdo, dan kepadamu, Maria, dan kepada mereka semua yang sepertimu: 'Datanglah kepada-Ku untuk mendengarkan lagi dan selalu Sabda Yang berbicara kepadamu sebab Dia mengasihimu dan Dia berbicara kepadamu untuk memberkatimu. Damai-Ku sertamu.'"
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 5                 Daftar Istilah                    Halaman Utama