109. YESUS DI RUMAH DORAS. KEMATIAN YUNUS.   



15 Februari 1945  

Aku melihat sekali lagi dataran Esdraelon, pada siang hari. Suatu siang berawan di bulan November. Pastilah telah turun hujan semalam, salah satu dari hujan-hujan pertama pada bulan-bulan musim dingin yang redup, sebab tanah basah namun tidak berlumpur. Dan cuaca berangin. Angin basah yang menerbangkan daun-daun kuning dan menusuk hingga ke tulang-tulang dengan hembusannya yang lembab jenuh.

Di ladang-ladang ada beberapa pasang lembu sedang membajak. Mereka dengan susah-payah mengolah tanah berat dari dataran subur ini, mempersiapkannya untuk masa tabur benih. Dan apa yang menyedihkanku adalah melihat bahwa di beberapa tempat adalah manusia sendiri yang berperan sebagai lembu, mendorong mata bajak dengan segenap kekuatan tangan mereka dan bahkan dengan dada mereka, menjejakkan kaki mereka di tanah yang sudah diolah, mengerahkan tenaga bagai budak-budak dalam pekerjaan ini yang sangat berat juga bagi lembu-lembu jantan yang kuat.

Juga Yesus melihat dan memperhatikan. Dan wajah-Nya berubah menjadi sangat sedih seolah hendak menangis.     

Para murid, hanya sebelas orang, sebab Yudas masih absen dan para gembala tidak lagi di sini, berbicara di antara mereka sendiri dan Petrus berkata: "Juga sebuah perahu itu kecil, miskin dan kerja berat… Tapi itu seratus kali lipat lebih baik dari pekerjaan hewan beban ini!" Ia lalu bertanya: "Apakah mereka mungkin hamba-hamba Doras?" Simon Zelot menjawab: "Aku pikir bukan: ladang-ladangnya ada di balik kebun buah-buahan itu, aku pikir. Dan kita masih belum dapat melihatnya."

Tapi Petrus, yang selalu ingin tahu, meninggalkan jalanan dan berjalan sepanjang sebuah pagar tanam-tanaman yang ada di antara dua ladang. Empat orang petani kurus, basah oleh keringat duduk sebentar di pinggir-pinggirnya. Mereka terengah-engah karena letih. Petrus menanyai mereka: "Apakah kalian orang-orang Doras?"

"Bukan, tapi kami orang-orang Yohanan, sanaknya. Dan siapakah kau?"

"Aku Simon anak Yohanes, seorang nelayan dari Galilea hingga bulan Civ. Sekarang aku adalah Petrus murid Yesus dari Nazaret, Mesias Injil." Petrus mengatakannya dengan rasa hormat dan bangga seperti apabila orang mengatakan: "Aku termasuk golongan Kaisar Roma yang besar dan agung" dan banyak lainnya seperti itu. Wajah jujurnya bercahaya penuh sukacita dalam mengakui diri sebagai murid Yesus.

"Oh! Mesias! Di mana, di manakah Ia?" tanya keempat orang malang itu.

"Yang itu di sana. Yang tinggi berambut terang, mengenakan jubah merah gelap. Yang sekarang sedang melihat kemari, dan tersenyum menantikanku."

"Oh!... Jika kami ke sana… apakah Ia akan mengusir kami?"

"Mengusir kalian? Kenapa? Ia adalah sahabat mereka yang malang, miskin, tertindas, dan aku pikir kalian… ya, kalian adalah orang-orang seperti itu…"

"Oh! ya memang! Tapi tidak seperti orang-orang Doras. Setidaknya kami masih punya roti sebanyak yang kami inginkan dan kami tidak dicambuk terkecuali kami berhenti bekerja, tapi…"

"Jadi, jika tuan Yohanan yang baik mendapati kalian di sini sedang bercakap-cakap, dia…"

"Dia akan mencambuk kami lebih dari dia mencambuk anjing-anjingnya…"

Petrus bersiul penuh arti. Lalu dia berkata: "Baik, lebih baik jika kita melakukan ini…" dan menangkupkan tangan ke mulutnya dia berteriak lantang: "Guru. Datanglah kemari. Ada beberapa hati yang menderita dan mereka menginginkan Engkau."

"Tapi, apakah yang kau katakan? Ia datang kemari?! Tapi kami adalah hamba-hamba yang hina!" Keempat orang itu gemetar atas kelancangan yang demikian.

"Tapi cambuk tidak menyenangkan. Dan jika orang Farisi yang baik itu muncul, aku tak ingin mendapat bagian…" Petrus berkata seraya tertawa dan dengan tangannya yang besar dia mengguncang-guncangkan seorang yang paling gemetaran dari keempat orang itu. Yesus dengan langkah-langkah panjang-Nya hampir tiba. Keempat orang itu bengong harus berbuat apa. Mereka ingin lari dan menemui-Nya, tapi mereka lumpuh oleh rasa hormat. Makhluk-makhluk malang yang sepenuhnya ketakutan atas kekejaman manusia. Mereka rebah prostratio dengan wajah mereka mencium tanah, menyembah Mesias Yang sedang datang menghampiri mereka.

"Damai bagi mereka semua yang menginginkan Aku. Barangsiapa menginginkan Aku, menginginkan yang baik, dan Aku mengasihinya sebagai seorang sahabat. Bangkitlah. Siapakah kalian?"

Tapi keempat orang itu hanya mengangkat wajah mereka dari tanah, dan tetap berlutut dan membisu.

Petus menjelaskan: "Mereka adalah empat hamba Yohanan si Farisi, seorang sanak Doras. Mereka ingin berbicara kepada-Mu, tapi jika dia datang, akan ada berondongan dera, itulah sebabnya mengapa aku katakan kepada-Mu: "Datanglah." Bangunlah, anak-anak. Ia tidak akan melahap kalian! Milikilah iman. Pikirkan saja bahwa Ia adalah salah seorang teman kalian."

"Kami… kami tahu mengenai Engkau… Yunus mengatakannya kepada kami…"

"Aku datang untuknya. Aku tahu bahwa dia mewartakan Aku. Apakah yang kalian ketahui tentang Aku?"

"Bahwa Engkau adalah Mesias. Bahwa dia melihat Engkau sebagai seorang bayi. Bahwa para malaikat memadahkan damai kepada orang-orang baik dengan kedatangan-Mu, bahwa Engkau dianiaya… bahwa Engkau diselamatkan dan bahwa sekarang Engkau tengah mencari para gembala-Mu dan… Engkau mengasihi mereka. Hal-hal yang terakhir ini baru dikatakannya kepada kami. Dan kami pikir: jika Ia begitu baik hingga mencari para gembala dan mengasihi mereka, Ia pasti juga akan sedikit suka kepada kami… Kami sangat merindukan seseorang yang mau mengasihi kami…"

"Aku mengasihi kalian. Apakah kalian banyak menderita?"

"Oh!... Tapi terlebih lagi orang-orang Doras. Jika Yohanan mendapati kami berbicara di sini!... Tapi hari ini dia di Gerghesa. Dia belum kembali dari hari raya Pondok Daun. Tapi bendaharanya sore ini akan memberi kami makan sesudah mengecek pekerjaan yang kami lakukan. Tapi tak mengapa. Kami tidak akan istirahat makan pukul enam dan kami akan mengejar ketinggalan atas waktu yang hilang ini."

"Katakan, sobat. Apakah aku akan dapat bekerja dengan alat itu? Apakah itu suatu pekerjaan yang sulit?" tanya Petrus.

"Tidak, tidak sulit. Tapi suatu kerja keras. Butuh tenaga besar."

"Aku punya itu. Tunjukkan caranya. Jika aku berhasil, kalian dapat berbicara dan aku akan menjadi lembunya. Kalian, Yohanes, Andreas dan Yakobus, ikut pelajaran ini. Kita akan meninggalkan ikan demi cacing-cacing tanah. Ayo!"

Petrus menempatkan kedua tangannya di atas palang balok. Ada dua orang di setiap bajak, satu di setiap sisi balok yang panjang. Dia melihat dan menirukan semua gerakan si petani. Sebab dia kuat dan tenaganya segar, dia dapat bekerja dengan baik dan si petani memujinya.

"Aku ahli dalam membajak dengan gembira," seru Petrus yang baik. "Ayo, Yohanes! Kemarilah. Sepasang lembu di setiap bajak. Yakobus dan anak lembu bisu saudaraku itu di bajak yang satunya. Betul! Tarik!" dan kedua bajak pun maju berdampingan mengolah tanah dan menyusuri galur-galur sepanjang tanah pertanian yang panjang, yang di ujungnya mereka berbalik dan menyusuri galur-galur yang baru. Mereka tampak seolah sudah bekerja sebagai para petani sepanjang hidup mereka.

"Betapa baiknya teman-teman-Mu!" kata hamba Yohanan yang paling berani. "Apakah Engkau membuat mereka demikian?"

"Aku telah membimbing kebaikan mereka. Seperti yang kalian lakukan dengan gunting pemangkas. Kebaikan sudah ada dalam diri mereka. Sekarang berkembang baik sebab ada Yang merawatnya."

"Mereka juga rendah hati. Mereka adalah teman-teman-Mu dan meski begitu mereka melayani kami, hamba-hamba miskin, seperti itu!"

"Hanya mereka yang mencintai kerendahan hati, kelemah-lembutan, pengendalian diri, kejujuran dan kasih; kasih di atas segalanya, dapat tinggal bersama Aku. Sebab barangsiapa mengasihi Allah dan sesamanya, sebagai konsekuensinya, memiliki segala keutamaan dan memperoleh Surga."

"Akankah kami dapat memperolehnya juga, kami, yang tak punya waktu untuk berdoa, untuk pergi ke Bait Allah, bahkan untuk mengalihkan kepala kami dari galur-galur ini?"

"Katakan pada-Ku: apakah kalian membenci dia yang memperlakukan kalian dengan kerja begitu berat? Apakah ada dalam dirimu pemberontakan dan celaan terhadap Allah sebab telah menempatkanmu di antara yang paling rendah di bumi?"

"Oh! tidak, Guru! Itu nasib kami. Tapi apabila lelah, kami melemparkan diri ke atas pembaringan jerami kami dan kami katakan: 'Baiklah, Allah Abraham tahu bahwa kita begitu kehabisan tenaga hingga kita tak dapat mengatakan lebih dari: "Terpujilah Allah!" dan kami juga mengatakan: "Juga hari ini kami hidup tanpa berbuat dosa"… Engkau tahu… kami juga dapat menipu sedikit dan makan buah bersama roti kami, atau menuangkan sedikit minyak ke atas rebusan sayuran. Tapi tuan mengatakan: 'Roti dan sayuran sudah cukup untuk para hamba, dan pada musim panen sedikit cuka dalam air untuk melegakan dahaga mereka dan memberi mereka kekuatan." Dan kami melakukan itu. Bagaimanapun… kami dapat berlaku lebih buruk."

"Dan dengan sungguh-sungguh Aku katakan kepada kalian bahwa Allah Abraham tersenyum pada hati kalian, sementara Ia memalingkan wajah yang keras kepada mereka yang menghina-Nya di Bait Allah dengan doa-doa munafik, sebab mereka tidak mengasihi sesama mereka."

"Oh! tapi mereka mengasihi orang-orang yang seperti mereka! Setidaknya… seolah mereka melakukannya, sebab mereka saling menghormati satu sama lain dengan hadiah-hadiah dan saling membungkuk. Kepada kamilah mereka tidak mengasihi. Tapi kami berbeda dari mereka, dan itu adil."

"Tidak. Itu tidak adil dalam Kerajaan BapaKu. Akan ada perbedaan dalam cara menilai. Bukan yang kaya dan yang berkuasa, yang seperti itu, yang akan menerima kehormatan. Melainkan hanya mereka yang selalu mengasihi Allah, mengasihi-Nya melampaui diri mereka sendiri dan melampaui segala sesuatu, seperti uang, kuasa, perempuan, meja yang berlimpah; dan mengasihi sesama mereka, yakni semua orang, baik yang kaya maupun yang miskin, yang terpandang maupun yang tidak, yang terpelajar maupun yang tak berbudaya, yang baik maupun yang jahat. Ya, kalian harus mengasihi juga orang-orang jahat. Bukan karena kejahatan mereka, melainkan karena belas-kasihan terhadap jiwa mereka yang mereka lukai sampai mati. Adalah perlu mengasihi mereka dengan memohon kepada Bapa Surgawi untuk menyembuhkan mereka dan menebus mereka. Dalam Kerajaan Surga mereka yang diberkati adaah mereka yang menghormati Allah dengan kebenaran dan keadilan, yang mengasihi orangtua mereka dan sanak saudara mereka karena rasa hormat; mereka yang tidak mencuri apapun dengan cara apapun, yakni mereka yang telah memberi dan mendapatkan apa yang adil, juga dalam pekerjaan para hamba; mereka yang tidak menghancurkan reputasi ataupun makhluk dan tidak berhasrat membunuh, bahkan ketika perilaku orang lain begitu keji hingga membangkitkan hati untuk mencaci dan memberontak; mereka yang tidak besumpah palsu melawan sesama dan kebenaran; mereka yang tidak melakukan perzinahan atau dosa daging apapun; mereka yang karena lemah lembut dan bijak, selalu menerima bagian mereka tanpa iri terhadap yang lain. Milik merekalah Kerajaan Surga, dan juga seorang pengemis dapat menjadi seorang raja yang berbahagia di atas sana, sedangkan seorang Tetrarch, dengan segala kekuasaannya, lebih tak berarti dari bukan apa-apa, bukan, lebih parah dari bukan apa-apa: dia akan menjadi mangsa Mamon, apabila dia sudah berdosa melawan hukum abadi Sepuluh Perintah Allah."

Para hamba mendengarkan-Nya dengan mulut ternganga. Dekat Yesus ada Bartolomeus, Matius, Simon, Filipus, Tomas, Yakobus dan Yudas Alfeus. Keempat yang lain terus bekerja, wajah mereka merah padam dan berkeringat, namun gembira. Petrus cukup dapat membuat mereka semua gembira.

"Oh! Betapa tepat Yunus menyebut-Mu: 'Kudus!' Semuanya kudus dalam Engkau: sabda-Mu, tatapan-Mu, senyuman-Mu. Kami belum pernah merasakan jiwa kami seperti ini…!"

"Sudah lamakah kalian tidak bertemu Yunus?"

"Sejak dia sakit."

"Sakit?"

"Ya, Guru. Dia tak tahan lagi. Lama sebelumnya dia sudah menyeret diri. Tapi sesudah kerja musim panas dan panen anggur dia tak lagi dapat berdiri. Dan meski begitu si … memaksanya bekerja!... Oh! Engkau katakan bahwa kita harus mengasihi semua orang. Tapi sungguh sangat sulit mengasihi hyena! Dan Doras lebih buruk dari seekor hyena!"

"Yunus mengasihinya…"

"Ya, Guru. Dan aku katakan bahwa dia seorang santo seperti mereka yang tewas dimartir karena kesetiaan mereka kepada Tuhan Allah kita."

"Kau mengatakan yang benar. Siapakah namamu?"

"Mikha, dan ini Saul, dan ini Jowehel, dan ini Yesaya."

"Aku akan menyebut nama kalian di hadapan Bapa. Dan kau katakan bahwa Yunus sakit payah?"

"Ya, begitu menyelesaikan pekerjaannya dia melempakan diri ke atas jerami dan kami tidak melihatnya lagi. Para hamba Doras yang lain yang memberitahu kami."

"Apakah dia bekerja sekarang?"

"Ya, jika dia dapat berdiri. Dia semestinya ada di balik kebun apel itu."

"Apakah hasil panen Doras bagus?"

"Ya, terkenal di segenap penjuru wilayah. Tanam-tanaman harus disangga oleh sebab ukuran buahnya yang luar biasa, dan Doras harus membuat tong-tong baru sebab begitu melimpah buah anggur hingga tong-tong biasa tak dapat menampungnya."

"Pastilah Doras mengganjari hambanya!"

"Ganjaran! Oh! Tuhan, betapa sedikit yang Engkau tahu mengenainya!"

"Tapi Yunus mengatakan kepada-Ku bahwa beberapa tahun yang lalu Doras menderanya hingga nyaris tewas sebab kehilangan beberapa berkas anggur dan dia menjadi budak karena hutang, sebab majikannya mempersalahkannya atas kehilangan sedikit dari hasil panennya. Karena tahun ini dia memperoleh panen yang luar biasa melimpah, sepatutnya dia memberinya hadiah."

"Tidak. Dia menderanya dengan keji, menuduhnya tidak menghasilkan panen semelimpah tahun-tahun sebelumnya, sebab dia tidak merawat tanahnya."

"Orang itu sungguh binatang!" seru Matius.

"Bukan. Dia tidak punya jiwa," kata Yesus. "Aku meninggalkan kalian, anak-anak-Ku, dengan berkat. Adakah hari ini kalian mempunyai roti dan makanan?"

"Kami punya roti ini," dan mereka memperlihatkan kepada-Nya sebongkah roti berwarna gelap yang mereka keluarkan dari sebuah kantong yang tergeletak di tanah.

"Ambillah makanan-Ku. Aku hanya punya ini. Tapi Aku akan tinggal di tempat Doras hari ini dan…"

"Engkau di rumah Doras?"

"Ya. Untuk menebus Yunus. Tidak tahukah kalian?"

"Tak seorang pun yang tahu apa pun di sini. Tapi… janganlah percaya kepadanya, Guru. Engkau bagai seekor anak domba dalam liang serigala."

"Dia tak akan dapat mencelakai Aku. Ambillah makanan-Ku. Yakobus, berikanlah kepada mereka apa yang kita punya. Juga anggurmu. Kalian juga harus bersukacita sedikit, teman-teman-Ku yang malang. Baik jiwamu maupun tubuhmu. Petrus! Marilah kita pergi."

"Aku datang, Guru. Hanya tinggal galur ini yang perlu dibajak." Dan dia berlari kepada Yesus, di wajahnya tergambar keletihan. Dia mengeringkan diri dengan sehelai mantol yang tadi ditanggalkannya, kemudian dia mengenakan mantolnya kembali dan dia tertawa gembira. Keempat orang itu tak dapat lebih lagi berterima-kasih.   

"Apakah Engkau akan lewat sini lagi, Guru?"

"Ya. Nantikan Aku. Kalian akan mengucapkan salam perpisahan kepada Yunus. Dapatkah kalian melakukan itu?"

"Oh! ya. Tanah harus selesai dibajak sore ini. Lebih dari dua pertiga sudah selesai dikerjakan. Dengan betapa baik dan cepat. Teman-teman-Mu sungguh kuat! Semoga Allah memberkati Engkau. Hari ini bagi kami adalah pesta yang terlebih besar dari Paskah. Oh! Semoga Allah memberkati kalian semua!"

Yesus langsung menuju kebun apel. Mereka melintasinya dan tiba di ladang Doras. Para petani lainnya sedang membajak atau memungkuk menyingkirkan segala tanam-tanaman kecil liar dari galur-galur tanah. Tapi Yunus tidak ada di sana. Orang-orang mengenali Yesus dan menyalami-Nya tanpa meninggalkan pekerjaan mereka.

"Di manakah Yunus?"

"Sesudah dua jam bekerja dia terjatuh di atas galur dan dihantar pulang. Yunus yang malang. Sekarang dia tidak akan harus lama menderita lagi. Dia mendekati ajalnya. Kami tidak akan pernah punya seorang sahabat yang lebih baik darinya."

"Kalian punya Aku di dunia dan dia dalam pangkuan Abraham. Orang-orang mati mengasihi orang-orang hidup dengan kasih ganda: kasih mereka sendiri dan kasih yang mereka dapatkan dengan bersama dengan Allah, karenanya adalah kasih yang sempurna."

"Oh! Pergilah kepadanya segera. Agar dia dapat melihat Engkau dalam penderitaannya!"  
Yesus memberkati dan pergi.

"Apakah yang akan Engkau lakukan sekarang? Apakah yang akan Engkau katakan kepada Doras?" tanya para murid.

"Aku akan pergi seolah Aku tidak tahu apa-apa. Jika dia melihat bahwa dia ditemui dengan adil dan jujur, mungkin dia akan berbelas-kasihan terhadap Yunus dan para hamba."

"Temanmu benar: dia itu serigala ," kata Petrus kepada Simon.

"Lazarus tidak mengatakan apapun selain kebenaran dan dia bukan seorang pengkhianat. Kau akan bertemu dengannya dan kau akan menyukainya," jawab Simon.

Rumah si Farisi sudah kelihatan. Besar, rendah, namun dibangun kokoh, di tengah-tengah kebun buah-buahan yang sekarang belum berbuah. Sebuah rumah desa, tapi mewah dan nyaman. Petrus dan Simon pergi mendahului untuk memberi kabar.

Doras keluar. Seorang laki-laki tua dengan profil keras seorang yang tamak. Dua mata ironis, sebuah mulut ular yang menyunggingkan senyum munafik di balik jenggot yang lebih banyak putihnya daripada hitamnya. "Salam, Yesus," dia menyambut secara informal dan dengan keangkuhan yang terlihat jelas.

Yesus tidak mengatakan: "Damai"; Ia menjawab: "Kiranya salammu kembali kepadamu."

"Masuklah. Rumahku menyambut Engkau. Engkau datang tepat waktu seperti seorang raja."

"Seperti seorang yang jujur" jawab Yesus.  

Doras tertawa seolah itu adalah sebuah gurauan.

Yesus berbalik dan berkata kepada para murid-Nya, yang tidak diundang: "Masuklah. Mereka adalah teman-teman-Ku."

"Biarlah mereka masuk… tapi bukankah itu si pemungut cukai, anak Alfeus?"

"Ini Matius, pengikut Kristus," kata Yesus dalam nada yang membuat lawan bicaranya mengerti dan dia melepaskan tawa dengan lebih terpaksa dari sebelumnya.

Doras hendak menundukkan si Guru Galilea "yang miskin" di bawah kekayaan rumahnya yang mewah di bagian dalamnya. Mewah dan dingin. Para pelayan tampak bagai para budak. Mereka berjalan dengan pundak membungkuk, menyelinap dengan cepat, selalu takut akan hukuman. Orang merasa bahwa rumah itu dikuasai oleh hati yang dingin dan kedengkian.

Tapi Yesus tidak dapat ditundukkan dengan pamer kekayaan atau dengan menyebutkan kerabat seseorang dan Doras, yang mengerti ketidakacuhan sang Guru, membawa-Nya ke dalam taman buah-buahan, memamerkan kepada-Nya tanam-tanaman langka dan menawarkan buahnya kepada-Nya, yang dihantarkan oleh para pelayan dalam nampan-nampan dan cawan-cawan emas. Yesus menikmati dan memuji kelezatan buah, yang sebagian diawetkan sebagai minuman, yakni buah-buah persik yang elok, dan sebagian dalam keadaan alami mereka, yakni buah-buah per dengan ukuran yang langka.

"Aku adalah satu-satunya yang memiliki buah-buah ini di Palestina dan aku pikir tidak ada buah-buah seperti ini di segenap jazirah ini. Aku mendatangkannya dari Persia dan bahkan tempat yang lebih jauh lagi. Biaya caravannya saja seharga satu talenta. Tapi bahkan para Tetrarch tak memiliki buah-buah seperti ini. Mungkin bahkan Kaisar pun tidak memilikinya. Aku menghitung semua buah-buahnya dan aku menginginkan bijinya. Dan buah-buah per disantap hanya di mejaku sebab aku tak ingin bahkan satu biji pun diambil orang. Aku mengirimkan beberapa biji kepada Hanas, tapi hanya yang matang sehingga biji-biji itu steril."

"Tapi itu adalah tanam-tanaman Allah. Dan segenap manusia adalah sederajat."  

"Sederajat? Tidak! Aku sederajat dengan … dengan orang-orang Galilea-Mu?"

"Jiwa berasal dari Allah dan Ia menciptakannya sederajat."

"Tapi aku Doras, si Farisi yang taat!..." Dia tampak sebangga seekor merak dalam mengatakannya.

Yesus mendaratkan pandangan sekilas kepadanya dengan mata safir-Nya yang menjadi semakin berkilau, suatu tanda yang menunjukkan belas-kasihan atau kekerasan. Yesus jauh lebih tinggi dari Doras dan menjulang tinggi di atasnya, agung dalam jubah ungu-Nya dekat si Farisi yang kecil, agak bongkok, yang keriput dalam pakaian yang mencolok lebarnya dan penuh jumbai-jumbai.

Doras, sesudah beberapa saat kagum atas dirinya sendiri, berseru: "Yesus, mengapakah Engkau mengutus Lazarus, saudara seorang pelacur, ke rumah Doras, seorang Farisi yang murni? Apakah Lazarus itu teman-Mu? Janganlah lakukan itu. Tidak tahukah Engkau bahwa dia itu dikutuk sebab saudarinya, Maria, adalah seorang pelacur?"

"Aku hanya mengenal Lazarus dan perbuatan-perbuatannya yang adalah jujur."

"Tapi dunia ingat akan dosa-dosa dari rumah itu dan melihat bahwa cemarnya tersebar ke teman-temannya… Janganlah pergi ke sana. Mengapakah Engkau tidak menjadi seorang Farisi? Jika Engkau mau… Aku seorang yang berpengaruh… Aku akan membuat-Mu diterima, meski Engkau seorang Galilea. Aku dapat melakukan apa saja dalam Sanhedrin [=Mahkamah Agama]. Hanas ada dalam tanganku, seperti pinggiran mantolku. Orang-orang akan lebih segan terhadap-Mu."

"Aku hanya ingin dikasihi."

"Aku akan mengasihi-Mu. Kau dapat lihat bahwa aku sudah mengasihi-Mu sebab aku menyerah pada keinginan-Mu dan aku memberikan Yunus kepada-Mu."

"Aku membayar untuk itu."

"Benar, dan aku terkejut bahwa Engkau mampu membayar jumlah yang begitu besar."

"Bukan Aku. Seorang teman membayarkannya untuk-Ku."

"Baiklah, baiklah. Aku bukan seorang yang sok ingin tahu. Aku katakan: Engkau lihat bahwa aku mengasihi-Mu dan aku ingin membuat-Mu bahagia. Engkau akan mendapatkan Yunus sesudah kita bersantap. Hanya untuk Engkau aku melakukan pengurbanan ini…" dan dia menyuarakan tawa kejinya.

Yesus mendaratkan tatapan yang semakin keras kepadanya, kedua tangan-Nya terlipat di dada-Nya. Mereka masih dalam taman buah-buahan menantikan waktu bersantap.

"Tapi Engkau harus membuatku bahagia. Sukacita ganti sukacita. Aku memberikan kepada-Mu pelayan terbaikku. Oleh karenanya, aku akan kehilangan sesuatu yang berguna bagi masa depan. Tahun ini berkat-Mu, aku tahu bahwa Engkau di sini pada awal musim panas, telah memberiku hasil panen yang membuat pertanianku termasyhur. Sekarang berkatilah kawanan ternakku dan ladang-ladangku. Tahun depan aku tidak akan menyesal kehilangan Yunus… dan sementara itu aku akan mendapatkan seseorang yang sepertinya. Mari dan berkatilah. Berilah aku sukacita menjadi termashyur di segenap penjuru Palestina dan memiliki kawanan ternak dan lumbung-lumbung yang penuh dengan segala macam hasil panen yang baik. Mari," dan dia merenggut Yesus dan berusaha menyeret-Nya, sebab dikuasai oleh demam emas.

Tapi Yesus menolak. "Di manakah Yunus?" Ia bertanya dengan tegas.

"Di tempat di mana mereka sedang membajak. Dia juga ingin melakukan itu untuk tuannya yang baik. Tapi sebelum kita selesai bersantap dia akan datang. Sementara itu, mari dan berkatilah kawanan ternak, ladang-ladang, kebun-kebun buah-buahan, kebun-kebun anggur, dan tempat-tempat pengirikan. Berkatilah semuanya. Oh! Betapa semuanya akan menghasilkan buah yang melimpah-ruah tahun depan! Ayo, marilah."

"Di manakah Yunus?" tanya Yesus dengan suara menggelegar yang lebih keras.

"Sudah aku katakan kepada-Mu! Di tempat di mana mereka sedang membajak. Dia adalah pelayan utama dan tidak bekerja; dia adalah kepala para pekerja."

"Pembohong!"

"Aku? Aku bersumpah dalam nama Yahweh!"

"Orang yang bersumpah palsu!"

"Aku? Aku bersumpah palsu? Aku adalah seorang percaya yang paling setia. Jagalah ucapan-Mu!"

"Pembunuh!" Yesus setiap kali menaikkan suara-Nya lebih keras dan kata terakhir ini bagai halilintar. Para murid pergi mendekati-Nya, para hamba mengintip ketakutan dari balik pintu-pintu. Wajah Yesus tak tertahankan dalam kekerasan yang tak terperi. Pendar-pendar sinar tampak memancar dari mata-Nya.

Doras ketakutan untuk sesaat. Dia menciut, bagai sebuntal kain indah dekat sosok tinggi pribadi Yesus, yang terbungkus dalam jubah wol merah tua. Lalu keangkuhannya berhasil menang dan dia berteriak dengan suara melengkingnya yang seperti suara rubah:

"Hanya aku yang memberikan perintah dalam rumahku. Enyahlah, orang Galilea jahat."

"Aku akan pergi sesudah mengutukimu, ladang-ladangmu, kawanan ternakmu dan kebun-kebun anggurmu, untuk tahun ini dan tahun-tahun mendatang!"

"Tidak, jangan! Ya. Benar. Yunus sakit. Tapi dia dirawat. Dia diperhatikan dengan baik. Tariklah kembali kutukan-Mu."

"Di manakah Yunus? Biar seorang pelayan menghantarkan-Ku kepadanya, segera. Aku membayar untuknya; dan sebab dia adalah sebuah barang dagangan, sebuah mesin, bagimu, Aku menganggapnya demikian; dan sebab Aku membelinya, Aku menginginkannya."

Doras mengeluarkan sebuah peluit emas dari dadanya dan meniup tiga kali. Sekelompok hamba, baik dari rumah dan dari ladang, keluar dari mana-mana, mereka berlari mendekati sang majikan yang gemetaran, membungkuk sangat dalam, hingga mereka tampak seperti sedang merangkak. "Bawa Yunus kepada-Nya dan serahkan kepada-Nya. Ke manakah Engkau hendak pergi?"

Yesus bahkan tidak menjawab. Ia mengikuti para pelayan yang telah berlari menyeberangi kebun menuju kediaman para petani, liang-liang dekil para petani yang miskin. Mereka memasuki gubuk Yunus.

Yunus hanya tinggal tulang dan kulit sekarang dan napasnya terengah-engah, dia separuh telanjang sebab demam yang sangat tinggi, di atas lapik rotan, di mana kasurnya adalah pakaian compang-camping dan selimutnya mantol yang bahkan terlebih usang. Perempuan yang sama seperti waktu yang lalu merawatnya sebaik yang dia dapat.

"Yunus! Sahabat-Ku! Aku datang untuk membawamu pergi!"

"Engkau? Tuhan-ku? Aku akan segera mati… tapi aku bahagia bahwa aku memiliki Engkau di sini!"          

"Sahabat setia-Ku, sekarang kau bebas, dan kau tidak akan mati di sini. Aku akan membawamu ke rumah-Ku."

"Bebas? Kenapa? Ke rumah-Mu? Oh! Ya. Engkau berjanji padaku bahwa aku akan bertemu dengan BundaMu."

Yesus sepenuhnya kasih, membungkuk di atas pembaringan menyedihkan laki-laki yang malang itu. Dan Yunus kelihatan seolah sembuh karena sukacitanya. "Petrus, kau kuat. Angkatlah Yunus, dan kalian, berikan mantol kalian. Pembaringan ini terlalu keras untuk orang dalam keadaan sepertinya."

Para murid segera menanggalkan mantol mereka; mereka melipat-lipatnya beberapa kali dan menempatkannya di atas lapik, dan menggunakan sebagian sebagai bantal. Petrus membaringkan tumpukan tulang yang dibopongnya dan Yesus menyelimutinya dengan mantol-Nya sendiri.

"Petrus, adakah uang padamu?"

"Ya, Guru, aku punya empatpuluh keping uang."

"Bagus. Marilah kita pergi. Bergembiralah, Yunus. Sedikit lagi susah-payah dan lalu akan ada begitu banyak damai dalam rumah-Ku, dekat Maria…"

"Maria… ya… oh! rumah-Mu!" Dalam kerapuhannya yang sangat Yunus yang malang menangis. Dia tidak dapat melakukan yang lain selain menangis."

"Selamat tinggal, perempuan. Allah akan memberkatimu atas belas-kasihanmu."

"Selamat jalan, Tuhan. Selamat jalan, Yunus. Doakanlah aku." Perempuan muda itu menangis.

Ketika mereka di pintu, Doras muncul. Yunus membuat gerakan takut dan menutupi wajahnya. Tapi Yesus menumpangkan tangan ke atas kepalanya dan pergi keluar di sampingnya, dengan lebih berwibawa dari seorang hakim. Arak-arakan sedih itu keluar menuju halaman desa dan mengambil jalan lewat kebun buah-buahan.

"Pembaringan itu milikku! Aku menjual kepada-Mu pelayanku, bukan pembaringan."

Yesus melemparkan kantong uang ke depan kakinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Doras mengambil kantong uang itu dan mengeluarkan isinya. "Empatpuluh keping uang dan lima dirham. Terlalu sedikit!"

Yesus menatap penganiaya tamak yang menuntut itu dari atas ke bawah, namun tidak menjawab.  Mustahil mengatakan apa arti gerakan-Nya itu.

"Setidaknya katakan kepadaku bahwa Engkau menarik kembali kutukan itu!"

Yesus menundukkannya sekali lagi dengan sebuah tatapan dan beberapa patah kata: "Aku mempercayakan kau pada Allah Sinai" dan Ia pergi berlalu penuh wibawa, di samping pembaringan desa, yang diusung Petrus dan Andreas dengan sangat hati-hati.

Ketika Doras melihat bahwa semuanya sia-sia belaka, bahwa hukuman itu pasti, dia berteriak: "Kita akan bertemu kembali, Yesus! Engkau akan ada dalam cengkeramanku lagi! Aku akan bertempur mati-matian dengan-Mu. Kau dapat membawa orang yang sudah loyo itu. Aku tak lagi membutuhkannya. Aku akan menghemat biaya penguburannya. Enyah, enyahlah, Setan terkutuk! Aku akan membuat seluruh Sanhedrin menghadapi-Mu. Setan! Setan!"

Yesus berpura-pura Ia tidak mendengar. Para murid merasa cemas.

Yesus memberikan perhatian hanya pada Yunus. Ia mencari jalan-jalan yang paling mulus dan paling teduh hingga mereka tiba di sebuah persimpangan jalan dekat ladang Yohanan. Keempat petani berlari untuk mengucapkan salam perpisahan kepada sahabat mereka yang akan segera pergi dan kepada Yesus Yang memberkati.

Tapi jauhlah perjalanan dari Esdraelon ke Nazaret, dan mereka tidak dapat maju cepat, sebab muatan mereka yang malang. Tidak ada kereta ataupun gerobak sepanjang jalan utama. Tidak ada apa-apa. Mereka bergerak maju dalam keheningan. Yunus kelihatannya tidur, tapi dia menggenggam tangan Yesus.

Menjelang senja, sebuah kereta militer Romawi menyalib mereka.

"Dalam nama Allah, berhentilah," kata Yesus sembari mengangkat tangan-Nya.

Kedua prajurit berhenti; dari bawah tirai yang dipasang menutupi kereta, sebab hari mulai hujan, mengintip seorang sersan yang bersikap formal. "Apa yang Kau inginkan?" dia bertanya kepada Yesus

"Aku punya teman yang sekarat. Aku memintamu untuk membawanya masuk ke dalam kereta."

"Kami tidak diijinkan… tapi… naiklah. Kami juga bukan anjing-anjing." Usungan diangkat masuk ke dalam kereta.

"Teman-Mu? Siapakah Engkau?"

"Rabbi Yesus dari Nazaret."

"Engkau? Oh!..." Sersan itu menatap-Nya penuh rasa ingin tahu. "Jika itu Engkau, maka… naiklah kalian sebanyak kereta ini muat. Tapi jangan sampai seorang pun melihat kalian… Ini perintah… tapi di atas perintah juga ada kemanusiaan, bukan begitu? Engkau baik, aku tahu. Eh! Kami para tentara tahu semuanya… Bagaimana aku tahu? Bahkan batu-batu berbicara mengenai yang baik dan yang jahat, dan kami punya telinga untuk mendengar mereka demi melayani Kaisar. Engkau bukan Kristus palsu seperti yang lain-lainnya sebelum Engkau, mereka yang adalah penghasut dan pemberontak. Engkau baik. Romawi tahu. Orang ini… sakit parah."

"Itulah sebabnya mengapa Aku membawanya kepada BundaKu."

"Ehm! Ia tidak akan dapat menyembuhkannya untuk waktu yang lama! Berilah dia sedikit anggur. Ada di kantin itu. Aquila, cambuk kuda-kudanya, Quintus, beri aku ransum madu dan mentega. Itu punyaku, itu akan membuatnya baik. Dia batuk dan madu akan membantu."

"Engkau baik."

"Bukan. Tidak sejahat kebanyakan orang. Dan aku senang Engkau ada di sini bersamaku. Ingatlah Publius Quintilianus dari legiun Italica. Aku tinggal di Kaisarea. Tapi sekarang aku pergi ke Ptolomais. Perintah inspeksi."

"Engkau bukan musuh-Ku."

"Aku? Aku adalah musuh orang-orang jahat. Tidak pernah musuh orang-orang baik. Dan aku ingin menjadi baik juga. Katakanlah: Doktrin apakah yang Engkau ajarkan kepada kami, orang-orang militer?"

"Doktrinnya cuma satu, untuk semua orang. Keadilan, kejujuran, pengendalian diri, cinta kasih. Orang haruslah melakukan tugasnya tanpa kekerasan. Juga dalam kepentingan-kepentingan tegas tentara, orang harus manusiawi. Dan orang harus berupaya mengenal Kebenaran, yakni Allah, yang satu dan abadi, tanpa pengetahuan itu setiap perbuatan jauh dari rahmat dan sebagai konsekuensinya jauh dari ganjaran abadi."  

"Tapi ketika aku mati, apakah hubungannya dengan kebaikan yang sudah aku lakukan?"

"Barangsiapa datang kepada Allah yang benar akan mendapatkan kebaikan itu di kehidupan selanjutnya."

"Apakah aku akan dilahirkan kembali? Apakah aku akan menjadi seorang hakim atau bahkan seorang kaisar?"

"Tidak. Kau akan menjadi seperti Allah, dipersatukan dengan kebaikan abadi-Nya di Surga."

"Apa? Aku dalam Olympus? Di antara dewa-dewa?"

"Tidak ada dewa-dewa. Tapi ada Allah yang benar. Yang Aku wartakan. Ia Yang mendengarkan engkau dan mencatat kebaikan-kebaikanmu dan kerinduanmu untuk mengenal yang Baik."

"Aku suka itu! Aku tidak tahu bahwa Allah dapat peduli terhadap seorang prajurit malang yang tidak mengenal Allah."    

"Ia yang menciptakan engkau, Publius. Karenanya Ia mengasihi engkau dan ingin memilikimu bersama-Nya."

"Eh!... mengapa tidak? Tapi… tak seorang pun pernah berbicara kepada kami tentang Allah."

"Aku akan datang ke Kaisarea dan engkau akan mendengarkan Aku."

"Oh! Ya. Aku akan datang untuk mendengarkan-Mu. Itu Nazaret. Aku ingin melayani-Mu lebih lanjut. Tapi jika mereka melihatku…"

"Aku akan turun, dan Aku memberkatimu atas kebaikanmu."

"Salam, Guru."

"Kiranya Allah memperlihatkan DiriNya kepada kalian, para tentara. Selamat tinggal."

Mereka turun dan kembali berjalan kaki.

"Sebentar lagi kau akan dapat beristirahat, Yunus," kata Yesus memberi semangat.

Yunus tersenyum. Dia menjadi semakin tenang sementara malam tiba dan dia yakin bahwa dia jauh dari Doras. Yohanes dan saudaranya berlari mendahului untuk memberitahu Maria. Dan ketika arak-arakan kecil itu tiba di Nazaret, di larut malam yang nyaris sunyi, Maria sudah berada di pintu menantikan PutraNya.

"Bunda, ini Yunus. Dia akan bernaung di bawah kebaikan-Mu demi mulai menikmati Firdausnya. Apakah kau bahagia, Yunus?"

"Bahagia! Bahagia!" bisik laki-laki tanpa daya itu seolah dia ada dalam ekstasi.

Dia dibawa masuk ke dalam kamar yang kecil di mana Yosef wafat.

"Kau ada di atas pembaringan bapa-Ku. Dan ini BundaKu, dan Aku di sini. Lihat? Nazaret menjadi Betlehem, dan kau sekarang adalah Yesus kecil di antara dua orang yang kau kasihi, dan ini adalah mereka yang menghormatimu sebagai hamba yang setia. Kau tak dapat melihat para malaikat, tapi mereka mengepak-ngepakkan sayap mereka yang cemerlang di atasmu dan sedang memadahkan kata-kata dari mazmur Natal…"

Yesus mencurahkan segenap kasih-sayang-Nya atas Yunus yang malang yang semakin memburuk keadaannya dari detik ke detik. Dia tampaknya telah melawan begitu jauh untuk mati di sini… tapi dia bahagia. Dia tersenyum dan berusaha mencium tangan Yesus dan tangan Maria, dan untuk mengatakan… tapi penderitaannya yang hebat menginterupsi kata-katanya. Maria menghiburnya bagai seorang ibu. Dan dia mengulang: "Ya… ya" dengan seulas senyum bahagia pada wajahnya yang kurus cekung.  

Para murid, berdiri di pintu masuk kebun sayur-mayur dan buah-buahan, diam dan menyaksikan dengan hati trenyuh.

"Allah telah mendengarkan kerinduanmu yang lama terpendam. Bintang dari malam panjangmu sekarang menjadi Bintang Pagi abadimu. Kau tahu namanya," kata Yesus.

"Yesus, bintang-Mu! Oh! Yesus! Para malaikat… Siapakah yang akan menyanyikan madah malaikat untukku? Jiwaku dapat mendengarnya… tapi juga telingaku ingin mendengarnya… Siapakah?... untuk membuatku tidur dengan bahagia… Aku sangat mengantuk! Begitu banyak kerja yang telah aku lakukan! Begitu banyak airmata… Begitu banyak penghinaan… Doras… aku mengampuninya… tapi aku tak ingin mendengar suaranya dan aku mendengarnya. Seperti suara Setan dekatku, yang sedang sekarat. Siapakah yang akan mengatasi suara itu untukku dengan perkataan yang datang dari Surga?"

Adalah Maria yang dengan nada yang sama seperti nyanyian nina bobo-Nya menyanyi lembut: "Kemuliaan bagi Allah di Surga Mahatinggi dan damai bagi manusia di bawah sini." Dan Ia mengulanginya dua atau tiga kali sebab Ia melihat bahwa Yunus menjadi tenang mendengarnya.

"Doras tidak berbicara lagi," katanya sesudah beberapa saat. "Hanya para malaikat… Seorang Kanak-kanak... dalam palungan… di antara seekor lembu dan seekor keledai… dan itu adalah Mesias… Dan aku menyembah-Nya… dan bersama-Nya ada Yosef dan Maria…" Suaranya perlahan memudar dalam suatu deguk pendek dan lalu ada keheningan.

"Damai di Surga bagi manusia yang berkehendak baik! Dia meninggal. Kita akan memakamkannya di pemakaman kita yang miskin. Dia layak menantikan kebangkitan orang-orang mati dekat bapa-Ku yang benar," kata Yesus.

Dan semuanya pun berakhir, sementara Maria Alfeus, diberitahu entah oleh siapa aku tidak tahu, masuk ke dalam.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 2                     Daftar Istilah                      Halaman Utama