Kontrasepsi Menurut Ajaran Gereja:
Bagian 4:
Keluarga Berencana Alami
oleh: P. William P. Saunders *
Sementara mengutuk penggunaan alat-alat kontrasepsi, Gereja juga menyadari bahwa sebagian pasangan menghadapi situasi-situasi serius dalam perkawinan dan keluarga yang mendorong mereka untuk menunda kehamilan, meski tidak definitif. Guna membantu pasangan-pasangan ini, Gereja meminta dengan sangat kepada mereka untuk mempergunakan metode alami pengaturan kehamilan, seperti yang telah Tuhan Sendiri rancangkan sebagai bagian dari sistem reproduksi. Sistem ini disebut Keluarga Berencana Alami.
Sesungguhnya, salah satu dari bentuk-bentuk paling awal dari keluarga berencana alami adalah menyusui. Jika seorang perempuan menyusui bayinya secara teratur, besar kemungkinan ia tidak akan mengandung dalam jangka waktu 18-24 bulan. Dalam kenyataan, banyak suku-suku primitif mengatur kehamilan secara alami dengan cara ini.
Pada tahun 1930-an, dikembangkan Kalender Ritme (= Kalender Irama). Metode ini efektif jika perempuan memiliki siklus menstruasi yang teratur dan jika ia diberi penyuluhan dengan baik. Sebenarnya, metode ritme ini nyaris sama efektifnya dengan kondom atau metode-metode lain pencegah kehamilan. Namun demikian, Kalender Ritme tak dapat diandalkan bagi banyak pasangan. Mungkin karena itulah banyak orang berolok, “Disebut apakah pasangan yang mempergunakan metode ritme?” Jawabnya, “Orangtua.”
Keluarga Berencana Alami modern secara teknis disebut Sympto-Thermal Method atau Metode Pengukuran Suhu Tubuh. Metode ini didasarkan pada ketiga tanda kesuburan pada perempuan: suhu basal tubuh, sifat lendir serviks, dan perubahan-perubahan fisik dalam posisi serviks (= leher rahim). Ketiga tanda ini menginformasikan kepada pasangan bilamana isteri dalam masa subur dan kemungkinan dapat mengandung seorang anak apabila pasangan bersatu dalam kasih suami isteri. Ironisnya, sementara banyak dokter memberikan resep-resep sarana artifisial guna mencegah kehamilan, mereka memberikan teknik-teknik Keluarga Berencana Alami dalam membantu pasangan yang mengalami kesulitan mengandung seorang anak, dengan mengidentifikasikan masa subur dan dengan demikian mengetahui bilamana kemungkinannya terbesar dapat terjadi kehamilan. Di samping itu jika orang merasa khawatir mengenai keefektifannya, maka Metode Pengukuran Suhu Tubuh telah terbukti sama efektifnya dengan pil dan bahkan lebih efektif dari metode-metode pencegah kehamilan lainnya, jika dilakukan dengan benar.
Segera saja, sebagian orang dengan jujur mungkin bertanya, “Apakah perbedaan antara Keluarga Berencana Alami dengan bentuk-bentuk kontrasepsi lainnya? Keduanya tampak sama.” Meski kedua sarana tersebut memiliki tujuan yang sama - menunda kehamilan - perbedaannya terletak pada sarana itu sendiri. Dengan Keluarga Berencana Alami, pasangan tetap memelihara keutuhan perjanjian hidup dan kasih mereka. Mereka mempergunakan hanya sarana-sarana yang diberikan Tuhan kepada mereka, yang ada pada diri mereka. Dalam mengungkapkan kasih suami isteri, mereka sadar bahwa tindakan ini tidak hanya mempersatukan mereka sebagai suami dan isteri, melainkan juga memungkinkan mereka untuk ikut ambil bagian dalam karya kasih penciptaan Allah. Daripada mengenyahkan dan mengabaikan satu aspek tertentu, mereka menghormati kedua aspek unitive dan procreative.
Sebab itu, apabila karena suatu alasan serius mereka memutuskan untuk menunda kehamilan, maka keduanya - suami dan isteri - yang membuat keputusan dan keduanya bersama-sama ikut ambil bagian dalam berpantang tidak mengungkapkan kasih suami isteri selama masa subur. Keluarga Berencana Alami juga aman, dan beban ditanggung bersama oleh suami dan isteri. Di samping itu, pasangan tetap terbuka pada penyelenggaraan ilahi: jika seorang anak “yang tak direncanakan” hadir, kiranya terjadilah demikian - itu adalah kehendak Tuhan dan anugerah Tuhan; sementara dengan sarana kontrasepsi artifisial, di mana pasangan telah merencanakan segala sesuatunya dengan baik dan terkendali, kehamilan yang tak diinginkan seringkali dianggap bencana. Ingat bahwa salah satu argumentasi untuk melegalisasi aborsi adalah guna mengoreksi “kehamilan-kehamilan yang tak direncanakan”.
Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio mengajukan perbedaan-perbedaan antropologis dan moral antara kontrasepsi dan Keluarga Berencana Alami: “Pemilihan irama-irama alami berarti: menerima kenyataan siklus manusia, yakni wanita, dan serta-merta menerima dialog, sikap saling menghormati, tanggung jawab bersama dan pengendalian diri. Menerima kenyataan siklus dan mengadakan dialog berarti mengakui sifat rohani maupun jasmani persekutuan suami isteri, serta menghayati cinta kasih antar pribadi beserta tuntutannya, yakni kesetiaan. Dalam konteks itu, suami isteri beroleh pengalaman, bagaimana persekutuan pernikahan diperkaya dengan nilai-nilai kelembutan dan kemesraan, yang merupakan antipati seksualitas manusiawi, juga dalam dimensi fisiknya. Begitulah seksualitas dihormati dan dikembangkan dalam dimensinya sungguh dan sepenuhnya manusiawi, dan tidak pernah `diperalat' sebagai `obyek', yang - dengan membelah kesatuan pribadi jiwa raga - menyerang ciptaan Allah Sendiri pada taraf interaksi yang terdalam antara kodrat dan pribadi” (No. 32).
Sesungguhnya, Keluarga Berencana Alami mengalami sukses besar. Misalnya, pada tahun 1960, pemerintah Mauritius, suatu negara kepulauan kecil di Samudera India sebelah timur Madagaskar, hendak memulai suatu kampanye kontrasepsi besar-besaran guna mengendalikan populasi penduduk. Uskup menerbitkan sepucuk surat pastoral menentang rencana ini. Setelah mendiskusikan masalah ini dengan pejabat-pejabat pemerintah, pada tahun 1963, suatu program pendidikan Keluarga Berencana Alami dimulai. Para dokter memberikan penyuluhan kepada pasangan-pasangan pelatih, yang pada gilirannya mengajarkan metode kepada pasangan-pasangan lain. Sekarang mereka melatih 2000 pasangan setiap tahunnya. Setiap paroki memiliki suatu program khusus untuk memberikan penyuluhan kepada pasangan-pasangan dalam kursus persiapan perkawinan dan 85% pasangan yang menikah dalam Gereja menyelesaikan training tersebut. Secara keseluruhan 20% dari perempuan dalam usia subur mempergunakan Keluarga Berencana Alami; di mana kalangan Hindu dan Muslim mencapai 62%. Di samping itu, metode-metode artifisial mulai mengalami penurunan. Keefektifan Keluarga Berencana Alami menjadi suatu argumentasi yang meyakinkan dalam menentang legalisasi aborsi di negeri itu. Yang menjadi kekhawatiran Uskup Margeot sekarang ini adalah koalisi negara-negara - Amerika, Jepang dan Eropa Utara - dan yayasan-yayasan - Rockefeller and Packard - yang tengah berjuang menerapkan sarana artifisial pengatur kehamilan di segenap penjuru Afrika, yang pada gilirannya secara perlahan-lahan akan menghantar pada aborsi.
Tulisan ini tak dapat menyajikan penjelasan secara terinci mengenai Keluarga Berencana Alami, sebab itu pasangan-pasangan yang berminat atau ingin mengajukan pertanyaan lebih lanjut sehubungan dengan ajaran Gereja, hendaknya mengikuti kursus yang disediakan. Pasangan-pasangan yang mempersiapkan diri memasuki jenjang perkawinan secara istimewa didorong untuk mengikuti kursus ini. Daripada sekedar menyepelekan ajaran Gereja, baiklah orang mempelajari ikhwal ajaran dan bertanya lebih lanjut mengenai Keluarga Berencana Alami.
Kerapkali orang berpikir bahwa Keluarga Berencana Alami tidak efektif. Sesungguhnya, apabila diterapkan dengan benar, Keluarga Berencana Alami nyaris 100% efektif dengan tingkat kehamilan 0.004 (Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat (1978)) versus “pil” yang adalah 97 persen efektif, atau kondom yang 79-88 persen efektif (Contraceptive Technology).
Namun demikian, keseluruhan masalah ini menyangkut perjanjian kasih antara suami dan isteri, dan Tuhan; menyangkut penciptaan kehidupan dalam persatuan dengan Tuhan. Sementara sebagian orang suka mengutip statistik mengenai keefektifannya, tak ada satu metode pun yang 100 persen efektif; tetapi, dengan Keluarga Berencana Alami pasangan mengandalkan kehendak dan penyelenggaraan Tuhan yang tak didapati dalam sarana-sarana lainnya. Pasangan-pasangan yang menerapkan Keluarga Berencana Alami tidak berbicara mengenai “kehamilan yang tak diinginkan,” sebab mereka sadar bahwa tindakan kasih suami isteri dapat mendatangkan kehidupan. Juga, sementara tingkat perceraian di Amerika Serikat melambung hingga sekitar 50 persen dalam lima tahun pertama perkawinan, pasangan suami isteri yang mempergunakan Keluarga Berencana Alami memiliki tingkat perceraian sekitar 0.6 persen menurut Couple to Couple League, dan 2-5 persen menurut penelitian yang dilakukan oleh California State University, dengan demikian membuktikan kokohnya perjanjian kasih di antara pasangan-pasangan ini.
Sebab itu, mengenai pengaturan kehamilan, Konsili Vatican II memaklumkan, “Penilaian itu pada dasarnya suami-isterilah yang wajib mengadakan di hadapan Allah” (Gaudium et Spes, #50). Walau demikian, seorang Katolik yang saleh haruslah pertama-tama memperhatikan ajaran Magisterium. Seperti telah ditegaskan, perkawinan adalah serius, kasih suami isteri adalah serius, penciptaan kehidupan adalah serius. Sarana-sarana kontrasepsi pada hakekatnya adalah jahat (bdk Katekismus Gereja Katolik, #2370). Oleh karenanya, pelanggaran terhadap kasih suami isteri melalui praktek-praktek penggunaan kontrasepsi secara obyektif adalah dosa berat. Tentu saja, situasi-situasi serius dapat muncul yang pada gilirannya dapat mengurangi kebersalahan pasangan dalam hal ini. Apabila pasangan bergumul dengan masalah ini, saya sarankan mereka untuk menemui imam atau membicarakannya dengan pasangan pelatih yang memberikan penyuluhan Keluarga Berencana Alami. Kerapkali, pasangan pelatih ini pernah mempergunakan sarana-sarana artifisial sebelumnya dan dengan demikian dapat memberikan penjelasan terbaik kepada pasangan-pasangan lain mengenai perbedaan antara metode-metode dan membimbing mereka dalam menghadapi masalah ini.
Tak seorang pun dapat dengan angkuh menyingkirkan ajaran konsisten Gereja mengenai masalah ini. Kita tak dapat sekedar memikirkan maksud-maksud atau motif-motif baik. Di samping itu, kita tak dapat sekedar mencari di “Yellow Pages” guna mendapatkan imam atau teolog yang akan memberikan kepada kita jawaban yang ingin kita dengar. Kita harus jujur dan bergulat dengan kebenaran, dan dengan rahmat Tuhan hidup selaras dengannya. Seperti yang ditegaskan Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II “Sebagai Guru tiada jemunya Gereja memaklumkan norma moral, yang menjadi pedoman bagi penyaluran kehidupan secara bertanggung-jawab. Gereja sama sekali bukan pencipta norma itu atau penilai terhadapnya. Dalam kepatuhan terhadap Kebenaran, yakni Kristus Sendiri, yang Citra-Nya terpantulkan pada kodrat maupun martabat pribadi manusia, Gereja menafsirkan norma moral serta menyajikannya kepada semua orang yang beritikad baik, tanpa menyembunyikan tuntutan-tuntutan sifat radikal serta kesempurnaan” (Familiaris Consortio, #33).
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Natural Family Planning” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|