YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Identitas Imam dalam Perayaan Ekaristi
oleh: Romo Moses Beding, CSsR

Dalam Perayaan Misa Kamis Putih, 17 April 2003 di Gereja Basilika St. Petrus di Roma, Bapa Suci Yohanes Paulus II menandatangani surat ensiklik yang baru dengan judul “Ecclesia de Eucharistia” (L'Osservatore Romano, No. 17 (1190), 23 April 2003). Pada dasarnya dalam surat ensiklik yang terbaru ini, Paus kembali menekankan peran imam atau identitas imam dalam Perayaan Ekaristi. Tulisan ini mencoba melihat beberapa aspek dalam Perayaan Ekaristi kita di Indonesia, yang melemahkan atau mengaburkan identitas imam itu.

EKARISTI adalah sumber dan puncak seluruh hidup kristiani (LG 11). Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi Suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi Suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paskah kita (PO 5).

Dokumen iman yang dikutip dari Lumen Gentium dan Presbyterorum Ordinis di atas mau mengedepankan figur utama dalam Perayaan Ekaristi yaitu KRISTUS sendiri. Katekismus Gereja Katolik (KGK) bahkan menegaskan, “Kristus sendiri Imam Agung Abadi Perjanjian Baru, mempersembahkan kurban Ekaristi melalui pelayanan imam. Demikian juga Kristus sendirilah yang menjadi bahan persembahan dalam kurban Ekaristi. Ia sendiri sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur (Nr. 1410). Hanya para imam yang ditahbiskan secara sah, dapat memimpin upacara Ekaristi dan mengkonsekrir roti dan anggur supaya menjadi tubuh dan darah Kristus (Nr.1411).

Rasa-rasanya dalam dasawarsa terakhir ini, identitas imam sebagai pemimpin dalam upacara Ekaristi, pendulum bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Kalau dalam Perayaan Ekaristi sebelum Konsili Vatikan II umat dalam posisi pasif, seolah penonton dalam Misa, sekarang menjadi super aktif, malah nongol bersuara dalam DOA SYUKUR AGUNG (DSA), yang sangat kontroversial sampai sekarang. Konon sudah dibicarakan di tingkat KWI, tetapi tetap belum jelas “pembagian tugas” imam dan umat dalam DSA. Dalam suatu pertemuan dengan Ketua KWI dulu (Mgr. Hadisumarto, O.Carm) pada kesempatan pentahbisan imam di Weetebula, Sumba, pernah relevansi keikutsertaan umat dalam DSA dipertanyakan, tetapi pertanyaan “ditampung”. Kemudian keluar suatu kebijaksanaan dari yang berwewenang: daerah atau tempat yang sudah terlanjur menggalakkan dialog imam-umat dalam DSA biarlah berjalan terus, yang lain pada “status quo”. Imam adalah pemimpin Perayaan Ekaristi, maka DSA itu adalah tugasnya. Akibatnya ada imam yang tetap konsisten dengan keyakinannya dan kesadarannya sebagai Pemimpin Ekaristi, tidak mengundang umat untuk atau dalam DSA yang dialogis, sementara yang lain mengundang keikutsertaan umat. Dengan demikian suatu “kebingungan” berjalan dengan damai sampai sekarang. Di Jawa, ada juga hal lain yang menarik. Penulis pernah menghadiri suatu Perayaan Ekaristi dimana imam dan umat bersama-sama mengucapkan “Doa Pembukaan” dan “Doa Penutup”, bahkan bacaan Injil pun dibacakan bersama-sama, sehingga hampir seluruh perayaan menjadi ajang lomba kecepatan membaca teks, dan suasananya menjadi ramai. Dan mungkin ada keanehan lain yang tidak sempat direkam oleh penulis. Tetapi semua itu merupakan akibat dari peluang yang diberikan untuk meningkatkan partisipasi umat dalam Ekaristi.

Dalam Keuskupan Weetebula, pada awal-awalnya penulis pernah mendengar ada umat yang mengatakan: “Beberapa imam Redemptoris anti DSA-dialogis,” karena justru imam-imam lain mempraktekkannya di paroki-paroki mereka. Dalam hal ini bukan soal anti atau pro, soalnya ialah manakah prinsip yang benar? Membaca Keputusan Sidang Dewan Nasional Komisi Liturgi KWI di Pacet, Mojokerto, 25 Juli 1997, yang dimuat dalam “Fajar Liturgi” Nr. 9/Th.VIII/97, sebagai persiapan untuk Rapat Dewan Nasional Komisi Liturgi, 20-24 Juli 1998, rasanya ada harapan untuk menghilangkan “kebingungan” tentang identitas imam dalam Perayaan Ekaristi. Dalam salah satu dari sepuluh keputusan di atas (V.E.1.) dikatakan: “Dewan Nasional menugaskan Tim Khusus TPE yang baru untuk menyampaikan saran-saran Dewan Nasional 1997 tentang Kisah Institusi dan Aklamasi DSA kepada Ketua KWI untuk dipertimbangkan kembali.”

Penulis sendiri bukanlah pakar liturgi, tetapi seorang imam dalam praksis. Dalam rangka menyambut keputusan para Waligereja Indonesia bulan November 2003 mengenai Tata Perayaan Ekaristi (TPE) yang direvisi berdasarkan buku Missale Romanum 2002, dan menyambut surat Ensiklik baru Paus Yohanes Paulus II, “Ecclesia de Eucharistia”, maka dalam keterbatasan saya ingin menyampaikan beberapa pemikiran menyangkut identitas imam dalam Tata Perayaan Ekaristi. Barangkali ada yang mau menyampaikan pro dan kontranya terhadap pemikiran-pemikiran ini.

1. Imam adalah seorang anggota umat beriman dan sama dengan umat itu, dan sebagai seorang beriman dengan segala kelemahan dan kebingungan. Namun, di tengah umat itu ia mempunyai identitas khusus oleh Sakramen Tahbisan. Identitas itu terutama nampak di bidang sakramen, dan tentunya dalam Perayaan Ekaristi “Puncak Kehidupan Umat Allah”. “Dan semuanya dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya, oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.” (2Kor 5:18-21)

2. Firman damai dan pelayanan Damai Kristus ini justru diwujudkan dalam perayaan-perayaan sakramen, khususnya EKARISTI. Jadi, menurut tradisi, kita bisa mengerti, bahwa dalam perayaan sakramen itu, khususnya Ekaristi, fungi dan identitas imam nampak dengan jelas, sebagai kekhususan, dan sah dan berbeda dari fungsi umat yang hadir dan ikut dalam perayaan. Dengan begitu terang dan jelas dalam ORDO MISSAE, yang tradisionil, dan yang terdapat dalam Missale Romanum (yang direvisi) ...Ordo dengan Canon 1 (yang disebut Romawi).

3. Betapa membingungkan ketika terjemahan Ordo Missae itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Rasanya waktu itu sudah nampak suatu tendensi untuk mengurangkan atau mengaburkan kejelasan identitas imam dan fungsinya yang khusus. Coba kita cermati contoh-contoh sebagai berikut ini:

“Dominus vobiscum” (Tuhan sertamu) diganti dengan “Tuhan beserta kita” dan pada tempat pertama, seakan-akan ditulis “Dominus nobiscum” (Tuhan beserta kita). Dan terjemahan yang sebenarnya “sertamu” hanya diberikan sebagai alternatif - di tempat kedua - atau di dalam kurung! Padahal, dalam Missale, “Dominus nobiscum” tidak pernah diberikan sebagai kata salam. Demikian juga dalam Tata Perayaan Ekaristi baru ini, banyak variasi diberikan. Coba kita lihat buku Misa bahasa Jerman SCHOTT! Di sana terdapat juga banyak variasi dan contoh-contoh kata salam, namun semuanya itu dalam artinya yang asli dan benar, “MitEuch” (Tuhan sertamu). Inilah salam dari pemimpin perayaan kepada para peserta! Dan pemimpin perayaan “Pelayan - Damai - Kristus” ini ialah “Imam”!

Orate Fratres; ut meum ac vestrum sacificium” diterjemahkan dengan “persembahan kita”. Dan hanya inilah yang diberikan: alternatif, yang lebih cocok dengan naskah resmi tidak ada! Di dalam bahasa Latin dinyatakan dengan jelas dan terang, bahwa di dalam perayaan kurban ini terdapat fungsi lain untuk imam dan lain lagi untuk umat! Imamat Rajawi dan Imamat Tahbisan, menuntut partisipasi sesuai dengan fungsinya masing-masing, jadi bukan sama rata. Dalam Perayaan Ekaristi kita harus menghargai dan menghormati tugas pelayanan kita masing-masing, sebagai Imam, Diakon, Lektor, Dirigen, Koor, dan lain-lain.

Sekarang diterbitkan cetakan baru dari Ordo Missae sebagai TATA PERAYAAN EKARISTI. Tendensi di atas, yaitu memudarkan dan mengurangkan identitas imam dan fungsinya dalam Ekaristi nampak semakin kuat dan berani, sebab malah menjalar masuk ke dalam terjemahan Canon - DOA SYUKUR AGUNG (DSA). Canon dalam seluruh tradisi Gereja merupakan doa pemimpin perayaan, doa imam. Canon ini ditutup oleh Doksologi Besar (dengan mengangkat Tubuh dan Darah Kristus) dan yang disetujui atau diaklamasikan oleh umat dengan AMIN-nya. Tendensi itu menghasilkan beberapa terjemahan palsu yang tidak lagi merupakan adaptasi pastoril!

“Memento Domine” ... : “pro quitibus tibi offerimus: vel qui tibi offerunt hoc sacrificum laudis” ... menjadi “kurban pujian ini kami persembahkan bersama-sama” (tempat imam hilang ke dalam umat!)

Hanc igitur” ... : “oblationem servitutis nostrae, sed et cunctas familiae tuae” menjadi “Terimalah dengan rela persembahan umat-Mu” ... Padahal arti sebenarnya “Persembahan pelayanan kami, tetapi juga persembahan dari seluruh umat-Mu.”

“Quam oblationem” satu kalimat dari doa ini diambil seakan-akan boleh diucapkan oleh UMAT ... (dalam kurung ditandai `U', dan di banyak tempat hal ini sudah dipraktekkan)

“Unde et memores” : “Domine, nos servi tui, sed et plebs tua sancta” menjadi “kami” ...

“Memento etiam” setengah mau dijadikan atau dianjurkan menjadi doa UMAT ...

“Nobis quoque peccatoribus” ini mengenai para imam! Tetapi di sini disajikan terjemahan “Kami umat berdosa….”

“Per ipsum” ... dan seterusnya. Di sini juga dinyatakan kemungkinan bahwa doa ini diucapkan oleh UMAT. Padahal menurut tradisi Gereja, Doksologi ini HANYA disetujui oleh umat dengan AMIN-nya - “diaminkan”.

Mungkin, sekarang orang berkata, “Terjemahan demikian dibuat, agar bahasanya lancar dan gampang dimengerti” ... Kalau demikian, maka tuntutan bahasa “menang” atas ketelitian dan pengertian teologis naskah asli Ordo Missae. Kalau demikian, maka rasanya tidak wajar dan malah membahayakan! Membahayakan karena turut melemahkan lambat laun “sensus” - perasaan umat dan imam sendiri akan identitasnya! Memang dalam Sakramen Pembaptisan imamat umum dan imamat tahbisan semua orang kristen memperoleh jabatan imamat, namun fungsi berbeda secara liturgis. Imamat umum harus dibedakan dari imamat tahbisan yang hanya dimiliki oleh imam.

Mungkin tendensi ini adalah unsur satu aliran, dimana kita menemui pendapat atau praktek orang, yang menganggap dan memperlakukan Ekaristi sebagai perjamuan saja? Dimana Misa privat (tanpa umat) dianggap tidak penting bagi hidup Gereja? Dimana DOMINUS diterjemahkan hampir selalu dengan “Pengantara”?

Untunglah, BERKAT, sebelum umat bubar, masih merupakan berkat yang diberikan oleh imam, dan bukan saja doa untuk memperoleh berkat bersama umat.

“Kebingungan” mengenai DSA terlalu mahal. Betapa banyak, ribuan bahkan jutaan, buku doa dan nyanyian, seperti “Puji Syukur” dan “Madah Bakti” telah dicetak dengan DSA dialogis (“I” dan “U”) dan terlanjur mengumat. Akan tetapi identitas Imam sebagai pemimpin Perayaan Ekaristi tidak boleh dikorbankan demi investasi pengadaan buku-buku tersebut.


Sumber: AVE MARIA No. AM-25; Oktober 2004; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia