![]() |
![]() Edisi YESAYA | Bunda Maria | Santa & Santo | Doa & Devosi | Serba-Serbi Iman Katolik | Artikel | Anda Bertanya, Kami Menjawab
![]() ![]() ![]() Menentang Aborsi Tetapi Pro-Choice?
![]() oleh: Romo William P. Saunders *
![]() ![]() ![]() Terkadang saya bertemu dengan orang-orang Katolik - terutama di tempat saya bekerja - yang mengatakan, “Secara pribadi saya menentang aborsi, tetapi saya pro-choice.” Bagi saya, pernyataan ini tak masuk akal, tetapi bagaimana saya dapat menyanggah mereka?
~ seorang pembaca di Sterling
Gerakan “pro-abortion” memperoleh banyak dukungan dengan mempergunakan label “pro-choice”. Pertama, label “pro-choice” membekukan kepekaan moral kita sebab label ini menutupi fakta bahwa mereka beranggapan siapapun sungguh berhak menggugurkan kandungan, mengabaikan bukti-bukti ilmu pengetahuan dan medis, serta mengalihkan perhatian orang dari tindakan aborsi itu sendiri. Kedua, gagasan “pro-choice” tampaknya menarik bagi orang-orang Amerika yang mengagungkan kebebasan, dan gagasan bebas untuk memilih daripada dipaksa untuk melakukan sesuatu.
Dalam menyanggah pandangan “pro-choice” ini, kita pertama-tama harus memfokuskan diri pada inti dari pilihan itu, yakni seorang anak. Dengan pendekatan dari sudut pandang ilmu pengetahuan murni, kita tahu bahwa saat pembuahan terjadi, seorang manusia yang baru dan unik tercipta. Kode genetik DNA membuktikan keunikan ini. (Jika tidak, mengapa kode DNA menjadi begitu penting dalam mengedintifikasi para kriminal?) Di samping itu, sejak dari saat pembuahan, sang anak terus bertumbuh dan berkembang; kemudian ia dilahirkan, tumbuh menjadi seorang remaja dan lalu menjadi seorang dewasa, dan pada akhirnya meninggal dunia. Namun demikian, patut diperhatikan bahwa sepanjang tahap-tahap itu ia adalah manusia yang sama yang dulu dikandung: segala yang kemudian “ditambahkan” adalah makanan, waktu dan semoga juga banyak kasih. Sebab itu, Gereja kita mengajarkan, “Dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makhluk baru, yang tumbuh sendiri. Tak pernah ia menjadi manusia jika ia tidak sudah manusia sejak semula” (Declaratio de abortu procurato, No. 12, 1974).
Bergerak melampaui pengetahuan ke tingkat iman, kita juga percaya bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan dan menanamkan suatu jiwa yang unik dan abadi ke dalam tubuh. Jiwa ini - prinsip hidup rohani dalam manusia - adalah apa yang memberikan kepada tiap-tiap orang identitas sebagai diciptakan seturut gambar dan citra Allah (bdk Katekismus Gereja Katolik, No. 363-368). Bahkan jika terdapat keraguan apakah Tuhan menanamkan jiwa pada saat pembuahan atau keraguan apakah anak dalam kandungan adalah sungguh seorang manusia, maka “adalah dosa berat menempuh risiko pembunuhan” (Declaratio, No. 13). “Tak pernah ia menjadi manusia jika ia tidak sudah manusia sejak semula.”
Kita mendapati dalam Kitab Suci kesaksian mengenai kesakralan hidup dalam rahim. Tuhan bersabda kepada ibunda Simson, “Sebab engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki; kepalanya takkan kena pisau cukur, sebab sejak dari kandungan ibunya anak itu akan menjadi seorang nazir Allah!” (Hakim-hakim 13:5). Ayub mengatakan, “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?” (Ayb 31:15). Dalam Mazmur 139:13, kita berdoa, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.” Tuhan bersabda kepada Yeremia, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5).
Bagi umat Kristiani, kesakralan hidup dalam rahim dan keyakinan bahwa anak dalam kandungan adalah sungguh seorang manusia, lebih jauh diperteguh oleh Inkarnasi: Maria mengandung dari kuasa Roh Kudus, dan Yesus Kristus sungguh Allah memasuki dunia ini dengan menjadi juga sungguh manusia. Meski Yesus masih dalam rahim BundaNya, St Elisabet dan St Yohanes Pembaptis, juga masih dalam rahim ibunya, bersukacita atas kehadiran Tuhan. Adakah seorang yang berani mengatakan bahwa Yesus bukanlah seorang manusia dalam rahim BundaNya? Tak heran bahwa dalam Didaché, disebut juga Ajaran Keduabelas Rasul, - buku manual pertama Gereja mengenai moral, norma-norma liturgis, dan doktrin yang ditulis sekitar tahun 80M - kita mendapati larangan moral, “Engkau tidak boleh melakukan abortus dan juga tidak boleh membunuh anak yang baru dilahirkan.”
Memahami bahwa inti dari pilihan ini menyangkut seorang pribadi manusia yang unik, maka pilihan dari tindakan yang ditawarkan menjadi jelas: memelihara dan membela kehidupan manusia dalam rahim ini atau membinasakannya. Karena menyangkut seorang manusia, maka pilihan terakhir tidak saja menyangkut sekedar mengakhiri suatu kehamilan atau membinasakan suatu janin; melainkan, pilihan terakhir ini menyangkut juga suatu pembunuhan langsung atas manusia yang tak berdosa, suatu pembunuhan yang disengaja. Sebab itu, tindakan aborsi pada hakekatnya adalah suatu tindakan yang jahat. Konsili Vatican Kedua menegaskan, “Kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindak kejahatan yang durhaka” (Gaudium et Spes, No. 51).
Kita tidak mempunyai hak untuk memilih kejahatan, apapun situasinya atau bahkan jika tampaknya akan mendatangkan suatu “kebajikan”. Dengan sengaja memilih untuk melakukan yang jahat adalah menghina Tuhan Sendiri, yang seturut gambar dan citra-Nya kita dijadikan. Dalam “pandangan pro-choice,” orang tidak memilih antara dua tindakan yang baik; melainkan orang membutakan mata terhadap tindakan aborsi yang secara obyektif adalah jahat, dan berpura-pura bahwa hal ini adalah sama benarnya secara moral dengan melindungi anak dalam rahim. Mengatakan bahwa seorang adalah “pro-choice” dalam hal ini tak ada bedanya dengan mengatakan bahwa seorang adalah “pro-choice” terhadap apartheid, kamp konsentrasi Nazi atau hukum separasi Jim Crow - “Secara pribadi saya menentangnya, tetapi setiap orang harus memilih.”
Meski kita hidup dalam suatu masyarakat yang plural dan demokratis, kita sebagai umat Kristiani tidak dapat mengabaikan kebenaran, entah kebenaran itu kita dapati dalam wahyu ilahi ataupun dalam hukum kodrat yang kita kenali melalui akal budi. Pada tanggal 21 November 2002, Kongregasi untuk Ajaran Iman yang diketuai oleh Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), dengan sepersetujuan Paus Yohanes Paulus II menerbitkan “Catatan Ajaran pada Beberapa Pertanyaan yang Berhubungan dengan Peran Serta Umat Katolik di Dalam Kehidupan Politik”, menegaskan point ini: “Ada semacam budaya relativisme sekarang ini, terbukti dalam konseptualisasi dan pembelaan terhadap etis pluralisme, yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran akal budi dan prinsip-prinsip hukum moral dasar …. Sebagai akibatnya, masyarakat menuntut otonomi penuh atas pilihan-pilihan moral mereka, dan para pembuat undang-undang bersikukuh bahwa mereka menghormati kebebasan untuk memilih ini dengan memberlakukan undang-undang yang mengabaikan prinsip-prinsip etika dasar dan menyerah pada budaya dan kecenderungan-kecenderungan moral sekilas, seolah segala pandangan yang mungkin dalam hidup memiliki nilai yang sama…. Demokrasi haruslah didasarkan pada dasar yang benar dan kokoh atas prinsip-prinsip etis yang tak dapat diganggu-gugat, yang adalah tiang pondasi hidup dalam masyarakat.” Ketika kehidupan seorang kanak-kanak yang belum dilahirkan tak lagi dianggap sakral dan dilindungi, melainkan harus tunduk pada tuntutan aborsi sebagai pilihan yang disahkan, maka segala kehidupan pada akhirnya menjadi rentan, seperti terbukti dalam meningkatnya eutanasia dan gerakan-gerakan bunuh diri dengan bantuan di dunia kita.
Mengenai argumentasi “pro-choice”, almarhum Bapa Suci kita yang terkasih Paus Yohanes Paulus II menyatakan, “Siapapun dapat melihat bahwa alternatif di sini hanyalah tampaknya belaka. Sungguh tidaklah mungkin untuk berbicara mengenai hak memilih apabila menyangkut suatu kejahatan moral yang jelas, apabila yang dipertaruhkan adalah perintah Tuhan, `Jangan membunuh!'” (Melintasi Ambang Harapan). Umat Kristiani wajib terus-menerus membela kesakralan hidup manusia di hadapan argumentasi pro-choice yang terselubung serta membahayakan ini. Menjadi seorang yang “pro-life” bukannya memaksakan nilai-nilai pada yang lain; tetapi, menjadi seorang yang “pro-life” berarti menjunjung tinggi kebenaran Tuhan dan martabat setiap manusia, baik yang sudah maupun yang belum dilahirkan.
Dalam situasi-situasi yang sulit dan tragis - pemerkosaan dan incest, seorang remaja putri yang hamil, atau seorang kanak-kanak yang tak sempurna atau cacat - wajib kita ingat bahwa seorang kanak-kanak adalah seorang manusia yang tak berdosa yang bukan karena kesalahannya sendiri dikandung. Di sini berbagi salib Tuhan kita, tak diragukan lagi, menjadi suatu yang nyata. Dalam kasus-kasus demikian, kita sebagai warga Gereja patut mendukung baik si ibu maupun si bayi melalui doa-doa kita dan dengan membuka hati, rumah dan dompet kita demi menolong mereka. Kita wajib berkurban demi memelihara kehidupan manusia.
Pada musim gugur tahun 2001, Uskup Arlington Paul S. Loverde menerbitkan sebuah surat guna menandai Hari Minggu Menghormati Kehidupan di mana beliau mengajarkan, “Menjadi seorang Katolik yang taat dan saleh pada intinya berarti bahwa ia adalah seorang yang pro-life dan bukan pro-choice. Menjadi seorang yang pro-choice pada intinya berarti mendukung hak seorang perempuan untuk mengakhiri kehidupan bayinya, entah sebelum sang bayi dilahirkan ataupun dengan kelahiran parsial. Tak seorang Katolik pun dapat menyatakan diri sebagai seorang warga Gereja yang taat dan saleh sementara ia membela atau secara aktif mendukung serangan-serangan langsung terhadap kehidupan manusia yang tak berdosa. Di samping itu, melindungi kehidupan manusia sejak dari saat pembuahan hingga kematian yang wajar adalah lebih dari sekedar masalah Katolik. Ini adalah masalah moralitas dasar, yang berakar pada hukum kodrat maupun hukum ilahi.”
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
![]() sumber : “Straight Answers: Against Abortion, but Pro-Choice?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
![]() Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
|
![]() |