YESAYA    
Edisi YESAYA   |   Bunda Maria   |   Santa & Santo   |   Doa & Devosi   |   Serba-Serbi Iman Katolik   |   Artikel   |   Anda Bertanya, Kami Menjawab
Komuni Kudus Pertama dan Pengakuan Dosa Pertama
oleh: Romo William P. Saunders *


Baru-baru ini, saya menghadiri Komuni Pertama cucu saya di suatu keuskupan lain. Saya terkejut mendapati bahwa ia belum menerima Sakramen Tobatnya yang pertama. Saya pikir setiap anak wajib menerima Sakramen Tobatnya yang pertama sebelum menerima Komuni Pertama. Atau apakah ini fakultatif?
~ seorang pembaca di Alexandria

Tidak, menerima Sakramen Tobat sebelum menerima Komuni Pertama bukanlah suatu pilihan, melainkan suatu ketentuan. Dalam membahas masalah ini, patut kita camkan bahwa Gereja senantiasa mempunyai alasan tepat untuk setiap peraturan, termasuk peraturan ini.

Patut diingat bahwa hingga abad ke-19, Sakramen Pengakuan Dosa dan Ekaristi Kudus diterimakan apabila seorang pada umumnya telah mencapai usia remaja. Namun demikian, pada tanggal 8 Agustus 1910, Paus St Pius X, menerbitkan dekrit Quam singulari yang memperkenankan seorang anak, yang telah mencapai usia dapat mempergunakan akal budi (“sekitar tujuh tahun”), untuk menerima sakramen-sakramen ini. Sementara Bapa Suci secara pasti menghendaki anak-anak menyambut Ekaristi Kudus, beliau juga menjunjung tinggi hubungan hakiki antara Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat.  

Paus St Pius X paham bahwa suara batin moral seorang anak mulai berkembang bersamaan dengan kemampuannya untuk berpikir. Anak-anak dapat membedakan yang benar dari yang salah, mengerti sepuluh perintah Allah, dan hakekat dosa, dosa berat dan dosa ringan. Sejujurnya, jika anak-anak dalam cara yang paling sederhana dapat memahami misteri luar biasa Ekaristi Kudus, mereka pasti dapat memahami gagasan dosa dan tobat. Dengan demikian, ia menangkap pentingnya Sakramen Pengakuan Dosa, “Kebiasaan tidak menerimakan pengakuan dosa kepada anak-anak yang telah mencapai usia dapat mempergunakan akal budi, atau tidak pernah memberikan absolusi kepada mereka, hendaknya sepenuhnya dicela” (Quam singulari).
Menempatkan Sakramen Pengakuan Dosa pertama sebelum Komuni Pertama sungguh amat bijaksana dari sudut pandang kateketikal. Kepada anak-anak diajarkan kasih maharahim Allah kepada masing-masing kita, teristimewa dalam keyakinan pokok bahwa Yesus, sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia seperti kita dalam segala hal kecuali dosa, menderita sengsara, wafat dan bangkit demi mengampuni dosa-dosa kita dan mendatangkan keselamatan bagi kita. Melalui Sakramen Baptis, kita masuk ke dalam misteri keselamatan ini, dan kita berjuang untuk mengamalkan pembaptisan kita melalui doa, sembah sujud, karya-karya belas kasih dan ketaatan kepada perintah-perintah Tuhan. Namun demikian, kadang kala kita secara sukarela memilih untuk berbuat dosa. Sama seperti seorang anak mengerti bahwa “melanggar” peraturan-peraturan orangtuanya berarti menentang mereka dan mendatangkan penghukuman, demikian pula seorang anak dapat memahami konsekuensi dari “melanggar” perintah-perintah Tuhan. Diharapkan, anak juga dihantar untuk memahami bahwa apa yang penting adalah bukan berapa banyak ia melanggar perintah Tuhan, melainkan betapa ia telah gagal untuk mengasihi seperti yang seharusnya. Dosa melukai hubungan kasih antara manusia dengan Tuhan, dan antara manusia dengan sesama; namun demikian, kasih yang diungkapkan melalui tobat dan pengampunan memulihkan hubungan kasih itu.

Sebab itu, kita mengandalkan kasih dan kerahiman Allah yang tak terbatas, yang dinyatakan kepada masing-masing kita dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Dalam sakramen ini, kita menyesali dosa-dosa kita dengan tobat yang tulus, mengakukannya dan menerima absolusi. Lagipula, melalui pengakuan dosa secara rutin, kita memelihara kehadiran Tuhan dalam jiwa kita, dalam rahmat pengudusan, dan mempersiapkan persatuan paling akrab dengan Tuhan.      

Karena Ekaristi Kudus memampukan kita untuk sekarang memiliki suatu persatuan yang akrab mesra dengan Tuhan, maka sepatutnyalah setiap kita rindu untuk menyambut-Nya dalam Komuni Kudus dalam keadaan rahmat dan dengan jiwa yang murni. Sikap rohani yang demikian secara hakiki berhubungan dengan Sakramen Tobat. Oleh karena alasan inilah, Sakramen Tobat pertama wajib selalu mendahului Komuni Pertama. Memang, orang tidak perlu pergi mengakukan dosanya setiap kali hendak menyambut Komuni Kudus. Namun demikian, orang patut menjunjung tinggi hubungan hakiki antara Tobat dan Ekaristi Kudus, dan memelihara disiplin rohani untuk menyambut pengakuan dosa secara rutin sejalan dengan penerimaan Komuni Kudus sesering mungkin.

Sebagai misal, ketika berbicara kepada anak-anak yang sedang dalam persiapan menyambut pengakuan dosa pertama, saya mempergunakan contoh dengan apa yang akan kita lakukan apabila kita akan kedatangan tamu penting di rumah, seumpama kakek nenek: kita membersihkan serta merapikan rumah kita serta memastikan bahwa segala sesuatunya beres agar tamu istimewa kita itu merasa diterima baik. Kita melakukan persiapan-persiapan yang begitu rupa sebab kita mengasihi tamu istimewa kita itu. Demikian halnya, jiwa adalah bait istimewa manusia bagi Tuhan. Ia mempersiapkan diri untuk menyambut Yesus, tamu yang paling istimewa dari segala tamu. Maka, dalam pengakuan dosa, kita menyisihkan waktu untuk membersihkan jiwa, membereskan segala sesuatu dan membuat dirinya siap untuk menyambut Yesus. Kita datang ke pengakuan dosa sebab kita mengasihi Yesus. Katekese sederhana, namun mengenai sasaran.

Urutan tradisional mengenai penerimaan Pengakuan Dosa pertama sebelum Komuni Kudus pertama ditegaskan dalam ketentuan Pedoman Kateketikal Umum yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Klerus (11 April 1971): “Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, maka akan tampak bahwa orang pada prinsipnya tak dapat mencabut suatu praktek yang umum dan lazim terkecuali dengan sepersetujuan Tahta Suci. Setelah merundingkannya dengan konferensi para uskup, Tahta Suci percaya bahwa tepatlah meneruskan kebiasaan Gereja dalam menerimakan Pengakuan Dosa pertama sebelum Komuni Kudus Pertama” (Appendiks #5). Namun demikian, Pedoman Kateketikal Umum mengerti bahwa di beberapa keuskupan, suatu “eksperimen” diperkenankan untuk menunda Pengakuan Dosa pertama hingga sesudah Komuni Pertama; tetapi dengan memperhatikan bahwa eksperimen yang demikian hendaknya dipertimbangkan kembali, dan hanya boleh dilanjutkan setelah mengkonsultasikannya dengan Tahta Suci dan dalam semangat persatuan dengannya. Tetapi, pada tanggal 23 Mei 1973, Kongregasi untuk Klerus dan Kongregasi untuk Tata Tertib Sakramen dengan persetujuan Paus Paulus VI memaklumkan bahwa “eksperimen-eksperimen ini … hendaknya diakhiri dan bahwa semua orang di mana saja hendaknya menyesuaikan diri dengan dekrit Quam singulari.”

Ketentuan ini telah dipertegas kembali dalam dekrit Redemptionis Sacramentum (Tentang Sejumlah Hal yang Perlu Dilaksanakan ataupun Dihindari Berkaitan dengan Ekaristi Mahakudus, 25 Maret 2004) oleh Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen: “Komuni Pertama anak-anak harus selalu didahului oleh pengakuan dosa dan absolusi sakramental” (#87).

Sebagai seorang imam, saya telah melihat tragedi dari masa eksperiman ini. Ketika saya menjadi seorang imam kampus di Marymount, sesungguhnya ada pada saya seorang mahasiswa yang telah menerima Komuni Pertama di kelas dua, tetapi tidak pernah mengaku dosa. Mahasiswa malang tersebut ada di suatu paroki dengan program eksperimen Komuni Kudus pertama yang menangguhkan penerimaan Pengakuan Dosa pertama. Segera sesudah menyambut Komuni Pertama, ia bersama keluarganya kerap berpindah tempat tinggal sehubungan dengan tugas militer sang ayah. Sayangnya, ia “jatuh terpuruk” dan tidak pernah pergi mengaku dosa. Pada akhirnya, dengan rahmat Tuhan, ia memutuskan untuk mencari tahu mengenai hal itu di kampus (sebagian berkat dorongan lewat homili) dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa pertama.

Kita juga melihat masalah lain. Meski di banyak tempat telah diterapkan urutan penerimaan sakramen secara benar, namun demikian mereka kurang menekankan pentingnya pengakuan dosa secara teratur. Saya mengenal orang-orang yang menerima Sakramen Tobat pertama diikuti dengan Komuni Pertama, dan selanjutnya tidak pernah lagi mengaku dosa, terkecuali mungkin sebelum Penguatan, dan kemudian lagi sebelum Perkawinan. Di sini, suatu peraturan ditaati, namun semangatnya tidak dihidupkan.

Sebab itu, katekese yang baik tidak hanya menuntut bahwa kita menerapkan tata urutan sakramen-sakramen ini secara benar, melainkan juga kita menunjukkan hubungan hakiki sakramen-sakramen ini satu dengan yang lainnya. Apabila para orangtua dan para guru agama memberikan katekese yang jelas dan tegas dalam mempersiapkan anak-anak untuk menyambut sakramen-sakramen ini, maka sesungguhnya mereka membekali anak-anak dengan dasar rohani yang kokoh sepanjang hidup mereka.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: First Holy Communion and First Penance” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”