218. KEDATANGAN DI ASKELON.   



Hyppogryph
Sphynx
Gryphon

14 Juli 1945

Hembusan angin fajar yang segar membangunkan para murid yang tidur. Mereka bangkit dari pasir pembaringan mereka, di mana mereka tidur dekat sebuah bukit pasir yang berselimutkan berkas-berkas kecil rerumputan kering, dan mereka mendaki ke puncak. Pesisir pasir yang luas tampak di hadapan mereka, sementara sedikit lebih jauh dan sedikit lebih dekat kepada mereka ada ladang-ladang indah yang dikerjakan dengan baik. Bebatuan putih dari suatu sungai kering kelihatan menyolok bersanding pasir keemasan dan warna putihnya - putih tulang - terhampar hingga sejauh laut, yang permukaannya berkilauan di kejauhan, beriak-riak akibat air pasang pagi dan hembusan angin yang lembut. Mereka berjalan di tepian bukit pasir hingga sejauh sungai kering itu, yang mereka seberangi, dan mereka kembali berjalan melintasi bukit-bukit pasir, yang melesak di bawah kaki mereka dan yang begitu turun naik hingga tampak bagai suatu kelanjutan bentuk padat dari lautan.      

Mereka tiba di batas pantai, di mana mereka dapat berjalan dengan lebih cepat, dan sementara Yohanes terhipnotis oleh samudera tanpa batas yang mulai kemilau di bawah sinar matahari yang terbit, dan dia tampak mereguk keindahannya sementara matanya menjadi semakin biru. Petrus yang lebih praktis, menanggalkan sandalnya, menyingsingkan jubahnya dan berkecipak di air dangkal mencari kepiting-kepiting kecil atau kerang-kerang untuk dihisap. Sebuah kota laut yang indah ada sekitar dua mil jauhnya, terbentang sepanjang pantai di atas sebuah barikade batu berbentuk sabit, di atas mana pasirnya telah terbawa badai dan dihembus angin. Dan batu-batuan barikade, sekarang sementara air pasang surut, muncul di sini juga, dengan demikian memaksa para rasul untuk berjalan di atas pasir yang kering agar kaki telanjang mereka jangan tergores bebatuan yang tajam.

"Di manakah pintu masuk ke kota, Tuhan-Ku? Aku hanya dapat melihat tembok yang sangat kokoh dari sini. Tidaklah mungkin masuk melalui laut. Kotanya terletak di tempat yang paling masuk daratan dari teluk," kata Filipus.

"Ayo. Aku tahu di mana pintu masuknya."

"Pernahkah Engkau kemari?"

 "Sekali sewaktu Aku masih kanak-kanak, tetapi Aku tidak akan ingat. Tapi Aku tahu kemana harus pergi."

"Sungguh aneh! Aku perhatikan bahwa seringkali… Engkau tidak pernah salah jalan. Terkadang kami yang membuat-Mu salah jalan. Orang akan berpikir bahwa Engkau sudah pernah pergi ke tempat-tempat kemana kita pergi," kata Yakobus Zebedeus.

Yesus tersenyum namun tidak menjawab. Ia berjalan mantap hingga sejauh pinggiran pedesaan kecil di mana para petani pemilik stan kebun menanam sayur-mayur untuk dijual ke kota. Ladang-ladang dan stan-stan kebunnya rapi dan dikerjakan dengan baik; para lelaki dan para perempuan sedang mengerjakannya, menyiramkan air di galur-galurnya, sesudah dengan susah payah menimbanya dengan tangan dari sumur, atau dengan cara kuno yang berdecit-decit yakni dengan sarana ember-ember yang ditarik oleh seekor keledai malang yang ditutup matanya yang berjalan mengitari sumur. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Yesus menyalami mereka. "Damai sertamu." Tetapi jika meraka tidak memusuhi, pastilah mereka sangat acuh.

"Tuhan-ku, kita menghadapi resiko mati kelaparan di sini. Mereka tidak mengerti salam-Mu. Aku akan mencoba sekarang," kata Tomas. Dan dia memulai percakapan dengan petani pemilik stan kebun pertama yang dilihatnya: "Apakah sayuranmu mahal?"

"Tidak lebih mahal dari para petani lainnya. Mahal atau tidak mahal, itu tergantung dari seberapa tebal dompetmu."

"Jawaban yang pintar. Tetapi, seperti dapat kau lihat, aku tidak akan mati kelaparan. Aku gendut dan kemerahan juga tanpa sayuranmu. Yang berarti bahwa dompetku cukup tebal. Dengarkan: kami bertigabelas dan kami punya uang untuk dibelanjakan. Apakah yang dapat kau jual kepada kami?"

"Telur, sayur-mayur, buah-buah almond yang masak awal, buah-buah apel yang kisut karena usia, buah-buah zaitun… Apapun yang kau inginkan."

"Beri aku beberapa telur, apel dan roti untuk semua orang."

"Aku tidak punya roti. Kau akan memperolehnya di kota."

"Aku lapar sekarang, bukan satu jam lagi. Aku tidak percaya bahwa kau tidak punya roti."

"Aku tidak punya sama sekali. Kaum perempuan membuatnya. Lihat orang tua yang di sana? Dia selalu punya banyak, sebab karena dia dekat dengan jalanan, para peziarah sering meminta darinya. Pergilah ke Ananya dan mintalah padanya. Aku akan membawakan telurnya untukmu sekarang. Tapi, harap ingat, harganya satu koin sepasang."

"Dasar perampok! Apakah ayam-ayammu mungkin menelurkan telur-telur emas?"

"Tidak. Tidaklah menyenangkan berada di tengah bau busuk unggas, dan orang tidak melakukannya secara cuma-cuma. Bagaimanapun, kamu adalah orang-orang Yahudi, benar kan? Jadi bayar!"

"Kau simpan saja telur-telurmu. Dan dengan demikian usahamu terbayar!" dan Tomas berbalik darinya.

"Ehi! sobat! Kemarilah. Aku akan memberikannya dengan harga yang lebih rendah. Tiga telur untuk satu koin."

"Tidak, bahkan meski empat. Kau makan sendiri saja dan telur-telur itu akan mencekikmu."

"Kemarilah. Dengar. Berapa yang sedia kau bayarkan untukku?" si petani mengejar Tomas.

"Tidak ada. Aku tidak menginginkannya lagi. Aku ingin makan kudapan sebelum pergi ke kota. Lebih baik begitu. Aku tidak akan kehilangan suaraku ataupun selera makanku sebelum menyanyikan kisah-kisah raja dan aku akan menyantap makanan enak di hotel."

"Aku akan memberikannya padamu satu dirham sepasang."

"Ugh! Kau lebih payah dari kutu busuk. Berikan telur-telurnya padaku. Dan pastikan bahwa itu baru. Jika tidak, aku akan membawanya kembali dan aku akan membuat hidungmu bahkan lebih putih dari sekarang." Dan Tomas pergi dengan setidaknya dua lusin telur dalam lipatan mantolnya. "Lihat? Mulai sekarang aku yang akan berbelanja di tanah pencuri ini. Aku tahu bagaimana menghadapi mereka. Mereka kikir dengan uang mereka apabila mereka datang membeli barang-barang kita untuk para perempuan mereka dan gelang-gelang kita tidak pernah cukup berat dan mereka menawar-nawar harga selama berhari-hari. Aku akan membalasnya. Sekarang, marilah kita pergi dan melihat hasil busuk lainnya. Ayo, Petrus. Ini, Yohanes, bawalah telur-telurnya."   

Mereka pergi ke laki-laki tua yang stan kebunnya dekat jalan utama, yang dari utara menghantar ke kota dengan melewati dekat rumah-rumah di pinggiran pedesaan. Sebuah jalanan yang dipaving bagus, pastilah pekerjaan bangsa Romawi. Gerbang timur kota sekarang cukup dekat dan di baliknya orang dapat melihat bahwa jalanan terbentang lurus dan menjadi sungguh artistik, dengan sebuah serambi bernaung di tiap sisinya, dengan ditopang oleh tiang-tiang pualam; di bawah naungan sejuknya orang-orang berjalan meninggalkan pertengahan jalan menuju keledai-keledai, unta-unta, anjing-anjing dan kuda-kuda.      

"Salam! Maukah kau menjual sedikit roti kepada kami?" tanya Tomas.

Si laki-laki tua entah tidak mendengar atau tidak mau mendengar. Sesungguhnya decit roda-air begitu bising hingga dapat mengakibatkan kekacauan.

Petrus hilang kesabarannya dan berteriak: "Hentikan Simsonmu! Setidaknya dia akan dapat bernapas dan tidak mati di depan mataku. Dan dengarkan kami!"

Laki-laki itu menghentikan keledainya dan memandang sekilas pada lawan bicaranya, tetapi Petrus memperdayakannya dengan berkata: "Eh! Tidakkah benar memberikan nama Simson pada seekor keledai? Jika kau seorang Filistin, kau seharusnya menyukainya sebab itu merupakan suatu ejekan bagi Simson. Jika sebaliknya kau berasal dari Israel, kau seharusnya menyukainya sebab mengingatkanmu akan penaklukan bangsa Filistin. Jadi dapat kau lihat…"

"Aku seorang Filistin dan aku bangga karenanya."

"Kau benar. Dan aku akan bangga padamu jika kau memberi kami sedikit roti."

"Tapi bukankah kau seorang Yudea?"

"Aku seorang Kristen."

"Tempat apa itu?"

"Itu bukanlah suatu tempat. Melainkan orang. Aku milik Orang itu."

"Apakah kau budak-Nya?"

"Aku lebih bebas dari orang lain manapun sebab barangsiapa menjadi milik Orang itu tidak tergantung pada siapa pun, terkecuali Allah."

"Apakah kau bicara benar? Bahkan tidak pada Kaisar?"   

"Huh! Siapakah Kaisar dibandingkan dengan Ia Yang aku ikuti, dan Yang empunya aku, dan Yang dalam nama-Nya aku memintamu untuk memberiku sedikit roti?"

"Tetapi di manakah Orang Yang berkuasa itu?"

"Orang itu di sana, Ia Yang melihat kemari dan tersenyum. Ia adalah Kristus, Mesias. Belum pernahkah kau mendengar mengenai-Nya?"

"Ya, raja Israel. Akankah Ia menaklukkan Romawi?"

"Romawi? Seluruh dunia, bahkan Neraka."         

 "Dan kamu adalah para jenderal-Nya? Dengan berpakaian seperti itu? Mungkin untuk menghapuskan penganiayaan atas bangsa Yahudi yang jahat?"

"Yah… ya, dan tidak. Tapi berilah aku sedikit roti dan sementara makan aku akan menjelaskan situasinya padamu."

"Roti? Tapi aku akan memberimu juga air, dan anggur, dan tempat duduk di bawah nanungan, untukmu dan untuk rekan-rekanmu dan untuk Mesias-mu. Panggilah Dia."

Dan Petrus bergegas menghampiri Yesus. "Ayo, ayo. Dia akan memberikan kepada kita apa yang kita inginkan… Filistin tua itu. Tapi aku pikir dia akan memberondong-Mu dengan pertanyaan-pertanyaan… Aku mengatakan padanya Siapa Engkau… Aku kurang lebih mengatakannya padanya… Tetapi dia punya kecondongan yang baik."

Mereka semua pergi ke stan kebun di mana orang itu sudah menata bangku-bangku sekeliling sebuah meja kasar di bawah sebuah pergola anggur yang rimbun.

"Damai sertamu, Ananya. Kiranya tanahmu subur sebab cinta kasihmu dan kiranya menghasilkan buah melimpah."

"Terima kasih. Damai serta-Mu. Duduklah. Anibe! Nubi! Bawakan roti, anggur dan air segera," laki-laki tua itu memberikan perintah pada dua perempuan yang pastinya orang Afrika, sebab yang satu hitam legam dengan bibir tebal dan rambut keriting, dan yang satunya berkulit sangat gelap tapi tipenya lebih Eropa. Dan laki-laki tua itu menjelaskan: "Mereka adalah anak-anak perempuan dari budak-budak istriku. Istriku meninggal dan budak-budak yang datang bersamanya juga meninggal. Tetapi anak-anak perempuan mereka di sini. Mereka berasal dari Nil Tinggi dan Rendah. Istriku berasal dari sana. Itu dilarang, eh? Tapi aku tak peduli. Aku bukan seorang Israel dan para perempuan dari ras yang lebih rendah lebih penurut."

"Bukankah kau dari Israel?"

"Ya, terpaksa, sebab Israel menindas kami seperti kuk. Tapi… Engkau seorang Israel dan Engkau merasa tersinggung dengan apa yang aku katakan?..."

"Tidak. Aku tidak tersinggung. Aku hanya ingin kau mendengarkan suara Allah."

"Suara Allah tidak berbicara kepada kami."

"Itu katamu. Aku berkata-kata kepadamu, dan itulah suara-Nya."

"Tapi Engkau adalah raja Israel."

Para perempuan yang datang dengan roti, air dan anggur ketika mendengar kata "raja" diucapkan, berhenti terpaku menatap pada Pemuda penuh wibawa yang tersenyum, yang oleh tuan mereka disebut sebagai "raja", dan mereka hendak undur diri, nyaris dengan membungkuk mundur karena hormat.

"Terima kasih, perempuan. Damai sertamu juga." Lalu, berbicara kepada si laki-laki tua: "Mereka masih muda… Kau dapat melanjutkan pekerjaanmu."

"Tidak. Tanahnya basah dan dapat menunggu. Berbicaralah sedikit kepada kami. Anibe, lepaskan keledainya dan bawalah ke kandang. Dan kau, Nubi, tuangkan air dari ember-ember terakhir dan lalu… Apakah Engkau berhenti di sini, Tuhan?"

"Janganlah membuatmu lebih repot lagi. Aku hanya ingin menyantap sedikit makanan dan lalu Aku akan pergi ke Askelon."

"Sama sekali tidak merepotkan. Pergilah ke kota, tetapi kembalilah kemari sore nanti. Kita akan berbagi roti dan makanan. Kamu berdua, bergegaslah. Pastikan tersedia roti, kau panggil Jetheo, suruh dia menyembelih seekor anak kambing dan mempersiapkannya untuk sore ini. Pergilah." Dan kedua perempuan itu pergi tanpa bicara.

"Jadi Engkau adalah seorang raja. Tetapi laskar-Mu? Herodes seorang yang keji dalam segala cara yang mungkin. Dia membangun kembali Askelon. Tetapi demi kemuliaannya sendiri. Dan sekarang!... Tetapi Engkau tahu hal-hal cemar Israel lebih baik dariku. Apakah yang hendak Engkau lakukan?"

"Aku hanya punya senjata yang berasal dari Allah."

"Pedang Daud?"

"Pedang Sabda-Ku."

 "Oh! Engkau punya pengharapan-pengharapan! Itu akan menjadi tumpul di hadapan hati yang seperti baja."

"Apakah kau pikir demikian? Aku tidak mengangankan sebuah kerajaan di dunia ini. Aku mengangankan Kerajaan Surga demi kamu semua."

"Kami semua? Aku, juga, seorang Filistin? Dan budak-budakku?"

"Untuk semua orang. Kau dan mereka. Dan untuk orang-orang yang paling tidak beradab di tengah hutan-hutan Afrika."

"Apakah Engkau ingin membangun suatu kerajaan yang sebegitu luas? Mengapakah Engkau menyebutnya dari Surga? Engkau dapat menyebutnya: Kerajaan Dunia."

"Tidak, jangan salah mengerti Aku. Kerajaan-Ku adalah Kerajaan dari Allah Yang Benar. Allah ada di Surga. Jadi, adalah Kerajaan Surga. Setiap manusia adalah jiwa yang berpakaian sebuah tubuh dan suatu jiwa dapat hidup hanya di Surga. Aku ingin menyembuhkan jiwa-jiwamu, menghapuskan dosa-dosanya dan kebenciannya dan menghantarnya kepada Allah melalui kebaikan dan kasih."

"Aku sangat suka itu. Aku tidak pergi ke Yerusalem, tapi aku tahu bahwa tak seorang pun di Israel yang berbicara seperti itu selama bertahun-tahun. Jadi, Engkau tidak membenci kami?"

"Aku tidak membenci siapa pun."

Laki-laki tua itu termenung… lalu bertanya: "Dan apakah kedua budak itu punya jiwa sama sepertimu orang-orang Israel?"

"Tentu saja mereka punya jiwa. Mereka bukan binatang liar yang ditangkap. Mereka adalah makhluk-makhluk yang tidak bahagia. Mereka pantas mendapatkan kasih. Apakah kau mengasihi mereka?"   

"Aku tidak memperlakukan mereka dengan buruk. Aku ingin mereka taat, tetapi aku tidak pernah menggunakan cambuk dan aku memberi mereka makan dengan baik. Mereka mengatakan bahwa binatang yang tidak diberi makan dengan baik tidak akan bekerja. Tetapi juga orang yang tidak diberi makan dengan baik merupakan masalah yang buruk. Dan mereka dilahirkan di rumah. Aku melihat mereka ketika mereka masih bayi. Mereka adalah satu-satunya yang akan tinggal, sebab aku sudah sangat tua, Kau tahu? Hampir delapanpuluh tahun. Mereka dan Jetheo adalah apa yang akan tersisa dari rumah tanggaku. Aku mengasihi mereka seperti aku mengasihi propertiku. Merekalah yang akan menutup mataku…"

"Dan lalu?"

"Dan lalu… Siapa yang tahu! Aku tidak tahu. Mereka akan pergi dan bekerja sebagai pembantu dan rumahku akan hancur berkeping-keping. Aku menyesali itu. Aku membuatnya sejahtera dengan usahaku. Tanah ini akan diselimuti pasir kembali dan menjadi gersang… Kebun anggur ini… Istriku dan aku yang menanaminya. Dan kebun mawar itu… Bunga-bunga mawar Mesir, Tuhan. Aku mencium harum istriku di dalamnya… Tampaknya putraku… satu-satunya putraku yang dimakamkan di sana dan sekarang sudah menjadi debu… Kesedihan… Lebih baik mati muda dan tidak melihat semua itu dan maut yang menjelang…"

"Putramu tidak mati, begitu pula istrimu, jiwa mereka hidup. Daging mereka mati. Janganlah kematian menakutkanmu. Kematian adalah kehidupan bagi mereka yang berharap pada Tuhan dan hidup dengan benar. Pikirkanlah itu… Aku akan pergi ke kota. Aku akan kembali sore ini dan aku akan memintamu untuk mengijinkan-Ku tidur di bawah serambi itu bersama murid-murid-Ku."

"Tidak, Tuhan-ku. Aku punya banyak kamar kosong. Aku menawarkannya pada-Mu."

Yudas menempatkan beberapa koin di atas meja.

"Tidak. Aku tidak mau itu. Uang itu berasal dari negeri ini yang membenci Engkau. Tetapi mungkin mereka lebih baik dari mereka yang memerintah kita. Selamat tinggal, Tuhan-ku."

"Damai sertamu, Ananya."

Kedua budak bersama dengan Jetheo, seorang petani tua yang tegap, telah datang untuk menghantar-Nya pergi. "Damai sertamu juga. Jadilah baik. Selamat tinggal," dan Yesus menyentuh sekilas rambut keriting Nubi dan rambut lurus berkilat Anibe; Ia tersenyum pada si laki-laki dan pergi.

Sebentar kemudian mereka memasuki Askelon sepanjang jalanan berobor ganda, yang langsung menuju pusat kota. Kota merupakan imitasi Romawi, dengan air-air mancur dan kolam-kolam, alun-alun dengan gaya Forum, menara-menara sepanjang tembok dan nama Herodes di mana-mana, yang jelas sudah ditempatkan olehnya guna memuji dirinya sendiri sebab penduduk Askelon tidak mengelukannya. Kota sibuk dan menjadi lebih sibuk dengan berlalunya waktu dan orang mendatangi pusatnya, yang luas dan berudara segar, dengan lautan sebagai latar belakangnya yang cemerlang bak sebuah batu turquoise yang dilingkupi karang merah muda dari rumah-rumah pedesaan di pesisir pantai yang terhampar di jorokan dalam dari pesisir. Daripada teluk itu sungguh merupakan suatu lengkungan yang sesungguhnya, suatu bagian dari sebuah lingkaran yang dijadikan berona sangat merah muda pucat oleh berkas matahari.

"Marilah kita membagi diri menjadi empat kelompok. Aku akan pergi, bukan, Aku akan membiarkanmu pergi. Lalu Aku akan menentukan pilihan-Ku. Pergilah. Sesudah pukul sembilan kita akan bertemu di gerbang di mana kita datang. Jadilah bijak dan sabar." Dan Yesus menyaksikan mereka pergi dan tinggal sendirian bersama Yudas Iskariot yang sudah menyatakan bahwa dia tidak akan memberikan apapun kepada orang-orang di sini sebab mereka lebih buruk dari orang-orang yang tidak mengenal Allah. Tetapi ketika Yudas mendengar bahwa Yesus ingin berjalan-jalan dalam keheningan, dia berubah pikiran dan berkata: "Apakah Engkau keberatan sendirian? Aku akan pergi bersama Matius, Yakobus dan Andreas sebab mereka adalah yang paling kurang cakap…"

"Kau boleh pergi. Selamat tinggal."

Dan Yesus seorang diri, berkelana menyusuri kota, seorang yang tampaknya bukan siapa-siapa di tengah orang banyak yang sibuk yang tidak mempedulikan-Nya. Hanya dua atau tiga anak melihat pada-Nya penuh ingin tahu dan seorang perempuan berpakaian norak nekat datang menghampiri-Nya dengan senyum menggoda. Namun Yesus menatap padanya dengan sangat tajam hingga perempuan itu menjadi merah padam, mengarahkan matanya ke bawah dan pergi. Di pojok perempuan itu berbalik kembali, dan sebab seorang laki-laki yang menyaksikan peristiwa itu mencemoohkannya secara menyakitkan, menertawakan kekalahannya, dia membungkus diri dalam mantolnya dan berlari pergi.

Anak-anak, sebaliknya, berjalan sekeliling Yesus, menatap pada-Nya dan tersenyum membalas senyum-Nya. Seorang anak yang lebih berani dari yang lain-lainnya bertanya: "Siapakah Engkau?"

"Yesus," Ia menjawab sembari membelainya.

"Apakah yang Engkau lakukan?"

"Aku sedang menunggu beberapa teman."

"Dari Askelon?"

"Bukan, dari negeri-Ku dan dari Yudea."

"Apakah Engkau kaya? Aku kaya. Ayahku punya rumah yang indah dan dia membuat karpet di rumah. Datang dan lihatlah. Tidak jauh dari sini."

Dan Yesus pergi bersama si anak dan mereka memasuki sebuah jalanan panjang di bawah atap yang melengkung, yang seperti jalanan dengan naungan di atasnya. Di ujung jalan mereka melihat sekilas lautan, yang sangat cemerlang di bawah sinar matahari dan tampak bahkan terlebih hidup dalam temaram cahaya jalanan beratap.

Mereka bertemu dengan seorang gadis kecil yang kurus kering; dia sedang menangis. "Itu Dina. Dia miskin, Engkau tahu? Ibuku memberinya makan. Ibunya tidak dapat lagi bekerja. Ayahnya mati, di lautan. Dalam suatu badai sementara berlayar dari Gaza ke pelabuhan Sungai Besar untuk membawa barang-barang ke sana dan untuk mengambil barang-barang. Dan sebab barang-barang itu milik ayahku dan ayah Dina adalah salah seorang pelaut kami, ibuku yang sekarang mengurus mereka. Tetapi ada begitu banyak mereka yang ditinggalkan tanpa ayah seperti itu… Bagaimanakah pendapat-Mu? Pastilah sangat mengerikan menjadi anak-anak yatim piatu dan orang-orang miskin. Ini rumahku. Jangan katakan pada ibuku kalau tadi aku ada di jalanan. Aku seharusnya berada di sekolah. Tapi aku dikeluarkan sebab aku membuat teman-temanku tertawa dengan ini…" dan dia menarik keluar dari pakaiannya sebuah boneka ukiran kayu, yang dibuat dari sebilah kayu tipis, yang sungguh sangat kocak, dengan dagunya yang licin dan hidungnya yang sangat aneh.

Bibir Yesus bergetar seolah Ia nyaris tersenyum, tetapi Ia mengendalikan Diri dan berkata: "Itu bukan guru sekolahmu, kan? Atau seorang sanak? Itu tidak benar."

"Bukan. Ini adalah kepala sinagoga bangsa Yahudi. Dia tua dan jelek dan kami biasa mengolok-oloknya."

"Itu juga tidak benar. Dia tentunya jauh lebih tua darimu dan…"

"Oh! Dia sangat tua, dia nyaris bongkok dan buta, tapi dia begitu jelek rupanya!... Itu bukan salahku, kalau dia begitu jelek!"

"Bukan. Tapi kau salah memperolok seorang tua. Kau akan jelek juga, apabila kau tua, sebab kau akan bongkok karena usia; kau akan botak, nyaris buta, kau akan butuh tongkat untuk berjalan, wajahmu akan menjadi seperti itu. Jadi? Akankah kau senang jika seorang anak nakal mengolok-olokmu?

Dan mengapa kau harus membuat marah gurumu dan mengganggu teman-temanmu? Itu tidak benar. Jika ayahmu tahu, dia akan menghukummu dan ibumu akan sedih. Aku tidak akan mengatakan apapun pada mereka. Tapi kau harus memberi-Ku dua hal dengan segera: janjimu bahwa kau tidak akan lagi melakukan olok-olok macam itu dan boneka itu. Siapa yang membuatnya?"

"Aku, Tuhan…" kata anak yang malu itu, yang sekarang sadar akan betapa serius… kelakuan buruknya… Dan dia melanjutkan: "Aku sangat suka mengukir kayu! Kadang aku mengukir bunga-bunga atau binatang-binatang yang ada di karpet, Engkau tahu?... naga, Sphynx dan binatang-binatang lain…"

"Kau dapat melakukannya. Ada begitu banyak hal indah di bumi! Jadi maukah kau berjanji dan maukah kau memberikan boneka itu pada-Ku? Jika tidak, kita bukan lagi teman. Aku akan menyimpannya sebagai suvenir dan Aku akan berdoa untukmu. Siapa namamu?"

"Alexander. Dan apakah yang akan Engkau berikan padaku?"

Yesus tersipu. Ia selalu punya sangat sedikit! Tetapi Ia ingat bahwa Ia punya sebuah gesper indah pada kerah salah satu jubahnya. Ia mencarinya dalam tas kain-Nya, menemukannya, melepaskannya dan memberikannya kepada si anak. "Dan sekarang marilah kita pergi. Tapi ingat, bahkan meski Aku pergi, Aku tetap akan tahu semuanya. Dan jika Aku tahu bahwa kau nakal, Aku akan kembali ke sini dan mengatakan semuanya pada ibumu." Perjanjian disepakati.

Mereka memasuki rumah. Di balik aula terdapat sebuah halaman luas yang pada ketiga sisinya ada ruangan-ruangan besar dengan peralatan-peralatan tenun.

Pelayan perempuan yang membuka pintu tercengang melihat si anak datang bersama seorang asing dan memberitahukannya kepada nyonya rumah, seorang perempuan berperawakan tinggi yang kelihatan baik yang segera datang dengan bertanya: "Tetapi apakah putraku berlaku tidak baik?"

"Bukan begitu, perempuan. Dia membawa-Ku kemari untuk melihat tenunanmu. Aku seorang asing."

"Apakah Engkau ingin membeli?"

"Tidak. Aku tidak punya uang. Tetapi Aku punya teman-teman yang suka barang-barang indah dan mereka punya uang."

Perempuan itu menatap penuh ingin tahu pada Laki-laki yang dengan begitu terus-terang mengakui bahwa Ia miskin dan dia berkata: "Aku pikir Engkau seorang kaya. Perilaku dan penampilan-Mu seperti seorang tuan."

"Sebaliknya Aku hanyalah seorang rabbi Galilea: Yesus, Orang Nazaret."

"Kami menjalankan bisnis dan kami bukannya berprasangka buruk. Mari dan lihatlah."

Dan dia membawa-Nya untuk melihat-lihat tenunannya di mana para perempuan muda sedang bekerja di bawah bimbingannya. Permadaninya sungguh tak ternilai, baik sehubungan dengan desain maupun warnanya: tebal, lembut dan tampak seperti bedeng-bedeng bunga yang sedang mekar atau kaleidoskop batu-batu berharga. Pada permadani-permadani yang lain ada figur-figur alegoris, seperti hyppogryph, putri duyung, naga atau bentara gryphon seperti yang ada pada kita, berbaur dengan bunga-bungaan.

Yesus mengaguminya. "Kau sangat pintar. Aku senang bahwa Aku telah melihat semua ini. Dan Aku senang bahwa kau seorang perempuan yang baik."

"Bagaimanakah Engkau tahu?"

"Terpancar pada wajahmu dan anakmu menceritakan pada-Ku mengenai Dina. Kiranya Allah mengganjarimu untuk itu. Bahkan meski kau tidak mempercayainya, kau sangat dekat dengan Kebenaran, sebab ada cinta kasih dalam dirimu."

"Kebenaran yang mana?"

"Allah Yang Mahatinggi. Dia yang mengasihi sesamanya dan mengamalkan cinta kasih baik kepada keluarganya maupun kepada bawahannya, serta memperluasnya kepada orang-orang yang tidak bahagia, sudah punya Agama dalam dirinya. Itu Dina, bukan?"

"Ya. Ibunya di ambang ajal. Kelak, aku akan memungutnya, tetapi bukan untuk pekerjaan tenun. Dia terlalu muda dan terlalu lembut. Dina, datanglah pada tuan ini."

Gadis kecil itu, dengan tatapan sedih kanak-kanak yang tidak bahagia, menghampiri Yesus dengan malu-malu.

Yesus membelainya dan berkata: "Maukah kau membawa-Ku pada ibumu? Kau ingin ibumu sembuh, ya kan? Jadi, kalau begitu, bawa Aku kepadanya. Selamat tinggal, perempuan. Dan selamat tinggal, Alexander. Dan jadilah baik."

Ia pergi keluar dengan menggandeng tangan si gadis kecil. "Apa kau sendirian?" Ia bertanya padanya.

"Aku punya tiga adik laki-laki. Yang bungsu tidak pernah mengenal ayahnya."

"Janganlah menangis. Dapatkah kau percaya bahwa Allah dapat menyembuhkan ibumu? Kau tahu atau tidak, bahwa hanya ada satu Allah Yang mengasihi manusia hingga Ia mencipta dan teristimewa anak-anak yang baik? Dan bahwa Ia dapat melakukan segalanya?"

"Ya, aku tahu, Tuhan. Saudaraku Tolme biasa pergi ke sekolah dan di sekolah dia berbaur dengan anak-anak Yahudi. Itulah sebabnya kami tahu banyak hal. Aku tahu bahwa Allah ada dan nama-Nya adalah Yahweh dan bahwa Ia menghukum kami sebab bangsa Filistin jahat kepada-Nya. Anak-anak Yahudi selalu mengatai kami karena itu. Tetapi aku tidak ada di sana waktu itu, juga ibuku ataupun ayahku. Jadi kenapa…" airmata mencekik perkataannya.

"Jangan menangis. Allah mengasihimu juga, dan Ia membawa-Ku ke sini, untukmu dan untuk ibumu. Tahukah kau bahwa bangsa Israel menantikan Mesias Yang akan datang untuk membangun Kerajaan Surga? Kerajaan Yesus, Penebus dan Juruselamat dunia?"

"Aku tahu, Tuhan. Dan mereka mengancam kami dengan mengatakan: 'Lalu akan ada malapetaka bagimu.'"  

"Dan tahukah kau apa yang akan dilakukan Mesias?"

"Ia akan menjadikan Israel suatu bangsa yang besar dan akan memperlakukan kami dengan sangat kejam."

"Tidak. Ia akan menebus dunia, Ia akan menghapus dosa, Ia akan mengajar orang banyak untuk tidak berdosa, Ia akan mengasihi orang-orang yang miskin, sakit, menderita, Ia akan pergi kepada mereka, dan Ia akan mengajar orang-orang yang kaya, sehat, bahagia untuk mengasihi orang-orang yang malang itu dan Ia akan mengatakan kepada semua orang untuk menjadi baik guna mencapai hidup abadi yang bahagia di Surga. Itulah apa yang akan Ia lakukan. Dan Ia tidak akan menindas siapa pun."

"Dan bagaimanakah orang akan mengenal-Nya?"

"Sebab Ia akan mengasihi semua orang dan akan menyembuhkan orang-orang sakit yang percaya kepada-Nya, Ia akan menebus orang-orang berdosa dan mengajarkan kasih."

"Oh! Aku berharap Ia datang sebelum ibuku meninggal! Betapa aku akan percaya kepada-Nya! Betapa aku akan berdoa kepada-Nya! Aku akan pergi dan mencari-Nya hingga aku menemukan-Nya dan aku akan berkata kepada-Nya: 'Aku seorang gadis miskin tanpa ayah dan ibuku di ambang ajal, aku berharap pada-Mu' dan aku yakin bahwa, meski aku seorang Filistin, Ia akan mendengarkan aku." Suaranya bergetar dengan iman mendalam yang polos.

Yesus tersenyum menatap pada gadis malang itu yang berjalan di samping-Nya. Dia tidak dapat melihat senyum cemerlang-Nya sebab dia menatap ke depan, ke rumah yang sekarang sudah dekat…

Mereka tiba  di sebuah rumah kecil papa, di ujung sebuah gang buntu. "Di sini, Tuhan-ku. Masuklah…" Sebuah ruang kecil yang mengenaskan, sebuah pembaringan jerami dengan sebentuk tubuh tak berdaya di atasnya, tiga tubuh kecil antara usia tiga dan sepuluh tahun, duduk sekeliling pembaringan. Penderitaan dan kelaparan tergambar di mana-mana.

"Damai sertamu, perempuan. Janganlah terkejut. Janganlah merepotkan dirimu. Aku mendapati putrimu dan Aku tahu bahwa kau tidak sehat. Aku telah datang. Maukah kau sembuh?"

Dalam suara lirih perempuan itu menjawab: "Oh! Tuhan-ku!... Inilah akhir bagiku!..." dan dia menangis.

"Putrimu percaya bahwa Mesias dapat menyembuhkanmu. Bagaimana denganmu?"

"Oh! Aku percaya itu juga. Tetapi di manakah Mesias?"

"Adalah Aku, Yang sedang berbicara kepadamu." Dan Yesus, Yang membungkuk di atas pembaringan dengan membisikkan perkataan-Nya kepada perempuan malang itu, bangkit berdiri dan berseru: "Aku menghendakinya. Sembuh."

Anak-anak nyaris ketakutan akan kemuliaan-Nya, dan ketiga wajah yang terpaku tetap tinggal sekeliling papan pembaringan ibu mereka. Dina menekankan kedua tangannya pada dadanya yang kecil. Secercah harapan, secercah kebahagiaan terpancar pada wajahnya. Dia begitu tersentuh, hingga dia nyaris pingsan. Mulutnya terbuka untuk mengucapkan sepatah kata yang sudah dibisikkan hatinya dan ketika dia melihat bahwa ibunya, yang selama itu lemah dan tak berdaya, duduk, seolah dia ditopang oleh suatu kekuatan yang disalurkan ke dalam dirinya, dan lalu bangkit berdiri, dengan matanya menatap sepanjang waktu pada sang Juruselamat, Dina melontarkan suatu seruan sukacita: "Mama!" Perkataan yang memenuhi hatinya sudah diucapkan!... Dan lalu seruan lainnya: "Yesus!" Dan dengan memeluk ibunya dia memaksanya untuk berlutut seraya berkata: "Sembahlah Dia, sembahlah Dia! Itu Dia, Juruselamat Yang dinubuatkan Yang disebutkan oleh guru Tolme."

"Sembahlah Allah Yang Benar, jadilah baik, ingatlah Aku. Selamat tinggal." Dan Ia bergegas pergi keluar sementara kedua perempuan yang berbahagia itu masih prostratio di tanah…             
                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Injil Sebagaimana Diwahyukan Kepadaku 3                 Daftar Istilah                    Halaman Utama