Sakramen yang Terutama dan Teragung
oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D. *
Pasang sabuk pengaman kalian untuk memulai suatu perjalanan ekspres melintasi sejarah, Kitab Suci, dan teologi sebab dalam artikel ini saya hendak menjelaskan makna hidup! Tetapi, sebelum kita memulai petualangan super ambisius ini, silakan lengkapi kalimat berikut: “Ekaristi adalah….”
Jawaban khas yang biasa saya terima apabila mengajukan pertanyaan ini adalah: “Ekaristi adalah misa hari Minggu.” “Ekaristi adalah kurban Kalvari.” “Ekaristi adalah Komuni Kudus.” Semua pernyataan ini benar. Tetapi persoalan yang hendak saya bahas dalam artikel ini adalah: Dapatkah kalian memadukan berbagai jawaban yang benar sehingga apabila kalian memikirkan Ekaristi maka beragam makna dari misteri ini membentuk suatu kesatuan visi yang konsisten? Saya harap artikel ini dapat membantu kalian melakukannya.
Penciptaan Sebagai Karya Seni Allah
Marilah mulai dari awal - yang paling awal, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Sekarang sebagaimana kita ketahui, Allah tidak harus menciptakan sesuatu. Allah menciptakan dengan sukahati karena kasih. Allah, yang adalah kasih itu sendiri (lihat 1 Yohanes 4:16), merencanakan sejak hari pertama untuk membagikan kasih, keharmonisan, komunikasi dan persatuan dari kehidupan rohani Tritunggal Mahakudus Allah Sendiri dengan manusia dan ciptaan yang hendak Allah ciptakan. Bagaimanapun, bukankah itu yang dilakukan kasih? Kasih berkehendak untuk menyebarluaskan dirinya.
Sama seperti seorang seniman selalu dikenal dari karya seninya - kita dapat menikmati suatu lukisan dan mengatakan “itu Monet” atau mendengarkan suatu karya musik dan mengatakan “itu Mozart” - demikianlah seniman ilahi dikenal dari alam semesta mengagumkan yang kita lihat sekeliling kita. Dan dari segala karya seni Allah, mahakarya-Nya adalah Yesus! Jika kehidupan rohani dan kasih Tritunggal Mahakudus Allah dicurahkan ke atas ciptaan, tak ada yang terlebih nyata selain dalam Yesus Kristus, yang adalah “Cahaya kemuliaan Allah” (Ibrani 1:23).
Rencana Allah Bagi Ciptaan
Pada umumnya jika kita melakukan sesuatu, telah ada semacam rencana dalam benak kita. Sebagai misal, bayangkan kalian hendak membangun sebuah rumah dan kalian mulai mengukuri tanah, menggali pondasi dan menuangkan beton. Jika seseorang bertanya, “Apakah yang sedang kau lakukan?” Maka kalian tak akan menjawab, “Aku masih belum tahu; aku hanya menuangkan beton. Kita lihat nanti apa jadinya.” Tidak, sejak dari awal, mata benak kalian telah ada pada proyek yang telah jadi: “Aku membangun sebuah rumah.”
Begitu pula, Allah telah mempunyai suatu rencana bagi seluruh ciptaan. Sedikit demi sedikit rencana itu disingkapkan dalam sejarah umat Allah. Seperti kita baca dalam surat kepada jemaat di Ibrani: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya ... [yang adalah] gambar wujud Allah” (Ibrani 1:1-3). Ketika telah genap waktunya, rencana Allah disingkapkan dalam segenap misteri mengagumkan kelahiran, hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus dari Nazaret. Rencana yang ada dalam benak Allah sejak dari awal mula adalah Yesus Kristus!
Yesus: Sakramen Dari Rencana Allah
Ketika para penulis Perjanjian Baru yang diilhami Allah menggambarkan rencana Allah yang menakjubkan ini bagi dunia, kata yang mereka gunakan untuk “rencana” (mereka menulis dalam bahasa Yunani) adalah “mysterion” (“misteri” dalam bahasa Indonesia). Mereka menceritakan bagaimana misteri ini, rencana Allah yang mengagumkan bagi dunia ini, “diringkas” dalam Kristus. Mereka berbagi rencana ini dengan yang lain “supaya hati mereka terhibur dan mereka bersatu dalam kasih … dan mengenal rahasia Allah, yaitu Kristus, sebab di dalam Dia-lah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (Kolose 2:2-3)
Ketika Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, kata Yunani “mysterion” kerap diterjemahkan ke dalam kata Latin “sacramentum” (sakramen dalam bahasa Indonesia). St Agustinus mengajarkan bahwa sakramen adalah “tanda kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan”.
Sekarang, ketika umat Katolik berpikir mengenai sakramen, pada umumnya kita berpikir mengenai ke tujuh sakramen - tetapi dalam pemahaman St Agustinus yang lebih luas mengenai sakramen, kita lihat bahwa dari segala tanda-tanda kelihatan yang kita miliki mengenai siapa itu Allah, “tanda kelihatan (sakramen)” yang paling utama, yang paling lengkap sempurna adalah Yesus sendiri. Sebab Yesus “adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kolose 1:15).
Dalam Yesus “Engkau, Allah yang tak kelihatan, kini dapat kami kenal dalam diri PutraMu, Juruselamat kami” (Misa Natal, Prefasi I). Dalam makna inilah kita dapat berbicara mengenai Yesus Sendiri sebagai suatu “sakramen”.
Kesatuan Hati dan Budi
Dalam Misa kita berdoa, “Engkau memberikan kepada kami Yesus Kristus, PutraMu, sebagai Tuhan dan penebus. Ia selalu tampil penuh belas kasihan kepada anak-anak dan kaum miskin, orang sakit dan orang berdosa. Ia menjadikan DiriNya sesama bagi orang-orang yang tertindas dan tersiksa. Dengan perkataan dan perbuatan, Ia mewartakan bahwa Engkau adalah Bapa yang penuh perhatian kepada semua anakMu.” (Prefasi IV).
Kasih yang adalah kehidupan rohani Tritunggal Mahakudus Allah disingkapkan dalam segala sesuatu yang Yesus katakan dan lakukan, akan tetapi kasih ini paling jelas dinyatakan dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Yesus Kristus mengosongkan diri disalib agar ada dalam persatuan sempurna dengan kehendak BapaNya melalui Roh Kudus.
Kesatuan sempurna hati dan budi! Inilah tujuan, maksud dari kurban: persatuan sukacita dengan Allah. Tak ada suatupun yang dapat memisahkan Yesus dari kasih Allah, bahkan maut sekalipun. Menang jaya atas kematian itu sendiri, “Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci.” Inilah kemenangan Paskah Kristus!
Kurban Pendamaian Kristus
Kamis Putih, Jumat Agung, dan Paskah adalah inti dari rencana misterius Allah demi mewujudkan kasih dan keharmonisan Tritunggal Mahakudus Allah dalam ciptaan. Rencana ini secara sempurna digenapi dalam kurban diri Yesus dengan mana Ia mendamaikan segala sesuatu dengan DiriNya.
Dan sementara Yesus menggenapi pendamaian ini sekali dan untuk selamanya di salib, kurban-Nya bukanlah sesuatu yang terjadi hanya di masa lampau - seperti halnya peristiwa-peristiwa biasa di masa lalu yang terjadi satu kali dan sekarang sudah selesai dan tuntas. Dengan sarana perjamuan kudus yang dirayakan Yesus bersama para murid sebelum wafat-Nya, kita dimungkinkan untuk ikut ambil bagian, dan sungguh secara misterius hadir, dalam kurban Kristus. Ekaristi adalah “pintu” sakramental melalui mana kita dapat secara pribadi masuk ke dalam kurban pendamaian Kristus.
Diubah oleh Roh
Setiap kali kita berkumpul untuk perjamuan Tuhan kita memohon Allah untuk mengutus Roh Kudus agar mengubah roti dan anggur menjadi sakramen rekonsiliasi, persatuan (= communio) dan kasih yang adalah Yesus Kristus Sendiri. Dan Roh Kudus yang sama itu turun atas kita yang makan dan minum serta ikut ambil bagian dalam kurban Kristus. “Ya Bapa, sudilah memandang kurban ini yang telah Engkau sediakan sendiri bagi Gereja-Mu. Perkenanlanlah agar semua yang ikut menyantap roti yang satu dan minum dari piala yang sama ini dihimpun oleh Roh Kudus menjadi satu tubuh. Semoga dalam Kristus, mereka menjadi kurban yang hidup sebagai pujian bagi kemuliaan-Mu” (Doa Syukur Agung, IV).
Roh Kudus ini - Roh takut akan Allah, kesalehan, pengenalan, keperkasaan, nasihat, pengertian, kebijaksanaan - yang dikatakan Nabi Yesaya akan menjadi tanda Mesias (Kristus) - merasuki dan memeterai hidup Yesus dari Nazaret. Adalah Roh yang sama ini yang Kristus berikan kepada kita. Setelah kebangkitan, Yesus mengatakan kepada para murid, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata, “Terimalah Roh Kudus” (Yohanes 20:21-22).
Ekaristi Menjadikan Gereja
Kita menerima Roh itu dalam Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi. Melalui sakramen-sakramen ini Kristus mengutus kita untuk melanjutkan karya-Nya. Kristus, melalui Roh Kudus, “telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu” kepada kita (2 Korintus 5:18). Kita dipanggil untuk membebaskan ciptaan dari perbudakan dengan bekerja untuk memperbaiki kualitas hidup semua, untuk mengatasi kelaparan dan penyakit, ketidakadilan dan pertikaian. Kita dipanggil untuk menjadi utusan-utusan pendamaian hingga persatuan sempurna antara Pencipta dan ciptaan, yang direncanakan oleh Allah sejak dari awal dunia dan digenapi oleh Kristus disalib, sampai ke ujung-ujung dunia.
Kita tak dapat melakukan ini seorang diri; kita tak dapat melakukan rencana Ilahi ini secara bersama-sama dengan bantuan orang-orang lain, bahkan ribuan orang. Kita hanya dapat melaksanakan misi Kristus bersama dengan Kristus. Ketika kita merayakan Ekaristi, kita menjadi Tubuh Kristus; kita menjadi Gereja. Ekaristi menjadikan Gereja. Itulah sebabnya mengapa Gereja jauh lebih dari sekedar jumlah jemaatnya.
Gereja sendiri adalah sakramen “yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #1). Dan sakramen itu yang adalah Gereja tidak pernah lebih kelihatan selain dari saat kita merayakan Ekaristi. Ekaristi “merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #2).
Satu Kesatuan Visi
Ada teman-teman yang pulang dari suatu kunjungan ke Rusia dengan membawa buah tangan satu set boneka Rusia (matryoshka). Saya selalu menikmati menyaksikan ketakjuban pada wajah cucu-cucu mereka sementara anak-anak itu membuka boneka guna menemukan sebuah boneka lain yang sedikit lebih kecil di dalamnya, dan sebuah boneka lain lagi di dalamnya, dan demikian seterusnya hingga sepuluh boneka telah terpajang di meja. Mungkin ini dapat dipakai sebagai gambaran akan suatu visi yang utuh mengenai Ekaristi.
Bayangkan boneka-boneka itu transparan sehingga kalian dapat melihat melalui boneka yang paling luar ke boneka yang ada di dalamnya dan di dalamnya lagi, dan seterusnya. Pandanglah Ekaristi dan lihatlah tidak hanya hosti yang terkonsekrir tetapi juga misteri kalian sendiri dan misteri Gereja, Tubuh Kristus. Lihatlah Kamis Putih, Jumat Agung, Paskah dan Pentakosta. Lihatlah misteri Kristus, sakramen Tuhan, rencana Allah bagi dunia dan kasih Tritunggal Mahakudus Allah Sendiri. Semua ini sungguh hadir dalam Ekaristi.
Ketika kita melihat Ekaristi sebagai perwujudan dari keseluruhan rencana misterius Allah bagi alam semesta, pada waktu itulah kita dapat memahami mengapa Ekaristi adalah sakramen yang terutama dan teragung, sungguh, “sakramen segala sakramen” (Katekismus Gereja Katolik, #1211).
Makna hidup
Bertahun-tahun yang lalu ketika saya seorang guru agama sekolah menengah atas, saya biasa mengatakan kepada para siswa bahwa guna menemukan makna hidup, kita harus menjawab tiga pertanyaan berikut:
1. Siapakah Tuhan ?
2. Siapakah aku ?
3. Apakah yang hendak aku lakukan mengenainya (yakni, pertanyaan no 1 dan 2) ?
Inillah ketiga pertanyaan yang akan diajukan dalam ujian akhir. Yang saya maksud adalah ujian paling akhir ketika kita berdiri di hadapan tahta pengadilan Allah.
Ekaristi adalah kunci jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini:
1. Dalam Ekaristi kita mengalami kehadiran Kristus, yang menyingkapkan bagi kita siapa Allah.
2. Dalam Ekaristi kita dipersatukan lebih dan lebih lagi dengan Tubuh Kristus, dan dalam tubuh itu kita menemukan identitas kita yang sebenarnya.
3. Melalui Ekaristi, Roh Kudus memberikan kuasa kepada kita, sebagai Gereja, untuk melanjutkan misi Kristus. Kita menjadi utusan-utusan pendamaian, pelayan-pelayan penyembuhan, sakramen-sakramen kasih Allah.
Dalam Ekaristi kita menemukan makna hidup. Dalam Ekaristi kita berhubungan dengan rencana misterius Allah. Dalam Ekaristi kita menjadi Gereja. Itulah sebabnya mengapa Ekaristi, sebagaimana dimaklumkan Paus Yohanes Paulus II, adalah “Sumber dan puncak kehidupan dan misi Gereja.”
* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.
sumber : “The First and Greatest Sacrament,” Eucharist: Jesus With Us by Thomas Richstatter, O.F.M.; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org; diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net
|