SAKRAMEN
Nama Baptis dan Wali Baptis
Dalam pengarahan orangtua untuk Baptis bayi di suatu paroki disampaikan agar orangtua memilih nama baptis santa / santo pelindung dari gender yang sama dengan sang anak. Wali baptis anak pun juga wajib dari gender yang sama dengan anak. Apakah memang ada ketentuan demikian dalam Gereja?
~ Nathalia
Perlu kita pahami bahwa makna penggunaan nama orang kudus sebagai nama baptis adalah agar keutamaan, kesucian, dan keteladanan orang kudus itu terpancar pada baptisan; agar orang kudus itu membantu orang / anak itu melalui doa dan relasinya sehingga dia yang dibaptis itu dapat hidup pantas bagi Allah. Nama baptis juga merupakan simbol baru yang diterima melalui baptisan. St. Yohanes Krisostomus dan Ambrosiuslah yang menganjurkan untuk mengambil nama Kristen pada pembaptisan. Maksudnya agar kita meneladani orang kudus yang kita pakai namanya, serta menjadikannya pendoa bagi kita di hadapan Tuhan. Sebelum tahun 1000, nama Yohanes Pembaptis jarang dipilih. Nama ini mulai sering dipakai pada abad ke-11. Terutama pada abad ke-14 dan ke-15, orang banyak memilih nama dari Kitab Suci. Dari pihak Gereja, dianjurkan untuk memilih nama seorang santa / santo pelindung pada pembaptisan. Dalam Rituale Romanum 1514 dikeluarkan ketentuan agar imam tidak menerima nama yang tidak pantas atau nama dari seorang dewa-dewi. Sedapatnya, seseorang yang dibaptis mengambil nama seorang kudus agar didorong untuk hidup seturut teladan orang kudus yang ia pilih namanya dan menjadikan orang kudus tersebut pendoa baginya di hadapan Tuhan. Soal gender sebenarnya tidak ada ketentuan. Misalnya seorang perempuan tertarik pada keteladanan St. Antonius dan dia ingin menjadikan St Antonius sebagai santo pelindungnya, maka dia bisa mengambilnya dengan nama Antonia.
Mengenai wali baptis, sebenarnya juga tidak ada keharusan dari gender yang sama. Mungkin juga itu terjadi karena suatu kebiasaan saja. Kanon 873 KHK 1983 menyatakan, “Sebagai wali baptis hendaknya diambil satu pria atau satu wanita, atau juga pria dan wanita.” Jadi jelas bahwa wali baptis tidak harus dari gender yang sama. Yang terpenting justru tugas yang harus diemban wali baptis. Syarat dan kewajiban sebagai wali baptis (bdk. Kan 874 § 1): Orang yang dibaptis Katolik dan telah menerima Sakramen Ekaristi dan Penguatan; memiliki kehidupan iman yang wajar; tidak sedang dikenai hukuman gerejani; telah berumur genap 18 tahun; memiliki kecakapan dan maksud untuk melaksanakan tugas sebagai wali baptis, bukan orangtua sendiri.
Mengapa Mengaku Dosa kepada Imam?
Suami saya seorang Kristen non-Katolik. Ia menanyakan mengapa orang Katolik mengaku dosa kepada seorang imam. Bukankah dosa itu berhubungan dengan Allah dan kita bisa langsung mengaku dosa kepada Allah?
~ Erni
Kita orang Katolik wajib mengaku dosa pada seorang imam jika kita telah melakukan suatu dosa berat di mana kita dengan sengaja memutuskan hubungan kita dengan Allah. Akan tetapi, kebanyakan orang Katolik juga pergi mengaku dosa secara berkala meskipun barangkali tidak punya dosa berat untuk disampaikan dalam pengakuan. Istilah yang lebih tepat untuk pengakuan dosa adalah Sakramen Rekonsiliasi. Menjelang perayaan Natal dan Paskah, sungguh baik umat Katolik menyambut Sakramen Rekonsiliasi agar dapat merayakan hari raya dengan hati yang pantas.
Ada tiga alasan pokok umat Katolik mengaku dosa kepada imam. Pertama, Yesus telah memberikan kepada rasul-rasul kuasa untuk mengampuni dosa. “`Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.' Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: `Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.'” (Yohanes 20:21-23). Gereja Katolik percaya bahwa kuasa ini diturunkan kepada para uskup dan para imam sepanjang sejarah Gereja. Hal ini sejalan dengan cara Allah mengkomunikasikan Diri-Nya kepada kita, yakni melalui tanda-tanda yang kelihatan. Kita adalah manusia jasmani dengan darah dan daging; melalui imam, Allah memungkinkan kita mendengar secara fisik bahwa dosa-dosa kita sudah diampuni. Kedua, pengakuan tidak hanya mendamaikan kita kembali dengan Allah, tetapi juga mendamaikan kita kembali dengan Gereja. Dosa melukai persekutuan umat beriman. Sama seperti dua orang yang bertengkar dalam suatu pesta menimbulkan kemarahan hadirin, demikian pula dosa seorang anggota Tubuh Kristus membawa akibat terhadap persekutuan umat beriman. Pengakuan dosa kepada seorang imam sebagai wakil Gereja merupakan suatu ungkapan penyesalan dan kerinduan kita untuk dipersatukan kembali dengan Gereja. Ketiga, imam seringkali dapat memberikan peneguhan, nasihat dan dorongan kepada peniten dalam terang keadaan tertentu kepada si peniten yang diharapkan dapat membawa perubahan yang berguna bagi hidupnya.
Mengaku Dosa, Harus Mulai dari Mana?
Sudah lama saya tidak mengaku dosa. Sebenarnya saya juga ingin mengaku dosa, tetapi saya bingung harus mulai dari mana? Apa yang harus saya akukan?
~ Stevan
Mulailah dengan mengingat. Pikirkan Tuhan, bagaimanakah hubunganmu dengan-Nya, adakah yang telah engkau lakukan yang menyakiti hati-Nya? Pikirkan juga orang-orang yang ada di sekitarmu, diawali dengan keluargamu; kemudian yang lainnya juga: sanak-saudara, tetangga, rekan kerja, teman sekolah, orang yang kau potong jalannya di jalan raya kemarin atau minggu lalu, dan sebagainya dan sebagainya. Pikirkan tentang kejadian-kejadian baru-baru ini dalam hidupmu yang melibatkan orang-orang tersebut. Pengaruh apakah yang engkau berikan kepada mereka? Apakah ada yang engkau lakukan sehingga menyakiti hati mereka? Juga, apakah ada yang seharusnya engkau lakukan, tetapi tidak engkau lakukan? Adakah seseorang yang membutuhkan pertolongan dan engkau tidak menawarkan pertolongan? Sekarang tarik mundur ingatanmu agak sedikit jauh ke belakang. Kemungkinan engkau tidak melakukan suatu dosa berat; tetapi adakah dosa-dosa yang merupakan kebiasaan, yang engkau lakukan dan lakukan lagi. Setetes air hujan mungkin tidak berarti, tetapi jika tetesan-tetesan itu ditampung untuk jangka waktu yang lama, maka tetesan hujan itu dapat mengakibatkan banjir! Suatu ejekan, olok-olok kecil dan sepele - jika diulang dan diulang lagi - dapat menjadi gunung kebencian. Umumnya kita lupa akan sebagian besar perkara yang telah kita lakukan, kecuali jika kita mempunyai ingatan yang luar biasa. Oleh karena itulah suatu sarana sederhana diperlukan untuk membantu. Sarana itu disebut Pemeriksaan Batin yaitu suatu daftar pertanyaan yang diajukan kepada diri sendiri sebelum mengaku dosa. Suara Batin atau hati nurani adalah kesadaran moral atau etik atas kelakuanmu dengan dorongan untuk memilih yang baik dari yang jahat. Suara batin haruslah dibentuk dalam terang Sabda Allah, yakni melalui Gereja. Kiranya kita diberi rahmat dan keberanian untuk memeriksa batin dan menyambut Sakramen Tobat, sakramen kerahiman Tuhan.
Mengaku Dosa, Apa yang Harus Dilakukan di Kamar Pengakuan?
Saya ingin bertanya bagaimana praktisnya ketika kita sudah berada di kamar pengakuan. Apa yang harus saya katakan?
~ Yono
Ketika sudah berada di kamar pengakuan, kita mulai dengan membuat Tanda Salib dan mengatakan, “Berkatilah aku ya Bapa, sebab aku telah berdosa.” Atau, orang biasa mulai dengan, “Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Kemudian kita mengatakan kapan terakhir kali kita mengaku dosa, “Bapa, pengakuan saya yang terakhir … hari / minggu / bulan yang lalu.” Kemudian kita mengakukan semua dosa kita. Pengakuan hendaknya spesifik. Terkadang orang sekedar mengatakan, “Saya melanggar perintah keenam,” yang meliputi semuanya mulai dari pikiran yang tak pantas hingga pemerkosaan dan perzinahan. Kita tidak harus menceritakannya secara terperinci, melainkan intinya secara jelas, supaya imam dapat menolong. Kita juga perlu menyebutkan jumlah. Misalnya melalaikan Misa satu kali berbeda dengan beberapa kali, juga berbeda dengan setiap kali. Setelah selesai mengakukan dosa, kita mengatakan, “Saya menyesal atas semua dosa saya dan dengan hormat saya mohon pengampunan dan penitensi yang berguna bagi saya.” Kemudian imam dapat mulai memberikan nasihat kepada kita. Imam juga memberikan penitensi guna pulihnya luka akibat dosa dan guna memperkuat jiwa dalam menghadapi pencobaan di masa mendatang. Kemudian imam meminta kita untuk menyatakan tobat, yang biasanya adalah Doa Tobat: “Allah yang Maharahim, aku menyesal atas dosa-dosaku, …. Amin.” Terakhir, imam menyampaikan absolusi. Renungkanlah kata-kata indah ini: “Allah, Bapa yang Mahamurah telah mendamaikan dunia dengan DiriNya dalam wafat dan kebangkitan PutraNya. Ia telah mencurahkan Roh Kudus demi pengampunan dosa. Dan berkat pelayanan Gereja, Ia melimpahkan pengampunan dan damai kepada orang yang bertobat. Maka, saya melepaskan saudara dari dosa-dosa saudara. Demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Rumusan ini menekankan Bapa Surgawi kita yang penuh belas kasihan, misteri keselamatan dari sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, serta pelayanan pemulihan oleh Roh Kudus melalui Gereja.
Imam kemudian mempersilakan kita pergi dengan mengatakan, “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik,” dengan mana kita menjawab, “kekal abadi kasih setia-Nya.” (Banyak imam secara sederhana mengatakan, “Semoga Tuhan memberkatimu.”) Kita lalu meninggalkan kamar pengakuan untuk melaksanakan penitensi yang diberikan kepada kita. Sakramen Tobat sungguh merupakan sakramen yang indah dengan mana kita didamaikan kembali dengan Allah, diri kita sendiri, dan sesama. Ingatlah kata-kata St Paulus ini, “Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita” (Efesus 2:4-5).
Katekumen tidak dapat menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit?
Almarhumah ibu saya sudah lama menjadi katekumen tetapi tidak memenuhi syarat untuk menerima baptisan. Menjelang akhir hidupnya, saya memintakan Sakramen Perminyakan untuknya. Sayang tidak dapat dilayani; Romo Paroki atau asistennya berhalangan, sehingga keluarga kami kecewa berat. Mohon tanggapan.
~ AJ. Suharsono Taruna
Saya bisa memahami kekecewaan Bapak. Almarhumah sudah lama menjadi katekumen tetapi tidak memenuhi syarat untuk menerima baptisan. Syarat apa itu? Sayang tidak dijelaskan dengan lebih terinci sehingga saya juga kesulitan menjawabnya. Syarat utama baptis adalah iman dan tobat. Iman berarti kita percaya bahwa Yesus adalah Penyelamat. Tobat berarti mau meninggalkan cara hidup lama dan mengamalkan cara hidup yang ditawarkan Yesus. Dalam keadaan sakit, apalagi kritis, tentu saja dia bisa dibaptis, meskipun mungkin belum mempunyai banyak pengetahuan keagamaan, dsb. Dengan menjadi katekumen bukankah dia sesungguhnya merindukan Kristus dan ingin hidup di dalam kasih-Nya? Dalam keadaan darurat setiap orang boleh membaptis, asal mempunyai maksud yang semestinya (bdk. KHK kan. 861 $ 2).
Saya menduga, masalahnya adalah anda memintakan Sakramen Perminyakan untuk seorang yang belum dibaptis. Pastor berhalangan atau menolak karena alasan tertentu. Memang, sakramen pengurapan orang sakit hanya bisa diterimakan kepada mereka yang sudah menerima baptisan. Ada pastor yang kadang langsung menolak pelayanan sakramen kala mengetahui bahwa mereka belum Katolik, tanpa memberikan penjelasan yang memadai. Pelayanan doa selalu bisa diberikan kepada siapa saja, entah sudah dibaptis maupun belum. Nah, apakah pada saat itu anda memberikan penjelasan yang cukup kepada pastor akan situasi ibu anda yang sakit? Atau mungkin malah tidak sempat memberikan penjelasan karena pastor sibuk?
Memang seyogyanya seorang pastor punya kepekaan dan kelembutan pastoral terhadap kebutuhan umat beriman. Namun kadang dalam situasi tertentu, sebagai manusia biasa, pastor juga mengalami kelelahan lahir batin, karena dimangsa karya, sehingga tidak dapat melayani umat dengan baik. Dalam situasi seperti itu memang bisa terjadi pastor kurang memiliki kelembutan pastoral, apalagi kalau kehidupan doa mulai berkurang. Kami mohon maaf untuk semua hal itu. Kita berdoa agar Tuhan memberi kita gembala-gembala yang baik. Tentu, tugas penggembalaan dan pelayan pastoral kepada umat tetap menjadi tugas utama seorang pastor paroki.
Semoga anda tidak larut dalam kekecewaan. Tuhan tetap melimpahkan rahmat dan kasih setia-Nya kepada anda dan keluarga. Semoga kerinduan anda dan ibu anda untuk menerima pembaptisan sungguh telah terlaksana. Kini dia telah kembali kepada Bapa di surga. Kami berdoa bagi beliau, kiranya dia kini hidup penuh damai dan bahagia dalam rumah Bapa. Kerinduannya untuk sungguh bersatu dengan Tuhan kini telah tercapai. Kerinduan itu menghantarnya untuk menjadi puteri kekasih Bapa, milik Bapa. Kini dia diambil oleh sang Pemilik untuk menikmati bahagia kekal di sisi-Nya.
SAKRAMEN EKARISTI
Datang ke Misa, Apa yang Harus Dilakukan?
Sering saya melihat umat datang pada menit-menit terakhir sebelum Misa dimulai atau bahkan terlambat. Pada umumnya, mereka masuk sembari tengok kanan kiri, lalu menyeruak masuk ke tengah umat yang sudah duduk di bangku, sebagian bahkan tengah khusuk berdoa. Akibatnya orang-orang yang dilewati merasa terganggu. Bagaimana dan apa saja yang harus kita lakukan pada saat memasuki gereja?
~ Lia
Pertama, bersikap Ramah. Kita datang ke gereja untuk berjemaat, untuk mengungkapkan dan membangun persekutuan. Maka kita perlu bersikap ramah kepada sesama anggota jemaat yang kita jumpai, juga kepada para penyambut jemaat (petugas tatib). Keramahan membuat orang merasa diperlakukan sebagai sahabat, saudara dan sekutu. Kedua, bersikap Khidmat. Kita perlu sadar bahwa kita sedang memasuki rumah Allah, kediaman Allah yang Mahatinggi. Ketiga, mengambil Air Suci dan membuat Tanda Salib. Tindakan ini mengandung makna: a) mengenang Sakramen Baptis yang kita terima; b) menyucikan diri (badan, pikiran dan hati) sebelum berliturgi, agar kita layak merayakan peristiwa keselamatan. Keempat, Berlutut atau membungkuk khidmat ke arah altar. Berlutut adalah ungkapan sembah sujud. Kita perlu berlutut jika di dalam gereja terdapat tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya. Cara berlutut yang baik adalah kaki kanan ditekuk hingga lutut menyentuh lantai. Tata gerak berlutut ini hendaknya dilakukan dengan irama lambat, tidak sambil lalu atau tergesa-gesa, untuk mengungkapkan hormat yang mendalam. Sedangkan yang dimaksud dengan membungkuk khidmat adalah membungkukkan badan, bukan hanya menundukkan kepala. Kelima, Mencari Tempat Duduk dengan tenang. Jika melewati saudara seiman yang sedang duduk, kita permisi dan tersenyum ramah. Jika ia sedang khusuk berdoa, hendaknya kita tidak sampai menimbulkan gangguan. Keenam Duduk dengan tenang, lalu memanjatkan doa pribadi untuk mempersiapkan diri ikut ambil bagian dalam perayaan. Hendaknya kita hindari mengobrol sementara menunggu perayaan dimulai. Hal ini merugikan diri sendiri, karena kita tidak sungguh mempersiapkan diri ikut ambil bagian dalam perayaan, juga merugikan orang lain yang sedang khusuk berdoa dan mempersiapkan diri dengan sungguh.
Apa itu Doa Presidensial?
Apa itu Doa Presidensial? Benarkah Doa Pembukaan dalam misa hanya boleh diucapkan oleh imam? Dulu imam sering mengajak umat mendoakan Doa Pembukaan bersama-sama.
~ Erni
Doa Presidensial adalah doa yang hanya diucapkan oleh pemimpin perayaan. Doa Syukur Agung adalah doa presidensial utama dalam Perayaan Ekaristi atau Misa Kudus. Doa-doa yang bersifat presidensial lainnya dalam Misa Kudus menurut Tata Perayaan Ekaristi (TPE) Baru ialah: Doa Pembuka (bukan Doa Pembukaan), Doa Persiapan Persembahan (bukan Doa Persembahan), dan Doa Sesudah Komuni (bukan Doa Penutup). TPE kita sekarang ini adalah TPE 2005 yang sebenarnya merupakan edisi bahasa Indonesia untuk TPE Gereja Katolik Roma tahun 1970. Ternyata proses pengajuan TPE Indonesia yang definitif memakan waktu lama dan baru selesai tahun 2004. TPE Baru tersebut telah diberlakukan pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus tanggal 29 Mei 2005. Istilah yang benar menurut TPE Baru ialah Lagu Pembuka (bukan Lagu Pembukaan) dan Lagu Persiapan Persembahan (bukan Lagu Persembahan).
Kembali ke pertanyaan soal praktek imam yang mengajak umat mendoakan bersama-sama Doa Pembuka. Kiranya hal itu tidak tepat, karena Doa Pembuka adalah doa presidensial. Doa yang, sekali lagi, hanya diucapkan oleh pemimpin upacara. Doa Pembuka dibuka oleh imam dengan kata-kata, “Marilah berdoa”. Lalu ada waktu hening sejenak. Waktu hening ini adalah saat bagi umat untuk menyampaikan ujud doa masing-masing dalam hati pada Misa Kudus yang sedang dirayakan. Kemudian imam mempersatukan ujud-ujud pribadi melalui Doa Pembuka. Doa Pembuka ini mengakhiri Ritus Pembuka, dan selalu diakhiri dengan rumusan penutup panjang yang Triniter, misalnya: “Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus hidup dan berkuasa sepanjang segala masa.” Umat menjawab: Amin.
Syahadat Para Rasul, Diucapkan Bersama-sama atau Bergantian?
Setahu saya Syahadat didaraskan bersama oleh imam dan umat. Namun beberapa kali saya jumpai, Syahadat didaraskan bergantian antara imam dan umat. Apakah memang ada pilihan demikian? Apakah Syahadat didaraskan hanya pada misa hari Minggu saja atau boleh pada setiap misa?
Pedoman Umum Misale Romawi menyatakan:
# 67. Maksud pemyataan iman atau syahadat dalam perayaan Ekaristi ialah agar seluruh umat yang berhimpun dapat menanggapi Sabda Allah yang dimaklumkan dari Kitab Suci dan dijelaskan dalam homili. Dengan melafalkan kebenaran-kebenaran iman lewat rumus yang disahkan untuk penggunaan liturgis, umat mengingat kembali dan mengakui pokok-pokok misteri iman sebelum mereka merayakannya dalam Liturgi Ekaristi.
# 68. Pernyataan iman tersebut dilagukan atau diucapkan oleh imam bersama dengan umat pada hari Minggu dan hari raya. Syahadat dapat diucapkan juga pada perayaan-perayaan khusus yang meriah. Kalau dilagukan, syahadat diangkat oleh imam atau, lebih serasi, oleh solis atau koor. Selanjutnya syahadat dilagukan entah oleh seluruh jemaat bersama-sama, entah silih berganti antara umat dan koor. Kalau tidak dilagukan, syahadat dibuka oleh imam, selanjutnya didaraskan oleh seluruh jemaat bersama-sama atau silih berganti antara dua kelompok jemaat.
Bilamana Bel, Gong dan Lonceng Dibunyikan?
Dalam Perayaan Ekaristi dibunyikan bel, gong dan juga lonceng. Kapan masing-masing dibunyikan dalam Misa?
~ Catur
Sebenarnya dalam Missale Romanum berbahasa Latin terbitan Vatikan, tidak terdapat rubrik tentang penggunaan bel, tetapi ada saran penggunaannya dalam PUMR 150. TPE 2005 menawarkan salah satu cara, yang rupanya juga tidak persis berlaku di seluruh Indonesia. Cara itu bukan harga mati. Setiap paroki / keuskupan masih boleh memilih cara yang ideal atau cocok sesuai budaya masing-masing.
Penggunaan bel atau lonceng altar sudah menjadi kebiasaan selama berabad-abad dalam Gereja Katolik. Di Jawa misalnya, banyak paroki yang menggantinya dengan gong. Malah ada yang memakai dua alat, yaitu lonceng altar dan gong. Bunyi lonceng altar atau gong yang terbuat dari logam itu sebenarnya dipergunakan untuk membantu menciptakan suasana meriah dan agung. Karenanya, selama Masa Prapaskah, kita tidak menggunakan lonceng, dan boleh menggantinya dengan bunyi kayu atau apapun yang tidak berasosiasi meriah dan agung. Lonceng altar atau gong dibunyikan sebelum konsekrasi atau Kisah dan Kata-kata Institusi. Juga pada saat Hosti Suci dan Piala diangkat oleh imam sesudah kata-kata konsekrasi. Cara membunyikan lonceng altar atau gong dapat diatur sendiri asalkan dapat mendukung suasana khidmat, agung, hormat dan artistik. Lonceng altar, gong atau juga lonceng gereja memiliki fungsi praktis dalam perayaan liturgi, yaitu untuk menandai dimulainya suatu peristiwa penting atau menunjukkan bagian penting dari perayaan liturgi atau ibadat.
Lonceng Gereja juga berfungsi:
a. memanggil jemaat untuk berkumpul. Maka bisa saja lonceng gereja dibunyikan setengah jam, misalnya, sebelum misa dimulai.
b. memaklumkan suatu doa, misalnya Doa Angelus. Maka setiap pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 lonceng gereja dibunyikan untuk memaklumkan Doa Angelus.
c. memaklumkan adanya anggota jemaat yang meninggal.
Kolekte, Stipendium, Iura Stolae
Saya sering mendengar istilah-istilah “kolekte”, “kolekte khusus”, “Stipendium", "Iura Stolae", dll. Mohon penjelasan mengenai istilah-istilah tersebut.
~ Benny
Beberapa istilah yang sering dipergunakan dalam lingkup Gereja.
Sumbangan
|
:
|
pemberian sukarela yang halal dan tidak mengikat, baik berupa uang maupun barang.
|
Sumbangan Khusus
|
:
|
sumbangan untuk maksud tertentu dan harus dipergunakan hanya sesuai dengan maksud tersebut (intentio dantis).
|
Hibah
|
:
|
pengalihan hak milik secara sukarela kepada Gereja.
|
Kolekte
|
:
|
disebut juga "persembahan", adalah sumbangan umat yang dikumpulkan dalam perayaan Ekaristi atau ibadat lain.
|
Kolekte Khusus
|
:
|
kolekte yang dikumpulkan untuk maksud khusus tertentu, serta hanya boleh dipergunakan sesuai dengan maksud khusus tersebut.
|
Kolekte Wajib
(collectio imperata)
|
:
|
kolekte khusus yang atas kesepakatan para Uskup Regio Jawa harus dikumpulkan di semua gereja dan / atau tempat ibadat milik tarekat yang terbuka untuk unit untuk maksud tertentu sesuai yang diharuskan.
|
Dharma Bakti
|
:
|
sumbangan bulanan umat secara sukarela untuk membantu karya pelayanan / perutusan Gereja setempat.
|
Stipendium
|
:
|
sumbangan yang diberikan oleh seseorang yang memohon persembahan misa ("aplikasi perayaan Ekaristi") bagi ujudnya, karena itu sering disebut juga "intensi misa".
|
Iura Stolae
|
:
|
sumbangan sukarela yang diberikan umat untuk pelayanan sakramen atau sakramentali.
|
Uang Asistensi
|
:
|
sumbangan yang diberikan kepada seorang imam yang diminta untuk membantu pelayanan perayaan Ekaristi atau pelayanan sakramental dan sakramentali.
|
Solidaritas Paroki
|
:
|
dana di keuskupan yang dikumpulkan oleh paroki atau unit karya-unit karya dan kegiatan lain yang ditentukan oleh uskup.
|
Honorarium
|
:
|
uang yang diterima sebagai balas jasa dalam kesempatan pelayanan non-sakramental atau non-sakramentali, misalnya dalam retret, triduum, rekoleksi, kapitel, membawakan renungan, seminar, ceramah dan sebagainya; tidak termasuk uang balas jasa untuk karya tulis dan penulisan buku (royalti).
|
Kas Paroki
|
:
|
uang yang dikelola untuk kepentingan penyelenggaraan paroki dan pelayanan umat paroki.
|
Kas Pastoran
|
:
|
uang yang dikelola untuk kepentingan kehidupan pastor paroki bersama dengan para pembantunya.
|
Uang Saku
|
:
|
uang bulanan yang diberikan kepada imam-imam untuk kepentingan pribadi dan penggunaannya tidak perlu dilaporkan. Besarnya uang saku ditentukan oleh uskup.
|
Tabernakel di Rumah Umat Beriman
Mohon penjelasan tentang beberapa hal ini: Bolehkah umat menerima komuni lebih dari satu kali dalam sehari? Bolehkah mendirikan Tabernakel di rumah? Saya mendengar beberapa umat di kota-kota besar mempunyai kapel pribadi dan tabernakel di rumahnya.
~ Yacobus S.M.
Kitab Hukum Kanonik (KHK) kan. 917 menyatakan, “Yang telah sambut Ekaristi mahakudus, dapat menyambut lagi hari itu hanya dalam perayaan Ekaristi yang ia ikuti, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 921 §2.” Selanjutnya, Kan. 921 §2 menyatakan, “Meskipun pada hari yang sama telah sambut komuni suci, namun sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya mati sambut komuni lagi.” Singkat kata, orang diperkenankan menyambut Komuni Kudus dua kali dalam satu hari; namun demikian, persyaratannya adalah bahwa ia ikut ambil bagian secara keseluruhan dalam masing-masing Misa tsb. Patutlah kila menghormati alasan pemikiran yang mendasari hukum resmi Gereja tersebut. Kurban Kudus Misa dan Perayaan Ekaristi merupakan pusat sejati dari keseluruhan hidup Kristiani. Perayaan Misa dan menyambut Komuni Kudus pada hakikatnya saling berhubungan erat. Terlebih lagi, bagian-bagian Misa, teristimewa Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, membentuk suatu kesatuan yang utuh. Misalnya pada Misa Minggu pagi Bapak bertugas sebagai Lektor dan pada Misa Minggu sore Bapak bertugas sebagai Pelayan Tak Lazim Komuni, maka Bapak diizinkan menyambut komuni dua kali dalam sehari. Gereja memberikan ijin untuk menyambut Komuni Kudus dua kali dalam sehari terutama juga bagi kepentingan mereka yang mungkin menghadiri Misa Perkawinan dan Misa Pemakaman pada hari yang sama. Atau ikut ambil bagian dalam Misa Harian dan kemudian pergi pula mengikuti Misa dengan intensi khusus pada hari yang sama. Patut diingat bahwa persyaratannya adalah bahwa ia ikut ambil bagian secara keseluruhan dalam masing-masing Misa tsb.
Tentang penyimpanan Sakramen Mahakudus, KHK kan. 934 § 1 menyatakan bahwa Ekaristi mahakudus harus disimpan di gereja, kapel atau ruang doa pada rumah tarekat religius atau serikat hidup kerasulan; juga pada kapel-kapel yang diizinkan oleh ordinaris wilayah, misalnya kapel stasi. Selanjutnya, KHK kan. 934 § 2 menyatakan bahwa di tempat-tempat itu sedapat mungkin seorang imam sekurang-kurangnya dua kali sebulan merayakan Misa di situ. Sedangkan KHK kan. 935 dengan tegas mengatakan, “Tak diperbolehkan seseorang menyimpan Ekaristi suci di rumahnya atau membawanya dalam perjalanan, kecuali jika ada keharusan pastoral yang mendesak serta dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Uskup diosesan.” Jadi, kiranya jelas bahwa tidak diperkenankan menyimpan Sakramen Mahakudus di rumah pribadi. Keluarga-keluarga yang mempunyai ruang doa adalah sangat baik, dan amat dianjurkan untuk memilikinya sejauh memungkinkan. Namun menyimpan Sakramen Mahakudus di rumah pribadi jelas tidak diperbolehkan. Bandingkan juga dengan Redemptionis Sacramentum no. 131 yang menyatakan, “Selain ketetapan-ketetapan yang terdapat dalam kanon 934 §1, tidak diizinkan menyimpan Sakramen Mahakudus di tempat yang tidak pasti dapat diawasi oleh Uskup diosesan atau di mana ada bahaya profanasi. Di mana terjadi hal yang demikian, maka Uskup diosesan hendaknya segera menarik kembali izin menyimpan Ekaristi yang mungkin sudah diberikan.”
|