“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yohanes 6:56)
Bab III
Yesus Dalam Aku
Suatu hari, ketika Beata Angela Foligno dikuasai kerinduan yang berkobar-kobar untuk menyambut Komuni Kudus, namun tidak dapat meminta imam untuk menghantarkan Sakramen Mahakudus kepadanya, Malaikat datang membawa Komuni Kudus untuknya!
Komuni Kudus: Yesus Milikku
Dalam Komuni Kudus, Yesus memberikan DiriNya kepadaku dan menjadi milikku, sepenuhnya milikku, dalam Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an-Nya. Sebab itulah, suatu hari, St Gemma Galgani dengan terus-terang berbicara kepada Yesus, “Aku tuan-Mu.”
Melalui Komuni, Yesus masuk ke dalam hatiku dan tetap hadir secara jasmani dalam aku selama rupa roti ada; yakni sekitar 15 menit. Sepanjang waktu ini, para Bapa Suci mengajarkan bahwa para malaikat mengelilingi aku untuk meneruskan sembah sujud kepada Yesus dan mengasihi-Nya tanpa henti. “Ketika Yesus secara jasmani hadir dalam kita, para malaikat mengelilingi kita sebagai pengawal cinta,” tulis St Bernardus.
Mungkin terlalu sedikit kita merenungkan keagungan tiap-tiap Komuni Kudus, namun demikian, St Pius X mengatakan bahwa “andai para malaikat dapat iri, pastilah mereka iri terhadap kita karena Komuni Kudus.” Dan St Madeleine Sophie Barat mendefinisikan Komuni Kudus sebagai “Firdaus di bumi.”
Segenap para kudus telah paham lewat pengalaman mereka ketakjuban ilahi akan perjumpaan dan persatuan dengan Yesus dalam Ekaristi. Mereka telah paham bahwa Komuni Kudus yang saleh berarti dimiliki oleh-Nya dan memiliki-Nya. “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yohanes 6:56). Suatu kali St Gemma Galgani menulis, “Sekarang telah malam, esok pagi menjelang dan lalu Yesus akan memilikiku dan aku akan memiliki Yesus.” Tidaklah mungkin memiliki suatu persatuan kasih yang lebih mendalam dan lebih total: Ia dalam aku dan aku dalam Dia; seorang dalam yang lain. Adakah lainnya yang masih kita inginkan?
“Kalian iri,” kata St Yohanes Krisostomus, “akan kesempatan yang dimiliki perempuan yang menjamah jubah Yesus, perempuan berdosa yang membasuh kaki-Nya dengan airmata, para perempuan Galilea yang beroleh sukacita mengikuti-Nya dalam ziarah-Nya, para rasul dan para murid yang berbincang akrab dengan-Nya, orang-orang jaman itu yang mendengarkan sabda rahmat dan keselamatan yang keluar dari bibir-Nya. Kalian menyebut berbahagia mereka yang melihat-Nya… Tetapi, datanglah ke altar dan kalian akan melihat-Nya, kalian akan menjamah-Nya, kalian akan memberi-Nya cium kudus, kalian akan membasuh-Nya dengan airmata, kalian akan membawa-Nya dalam diri kalian seperti Santa Perawan Maria.”
Oleh karena alasan inilah para kudus mendambakan serta merindukan Komuni Kudus dengan kasih yang berkobar-kobar, seperti St Fransiskus dari Assisi, St Katarina dari Siena, St Paskalis Baylon, St Veronica, St Gerardus, St Margareta Maria Alacoque, St Dominikus Savio, St Gemma Galgani… tiadalah guna terus menyebutkan nama mereka sebab orang sungguh perlu menyebutkan nama semua orang kudus.
Sebagai contoh, terjadi suatu malam St Katarina dari Genoa bermimpi bahwa keesokan harinya ia tidak dapat menyambut Komuni Kudus. Dukacita yang dialaminya begitu hebat hingga ia menangis tiada henti, dan ketika bangun keesokan harinya ia mendapati wajahnya seluruhnya basah oleh airmata yang ia cucurkan dalam mimpi.
St Theresia dari Kanak-kanak Yesus menulis sebuah puisi singkat mengenai Ekaristi, “Rindu dekat tabernakel”; di mana di antara hal-hal indah lainnya, ia menulis, “Aku ingin menjadi piala di sana, di mana aku akan sujud menyembah Darah Ilahi. Darah Mahasuci dihimpun dalam aku dalam Kurban Kudus setiap pagi. Sebab itu jiwaku semakin berkenan bagi Yesus, terlebih berharga dari bejana-bejana emas.” Dan bagaimanakah tidak bahagia santa yang bagai malaikat ini ketika, dalam suatu epidemi, Komuni Kudus diberikan kepadanya setiap hari?
St Gemma Galgani suatu ketika diuji oleh bapa pengakuan yang melarangnya menyambut Komuni Kudus. “Oh Pater, Pater,” tulis St Gemma kepada pembimbing rohaninya, “hari ini aku pergi mengaku dosa dan bapa pengakuan mengatakan bahwa aku harus berhenti menyambut Yesus. Ah, Pater, penaku tak hendak menulis lagi, tanganku gemetar hebat, aku menangis.” Santa terkasih! Sungguh serafim sejati yang berkobar-kobar dalam kasih kepada Yesus Ekaristik.
Serupa dengan itu, St Gerardus Majella, karena suatu dusta dan fitnah keji yang tak hendak disanggahnya, dihukum dengan dijauhkan dari Komuni Kudus. Dukacita santo kita begitu hebat hingga suatu hari ia menolak melayani Misa Kudus yang dirayakan seorang imam tamu, “sebab,” katanya, “melihat Yesus dalam Hosti dalam tangan imam, aku tak akan dapat tahan untuk tidak merampas Hosti dari tangannya.” Betapa kerinduan yang hebat menguasai santo yang mengagumkan ini! Dan betapa suatu celaan bagi kita yang, mungkin, mempunyai kesempatan untuk menyambut Komuni Kudus setiap hari dengan mudah namun kita tidak melakukannya. Itu merupakan pertanda bahwa kita kurang dalam suatu yang paling penting: kasih. Dan mungkin kita begitu terpikat oleh kesenangan-kesenangan duniawi hingga kita tak lagi menghargai sukacita surgawi persatuan dengan Yesus dalam Hosti. “Nak, bagaimanakah engkau dapat mencium semerbak Firdaus yang terpancar dari tabernakel?” tanya St Filipus kepada seorang pemuda yang terpikat oleh kesenangan daging, pesta pora dan kenikmatan duniawi. Sukacita Ekaristi dan kesenangan daging “keduanya bertentangan” (Galatia 5:17) dan “manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah” (1 Korintus 2:14). Inilah kebijaksanaan yang berasal dari Allah.
St Filipus Neri mencintai Ekaristi begitu rupa hingga, meski sakit parah, ia menyambut Komuni Kudus setiap hari, dan jika Yesus tidak dibawakan kepadanya pagi-pagi benar, ia menjadi teramat sedih dan tiada mendapati ketenangan. “Aku memendam kerinduan yang kuat untuk menyambut Yesus,” serunya, “hingga aku tiada dapat memberi diriku sendiri rasa damai sementara aku menanti.” Hal yang sama terjadi juga dalam jaman kita pada Padre Pio dari Pietrelcina, sebab hanya ketaatan belaka yang dapat membuatnya menanti hingga pukul 4 atau 5 pagi untuk merayakan Misa. Sungguh, kasih Allah adalah “api yang menghanguskan” (Ulangan 4:24).
Ketika Yesus menjadi milikku, segenap Gereja bersorak memuji, Gereja di surga, Gereja di purgatorium dan Gereja di bumi. Siapakah gerangan yang dapat mengungkapkan sukacita para malaikat dan para kudus dalam setiap Komuni Kudus yang disambut dengan saleh? Suatu gelombang kasih yang baru tiba di Firdaus dan ini membuat roh-roh terberkati gemetar setiap kali suatu makhluk mempersatukan dirinya dengan Yesus untuk memiliki-Nya dan dijadikan milik-Nya. Suatu Komuni Kudus jauh lebih tinggi nilainya dari suatu ekstasi, kontemplasi ataupun penglihatan. Komuni Kudus memindahkan segenap Firdaus ke dalam hatiku yang miskin!
Jadi, bagi jiwa-jiwa di purgatorium, Komuni Kudus merupakan hadiah pribadi terindah yang dapat mereka terima dari kita. Siapakah yang dapat mengatakan seberapa jauh Komuni Kudus bermanfaat bagi pembebasan mereka? Suatu hari, almarhum ayahanda St Maria Magdalena de Pazzi menampakkan diri kepada puterinya dan mengatakan bahwa dibutuhkan seratus tujuh Komuni Kudus untuknya agar ia dapat meninggalkan purgatorium. Sesungguhnya, di akhir dari keseratus tujuh Komuni Kudus yang dipersembahkan untuknya, santa kita melihat ayahnya naik ke surga.
St Bonaventura menjadikan dirinya rasul atas kebenaran ini dan ia berbicara mengenainya dengan suara yang berapi-api, “Wahai, jiwa-jiwa Kristiani, adakah kalian berharap dapat membuktikan kasih sejatimu kepada mereka yang telah meninggal dunia? Adakah kalian berharap dapat mengirimkan kepada mereka bantuan paling berharga dan kunci emas ke surga? Sambutlah Komuni Kudus sesering mungkin demi kedamaian kekal jiwa-jiwa mereka.”
Dan akhirnya, marilah kita merefleksikan bahwa dalam Komuni Kudus kita mempersatukan diri kita tidak hanya kepada Yesus, melainkan juga kepada segenap anggota Tubuh Mistik Kristus, teristimewa kepada jiwa-jiwa yang paling dikasihi Yesus dan jiwa-jiwa yang paling kita kasihi. Dalam Komuni Kuduslah kita menyadari sepenuhnya sabda Yesus, “Aku di dalam mereka … supaya mereka sempurna menjadi satu” (Yohanes 17:23). Ekaristi menjadikan kita satu, bahkan di antara kalangan kita sendiri, anggota-anggota-Nya, “semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28) seperti dikatakan St Paulus. Komuni Kudus adalah sungguh segenap kasih kepada Tuhan dan sesama. Ekaristi adalah sungguh “pesta kasih,” seperti dikatakan St Gemma Galgani. Dan dalam “pesta kasih” ini jiwa yang dikuasai kasih dapat bermadah memuji bersama St Yohanes dari Salib, “Langit adalah milikku dan bumi adalah milikku, manusia adalah milikku, sang Adil adalah milikku dan para pendosa adalah milikku. Para malaikat adalah milikku, dan juga Bunda Allah, semua dan segalanya adalah milikku. Tuhan Sendiri adalah milikku dan untukku sebab Kristus adalah milikku dan semuanya untukku.”
Kemurnian Jiwa yang Dibutuhkan untuk Menyambut Komuni Kudus
Apakah yang dapat dikatakan mengenai kesucimurnian jiwa dengan mana para kudus datang menyambut Roti Para Malaikat? Kita tahu bahwa mereka mempunyai kepekaan hati nurani yang teramat halus yang sungguh bagai malaikat. Sadar akan kemalangan diri sendiri, mereka berusaha menghadirkan diri di hadapan Yesus dalam keadaan “kudus dan tak bercacat” (Efesus 1:4) dengan mengulang bersama si pemungut cukai, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Lukas 18:13); dan mereka sungguh peduli akan pembersihan diri dalam Pengakuan Dosa.
Ketika kepadanya dibawakan Viaticum Kudus menjelang ajalnya, St Hieronimus prostratio di tanah dalam sembah sujud dan terdengar ia mengulang dengan kerendahan hati mendalam kata-kata St Elisabet dan St Petrus, “Siapakah aku ini sampai Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Lukas 1:43) “Tuhan, pergilah daripadaku, karena aku ini seorang berdosa” (Lukas 5:8). Dan berapa banyak kali St Gemma yang bagai malaikat dan serafim ini dicobai untuk tidak menyambut Komuni Kudus, dengan menganggap diri sebagai bukan apa-apa selain dari seonggok “kotoran hewan” yang menjijikkan?
Padre Pio dari Pietrelcina biasa mengulang dengan gemetar kepada saudara-saudaranya, “Tuhan melihat noda bahkan dalam diri para malaikat. Betapa terlebih lagi yang Ia lihat dalam diriku!” Sebab itulah ia amat rajin menyambut Sakramen Pengakuan Dosa.
“Oh, andai saja kita mengerti Siapakah itu Tuhan yang kita sambut dalam Komuni Kudus, betapa kemurnian hati yang akan kita haturkan kepada-Nya!” seru St Maria Magdalena de Pazzi.
Karena alasan ini, St Hugo, St Thomas Aquinas, St. Fransiskus de Sales, St Ignatius, St Karolus Borromeo, St Fransiskus Borgia, St Louis Bertrand, St Yosef dari Cupertino, St Leonard dari Port Maurice dan banyak para kudus lainnya pergi menyambut Sakramen Tobat setiap hari sebelum merayakan Misa Kudus.
St Kamillus de Lellis tidak pernah merayakan Misa Kudus tanpa terlebih dahulu pergi menyambut Sakramen Tobat, sebab ia menghendaki setidak-tidaknya “debu jiwanya” disingkirkan. Suatu ketika, kala matahari terbenam, di suatu alun-alun kota di Livorno, sebelum berpisah dari seorang imam dari ordo religius yang sama, karena tahu bahwa keesokan harinya tidak akan ada imam kepada siapa ia dapat mengaku dosa sebelum mempersembahkan Misa, St Kamillus berhenti, melepaskan topinya, membuat Tanda Salib dan menyambut Sakramen Tobat tepat di sana, di alun-alun, dari rekan seordonya.
Juga St Alfonsus, St Yosef Cafasso, St Yohanes Bosco, St Pius X, dan St Padre Pio dari Pietrelcina kerapkali pergi menyambut Sakramen Tobat. Dan mengapakah St Pius X ingin menurunkan usia untuk menyambut Komuni Kudus Pertama ke tujuh tahun, jika bukan untuk mengijinkan Yesus masuk ke dalam hati anak-anak yang tak berdosa, yang begitu serupa dengan para malaikat? Dan mengapakah Padre Pio begitu gembira apabila mereka membawa kepadanya anak-anak berusia lima tahun yang dipersiapkan untuk menyambut Komuni Kudus Pertama?
Para kudus dengan sempurna menerapkan petunjuk Roh Kudus, “Hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1 Korinstus 11:28-29).
Menguji diri, bertobat, mendakwa diri dalam Sakramen Pengakuan Dosa dan memohon pengampunan Tuhan, dan dengan cara ini, setiap hari mengambil manfaat dari Sakramen Tobat, adalah sesuatu yang wajar dan biasa bagi para kudus. Betapa beruntungnya mereka sanggup berbuat begitu banyak! Buah-buah pengudusan tetap dan berlimpah oleh sebab kemurnian jiwa dengan mana tiap-tiap orang kudus itu menyambut Yesus dalam dirinya.
St Antonius Maria Claret menggambarkan fakta ini dengan sangat baik: “Ketika kita pergi menyambut Komuni Kudus, kita semua menyambut Tuhan Yesus yang sama, namun tidak semua menerima rahmat yang sama pun tidak sama juga masing-masing dampak yang dihasilkan dalam diri kita semua. Ini tergantung dari kuat atau kurangnya disposisi batin kita. Guna menjelaskan fakta ini, aku akan mengambil suatu contoh dari alam. Renungkanlah proses pencangkokan, semakin serupa antara penerima dan yang dicangkokkan, akan semakin besar tingkat keberhasilan pencangkokan itu. Demikian pula, semakin banyak keserupaan antara dia yang menyambut Komuni dengan Yesus, maka akan semakin banyak pula buah-buah Komuni Kudus yang dihasilkan.” Sakramen Pengakuan sesungguhnya merupakan sarana luar biasa di mana keserupaan antara jiwa dan Yesus dipulihkan.
Karenanya St Fransiskus de Sales mengajarkan kepada anak-anak rohaninya, “Pergilah menyambut Sakramen Pengakuan Dosa dengan penuh kerendahan hati dan devosi … jika mungkin, setiap kali kalian akan pergi menyambut Komuni Kudus, meski kalian tidak merasakan dalam batin adanya sesal karena suatu dosa berat.”
Mengenai hal ini, baiklah kita mengingat ajaran Gereja. Komuni Kudus hendaknya disambut hanya jika orang berada dalam keadaan rahmat Tuhan. Sebab itu, apabila orang telah melakukan suatu dosa berat, meski ia telah bertobat atasnya dan memendam kerinduan mendalam untuk menyambut Komuni Kudus, adalah perlu dan penting mengakukan dosanya terlebih dahulu sebelum menyambut Komuni Kudus, jika tidak, ia melakukan dosa sakrilegi yang amat serius, yang mengenainya Yesus mengatakan kepada St Brigitta, “tidak ada di bumi suatu hukuman pun yang cukup berat untuk menghukumnya secara pantas!”
St Ambrosius mengatakan bahwa orang yang melakukan sakrilegi ini “datang ke gereja dengan sedikit dosa, dan meninggalkan gereja dengan dibebani banyak dosa.” St Sirilus menulis sesuatu yang lebih keras, “Mereka yang menyambut Komuni dengan sakrilegi menyambut sekaligus setan dan Yesus Kristus ke dalam hatinya - setan, agar mereka dapat membiarkan setan berkuasa, dan Yesus Kristus, agar mereka dapat mempersembahkan-Nya sebagai Kurban kepada setan.” Sebab itu, Katekismus Konsili Trente (De Euch., v.i) memaklumkan, “Mengenai segala misteri-misteri kudus … tak ada satu pun yang dapat dibandingkan dengan … Ekaristi, demikian pula tidak ada kejahatan yang hukumannya terlebih berat yang patut ditakuti dari Tuhan selain dari penggunaan secara tidak kudus atau tidak religius oleh umat beriman … segala yang menyangkut Pencipta dan Sumber kekudusan itu sendiri.”
Sebaliknya, Sakramen Pengakuan yang dilakukan sebelum Komuni Kudus guna menjadikan suatu jiwa yang telah ada dalam Keadaan Rahmat agar terlebih murni dan terlebih elok, merupakan sesuatu yang amat berharga meski tidak diwajibkan. Sesuatu yang sangat berharga sebab mengenakan pada jiwa “pakaian pesta” yang terlebih indah (bdk Matius 22:12); dengan pakaian pesta itu jiwa dapat mengambil tempatnya di meja para malaikat. Karena alasan ini, jiwa-jiwa yang paling cermat senantiasa memanfaatkan sesering mungkin (setidaknya seminggu sekali) absolusi sakramental, bahkan untuk dosa-dosa ringan. Apabila kalian menghendaki kesucimurnian jiwa demi menyambut Yesus, maka tak ada kemurnian yang bercahaya terlebih cemerlang daripada kemurnian yang diperoleh jiwa ketika orang menyambut Sakramen Tobat dengan baik, di mana Darah Yesus yang membasuh menjadikan jiwa yang bertobat bercahaya terlebih indah dan ilahi. “Jiwa yang menerima Darah Ilahi menjadi elok, sebab kepadanya dikenakan pakaian yang terlebih mulia, dan jiwa tampak berkilau begitu indah hingga jika kalian dapat melihatnya kalian akan tergoda untuk menyembahnya,” demikian dinyatakan St Maria Magdalena de Pazzi.
Komuni Kudus Bersama Maria
Oh, betapa menyenangkan hati Yesus disambut oleh suatu jiwa yang bersih dan berbusanakan Darah Ilahi-Nya! Dan betapa sukacita kasih-Nya apabila jiwa yang demikian adalah perawan yang murni! Sebab “Ekaristi berasal dari Firdaus Keperawanan” (yakni, Maria), kata St Albertus Agung; dan Tuhan Ekaristik kita tidak mendapati firdaus yang sedemikian terkecuali dalam keperawanan. Tak seorang dapat mengulang, seperti seorang perawan, bersama Mempelai Kidung Agung dalam setiap Komuni Kudus: “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia yang menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung… Kembalilah, kekasihku” (Kidung Agung 2:16-17).
Satu cara terpuji dalam mempersiapkan diri menyambut Komuni Kudus adalah memohon pertolongan Perawan yang Tak Bercela, mengandalkannya untuk memungkinkan kita menyambut Yesus dengan kerendahan hatinya, kemurniannya dan kasihnya - berdoa agar Santa Perawan Maria sendirilah yang datang menyambut-Nya dalam diri kita. Praktek saleh ini banyak dianjurkan oleh para kudus, teristimewa oleh St Louis Grignion de Montfort, St Petrus Eymard, St Alfonsus Liguori, dan St Maximilianus Maria Kolbe. “Persiapan terbaik untuk menyambut Komuni Kudus adalah persiapan yang dilakukan bersama Maria,” tulis St Petrus Eymard. Suatu gambaran yang menggembirakan hati diberikan oleh St Theresia Lisieux, yang menggambarkan jiwanya sebagai seorang gadis kecil berumur tiga atau empat tahun yang rambut serta pakaiannya acak-acakan, malu menghadirkan diri di altar untuk menyambut Yesus. Namun demikian, ia memohon pertolongan Madonna dan “segera,” tulis santa kita, “Santa Perawan Maria menyibukkan diri denganku. Dengan cepat ia mengganti pakaianku yang kotor, mengikat rambutku dengan pita yang indah dan menambahkan bunga mungil yang cantik… Ini cukuplah untuk menjadikanku menarik dan memungkinkanku mengambil tempat tanpa malu di perjamuan para malaikat.”
Marilah kita coba metoda persiapan ini. Kita tidak akan dikecewakan. Kita akan dapat mengatakan apa yang diserukan St Gemma dalam ekstasi, “Betapa indah menyambut Komuni bersama Bunda Firdaus!”
Ucapan Syukur Sesudah Komuni Kudus
Saat menyampaikan ucapan syukur sesudah Komuni Kudus merupakan saat yang paling tepat untuk saling bertukar kasih mesra dengan Yesus. Kiranya kasih itu adalah kasih yang memberikan diri secara total, dengan demikian membalas kasih Yesus begitu rupa dengan segenap hati hingga tidak lagi dua melainkan satu, dapat dikatakan, dalam jiwa dan raga. Kiranya kasih itu adalah kasih yang menghidupkan dan mempersatukan, - Ia dalam aku dan aku dalam Dia, agar kita dileburkan dalam keunikan dan kesatuan kasih-Nya.
“Engkau adalah obyek kasihku seperti aku adalah obyek kemurahan hati-Mu yang tak terhingga,” kata St Gemma kepada Yesus dengan mesra.
St Yohanes menulis, “Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba” (Wahyu 19:9). Dalam kebenaran, dalam Komuni Ekaristik yang disambut dengan saleh, jiwa menyadari, dalam suatu persatuan perawan yang surgawi, kasih perkawinan bagi Sang Mempelai, Yesus, kepada Siapa jiwa dapat mengatakan dengan antuasiasme yang paling lemah lembut perkataan dari Mempelai dalam Kidung Agung, “Kiranya ia mencium aku dengan kecupan!” (Kidung Agung 1:2).
Ucapan syukur sesudah Komuni Kudus merupakan sedikit cicipan, sementara masih di dunia ini, akan kasih yang akan kita alami di Firdaus. Di Surga, sesungguhnya, bagaimanakah kita akan mengasihi Yesus jika tidak dengan bersatu bersama-Nya dalam keabadian? Yesus terkasih, Yesus yang manis, ah betapa aku patut bersyukur kepada-Mu atas setiap Komuni Kudus yang Kau anugerahkan kepadaku! Tidakkah St Gemma mempunyai alasan yang tepat mengatakan bahwa ia akan berterima kasih kepada-Mu di Firdaus atas Ekaristi lebih dari segala yang lainnya? Betapa mukjizat kasih begitu sepenuhnya bersatu dengan-Mu, O Yesus!
Air, Ragi, Lilin
St Sirilus dari Alexandria, Bapa Gereja, mempergunakan tiga ilustrasi guna menunjukkan persatuan kasih dengan Yesus dalam Komuni Kudus: “Ia yang menyambut Komuni dikuduskan dan diilahikan dalam jiwa dan badan dengan cara yang sama seperti air, dijerangkan di atas api, menjadi mendidih. … Komuni bekerja seperti ragi yang diadukkan ke dalam adonan sehingga ia mengkhamirkan seluruh adonan. … Sama seperti meleburkan dua batang lilin bersama-sama, kalian akan mendapatkan satu batang lilin, demikian juga, aku pikir, orang yang menyambut Tubuh dan Darah Yesus dileburkan bersama-Nya dengan Komuni ini, dan jiwa mendapati bahwa ia dalam Kristus dan Kristus dalam dia.”
Sebab itulah, St Gemma Galgani biasa berkata dalam keterpesonaan mengenai persatuan Ekaristik antara “Yesus yang adalah Segalanya dengan Gemma yang adalah bukan apa-apa.” Dalam suatu ekstasi, ia berseru, “Betapa kemanisan yang luar biasa di sana, O Yesus, dalam Komuni! Aku ingin tinggal dalam pelukan-Mu dan mati dalam pelukan-Mu.” Dan Beato Contardo Ferrini menulis, “Ah, Komuni Kudus! Suatu yang terlampau tinggi, yang tak terkatakan, untuk dapat dicapai roh manusia! Apakah yang dimiliki dunia yang setara dengan sukacita surgawi yang murni ini, nikmat kemuliaan yang abadi ini?”
Ada suatu nilai lain Komuni Kudus yang pantas kita refleksikan, dan ini menyangkut Tritunggal Mahakudus. Suatu hari St Maria Magdalena de Pazzi sedang berlutut dengan kedua tangan bersilang di dada, di antara para novis sesudah komuni. Ia mengarahkan pandangannya ke surga dan berkata, “Ah Suster-suster, andai kita memahami kenyataan bahwa sementara Rupa Ekaristik tinggal dalam kita, Yesus ada di sana dan bekerja dalam kita secara tak terpisahkan bersama Bapa dan Roh Kudus dan sebab itu keseluruhan Tritunggal Mahakudus ada di sana….” Ia tak dapat menyelesaikan kata-katanya sebab ia sepenuhnya tenggelam dalam ekstasi.
Tinggal Sekurang-kurangnya Limabelas Menit
Para kudus memilih, apabila mungkin, untuk tidak menetapkan batas waktu ucapan syukur sesudah komuni, yang berlangsung sekurang-kurangnya setengah jam. St Theresia dari Yesus mengatakan kepada para puterinya, “Marilah menambatkan diri penuh kasih kepada Yesus dan tidak menyia-nyiakan waktu sesudah komuni. Sungguh saat yang amat tepat untuk berbicara dengan Tuhan dan menempatkan di hadapan-Nya segala masalah yang menjadi kepedulian jiwa kita. … Seperti kita ketahui, Yesus yang baik tinggal dalam kita hingga kehangatan alami kita melarutkan rupa roti; hendaknyalah kita memberikan perhatian yang cermat untuk tidak kehilangan barang sedikit pun saat yang begitu indah bercengkerama dengan-Nya dan mempercayakan segala kebutuhan kita di hadapan-Nya.”
St Fransiskus Assisi, St Yuliana Falconieri, St Katarina, St. Paskalis, St Veronica, St Yosef dari Cupertino, St Gemma, dan banyak yang lain, nyaris senantiasa masuk ke dalam ekstasi yang mesra segera sesudah Komuni Kudus. Sementara mengenai waktunya, hanya para malaikat yang mengukur waktu. Juga St Theresia dari Avila nyaris senantiasa masuk ke dalam ekstasi tepat sesudah menyambut Komuni Kudus, dan terkadang bahkan orang perlu membopong tubuhnya dari rel Komuni.
St Yohanes dari Avila, St Ignatius Loyola, dan St Aloysius Gonzaga biasa menyampaikan ucapan syukur dengan berlutut dua jam lamanya. St Maria Magdalene de Pazzi menghendakinya terus tanpa interupsi, sehingga perlu memaksanya agar ia menelan sedikit makanan. “Menit-menit sesudah komuni,” kata santa kita, “adalah menit-menit paling berharga yang kita miliki dalam hidup kita. Menit-menit yang paling tepat di pihak kita untuk bercengkerama dengan Tuhan, dan di pihak Tuhan untuk mengkomunikasikan kasih-Nya kepada kita.”
St. Louis Grignion de Montfort biasa tinggal untuk mengucap syukur sesudah Misa Kudus sekurang-kurangnya setengah jam, dan ia tidak akan membiarkan kekhawatiran ataupun kesibukan apapun membuatnya meniadakan ucapan syukur itu. Katanya, “Aku tidak akan menukar waktu ucapan syukur ini bahkan untuk satu jam di Firdaus.”
Jadi, marilah kita juga berketetapan hati: bahwa kita akan mengatur waktu dan hidup kita begitu rupa hingga kita dapat tinggal untuk mengucap syukur sesudah Komuni Kudus sekurang-kurangnya limabelas menit; dan lebih lanjut, bertekad hati untuk tidak membiarkan suatupun menghalangi kita dari melewatkan waktu ucapan syukur ini. Menit-menit ini di mana Yesus secara jasmani hadir dalam jiwa kita dan dalam tubuh kita adalah menit-menit surgawi yang bagaimanapun tidak boleh kita sia-siakan.
St Filipus dan Lilin
St Paulus Rasul menulis, “Muliakanlah Allah dengan tubuhmu! [Glorify and bear God in your body]” (1 Korintus 6:20). Tidak ada saat di mana kata-kata ini, secara harafiah, dapat digunakan begitu tepat, seperti pada saat segera sesudah menyambut Komuni Kudus. Jadi, betapa tidak berperasaannya seorang yang menyambut Komuni dan meninggalkan gereja begitu Misa usai, atau begitu telah menerima Tuhan kita! Mungkin kita ingat teladan St Filipus Neri, yang menyuruh dua putera altar dengan lilin-lilin bernyala untuk pergi menemani seorang yang meninggalkan gereja tepat setelah menyambut Komuni. Betapa pelajaran yang berharga! Demi sopan santun, jika bukan karena alasan lain, apabila seorang menerima tamu, ia akan berhenti sejenak untuk memberikan perhatian dan menunjukkan minat kepada tamunya. Jika tamu ini adalah Yesus, maka kita hanya punya alasan menyesal bahwa kehadiran-Nya secara jasmani dalam kita berlangsung kurang lebih limabelas menit saja. Karenanya, St Yosef Cottolengo biasa secara pribadi mengawasi pembuatan hosti untuk Misa dan Komuni. Kepada biarawati yang ditugaskan untuk itu, ia memberikan perintah berikut, “Buatlah hosti-hosti yang tebal supaya aku dapat berlama-lama dengan Yesus. Aku tak ingin Roti Kudus cepat larut.”
Bukankah kita mungkin bertindak kebalikan dari teladan para kudus ketika kita menganggap waktu ucapan syukur terasa terlalu lama dan mungkin merasa tidak sabar untuk segera mengakhirinya? Tetapi, oh, bagaimana kita sepatutnya mencermati diri di sini! Sebab sungguh benar bahwa di setiap Komuni Yesus “memberikan kepada kita seratus kali lipat kasih sayang yang kita tunjukkan kepada-Nya,” seperti dimaklumkan St Theresia dari Yesus, sebab itu benar pula bahwa kita wajib menjawab seratuskali lipat apabila melalaikannya. Seorang rekan Kapusin Padre Pio dari Pietrelcina menceritakan bagaimana suatu hari ia pergi mengaku dosa kepada biarawan kudus itu, dan, di antara hal-hal lainnya, ia mengaku meniadakan ucapan syukur sesudah Misa Kudus sebab, katanya, pelayanan-pelayanan lain telah menanti. Padre Pio bersikap lunak dalam menghakimi kesalahan-kesalahan lain, namun ketika Padre Pio mendengarnya mengakui pengabaian ini, ia menjadi lebih serius, dan, dengan pandangan tegas ia berkata sungguh-sungguh, “Marilah kita lihat apakah ketiadaan waktu ini bukanlah sekedar keengganan. Aku selalu harus menyampaikan Ucapan Syukurku; jika tidak aku membayar mahal.”
Mengucap Syukur bersama Madonna
Ada suatu keindahan istimewa dalam Ucapan Syukur yang dilakukan bersama Maria demi menghormati Kabar Sukacita. Tepat sesudah Komuni Kudus, kita membawa Yesus dalam jiwa dan tubuh kita, seperti yang dialami Santa Perawan Maria saat ia menerima kabar malaikat. Kita tiada mendapati suatu cara yang lebih baik untuk menyembah dan mengasihi Yesus pada waktu itu selain dari membuat disposisi kita serupa dengan disposisi Bunda Allah, membuat disposisi kita memiliki perasaan-perasaan adorasi dan kasih yang sama seperti yang ia miliki dalam Hatinya yang Tak Bernoda kepada Putra Ilahinya Yesus. Guna mencapai ini, akan sangat membantu jika kita mendaraskan dengan permenungan mendalam Misteri-misteri Sukacita Rosario. Marilah kita mencobanya. Dengan cara ini kita tidak akan gagal dalam mempersatukan diri dengan Madonna untuk mengasihi Yesus dengan Hati Surgawinya.
Roti Bagi yang Kuat dan Viaticum ke Surga
Tidaklah perlu mengatakan bahwa bagi semua orang, Kristus dalam Ekaristi adalah Roti sejati yang menjadikan mereka kuat. Makanan yang menjadikan manusia gagah berani, yang menopang para martir, yang mendatangkan kekuatan dan damai kepada jiwa-jiwa dalam pergumulan terakhir.
Dalam Ekaristi, Yesus mengulang kepada kita yang menderita dan merintih dalam lembah airmata ini, panggilan penuh kasih, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28). Sebab sungguh, “Bukankah manusia harus bergumul di bumi” (Ayub 7:1). Di samping itu, para pengikut Yesus “akan menderita aniaya” (bdk 2 Timotius 3:12; Matius 5:10); dan benar bahwa mereka yang adalah milik Kristus “telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” (Galatia 5:24), dan bahwa hendaknya kita hidup sebagai “telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia” (Kolose 2:20).
Adalah juga benar bahwa bersama Yesus “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13); sebab Yesus adalah “segalanya” (bdk Yohanes 1:3; Kolose 1:17). Dalam Komuni Kudus Ia menjadikan DiriNya “segalanya bagiku”. Sebab itu, aku dapat berkata bersama Hamba Tuhan, Luisa M. Claret de la Touche, “Apakah yang harus aku takutkan? Ia yang menopang dunia ada dalam aku. Darah Tuhan mengalir dalam pembuluh-pembuluh darahku: Janganlah takut, wahai jiwaku. Allah Semesta Alam telah mengangkatmu ke dalam pelukan-Nya dan menghendaki engkau mendapatkan istirahat dalam Dia.”
Demikianlah, St Vincentius de Paul dapat bertanya kepada para misionarisnya, “Apabila kalian telah menyambut Yesus ke dalam hati kalian, adakah kurban yang mustahil bagi kalian?” Dan St Vincentius Ferrer, selama dua tahun menderita dalam penjara sebagai kurban aniaya, berlimpah sukacita dalam segala penderitaannya (bdk 2 Korintus 7:4), sebab ia dapat merayakan Misa Kudus setiap hari kendati belenggu dan rantai serta kegelapan penjaranya. Ketabahan dan sukacita yang sama dianugerahkan kepada St Jeanne d'Arc ketika ia diperkenankan menyambut Yesus dalam Ekaristi Kudus sebelum menuju tempat eksekusi. Ketika Yesus masuk ke dalam sel penjaranya yang gelap, santa kita jatuh berlutut, dan, dengan segala rantai yang membelenggu, menyambut Yesus, dan tenggelam dalam doa yang khusuk. Begitu kepadanya diperintahkan untuk bersiap menyongsong maut, ia bangkit dan berjalan tanpa terputus doanya. Ia mendaki tiang pembakaran dan tewas dilalap api, sementara dalam persatuan dengan Yesus, yang tinggal dalam jiwanya dan tubuhnya yang dikurbankan.
Kekuatan Para Martir
Seluruh sejarah kemartiran, mulai dari St Stefanus -martir pertama-, hingga ke Tarsisius -martir yang bagai malaikat-, dan para martir sesudahnya, merupakan suatu kisah kekuatan di luar manusia, yang dianugerahkan Ekaristi atas mereka sementara mereka bertempur melawan iblis dan melawan segala kekuatan neraka yang bekerja di dunia (bdk 1 Petrus 5:8).
Ingatlah pula akan penghiburan serta pertolongan surgawi yang didatangkan Komuni Kudus bagi mereka yang sakit, dan bukan hanya bagi jiwa mereka, melainkan bagi tubuh mereka juga, yang terkadang disembuhkan secara menakjubkan. Biasa terjadi, misalnya, pada St Lidwina dan pada St Alexandria da Costa, bahwa selama Roti Kudus tinggal dalam tubuh mereka, penderitaan fisik mereka yang ngeri akan berhenti secara ajaib. Demikian juga yang terjadi pada Laurentius dari Brindisi dan St Petrus Claver, bahwa segala sakit penyakit serius mereka yang senantiasa menyiksa akan berhenti apabila mereka merayakan Misa Kudus.
Peliharalah Pertama-tama Jiwa
Tetapi yang paling menghiburkan hati dari semuanya adalah Komuni Kudus terakhir umat Kristiani yang disebut Viaticum; yakni, bekal perjalanan dari hidup ini ke hidup selanjutnya. Oh, betapa para kudus menekankan pentingnya kita menyambut-Nya di saat yang tepat dan dengan disposisi batin terbaik.
Ketika St Dominikus Savio dipulangkan karena sakit parah, dokter berbesar hati akan kesembuhannya. Tetapi remaja kudus ini memanggil ayahnya dan berkata, “Papa, sungguh suatu hal yang baik jika aku menyerahkannya pada Dokter surgawi. Aku ingin menyambut Sakramen Pengakuan Dosa dan Komuni Kudus.”
Ketika kesehatan St Antonius Claret yang semakin memburuk mulai mendapatkan perhatian serius, dua dokter dipanggil untuk dimintai nasehat. Mengetahui hal ini, tahulah santo kita akan gawatnya penyakit yang ia derita; ia berkata, “Aku mengerti; tetapi marilah pertama-tama kita memikirkan jiwa, dan baru kemudian tubuh.” Dan ia menghendaki menyambut sakramen-sakramen seketika itu juga. Setelah semuanya selesai dilakukan, barulah ia memanggil kedua dokter itu dan berkata kepada mereka, “Sekarang lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan.”
Pertama-tama jiwa, dan kemudian tubuh. Adakah mungkin kita tidak menghargai nasehat ini? Kerap kali kita ceroboh dengan begitu peduli memanggil dokter untuk merawat si sakit, sementara kita memanggil imam hanya di saat-saat terakhir ketika si pasien, mungkin, terlalu payah untuk menyambut sakramen-sakramen dengan kesadaran penuh, atau bahkan tak dapat menyambutnya sama sekali. Oh, betapa bodoh, betapa tidak bijaksananya kita! Bagaimana kita dapat lepas dari tanggung jawab jika, dengan tidak memanggil imam pada waktunya, kita membahayakan keselamatan pasien yang di ambang ajal dan menjauhkannya dari dukungan dan pertolongan besar yang dapat ia peroleh di saat-saat akhir hidupnya?
Ekaristi merupakan jaminan tertinggi akan janji hidup sejati bagi umat Kristiani yang tinggal di tanah pembuangan yang malang ini. “Tubuh kita,” tulis St Gregorius dari Nyassa “ketika dipersatukan dengan Tubuh Kristus, mendapatkan permulaan kekekalan, sebab dipersatukan dengan Kekekalan.” Ketika tubuh dari hidup yang singkat ini berakhir, kita berpaling kepada Yesus, yang adalah Hidup Kekal. Yesus diberikan kepada kita dalam Komuni Kudus agar menjadi Hidup yang sejati dan kekal bagi jiwa kita yang abadi dan menjadi Kebangkitan bagi tubuh kita yang fana: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal” (Yohanes 6:54). “Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya” (Yohanes 6:58), sebab “Akulah kebangkitan dan hidup” (Yohanes 11:25).
Ah! Betapa Viaticum Kudus adalah suatu rahmat yang luar biasa! Ketika imam kudus dari Ars di ambang ajal dan ia mendengar bunyi lonceng yang memaklumkan kedatangan Viaticum Kudus, ia begitu tersentuh hingga mencucurkan airmata, katanya, “Bagaimanakah mungkin kita tidak menangis ketika Yesus datang untuk terakhir kalinya kepada kita dengan kasih yang begitu berlimpah-ruah?”
Ya, Yesus dalam Ekaristi Kudus adalah Kasih yang telah menjadi makananku, kekuatanku, hidupku, dambaan hatiku. Setiap kali aku menyambut-Nya, kala hidup maupun di ambang ajal, Ia menjadikan DiriNya sebagai milikku guna menjadikanku milik-Nya. Ya, Ia adalah sepenuhnya milikku dan aku sepenuhnya milik-Nya - yang satu dalam yang lain, yang satu milik yang lain (bdk Yohanes 6:56). Inilah kepenuhan Kasih bagi jiwa dan bagi tubuh, di bumi dan di surga.
Setiap Hari Bersama-Nya
Yesus ada dalam tabernakel demi aku. Ia adalah Makanan jiwaku. “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman” (Yohanes 6:55). Jika aku ingin memberi makan diriku secara rohani dan dipenuhi hidup, aku wajib menyambut-Nya. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yohanes 6:53). St Agustinus memberitahu kita bahwa umat Katolik di keuskupannya di Afrika menyebut Ekaristi dengan kata “Hidup”. Apabila mereka hendak pergi menyambut Komuni Kudus, mereka akan berkata, “Kami akan pergi kepada Hidup.” Betapa suatu cara yang mengagumkan dalam mengekspresikannya!
Guna memelihara kekuatan dan energi adikodratiku - yakni hidup adikodratiku - agar dalam keadaan sehat, aku harus memberinya makan. Ekaristi Kudus adalah tepat yang dibutuhkan untuk ini, sebab Ekaristi adalah “Roti hidup” (Yohanes 6:34), “roti yang telah turun dari sorga” (Yohanes 6:59), yang menganugerahi, memperlengkapi, memelihara dan meningkatkan energi rohani jiwa. St Petrus Y. Eymard lebih lanjut mengatakan, “Komuni perlu bagi kita untuk menopang vitalitas Kristiani kita, sebagaimana pandangan yang membahagiaan akan Allah perlu bagi para malaikat untuk memelihara hidup mulia mereka.”
Setiap hari aku patut memberi makan jiwaku, sebagaimana setiap hari aku memberi makan tubuhku guna memberinya vitalitas fisik. St Agustinus mengajarkan, “Ekaristi adalah Roti sehari-hari yang kita sambut sebagai penyembuh kerapuhan yang kita derita sehari-hari.” Dan St Petrus Y. Eymard menambahkan, “Yesus telah mempersiapkan bukan saja satu Hosti, melainkan Satu untuk setiap hari sepanjang hidup kita. Hosti-Hosti bagi kita telah dipersiapkan. Janganlah kita kehilangan bahkan Satu di antaranya.”
Yesus adalah Hosti itu, Kurban Kasih itu, yang begitu manis dan begitu menyehatkan jiwa, sehingga menggerakkan St Gemma Galgani untuk mengatakan, “Aku merasakan kebutuhan mendesak untuk dikuatkan kembali oleh Makanan yang begitu manis itu, yang Yesus tawarkan kepadaku. Terapi cinta kasih ini yang Yesus berikan kepadaku setiap pagi melembutkanku dan menarik segenap cinta kasih hatiku kepada-Nya.”
Bagi para kudus, Komuni setiap hari memenuhi kebutuhan mendesak akan Hidup dan Kasih, seturut kerinduan ilahi Yesus untuk memberikan DiriNya Sendiri sebagai Hidup dan Kasih bagi tiap-tiap jiwa. Hendaknyalah kita tidak lupa bahwa Kamis Putih adalah hari di mana Yesus “sangat rindu” (bdk Luk 22:15). Karenanya, imam kudus dari Ars dengan serius mengatakan, “Setiap Hosti yang Dikonsekrir dibuat untuk dilalap habis dengan kasih dalam hati manusia.” Dan St Theresia dari Lisieux menulis kepada seorang biarawati lain, “Bukan untuk tinggal dalam sebuah siborium emas Yesus setiap hari turun dari surga, melainkan untuk mendapatkan suatu surga lain, yakni jiwa kita, di mana Ia menemukan sukacita-Nya,” dan apabila suatu jiwa dapat melakukannya namun tak hendak menyambut Yesus masuk ke dalam hatinya, “Yesus menangis.” “Sebab itu,” lanjut Theresia, “apabila iblis tak dapat masuk dengan dosa ke dalam sanctuarium jiwa, iblis menghendaki jiwa itu setidak-tidaknya kosong, tanpa Tuan, dan dijauhkan dari Komuni Kudus.” Jelas nyata bahwa kita di sini patut peduli akan perangkap iblis; sebab hanya iblis yang tertarik untuk menjauhkan kita dari Yesus. Jadi, baiklah kita berjaga-jaga. Hendaknyalah kita berusaha untuk tidak jatuh menjadi kurban muslihat iblis. “Berupayalah untuk tidak melewatkan barang satu Komuni Kudus pun,” demikian nasehat Margareta Maria Alacoque; “Kita tidak mungkin dapat memberi musuh kita, si iblis, sukacita yang terlebih besar selain dari ketika kita menarik diri dari Yesus, yang menyingkirkan kuasa musuh atas kita.”
Komuni Setiap Hari adalah mata air kasih, kekuatan, terang, sukacita, keberanian, segala keutamaan dan segala kebajikan setiap hari. “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” kata Yesus (Yohanes 7:37). Yesus Sendirilah “mata air yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (bdk. Yohanes 4:14). Bagaimanakah mungkin ada seorang yang berada dalam Keadaan Rahmat tidak menghendaki, atau sulit baginya, untuk datang ke “perjamuan Tuhan” (1 Korintus 10:21) yang ilahi ini?
Penasehat Agung Inggris, St Thomas More, yang wafat sebagai martir karena menolak skisma, biasa ikut ambil bagian dalam Misa setiap pagi dan menyambut Komuni Kudus. Sebagian orang berusaha membujuknya dengan mengatakan bahwa perbuatannya ini tidak pantas bagi seorang awam yang begitu sibuk dengan berbagai urusan negara. “Silakan kalian kemukakan segala alasan kalian, dan alasan-alasan itu akan terlebih lagi meyakinkanku bahwa aku sepatutnya menyambut Komuni Kudus setiap hari,” katanya. “Kegalauan begitu banyak, dan bersama Yesus aku belajar untuk bermenung diri. Kesempatan untuk menghinakan Tuhan begitu sering, dan aku menerima kekuatan setiap hari dari-Nya untuk menghindarinya. Aku membutuhkan terang dan kebijaksanaan dalam menangani urusan-urusan yang amat rumit, dan setiap hari aku dapat mengkonsultasikannya pada Yesus dalam Komuni Kudus. Ia adalah Guru agungku.”
Suatu ketika orang bertanya kepada Banting, seorang biologis termasyhur, mengapa ia begitu peduli akan Komuni setiap hari. “Pernahkah kau merenungkan,” jawabnya, “apa yang akan terjadi jika embun tidak turun setiap malam? Tak ada tanaman yang dapat tumbuh. Rerumputan dan bunga-bungaan tidak akan tahan terhadap evaporasi dan kekeringan yang dibawa panas hari itu dengan suatu atau lain cara. Lingkaran energi mereka, pembaharuan alami mereka, keseimbangan cairan getah bening mereka, hidup tanaman itu sendiri membutuhkan embun ini….” Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Jiwaku adalah bagaikan sebuah tanaman kecil. Sesuatu yang rapuh yang harus menghadapi gempuran angin dan panas terik setiap hari. Jadi perlulah setiap pagi aku pergi mendapatkan supplai segar embun rohani dengan menyambut Komuni Kudus.”
St Yosef Cottolengo menganjurkan para dokter di Rumah Penyelenggaraan Ilahi-nya untuk ikut ambil bagian dalam Misa dan menyambut Komuni sebelum melakukan operasi-operasi sulit mereka. Ini karena, sebagaimana dikatakannya, “Obat adalah ilmu pengetahuan yang hebat, tetapi Tuhan adalah Dokter yang hebat.” St Yosef Moscati, seorang dokter termasyhur dari Naples, amat terbiasa dengan hal ini, dan menempuh jarak yang tak terbayangkan jauhnya (dengan segala ketidaknyamanan yang begitu rupa terisitimewa mengingat kerapnya perjalanan yang harus ia lakukan) demi menghindari kehilangan Komuni harian. Apabila pada suatu hari tidaklah mungkin baginya untuk menyambut Komuni, ia tidak memiliki keberanian pada hari itu untuk melakukan praktek dokternya; sebab katanya, “Tanpa Yesus aku tak memiliki cukup terang untuk menyelamatkan pasien-pasienku yang malang.”
O, betapa kasih berkobar-kobar yang dimiliki para kudus untuk menyambut Komuni Kudus setiap hari! Dan siapakah yang dapat dengan tepat menggambarkannya? St Yosef dari Cupertino, yang tidak pernah tidak menyambut Tuhan-nya terkasih setiap hari, suatu ketika mengatakan kepada para rekan saudara dalam komunitas religius, “Yakinlah bahwa aku akan pergi ke hidup yang akan datang pada hari aku tidak dapat menyambut Pecoriello (Domba Agung)” sebagaimana ia dengan penuh kasih sayang dan devosi menyebut Domba Ilahi. Dan, sesungguhnya, diperlukan suatu penyakit yang amat parah untuk menghalanginya menyambut Tuhan kita dalam Ekaristi pada suatu hari; dan itulah hari kematiannya!
Ketika ayah St Gemma Galgani khawatir akan kesehatan puterinya, ia menegur Gemma karena berangkat terlalu pagi setiap hari ke Misa. Kritikannya ditanggapi dengan jawaban ini oleh sang santa, “Tetapi Papa, bagiku, aku akan jatuh sakit jika aku tidak menyambut Yesus dalam Ekaristi Kudus.”
Ketika St Katarina dari Genoa mengetahui larangan yang diberlakukan di kotanya, yakni larangan mengadakan Misa dan Komuni Kudus, ia berjalan kaki setiap hari ke suatu kapel yang jauh di luar kota Genoa agar dapat menyambut Komuni. Ketika kepadanya dikatakan bahwa ia berlebihan, santa kita menjawab, “Jika aku harus berjalan bermil-mil jauhnya di atas bara api demi menyambut Yesus, akan aku katakan bahwa itu adalah hal yang mudah, seolah aku tengah berjalan di atas karpet bertaburkan mawar.”
Hendaknyalah ini menjadi pelajaran bagi kita yang mungkin dapat menjangkau gereja dengan sedikit berjalan kaki, di mana kita dapat pergi dengan tanpa kesulitan untuk menyambut Yesus ke dalam hati kita. Dan bahkan jika untuk menyambut Yesus dibutuhkan sedikit pengurbanan dari kita, tidakkah itu sepadan?
Tetapi ada yang lebih dari itu jika kita merenungkan betapa para kudus rindu untuk menyambut Komuni Kudus tidak hanya satu kali, melainkan beberapa kali dalam sehari.
Mari kita melangkah lebih lanjut! Janganlah kita menyatakan penyesalan dalam melakukan sesuatu yang demikian kudus seperti menyambut Komuni setiap hari, darimana datang segala berkat bagi jiwa dan tubuh.
Berkat bagi Jiwa
Mengenai berkat bagi jiwa, St Sirilus dari Alexandria, Bapa dan Pujangga Gereja, menulis, “Jika racun kesombongan membengkak dalam dirimu, berpalinglah kepada Ekaristi; dan Roti itu, yang adalah Tuhan-mu yang merendahkan diri dan menyamarkan diri, akan mengajarimu kerendahan hati. Jika demam ketamakan nan egois menderamu, makanlah Roti ini; dan engkau akan belajar kemurahan hati. Jika hawa dingin nafsu melayukanmu, bergegaslah menyambut Roti para Malaikat; dan belas kasih akan berkembang dalam hatimu. Jika engkau merasakan gatal-gatal lepas kendali, berilah dirimu Daging dan Darah Kristus, yang mengamalkan pengendalian diri yang gagah berani sepanjang masa hidup-Nya di dunia; dan engkau akan menguasai diri. Jika engkau malas dan lamban mengenai hal-hal rohani, perkuatlah dirimu dengan Makanan surgawi ini; dan engkau akan bertumbuh dalam ketekunan. Akhirnya, jika engkau merasa terbakar oleh demam ketidakmurnian, pergilah ke perjamuan para Malaikat; dan Daging Kristus yang tak bercela akan menjadikanmu suci dan murni.”
Jika orang ingin tahu bagaimana St Karolus Borromeus memelihara kemurnian dan keteguhan hati di tengah kaum muda lainnya yang seenaknya dan tak karuan, inilah rahasianya: Komuni Kudus sesering mungkin. Dia inilah St Karolus yang sama yang menganjurkan Komuni sesering mungkin kepada pemuda St Aloysius Gonzaga, yang di kemudian hari menjadi santo dengan kemurnian bagai malaikat. St Filipus Neri, seorang imam yang dikenal akrab dengan kaum muda, mengatakan, “Devosi kepada Sakramen Mahakudus dan devosi kepada Santa Perawan Maria bukan sekedar jalan terbaik, melainkan sesungguhnya satu-satunya jalan untuk memelihara kemurnian. Di usia duapuluh tahun, tiada suatu pun kecuali Komuni yang dapat memelihara hati orang tetap murni… Kemurnian tidaklah mungkin tanpa Ekaristi.” Dan ini sungguh benar.
Berkat bagi Tubuh
Dan berkat apakah yang didatangkan Ekaristi Kudus bagi tubuh? St Lukas berkata mengenai Tuhan kita, “Ada kuasa yang keluar dari pada-Nya dan semua orang itu disembuhkan-Nya” (Lukas 6:19). Berapa banyak kali di Lourdes hal ini telah dibuktikan sebagai benar mengenai Juruselamat kita dalam Ekaristi? Berapa banyak tubuh telah disembuhkan oleh Tuhan kita ini, yang menyamarkan diri dalam Hosti putih? Berapa banyak orang, yang menderita karena sakit atau kemalangan, menerima bersama Roti Ekaristik: kesehatan, kekuatan, serta pertolongan bagi kebutuhan-kebutuhan lainnya?
Suatu hari St Yosef Cottolengo memperhatikan bahwa sejumlah pasien dalam Rumah Penyelenggaraan Ilahi-nya memilih untuk tidak menyambut Komuni Kudus. Siborium tetap penuh. Sementara pada hari yang sama itu, dapur kehabisan roti untuk santapan berikutnya. Santo kita menempatkan siborium di altar, berpaling dan dengan ekspresif memaklumkan pernyataan ini: “Siborium penuh, kotak-kotak roti kosong!”
Betapa hal ini menyatakan suatu kebenaran. Yesus adalah kepenuhan hidup dan kasih bagi jiwaku. Tanpa-Nya, segala yang lain kosong dan tiada arti. Bersama-Nya aku memiliki persediaan tak terbatas setiap hari bagi segala kebaikan, kemurnian dan sukacita.
Komuni Batin
Komuni Batin adalah persediaan Hidup dan Kasih Ekaristik yang senantiasa tersedia bagi para kekasih Yesus Ekarsitik. Dengan sarana komuni batin hasrat kasih dipuaskan bagi jiwa yang rindu dipersatukan dengan Yesus, Mempelai-nya terkasih. Komuni batin adalah persatuan kasih antara jiwa dan Yesus dalam Hosti. Persatuan ini secara rohani, namun nyata, lebih nyata dari persatuan antara tubuh dan jiwa, “sebab jiwa lebih suka tinggal di mana ia mengasihi daripada di mana ia tinggal,” kata St Yohanes dari Salib.
Iman, Kasih dan Kerinduan
Jelas komuni batin mengandaikan bahwa kita mempunyai iman akan Kehadiran Nyata Yesus dalam Tabernakel. Menyatakan bahwa kita menghendaki Komuni Sakramental, dan dibutuhkan syukur atas anugerah Sakramen dari Yesus ini. Semuanya ini diungkapkan secara ringkas dan sederhana dalam rumusan St Alfonsus, “Yesus-ku, aku percaya, Engkau sungguh hadir dalam Sakramen Mahakudus. Aku mencintai-Mu lebih dari segalanya, dan aku merindukan kehadiran-Mu dalam jiwaku. Karena sekarang aku tak dapat menyambut-Mu dalam Sakramen Ekaristi, datanglah sekurang-kurangnya secara rohani ke dalam hatiku. (Jeda) Seakan Engkau telah datang, aku memeluk-Mu dan mempersatukan diriku sepenuhnya kepada-Mu; jangan biarkan aku terpisah daripada-Mu. Amin.”
Komuni batin, sebagaimana diajarkan St Thomas Aquinas dan St Alfonsus Liguori, menghasilkan dampak-dampak yang serupa dengan Komuni Sakramental, seturut disposisi batin dengan mana komuni batin dilakukan, kuat atau lemahnya kerinduan kepada Yesus, dan kuat atau lemahnya kasih dengan mana Yesus disambut dan diberi perhatian yang sepantasnya.
Keunggulan istimewa dari komuni batin adalah bahwa kita dapat melakukannya sesering yang kita kehendaki - bahkan beratus-ratus kali dalam sehari - bilamana kita kehendaki - baik siang maupun malam - dan di manapun kita kehendaki - baik di padang gurun maupun di atas pesawat terbang.
Amat tepat menyambut komuni batin teristimewa ketika kita ikut ambil bagian dalam Misa Kudus akan tetapi tidak dapat menyambut Tuhan kita secara sakramental. Ketika imam tengah menyambut Komuni Kudus-nya, jiwa kita hendaknya ikut ambil bagian di dalamnya dengan mengundang Yesus masuk ke dalam hati kita. Dengan cara ini, kita ikut ambil bagian secara utuh dalam setiap Misa Kudus yang kita ikuti, dengan Persembahan, Konsekrasi kurban, dan Komuni Kudus.
Dua Piala
Yesus Sendiri mengatakan kepada St Katarina dari Siena dalam suatu penglihatan, betapa berharganya suatu komuni batin. Santa kita khawatir kalau-kalau komuni batin bukanlah apa-apa dibandingkan Komuni Sakramental. Dalam penglihatan itu, Tuhan kita memegang dua piala; Ia mengatakan, “Dalam piala emas ini Aku menempatkan Komuni Sakramental kalian. Dalam piala perak ini Aku menempatkan Komuni Batin kalian. Kedua piala ini berkenan bagi-Ku.”
Dan suatu ketika Yesus mengatakan kepada St Margaret Maria Alacoque, sementara ia asyik khusuk dalam menyerukan keluhan kerinduan kepada-Nya dalam tabernakel, “Aku begitu mengasihi suatu jiwa yang rindu untuk menyambut-Ku, sebab itu Aku bergegas datang kepadanya setiap kali ia memanggil-Ku dengan kerinduannya.”
Tidaklah sulit melihat betapa para kudus mencintai komuni batin. Komuni batin setidak-tidaknya melegakan sebagian dari kerinduan yang berkobar-kobar untuk dipersatukan dengan sang Kekasih. Yesus sendiri bersabda, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yohanes 15:4). Dan komuni batin membantu kita tinggal bersatu dengan Yesus, bahkan sementara kita berada jauh dari gereja. Tiada cara lain untuk meredakan kerinduan kasih yang bernyala-nyala dalam hati para kudus. “Jiwaku haus kepada Allah. Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (Mazmur 42:1-2).
Inilah desah kerinduan pada kudus. St Katarina dari Genoa berseru, “Wahai Mempelai (jiwaku) yang terkasih, aku begitu merindukan sukacita bersama-Mu, hingga bagiku, andai aku mati, aku akan bangkit hidup demi menyambut-Mu dalam Komuni Kudus.” Beata Agatha dari Salib merasakan suatu kerinduan yang begitu hebat untuk tinggal senantiasa bersatu dengan Yesus dalam Ekaristi, hingga ia berkata, “Jika Bapa Pengakuan tidak mengajariku komuni batin, pastilah aku tak akan dapat hidup.”
Begitu pula bagi St Maria Fransiska dari Lima Luka-luka Suci, komuni batin adalah satu-satunya pelega dari sakit hebat yang ia rasakan apabila ia terkurung di rumah jauh dari Tuhan-nya terkasih, teristimewa ketika ia tidak diperkenankan menyambut Komuni Sakramental. Pada saat yang demikian ia akan keluar ke serambi rumahnya dan, seraya memandang ke arah gereja, ia mengeluh dengan bercucuran airmata, “Berbahagialah mereka yang menyambut Engkau pada hari ini dalam Sakramen Mahakudus, ya Yesus. Terberkatilah tembok-tembok gereja yang menjaga Yesus-ku. Terberkatilah para imam, yang senantiasa dekat dengan Yesus yang amat terkasih.” Komuni batin saja yang dapat sedikit melegakannya.
Siang Hari
Inilah salah satu dari nasehat yang diberikan Padre Pio dari Pietrelcina kepada salah seorang puteri rohaninya, “Di siang hari, apabila engkau tidak diperkenankan untuk melakukan yang sebaliknya, panggillah Yesus, bahkan di tengah segala kesibukanmu, dengan keluhan kepasrahan jiwa dan Ia akan datang dan akan tinggal senantiasa bersatu dengan jiwamu dengan sarana-sarana rahmat-Nya dan kasih-Nya yang kudus. Terbanglah secara rohani ke hadapan Tabernakel, apabila engkau tidak dapat pergi ke sana dengan tubuhmu, dan di sana curahkanlah kerinduan rohmu yang berkobar-kobar dan peluklah Kekasih jiwa-jiwa….”
Marilah kita juga mengambil manfaat dari anugerah agung ini. Di kala kita menderita pencobaan atau merasa ditinggalkan, misalnya, adakah yang terlebih berharga bagi kita selain dari penyertaan Tuhan Sakramental kita melalui sarana komuni batin? Praktek saleh ini dapat bekerja dengan mudah untuk mengisi hari-hari kita dengan perbuatan dan perasaan kasih, dan membuat kita tinggal dalam pelukan kasih; tergantung hanya pada berapa sering kita memperbaharuinya sehingga kita nyaris tidak menginterupsinya.
St Angela Merici begitu mencintai komuni batin. Tidak saja ia kerap melakukannya dan mendorong yang lain untuk melakukannya, tetapi ia memilih untuk meninggalkannya sebagai warisan kepada puteri-puterinya, agar sesudahnya mereka dapat mempraktekkannya juga.
Apakah yang harus kita katakan mengenai St Fransiskus de Sales? Bukankah seluruh hidupnya tampak bagai serangkaian komuni batin? Ia berketetapan untuk melakukan komuni batin sekurang-kurangnya setiap seperempat jam. St Maximilian M. Kolbe memiliki ketetapan hati yang sama sejak masa mudanya. Abdi Allah Andreas Baltrami meninggalkan bagi kita selembar dari buku harian pribadinya, yang bertuliskan suatu program sederhana untuk mengamalkan hidup dalam komuni batin yang tanpa interupsi bersama Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Inilah kata-katanya, “Di manapun aku berada aku akan sering memikirkan Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Aku akan memusatkan segenap pikiranku pada tabernakel yang kudus - bahkan apabila aku terjaga di malam hari - sujud menyembah-Nya dari tempat aku berada, memanggil Yesus dalam Sakramen Mahakudus, mempersembahkan kepada-Nya segala tindakan yang aku lakukan. Aku akan memasang satu kabel telegraf dari ruang belajarku ke gereja, satu lagi dari kamar tidurku, dan kabel yang ketiga dari ruang makan kami; dan sesering yang dapat aku lakukan, aku akan mengirimkan pesan-pesan kasih kepada Yesus dalam Sakramen Mahakudus.” Betapa suatu aliran cinta kasih ilahi pastilah telah melewati kabel-kabel berharga itu!
Juga Malam Hari
Para kudus bersemangat mempergunakan komuni batin dan sarana-sarana kudus serupa ini demi menemukan saluran bagi hati mereka yang meluap-luap; sebab mereka tidak pernah merasa bertindak cukup jauh dalam usaha mereka untuk mengasihi-Nya. “Semakin aku mengasihi-Mu, semakin kurang aku mengasihi-Mu,” seru St Fransiska Xavier Cabrini, “sebab aku ingin mengasihi-Mu terlebih lagi, tetapi aku tak mampu. Oh, perbesarlah, perbesarlah hatiku.”
Ketika St Roco melewatkan lima tahun dalam penjara karena dihakimi sebagai seorang gelandangan yang berbahaya, dalam selnya ia senantiasa mengarahkan matanya ke jendela sembari berdoa. Penjaga bertanya, “Apakah yang engkau lihat?” Jawab sang santo, “Aku melihat menara gereja paroki.” Menara itu mengingatkannya akan Gereja, tabernakel, dan Yesus Ekaristik, yang secara tak terpisahkan bersatu dalam hatinya.
Imam kudus dari Ars mengatakan kepada umatnya, “Melihat menara gereja, kalian dapat mengatakan: Yesus di sana, sebab di sana imam merayakan Misa.” Beato Louis Guanella, ketika sedang dalam perjalanan dengan kereta api bersama para peziarah ke berbagai tempat ziarah, biasa menasehati para peziarah untuk mengarahkan akal budi dan hati kepada Yesus setiap kali mereka melihat suatu menara gereja dari jendela kereta api, “Setiap menara lonceng,” demikian selalu dikatakannya, “menyatakan gereja, di mana ada tabernakel, di mana Misa dirayakan, dan di mana Yesus tinggal.”
Marilah kita memetik pelajaran dari para kudus. Mereka rindu meneruskan percikan kasih yang bernyala-nyala dalam hati mereka. Marilah kita menyambut sebanyak mungkin komuni batin, teristimewa pada saat-saat paling sibuk sepanjang hari kita. Maka, segera api kasih akan merasuki kita. Sesuatu yang amat menghibur hati yang ditegaskan oleh St Leonard dari Port Maurice bagi kita adalah ini, “Jika kalian mengamalkan praktek saleh komuni batin begitu banyak kali setiap hari, dalam satu bulan kalian akan melihat betapa kalian sama sekali telah berubah.” Hanya satu bulan - cukup jelas, bukan?
“Hatiku merasa seolah ditarik oleh suatu kekuatan yang amat hebat setiap pagi tepat sebelum mempersatukan diri dengan-Nya dalam Sakramen Mahakudus. Aku menderita dahaga dan lapar begitu rupa sebelum menyambut-Nya hingga sungguh ajaib aku tidak mati merana. Aku nyaris tak dapat meraih Tawanan Ilahi guna merayakan Misa. Ketika Misa usai aku tinggal bersama Yesus untuk menghaturkan syukur kepada-Nya. Dahaga dan laparku tidaklah lenyap setelah aku menyambut-Nya dalam Sakramen Mahakudus, melainkan semakin bertambah-tambah. Oh, betapa manis percakapan yang aku lewatkan bersama Firdaus pagi ini. Hati Yesus dan hatiku, kiranya kalian memaafkan ungkapanku, melebur. Bukan lagi degup dua hati melainkan hanya satu. Hatiku lenyap bagai setetes air dalam samudera.” ~ Padre Pio
sumber : “Jesus Our Eucharistic Love by Father Stefano Manelli, O.F.M. Conv., S.T.D.”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
|