KERENDAHAN HATI Menurut Para Kudus
“Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” ~ Lukas 14:11
1. Kerendahan hati adalah dasar dari segala keutamaan; sebab itu dalam suatu jiwa di mana tiada kerendahan hati tak akan dapat ada keutamaan sejati, melainkan hanya lahiriah saja. Demikian pula, kerendahan hati merupakan disposisi yang paling tepat bagi segala karunia surgawi. Dan akhirnya, kerendahan hati begitu dibutuhkan bagi kesempurnaan, hingga dari segala cara untuk mencapainya: pertama, adalah melalui kerendahan hati; kedua, kerendahan hati; ketiga, kerendahan hati. Dan jika pertanyaan ini diulang seratus kali, aku akan selalu memberikan jawaban yang sama. ~ St Agustinus
2. Kerendahan hati adalah ibu dari banyak keutamaan. Dari kerendahan hati memancar ketaatan, takut akan Allah, hormat, kesabaran, kesahajaan, kelemah-lembutan, dan damai; sebab, barangsiapa rendah hati akan dengan mudah mentaati semua, takut menyakiti siapapun, memelihara damai dengan semua orang, ramah kepada semua, mengalah pada semua, tidak meremehkan atau menjengkelkan siapapun, dan tidak merasa terhina atas penghinaan yang ditimpakan kepadanya. Ia hidup bahagia dan puas, dan dalam damai tenang. ~ St Thomas dari Villanova
3. Barangsiapa tidak sungguh rendah hati, tak akan pernah dapat menarik keuntungan dari kontemplasi, di mana serpihan kecil atom kurangnya kerendahan hati, meski mungkin tampaknya remeh, dapat mendatangkan celaka yang besar. ~ St. Teresa
Suatu hari, Santa Perawan berdoa memohon kepada Putranya yang terkudus agar Ia menganugerahkan karunia-karunia rohani atas St Bridget. Tetapi Ia memberikan jawaban ini: “Barangsiapa mencari hal-hal yang tinggi, haruslah pertama-tama dilatih dalam hal-hal yang rendah, oleh jalan-jalan kerendahan hati.”
4. Kerendahan hati dibutuhkan tak hanya demi diperolehnya keutamaan-keutamaan, tetapi bahkan demi keselamatan. Sebab, sebagaimana Kristus Sendiri memberikan kesaksian, pintu gerbang surga begitu sempit hingga hanya cukup dilalui mereka yang kecil. ~ St Bernardus
William, Uskup Lyons, menceritakan dalam “Chronicles”, mengenai seorang biarawan yang sering melanggar waktu hening yang ditetapkan, tetapi sesudah ditegur secara rohani oleh Abbasnya, ia berubah dan menjadi begitu meditatif dan begitu saleh hingga ia dianggap layak menerima dari Allah banyak penglihatan. Sekarang, terjadilah bahwa Pater Abbas dipanggil untuk melayani seorang pertapa yang, sesudah mencapai nyaris kesempurnaan hidup, rindu untuk menerima darinya Sakramen Terakhir. Sang Abbas pergi dan membawa sang biarawan bersamanya. Di tengah jalan, seorang penyamun, yang mendengar suara lonceng, menyertai Sakramen Mahakudus hingga ke bilik pertapa; tetapi ia berhenti di luar, menganggap diri tak layak memasuki kediaman seorang kudus. Sesudah pertapa mengakukan dosanya dan menyambut Komuni Kudus dengan rendah hati, sang penyamun terus-menerus mengulang di ambang pintu, “Oh, Pater, andai aku sepertimu, oh, betapa bahagianya aku!” Mendengar ini, pertapa berkata dalam hati, dengan tinggi hati dan berpuas diri, “Kau tepat menginginkannya; siapakah gerangan yang dapat ragu?” dan ia pun segera menghembuskan napas terakhir. Biarawan yang saleh itu mulai menangis dan undur diri dari Abbas. Sang penyamun mengikuti mereka, dengan airmata bercucuran dan sesal atas dosa-dosanya, dan berbulat hati untuk mengakukan dosa dan melakukan penitensi atas dosa-dosanya begitu mereka tiba di biara. Akan tetapi, ia tak dapat tiba di sana, sebab di tengah jalan sekonyong-konyong ia tersungkur ke tanah dan mati. Atas kecelakaan ini, sang biarawan bersukacita kembali dan tertawa; dan ketika Abbas bertanya kepadanya mengapa ia bersedih atas kematian sang pertapa, dan bersukacita atas kematian penyamun, ia menjawab, “Sebab yang pertama hilang, sebagai hukuman atas kesombongannya, dan yang terakhir diselamatkan, karena kebulatan tekadnya untuk melakukan penitensi yang pantas bagi dosa-dosanya; dan sesal atas dosa-dosanya begitu hebat hingga membatalkan bahkan semua hukumannya.”
5. “Senjata paling ampuh untuk menaklukkan iblis adalah kerendahan hati. Sebab, sebagaimana iblis tak tahu sama sekali bagaimana melakukannya, demikian pula ia tak tahu bagaimana mempertahankan diri darinya.” ~ St Vincentius de Paul
Ketika Macarius suatu hari kembali ke biliknya, ia bertemu dengan iblis yang, dengan sabit besar di tangannya, berusaha mengoyakkan tubuh Macarius. Tetapi iblis tak dapat melakukannya, sebab begitu mendekat, ia segera kehilangan kekuatan. Penuh angkara murka, iblis berseru, “Betapa sengsara hebat aku tanggung karena engkau, wahai Macarius; sebab, meski aku begitu ingin mencelakaimu, aku tak dapat melakukannya. Sungguh aneh! Aku melakukan semua yang kau lakukan, dan bahkan terlebih lagi; engkau berpuasa sekali waktu, sementara aku tak pernah makan; engkau mengurangi waktu tidurmu, sementara aku tak pernah memejamkan mataku; engkau murni, sementara aku juga. Hanya dalam satu hal engkau mengungguliku.” “Dan apakah satu hal itu?” tanya Macarius. “Kerendahan hatimu yang luar biasa,” jawab si iblis. Seraya mengatakan itu, iblis pun lenyap dan tak pernah terlihat lagi.
6. Orang yang menganggap diri rendah dan suka dipangdang sebelah mata dan diremehkan orang lain, menyenangkan Allah dalam tingkat tertinggi; dan karenanya, Ia sudi merendahkan DiriNya Sendiri kepada mereka, mencurahkan harta pusaka rahmat-Nya atas mereka, menyingkapkan rahasia-rahasia-Nya kepada mereka, mengundang dan menarik mereka dengan manis kepada diriNya Sendiri. Demikianlah, semakin orang merendahkan dan meremehkan dirinya di hadapan manusia, semakin ia tinggi dan menjadi besar dalam pandangan Allah, dan semakin terang ia, suatu hari kelak, akan memandang Intisari Ilahi. ~ Thomas a Kempis
St Gertrude suatu hari mendengar lonceng kecil Komuni berdentang. Merasa tak sesiap seperti yang diharapkannya, ia berkata kepada Tuhan: “Aku melihat bahwa Engkau bahkan sekarang datang kepadaku; tetapi mengapakah Engkau tidak terlebih dahulu menghiasi hatiku dengan perhiasan-perhiasan devosi dengan mana aku dapat siap secara lebih pantas untuk datang dan menjumpai-Mu?” Tetapi Tuhan menjawab: “Ketahuilah bahwa terkadang Aku lebih berkenan pada keutamaan kerendahan hati daripada devosi lahiriah.”
Sesudah bertobat, Tais senantiasa menganggap diri begitu rendah dalam pandangannya sendiri, oleh sebab masa lalunya yang jahat, hingga ia tiada berani mengucapkan nama Allah yang kudus bahkan dalam berdoa kepada-Nya, melainkan hanya mengatakan, “Pencipta-ku, kasihanilah aku!” Dan dengan kerendahan hati ini, ia sampai pada tingkat kesempurnaan yang begitu luhur hingga ketika Paulus yang Bersahaja melihat suatu tempat yang teramat indah di Firdaus, yang sangkanya diperuntukkan bagi St Antonius, kepadanya diberitahukan bahwa tempat itu akan didiami oleh Tais dalam dua minggu lagi.
St Bonaventura mengatakan: “Aku tahu satu hal yang perlu dilakukan yang akan menyenangkan Tuhan. Aku akan menganggap diriku sampah, aku tidak akan toleran terhadap diriku sendiri. Dan apabila aku mendapati diriku dipermalukan, direndahkan, diinjak-injak dan dicemoohkan oleh yang lain, aku akan bersukacita dan bergembira, sebab dari diriku sendiri aku tak dapat merendahkan ataupun menghinakan diriku sendiri sebanyak yang seharusnya. Aku akan meminta bantuan dari segenap ciptaan, berharap dicela dan dihukum oleh mereka semua, sebab aku telah menghinakan Pencipta mereka. Ini akan menjadi harta pusakaku yang paling berharga - menerima penghinaan dan diremehkan, mengasihi di atas segalanya mereka yang membantuku dalam hal ini, dan menolak segala penghiburan dan penghormatan dari hidup sekarang ini. Apabila aku melakukan ini, aku percaya bahwa pastikah harta pusaka Kerahiman Ilahi akan terbuka atasku, yang malang dan tak layak ini.”
7. Satu hari mengenal diri sendiri dengan rendah hati merupakan suatu rahmat yang lebih besar dari Tuhan, meski untuk itu mungkin kita harus mengalami banyak penderitaan dan pencobaan, dibandingkan banyak hari-hari doa.” ~ St Teresa
8. Anggaplah dirimu sebagai seorang hina; bersukacitalah dianggap demikian oleh yang lain; jangan pernah meninggikan dirimu sendiri oleh karena anugerah-anugerah Allah, dan maka engkau akan rendah hati secara sempurna. ~ St Bonaventura
9. Kerendahan hati, yang diajarkan Kristus kepada kita baik dengan perkataan dan teladan, hendaknya meliputi tiga keadaan. Pertama, hendaknya kita dengan segala ketulusan hati menganggap diri layak menerima celaan dari manusia; kedua, bergembira bahwa orang-orang lain melihat apa yang tak sempurna dalam diri kita dan apa yang menyebabkan mereka merendahkan kita; ketiga, ketika Tuhan melakukan karya baik apapun dalam diri kita atau melalui kita, sembunyikanlah, jika mungkin, mengingat kehinaan kita, dan jika ini tak dapat dilakukan, serahkanlah kepada Kerahiman Ilahi, dan demi kebaikan yang lain. Betapa bahagia ia yang mencapai kerendahan hati ini! dan ia yang tak dapat mencapainya, dukacita akan senantiasa menyertainya. ~ St Vincentius de Paul
10. Hendaknya kita senantiasa menganggap yang lain sebagai superior kita dan mengalah kepada mereka, bahkan meski mereka adalah bawahan kita, dengan menyampaikan kepada mereka segala macam penghormatan dan pelayanan. Oh, betapa merupakan suatu hal yang indah, andai itu menyenangkan Allah dalam meneguhkan kita dalam praktek yang demikian. ~ St Vincentius de Paul
11. Tuhan kita bersabda bahwa barangsiapa hendak menjadi yang terbesar dari semua haruslah menjadikan dirinya yang terkecil dari semua. Inilah kebenaran yang diyakini semua umat Kristiani; jadi, bagaimana bisa terjadi bahwa begitu sedikit orang yang mengamalkannya? ~ St Vincentius de Paul.
12. Jangan percaya bahwa engkau telah mengalami kemajuan dalam kesempurnaan terkecuali engkau menganggap diri sebagai yang paling hina dari semua, dan menghendaki semua lebih dipilih dari engkau; sebab inilah tanda dari mereka yang besar di mata Allah, yakni menjadi kecil dalam pandangan mereka sendiri; dan semakin mulia mereka dalam pandangan Allah, semakin hina mereka tampak dalam pandangan mereka sendiri. ~ St Teresa
13. Apabila seorang amat luar biasa dalam keutamaan, dan sungguh besar di hadapan Allah, dan dikasihi dan berkenan kepada-Nya, namun dengan semua ini tetap kecil dan hina ddalam pandangannya sendiri - inilah kerendahan hati yang begitu dihargai oleh Allah dan begitu jarang ada di antara manusia, yang didapati nyaris sempurna dalam Santa Perawan, yang, saat mendengar dirinya dipilih menjadi Bunda Allah, mengakui diri sebagai pelayan dan hamba. ~ St Bernardus
St Maria Magdalena de'Pazzi adalah seorang teladan mengagumkan dalam hal ini. Kendati telah mencapai tingkat kesempurnaan dan kekudusan yang tinggi dan melihat dirinya diperkaya oleh Allah dengan rahmat-rahmat dan anugerah-anugerah luar biasa, bahkan hingga kuasa mengadakan mukjizat-mukjizat; namun dengan semua ini, ia memandang diri begitu rendah dan menganggap diri begitu malang hingga mencengangkan mereka yang mengenalnya. Ini diperlihatkan dengan jelas dalam sebuah ektasi, di mana Tuhan menunjukkan kepadanya kekuatan dan keutamaan yang Ia rancangkan untuk diberikan kepadanya demi menghadapi pencobaan-pencobaan dahsyat yang harus ditanggungnya dari iblis, dan ia menyerukan kata-kata ini: Betapa membingungkanku! bahwa atas makhluk yang paling rendah dan paling hina di atas bumi, seperti aku, Engkau berkehendak menganugerahkan kelimpahan harta pusaka dari kemurahan dan kerahiman-Mu!”
Ketika St Teresa merenungkan karunia-karunia yang ia terima dari Allah dengan begitu melimpah, ia semakin merendahkan diri karenanya, mengatakan bahwa Tuhan menopang kelemahannya yang hebat dengan cara itu, dan bahwa topangan-topangan ini membuktikan betapa hebat kecondongannya untuk jatuh, bagai sebuah rumah yang berderak-derak, ditopang oleh tiang-tiang yang menyangganya.
14. Berpuas diri dengan sia-sia dan ingin memamerkannya untuk diperbincangkan, membuat perilaku kita dipuji, dan senang mendengar orang mengatakan bahwa kita berhasil gemilang dan melakukan hal-hal yang mengagumkan - ini adalah suatu kejahatan yang membuat kita melupakan Allah, yang mencemari perbuatan-perbuatan kita yang paling luhur, dan, dari segala kebisaan buruk, yang paling membahayakan dalam perkembangan kehidupan rohani. ~ St Vincentius de Paul
Seorang Fransiskan yang termasyhur, Broeder Justin, menggabungkan diri dalam Ordo St Fransiskus setelah menolak kemuliaan dan jabatan paling terhormat yang ditawarkan Raja Hungaria kepadanya. Selanjutnya ia maju begitu pesat dalam agama, hingga ia kerap mengalami ekstasi. Suatu hari, sementara sedang bersantap malam di ruang makan biara, ia diangkat ke udara dan diangkat mengatasi kepala para religius, untuk berdoa di depan sebuah lukisan Santa Perawan yang dilukis tinggi di atas tembok. Oleh karena perkara yang menakjubkan ini, Paus Eugenius IV memanggilnya dan memeluknya, tak membiarkan sang biarawan mencium kaki beliau; dan lalu, setelah memberinya tempat duduk di sampingnya, bapa suci berbincang-bincang panjang lebar dengannya, dan memberinya banyak hadiah dan indulgensi. Hal ini menjadikannya seorang yang sia-sia, dan pada waktu ia kembali, St Yohanes Capestrano yang bertemu dengannya mengatakan: “Betapa malang! Engkau pergi sebagai seorang malaikat, dan engkau pulang sebagai seorang iblis!” Sesungguhnya, semakin hari ia semakin sombong; ia membunuh seorang biarawan dengan sebilah pisau. Setelah melewatkan beberapa waktu lamanya dalam penjara, ia melarikan diri ke Kerajaan Naples, di mana ia melakukan banyak kejahatan, dan akhirnya mati dalam penjara.
15. Apakah, ya Allah-ku, yang kami harap peroleh dengan tampil sempurna di hadapan makhluk ciptaan, dan dengan menyenangkan hati mereka? Apakah masalahnya bagi kami jika kami dipersalahkan oleh mereka, dan dianggap tak berguna, asal saja kami luhur dan tak bercela di hadapan-Mu? Ah, kami tiada pernah sepenuhnya memahami kebenaran ini, dan karenanya kami tak pernah berhasil berdiri di puncak kesempurnaan! Para kudus tak memiliki kesukaan yang terlebih besar dari hidup tanpa dikenal dan dihinakan. ~ St. Bernardus
16. Apabila kalian melihat seseorang yang ingin dihargai dan dihormati dan menghindari kehinaan, dan yang, ketika ditentang atau diabaikan, menunjukkan amarah dan menjadi jengkel, kalian dapat yakin bahwa orang itu, meski ia mengadakan mukjizat-mukjizat, sangatlah jauh dari kesempurnaan, sebab segala keutamaannya adalah tanpa dasar. ~ St Thomas Aquinas
Suatu ketika St Klara mengatakan: “Andai aku mendapati diriku dihormati oleh seluruh dunia, hal itu tak akan membangkitkan dalam diriku secercah pun kesia-siaan; dan andai aku mendapati diriku dihinakan dan direndahkan oleh seluruh dunia, aku tak akan merasa terganggu sedikitpun.” St Filipus Neri tidak pernah tampak bersedih ataupun jengkel atas setiap celaan ataupun hinaan yang ia terima. Ini merupakan suatu perilaku yang begitu nyata dan begitu dikenal baik di antara rekan-rekannya, hingga mereka biasa mengatakan, “Apapun dapat dikatakan kepada Pater Filipus, sebab tidak ada satupun akan pernah dapat menjengkelkannya.” Ketika pada suatu hari dilaporkan kepadanya bahwa beberapa orang menyebutnya si tua dungu, ia tertawa dan amat gembira mendengarnya.
St Antonius, mendengar bahwa seorang biarawan sangat dipuji-puji, memperlakukannya dengan sikap merendahkan; dan ketika dilihat oleh orang kudus kita ini bahwa sang biarawan menjadi jengkel, ia mengatakan: “Orang ini seperti sebuah istana, indah dan megah dari luar, tetapi di dalamnya dijarah para penyamun.”
17. Aku dihinakan dan dicemooh, dan aku marah karenanya; demikian jugalah burung merak dan kera. Aku dihinakan dan dicemooh, dan aku bersukacita karenanya; demikianlah yang dilakukan para Rasul. Inilah tingkat tertinggi kerendahan hati: senang dihinakan dan direndahkan - sebagaimana benak yang sia-sia senang akan kehormatan - dan menemukan derita dalam tanda-tanda kehormatan dan kemuliaan - sebagaimana mereka menemukan derita dalam penghinaan dan cemooh. ~ St Fransiskus de Sales
St Konstantius, ketika telah menerima tahbisan rendah, melayani di sebuah gereja dekat Ancona, di mana ia tinggal begitu jauh terpisah dari dunia. Reputasi kekudusannya tersebar luas, dan orang datang dari berbagai negeri untuk bertemu dengannya. Di antara mereka, datanglah seorang petani. Orang kudus ini sedang berdiri di atas sebuah tangga, memasang lampu-lampu hias; tetapi sebab perawakannya yang kecil dan rapuh, sang petani, saat melihatnya, merasa menyesal telah menempuh perjalanan jauh, sebab tampaknya orang kudus ini tak ada apa-apanya, dan ia memperoloknya dalam hati dengan berkata kepada dirinya sendiri, tetapi cukup keras: “Aku pikir ia seorang besar; tetapi dari yang dapat aku lihat, ia bahkan tak berbentuk seperti seorang manusia.” Mendengar ini, Konstantius segera meninggalkan lampu-lampunya, bergegas turun dengan gembira, berlari menyongsong orang dusun ini dan memeluknya, seraya berkata, “Engkau seorang, dari begitu banyak orang, yang memiliki mata yang terbuka lebar dan dapat mengenaliku sebagaimana adanya.”
18. Sungguh, kita patut malu karena menjadi marah akan apa-apa yang dikatakan atau dilakukan menentang kita; sebab adalah aib terbesar di dunia melihat bahwa Pencipta kita menanggung begitu banyak penghinaan dari makhluk ciptaan-Nya, dan bahwa kita marah karena bahkan sepatah kata remeh melawan kita. Marilah jiwa-jiwa kontemplatif, secara istimewa, memperhatikan bahwa jika jiwa-jiwa tidak mendapati diri cukup memiliki ketetapan hati untuk mengampuni luka atau penghinaan apapun yang mungkin ditimpakan atas mereka, mereka tak dapat terlalu mengandalkan doa-doa mereka. Sebab jiwa yang Allah sungguh persatukan dengan DiriNya dengan metode doa yang begitu luhur, tiada merasakan hal-hal yang demikian, dan tak lagi peduli apakah ia dihargai atau tidak, atau apakah ia diperbincangkan orang mengenai yang baik atau buruk; malahan kehormatan dan ketenangan memberinya lebih banyak penderitaan daripada penghinaan dan pencobaan. ~ St Teresa
Apabila St Fransiskus de Sales melihat bahwa teman-temannya memperlihatkan rasa tidak senang akan fitnah orang-orang yang berbicara buruk mengenainya, ia akan berkata kepada mereka, “Apakah aku pernah memberi kalian wewenang untuk menunjukkan amarah atas namaku? Biarlah mereka berbicara! Inilah salib perkataan, pencobaan kabar burung, yang ingatan mengenainya akan lenyap bersama angin! Pastilah seorang yang teramat mudah tersinggung, yang tak dapat menanggung dengungan seekor lalat. Apakah baik bagi kita untuk berpura-pura tanpa cela? Sering kita menyebut sesuatu sebagai jahat, sebab tidak sesuai dengan selera kita. Apalah yang terluka jika seorang memiliki pendapat buruk mengenai kita, sebab sepatutnya kita mempunyai pendapat yang sama mengenai diri kita sendiri?”
19. Barangsiapa rendah hati, apabila dihinakan ia semakin merendahkan diri; apabila ditolak ia bersukacita dalam kehinaan; apabila ditempatkan pada pekerjaan yang rendah dan kasar, ia mengakui diri sebagai telah lebih dihormati dari yang sepatutnya dan melakukan pekerjaan-pekerjaannya dengan senang hati; ia hanya tidak menyukai serta menghindari jabatan-jabatan yang tinggi dan terhormat. ~ St Jane Frances de Chantal
Seorang Jansenist, yang telah berupaya menanamkan doktrin-doktrinnya yang salah kepada St Vincentius de Paul, pada akhirnya menjadi murka karena kegagalannya dan mencecar orang kudus kita dengan makian, di antaranya dengan mengatakan bahwa orang kudus kita ini adalah seorang yang bodoh dan sang Jansenist heran bahwa Kongregasi St Vincentius dapat tahan memiliki seorang Superior Jenderal yang demikian. Perkataan ini dijawab St Vincentius, “Aku sendiri terlebih lagi heran mengenainya, sebab aku terlebih bodoh dari yang dapat mungkin engkau bayangkan.”
St Maria Magdalena de' Pazzi secara sukarela menyibukkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan berat; semakin rendah dan kasar pekerjaan-pekerjaan itu, semakin senang dan siap sedia ia melakukannya. Hal yang sama dilakukan pula oleh St Aloysius Gonzaga.
20. Para misionaris hendaknya bersukacita dianggap miskin dalam bakat, talenta dan keutamaan, sebagai sampah dan sampar dunia. Hendaknyalah mereka bergembira bilamana beroleh kesempatan dihinakan dan dilecehkan, meski itu bukan bagi mereka sendiri saja, melainkan juga demi perkembangan kongregasi. Dan dengan ujian ini mereka akan dapat mengetahui kemajuan apa yang telah mereka capai dalam kerendahan hati. ~ St Vincentius de Paul
21. Menanggung hinaan dan celaan merupakan ujian bagi kerendahan hati, dan, pada saat yang sama, bagi keutamaan sejati. Sebab dengan ini orang menjadi diselaraskan dengan Yesus Kristus, yang adalah teladan sejati dari segala keutamaan yang kokoh. ~ St Fransiskus de Sales
Beato Serafino, seorang broeder Kapusin, penjaga pintu gerbang, biasa melewatkan banyak waktu dalam doa di sebuah kapel kecil di taman, seberang gerbang. Suatu hari Pater Guardian, yang sedang menuju ke sana bersama seorang Pater tamu, mengatakan kepada tamunya itu, “Apakah engkau ingin melihat soerang kudus?” Kemudian, setibanya di kapel, ia mencela Serafino dengan tajam, “Apa yang kau lakukan di sini, hai munafik? Tuhan mengajarkan kepada kita untuk berdoa dalam kamar dengan pintu-pintu tertutup, dan engkau berdoa di depan umum agar dilihat orang? Bangun, tengik, dan tahu malulah telah menipu orang-orang malang dengan cara demikian!” Gembira dengan celaan ini, Broeder Serafino mencium tanah dan lalu pergi dengan wajah penuh kepuasan seolah ia baru saja mendengar berita yang amat menggembirakan atau sangat baik baginya. Suatu hari lain, ia dimintai sebatang jarum dan sehelai benang oleh seorang rekan. Serafino menjawab bahwa ada padanya jarum, tetapi ia tak mempunyai benang; rekannya itu berkata dengan marah, “Jelaslah bahwa kau seorang bodoh dan tak pernah berguna untuk apapun! Apalah yang dapat dilakukan Ordo dengan seorang yang begitu canggung sepertimu? Pergilah, sebab aku tak tahan melihatmu!” Lalu, tanpa marah ataupun jengkel sedikitpun, ia berpaling dari biarawan yang baru saja memakinya, dan sekejap ia kembali dengan wajahnya yang biasa yang menunjukkan kedamaian, yang sungguh merupakan suatu teladan bagi rekan-rekan religiusnya.
22. Andai kita merenungkan dengan baik segala yang manusiawi dan tak sempurna dalam diri kita, maka kita akan mendapati begitu manyak alasan untuk merendahkan diri kita di hadapan Allah dan manusia, bahkan di hadapan orang-orang yang lebih rendah dari kita. ~ St Vincentius de Paul
Venerabilis Moeder Seraphina di Dio suatu hari mendapat anugerah pencerahan rohani yang sangat jelas yang memungkinkannya melihat jiwanya dipenuhi begitu banyak kesalahan-kesalahan yang mengerikan hingga jiwanya tampak bagai sebuah wadah dari segala kecemaran; dan ia menilai pastilah keadaan jiwanya itu lebih buruk dalam kenyataannya; sebab ia mengetakan, “Andai aku beroleh pencerahan yang lebih, aku akan dapat melihat lebih banyak.” “Sering terlintas dalam benakku,” tambahnya, “untuk undur diri dalam ke sebuah gua, ketika aku pikir betapa sedikit aku telah melatih diri dalam keutamaan; mengenai kerendahan hati, khususnya, aku tampak di hadapan diriku sendiri bagai Lucifer. Agama adalah indah bagi mereka yang mengamalkan keutamaan, tetapi tidak untukku, yang menanam hanya kejahatan.” Sebab itu, apabila ia menerima hinaan dan celaan, ia tiada pernah merasa terganggu, ataupun mengeluh, melainkan mengatakan, “Mereka berkata benar; mereka berlaku benar; itu memang benar pantas bagiku.” Pun tiada kemalangan ataupun pencobaan di sepanjang hidupnya pernah cukup untuk membuatnya mengubah perasaannya.
23. Menurut pendapatku, kita tiada pernah mencapai kerendahan hati sejati terkecuali jika kita mengangkat mata untuk melihat Allah. Memandang kebesaran-Nya, jiwa melihat lebih baik ketiadaannya sendiri; memandang kemurnian-Nya, jiwa semakin sadar akan ketidaktahirannya sendiri; memikirkan kesabaran-Nya, jiwa merasa betapa jauh ia dari kesabaran; akhirnya, mengarahkan pandangannya kepada kesempurnaan Ilahi, jiwa mendapati dalam dirinya sendiri begitu banyak ketidaksempurnaan hingga ia lebih suka menutup mata terhadapnya. ~ St Teresa
24. Barangsiapa rindu menjadi seorang kudus sejati sepatutnya, terkecuali dalam perkara-perkara luar biasa, tidak berusaha membenarkan diri, meski untuk itu ia dipersalahkan sebagai tidak benar. Yesus Kristus bertindak demikian. Ia mendengar DiriNya didakwa dengan kejahatan yang tidak Ia lakukan, namun Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun demi membebaskan DiriNya dari aib. ~ St Filipus Neri
St Vincentius de Paul tak pernah membenarkan diri dalam menghadapi keluhan dan fitnah yang ditimpakan atasnya dan atas kongregasinya, betapapun masalah atau kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Katanya, “Kita akan biarkan dia berbicara. Dari pihakku, aku tak akan pernah membenarkan diriku sendiri terkecuali dengan pekerjaan-pekerjaanku.”
25. Terkadang suatu jiwa lebih berkembang menuju kesempurnaan dengan tidak berusaha membenarkan diri. Sebab dengan sarana ini ia mulai memperolah kebebasan, dan ketakacuhan terhadap apa yang baik atau buruk yang mungkin dikatakan orang. Di samping itu, dengan kebiasaan tidak menyanggah, ia tiba pada tingkat yang demikian hingga apabila ia mendengar sesuatu dikatakan mengenai dirinya; seolah hal itu tak ada sangkut-paut dengan dirinya, melainkan lebih serupa masalah orang lain. ~ St Teresa
26. Inilah salah satu sarana terbaik untuk mencapai kerendahan hati: camkan baik-baik nasehat ini dalam benakmu: Manusia sebagaimana ia apa adanya di hadapan Allah, dan tidak lebih. ~ Thomas a Kempis
27. Mereka semua yang sungguh rindu untuk memiliki kerendahan hati telah mengerahkan diri mereka sendiri dengan segenap kekuatan untuk mengamalkan kerendahan hati, sebab mereka tahu inilah jalah tercepat dan terpendek ke sana. ~ St Bernardus
Beato Alessandro Sauli, Uskup Aleria, seorang yang terpelajar dan terhormat dalam Ordonya. Ia dengan suka hati menyibukkan diri, meski ia adalah seorang Superior, dalam pekerjaan-pekerjaan kasar seperti menyapu lantai, mencuci piring, menimba air, membawa kayu ke dapur, bekerja di kebun, melayani mereka yang lanjut usia dan sakit, memanggul beban-beban berat di punggungnya, menjaga pintu, membunyikan lonceng, ataupun membantu koster. Apabila, karena harus menyampaikan khotbah atau melakukan karya-karya rohani yang lain, ia terkadang terhalang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari ini, ia biasa menggantinya dengan bekerja dua kali lipat keesokan harinya.
St Yohanes Klimaks bercerita tentang seorang biarawan yang sangat mencintai kerendahan hati, hingga biarawan itu menyusun rancangan ini guna mengatasi pemikiran-penikiran kesombongan yang diilhamkan iblis kepadanya. Ia menulis di tembok biliknya kata-kata kencana ini: Cinta kasih yang sempurna. Kontemplasi tertinggi. Matiraga total. Kemanisan tetap. Kesabaran yang tak tertaklukkan. Kemurnian malaikat. Kerendahan hati terdalam. Kepercayaan seorang anak. Kerajinan yang tanpa menunda. Istirahat total. Jadi, ketika iblis mulai mendorongnya pada kesombongan, ia menjawab dalam hati: “Mari kita coba ujian ini.” Lalu, menghampiri tembok, ia membaca kata-kata kencana ini: Cinta kasih yang sempurna. Cinta kasih, ya, tetapi seberapa sempurna, jika aku mengatakan yang jahat mengenai orang lain? Kerendahan hati terdalam. Ini tak aku miliki, cukuplah jika aku menuntut kerendahan hati yang dalam. Kemurnian malaikat. Bagaimanakah ini kumiliki, jika aku membiarkan pikiran-pikiran yang tak murni masuk? Kontemplasi tertinggi. Tidak, aku mengalami banyak distraksi. Matiraga total. Tidak, sebab aku mencari kepuasan diri. Kemanisan tetap. Tidak, sebab karena hal menjengkelkan yang paling remeh aku kehilangan penguasaan diri.” Dan demikianlah dengan semua yang lain. Dengan cara ini ia mengenyahkan pencobaan pada kesia-siaan.
28. Kerendahan hati, sejatinya, haruslah selalu disertai dengan cinta kasih; yakni mencintai, mencari dan menerima hinaan agar berkenan di hadapan Allah, dan menjadi lebih serupa dengan Yesus Kristus; melakukan yang sebaliknya, berarti mengamalkannya seturut perilaku orang-orang kafir. ~ St Fransiskus de Sales
St Hieronimus menceritakan kisah St Paula ketika santa ini mendengar orang mengatakan bahwa ia telah menjadi seorang tolol karena kebanyakan semangat rohani dan bahwa adalah baik jika sebuah lubang dibuat di kepalanya guna memberi ruang udara pada otaknya. St Paula dengan bersahaja menjawab dalam kata-kata Rasul, “Nos stulti propter Christum” - Kita ini orang-orang tolol demi Kristus. Ia menambahkan juga bahwa hal yang sama terjadi pada Yesus Kristus, ketika sanak saudara-Nya hendak mengurung-Nya sebagai seorang gila. St Hieronimus juga mengatakan bahwa apabila St Paula menerima hinaan, celaan, ataupun aib, ia tiada pernah membiarkan kata-kata amarah yang paling remeh sekalipun terluncur dari bibirnya, melainkan dalam perkara-perkara yang demikian ia biasa mengulang bagi dirinya sendiri kata-kata pemazmur: Ego autem quasi surdus non audiebam, et quasi mutus, non aperiens os suum - Tetapi aku ini seperti orang tuli, aku tidak mendengar, seperti orang bisu yang tidak membuka mulutnya.
sumber : “Catholic Virtues: Humility”; www.catholictradition.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net atas ijin Catholic Tradition.”
|