Catatan dari Suatu Jiwa di Neraka
"Nihil obstat" diberikan oleh Vikaris Roma, dan "Imprimatur" oleh Vikaris Paus Roma menjamin teks berikut bebas dari kesalahan doktrin.
Claire dan Annette adalah dua orang gadis yang bekerja untuk sebuah perusahaan di Jerman selatan. Mereka bukan teman dekat, tapi sekedar saling bertegur sapa satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Meski demikian, bekerja seperti yang mereka lakukan, bersama setiap hari, secara alamiah mereka berkesempatan untuk bertukar pandangan mengenai hidup, dll. Claire mengaku secara terbuka bahwa dia adalah seorang Kristiani dan dia menganggap adalah kewajibannya untuk mengajar rekannya dan bermurah hati meluruskan jalannya apabila temannya itu menyepelekan masalah-masalah agama. Demikianlah mereka menghabiskan waktu bersama-sama hingga Annette menikah dan berhenti bekerja untuk pergi dan tinggal di tempat lain. Itu terjadi pada tahun 1937.
Pada musim gugur tahun yang sama Claire tengah melewatkan liburan di Danau Garda ketika, menjelang pertengahan September, ia menerima sepucuk surat dari ibunya. "Annette … telah meninggal. Ia menjadi korban tewas dalam suatu kecelakaan mobil dan dimakamkan kemarin." Claire ngeri sebab ia tahu temannya itu bukan seorang yang religius. Adakah ia siap untuk menghadirkan diri di hadapan Allah? Bagaimanakah keadaan jiwanya di saat kematiannya yang mendadak?
Jangan Berdoa Untukku
Keesokan paginya Claire ikut ambil bagian dalam Misa, mempersembahkan Komuni Kudus-nya bagi temannya yang malang itu dan berdoa khusuk bagi jiwanya. Tepat malam itu, sepuluh menit lewat tengah malam, terjadi penglihatan berikut.
"Claire," kata Annette, "Jangan berdoa untukku. Aku binasa. Aku datang untuk memberitahukan itu kepadamu dan berbicara panjang lebar mengenainya, tetapi jangan berpikir aku melakukannya demi persahabatan. Kami yang ada di sini, di tempat ini, tak lagi mengasihi siapa pun. Aku melakukan ini sebab aku dipaksa. Aku bertindak sekarang sebagai 'bagian dari kuasa itu yang selalu menghendaki yang jahat, meski begitu melakukan yang baik.' Sejujurnya aku ingin kau juga dicampakkan ke dalam tempat ini di mana aku melewatkan keabadian. Jangan terkejut bahwa aku mengatakan itu. Di sini kami semua berpikiran demikian. Kehendak kami secara tak terpungkiri terarah kepada yang jahat, setidaknya apa yang kau sebut 'jahat.' Bahkan jika kami melakukan sesuatu yang baik, seperti apa yang kulakukan sekarang dengan membiarkanmu tahu apa yang terjadi di neraka, kami tak pernah melakukannya dengan suatu niat baik.
Ingatkah kau ketika kita bertemu empat tahun yang lalu di Jerman selatan? Kau duapuluh tiga, dan kau sudah ada di sana enam bulan ketika aku datang. Sebab aku pendatang baru, terkadang kau membantuku keluar dari kesulitan, dan kau mengenalkanku kepada orang-orang baik, apa pun artinya 'baik'. Aku biasa memujimu karena 'kasihmu kepada sesama'. Betapa menggelikan! Ternyata kebaikanmu sekedar bukan apa-apa; sesungguhnya aku sudah mulai menaruh banyak curiga. Di sini kami tidak mengenal kebaikan dalam diri siapapun.
Dosa Orangtua
Kau sedikit banyak tahu tentang awal kehidupanku, jadi sekarang akan kuceritakan kepadamu kelanjutannya. Menurut rencana orangtuaku, aku seharusnya tidak pernah dilahirkan. Mereka merasa kelahiranku memalukan. Saudari-saudariku sudah berumur empatbelas dan limabelas tahun ketika aku muncul! Oh, andai saja aku tidak pernah dilahirkan! Mengapakah aku tak dapat lenyap dari keberadaanku sekarang dan terlepas dari siksaan-siksaan ini? Tiada yang lebih menyenangkan dari dapat mengecilkan diriku menjadi debu, seperti lapisan abu yang diserakkan angin! Tapi aku harus terus ada. Aku harus ada seperti ini, seperti cara aku sendiri menjadikannya, suatu keberadaan yang aku binasakan!
Ayah dan ibuku masih muda ketika mereka meninggalkan desa untuk pergi dan tinggal di kota, tetapi keduanya sudah berhenti pergi ke gereja, dan hal yang baik juga! Mereka bergaul dengan orang-orang lain yang tidak pergi ke gereja. Mereka pertama kali bertemu di pesta dansa, dan di penghujung bulan keenam mereka 'harus menikah.' Sebagai dampak dari upacara perkawinan, cukup banyak air suci yang tinggal dalam diri mereka hingga membuat ibuku ikut ambil bagian dalam Misa Minggu mungkin dua kali dalam setahun. Dia tidak pernah sungguh mengajariku berdoa. Satu-satunya hal yang menarik bagi ibuku adalah tugas kewajiban materiil sehari-hari yang harus dilakukan, meski kami tak perlu khawatir mengenai uang. Kata-kata - 'berdoa', 'Misa', 'pelajaran agama', 'Gereja' - aku dapati sebagai tak terbilang memuakkan. Aku benci itu semua. Aku benci orang-orang yang pergi ke Gereja. Sesungguhnya, untuk urusan itu, aku benci semua orang dan segala sesuatu.
Semuanya adalah Sumber Kesakitan
Faktanya adalah bahwa semuanya merupakan sumber kesakitan bagi kami. Semua yang kami ketahui sebelum kematian kami, setiap kenangan akan hal-hal yang kami lihat atau ketahui adalah bagaikan api yang keji. Dan dalam setiap kenangan ini kami melihat rahmat-rahmat yang ditawarkan kepada kami, rahmat-rahmat yang kami tolak. Oh betapa sakitnya! Kami tidak makan, kami tidak tidur, kami tak dapat berjalan tegak. Kami secara rohani terbelenggu, dan kami melihat dengan ngeri, dengan 'ratap tangis dan kertak gigi', di atas puing reruntuhan hidup kami. Apa yang tersisa bagi kami hanyalah kebencian dan siksaan; mengertikah kau? Di sini kami mereguk kebencian bagai air, bahkan di antara kami sendiri. Di atas segalanya, kami membenci Allah, dan akan aku katakan mengapa. Kaum terpilih, di surga, tak bisa tidak mencintai-Nya, sebab mereka melihat-Nya tanpa selubung dalam segala keindahan-Nya yang mempesona. Itu mendatangkan bagi mereka kebahagiaan yang tak terlukiskan. Kami tahu itu dan pengetahuan ini menghantar kami pada angkara murka. Di bumi, orang-orang yang mengenal Allah melalui ciptaan dan Wahyu bisa mengasihi-Nya, tetapi mereka tak harus mengasihi-Nya. Orang percaya - dan itu membuatku mengertakkan gigi menyebutnya demikian - orang percaya yang dalam meditasinya merenungkan Kristus dengan tangan-tangan-Nya terentang di Salib akan berakhir mengasihi-Nya. Tetapi orang yang baginya kedatangan Allah adalah bagaikan badai, Seorang Penghukum, seorang Pembalas yang Benar; orang yang ditolak Allah sbagaimana yang Ia lakukan kepada kami, orang itu hanya bisa membenci-Nya sepanjang kekekalan masa dengan segala daya dengkinya. Ya, membenci Dia, dengan segenap kekuatan dari keputusan yang dibuat secara bebas untuk memisahkan diri dari-Nya. Kami membuat keputusan itu dalam satu hembusan napas ajal. Bahkan sekarang kami tak hendak mengubahnya, pula tak pernah kami berharap melakukannya. Mengertikah kau sekarang mengapa neraka itu kekal? Karena kedegilan kami akan bertahan untuk selamanya.
Sebab aku dipaksa, aku harus menambahkan bahwa Allah itu Maharahim, bahkan kepada kami. Aku katakan 'terpaksa' karena, meski aku bertanggung jawab atas apa yang aku katakan kepadamu, tetap saja aku tidak diperbolehkan berbohong, seperti yang aku kehendaki. Aku mengatakan kepadamu banyak hal yang bertentangan dengan kehendakku, dan aku harus menelan kembali banjir manipulasi yang ingin aku luahkan. Allah itu Maharahim dengan tidak memberi kami kesempatan untuk melakukan segala kejahatan yang dikehendaki niat jahat kami. Andai kami melakukannya, itu akan menambah berat kesalahan kami dan dengan demikian hukuman kami. Sesungguhnya, Allah entah menyebabkan kami mati muda, seperti aku, atau Ia mendatangkan suatu keadaan khusus lainnya yang lebih ringan. Bahkan sekarang Ia memperlihatkan kerahiman-Nya kepada kami dengan tidak membuat kami datang lebih dekat kepada-Nya selain di sini, di tempat yang jauh di neraka. Itu mengurangi siksaan kami. Setiap langkah mendekat kepada Allah akan mengakibatkan kesakitan yang lebih hebat dibandingkan yang akan kau rasakan apabila berjalan mendekati tungku panas membara. Kau terkejut dulu ketika kita keluar berjalan-jalan dan aku ceritakan kepadamu bahwa beberapa hari sebelum Komuni Pertama-ku ayahku mengatakan kepadaku, 'Sayangku Annette, kenakanlah gaun yang cantik. Sedangkan semua yang lainnya hanyalah lelucon." Karena kau shock, aku nyaris merasa malu. Sekarang semuanya tampak menggelikan.
Marah pada Keputusan Paus St Pius X yang Menurunkan Usia Penerima Komuni Pertama
Satu-satunya hal yang menjadi point mengenai segala masalah ini adalah bahwa anak-anak tidak diperkenankan menyambut Komuni sebelum berusia duabelas tahun. Nah, pada usia itu aku sudah tergila-gila pada kesenangan duniawi, jadi aku sama sekali tak peduli bahwa aku tidak memberikan perhatian pada agama secara serius dan aku tidak menganggap penting Komuni Pertama-ku. Sungguh membangkitkan murka kami apabila kami melihat sekarang banyak anak-anak berusia tujuh tahun menyambut Komuni, dan kami berupaya semaksimal mungkin demi membujuk orang bahwa pada usia itu daya akal budi mereka belum cukup berkembang. Mereka harus punya waktu untuk melakukan sedikit dosa berat. Maka lempengan putih itu tak akan mengakibatkan begitu banyak kerusakan andai saja jiwa mereka masih hidup dalam iman, harapan, dan kasih - huh! pemikiran apa itu - yang mereka terima pada saat pembaptisan. Jika kau ingat, aku sudah berpikir tentang itu semasa aku di bumi.
Aku sudah menyinggung soal ayahku. Dia biasa bertengkar dengan ibuku. Aku tidak bicara banyak kepadamu mengenainya sebab aku malu. Betapa menggelikan, malu akan sesuatu yang jahat!! Semuanya sama saja bagi kami di tempat ini. Orangtuaku bahkan tak lagi tidur di kamar yang sama. Aku sekamar dengan ibuku, dan ayahku di kamar sebelah, sehingga dia bisa pulang selarut yang dia suka. Dia biasa banyak minum, dan dia menghamburkan semua uang kami untuk alkohol. Kedua saudariku pergi bekerja sebab mereka mengatakan mereka butuh uang, dan ibuku bekerja juga agar dapat membawa sesuatu pula. Setahun menjelang akhir hidupnya ayahku kerap memukuli ibuku apabila ibu tak menyerahkan uang kepadanya. Sebaliknya, ia selalu baik kepadaku. Suatu hari, - aku katakan kepadamu tentang hal ini, dan kau kaget akan keplin-plananku (mengenai itu, adakah sesuatu mengenaiku yang tidak mengejutkanmu)? - bagaimanapun, suatu hari ayahku membelikanku sepasang sepatu, dan aku membuatnya bolak-balik setidaknya dua kali sebab mode dan hak sepatunya kurang up-to-date untukku.
Insiden di Kematian Ayah
Pada malam ayah terserang stroke yang merenggut nyawanya, sesuatu terjadi padaku yang tak berani aku katakan kepadamu takut kalau-kalau kau menyalahartikannya. Tapi sekarang kau tahu mengenainya. Ini penting karena pada saat itulah aku pertama kali diserang oleh roh yang menyiksaku sekarang. Aku sedang tidur di kamar bersama ibuku. Aku tahu dari irama napasnya yang dalam bahwa ibu tengah tidur nyenyak. Sekonyong-konyong aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suara yang tidak aku kenal mengatakan, 'Apakah yang akan terjadi jika ayahmu meninggal?' Karena dia telah memperlakukan ibuku dengan begitu buruk, aku telah berhenti mencintai ayahku - sesungguhnya sejak saat itu aku tidak mencintai siapa pun lagi. Aku hanya suka akan beberapa orang yang peduli padaku. Kasih sejati, kasih yang tak mengharapkan imbalan apapun, yang ada hanya dalam jiwa-jiwa yang dalam keadaan rahmat, dan jiwaku tentu saja tidak. Aku tidak tahu siapa yang mengajukan pertanyaan aneh ini, jadi aku hanya berkata, 'Tapi dia tidak akan meninggal!' Ada keheningan sesaat, lalu aku mendengar pertanyaan yang sama. Lagi, aku tersentak, 'Dia tidak akan meninggal!!' Ada keheningan. Kemudian ketiga kalinya suara itu bertanya, 'Apakah yang akan terjadi jika ayahmu meninggal?' Aku mulai berpikir akan bagaimana ayahku sering pulang dalam keadaan mabuk, berteriak-teriak kepada ibu dan memukulinya. Aku ingat bagaimana dia mempermalukan kami di hadapan para teman dan tetangga. Aku marah dan tanpa pikir panjang berkata, 'Itu akan menjadi kesialannya!' Sesudah itu ada keheningan.
Di pagi hari, ketika ibuku hendak masuk dan membereskan kamar ayahku, ia mendapati pintu dalam keadaan terkunci. Sekitar tengah hari mereka membuka paksa pintu dan mendapati tubuh ayahku tergeletak dalam keadaan setengah telanjang di tempat tidur. Dia pastilah mengalami semacam kecelakaan saat hendak mengambil bir dari gudang bawah tanah, dan dia telah dalam kesehatan yang buruk untuk waktu yang lama.
Kau dan Martha membujukku untuk menggabungkan diri dengan asosiasi kaum muda. Aku tak pernah menyembunyikan fakta bahwa aku menganggap ceramah-ceramah yang diberikan oleh penyelenggara sebagai berwawasan cukup sempit, tapi aku suka permainan-permainannya. Seperti kau tahu, aku langsung menjadi salah satu dari para pemimpin, yang adalah ciri khasku. Aku suka acara wisata juga. Aku bahkan melangkah sejauh pergi menyambut Pengakuan Dosa dan Komuni kadang-kadang,
meski tak ada yang harus aku akukan. Aku tak menganggap pikiran dan perkataan sebagai hal yang penting, dan pada saat itu aku tidak cukup rusak untuk sungguh melakukan tindakan-tindakan amoral.
Tidak Berdoa
Suatu kali kau memperingatkanku, 'Annette, jika kau tak lagi berdoa, kau menuju neraka.' Baik, kau benar ketika kau mengatakan bahwa aku tidak banyak berdoa, dan apabila aku melakukannya aku melakukannya sambil lalu. Kau benar semuanya. Semua yang sekarang terbakar di neraka adalah orang-orang yang tidak berdoa, atau tidak cukup berdoa. Doa adalah langkah pertama menuju Allah, dan adalah selalu langkah yang menentukan, teristimewa doa kepada dia yang adalah Bunda Kristus, dan yang Namanya tiada pernah kami bicarakan. Tak terhitung banyaknya jiwa yang lolos dari cengkeraman Iblis karena semangat doa, jiwa-jiwa yang seharusnya jatuh ke dalam cengkeraman tangan iblis sebagai akibat dosa. Mengatakan semua ini kepadamu membakarku dalam murka; aku terus melakukannya hanya karena aku dipaksa. Tiada yang lebih mudah di dunia ini bagi manusia selain dari berdoa, dan tepat di atas doalah keselamatan setiap orang bergantung. Itulah cara Allah menata segalanya. Sedikit demi sedikit Ia memberikan kepada setiap orang yang bertekun dalam doa begitu banyak pencerahan dan kekuatan bahkan pendosa yang paling berdegil pun dapat mengangkat dirinya sekali untuk selamanya, bahkan andai dia tenggelam dalam dosa sampai ke batas lehernya!
Selama tahun-tahun terakhir hidupku, aku tak lagi berdoa seperti yang seharusnya aku lakukan, dan jadi aku menjauhkan diriku dari rahmat yang tanpanya tak seorang pun dapat diselamatkan. Di mana kami berada sekarang kami tak lagi menerima rahmat apapun, dan bahkan jika rahmat ditawarkan, kami akan mencemoohkannya. Segala naik turunnya kehidupan duniawi berhenti ketika kau tiba di sini. Kalian di dunia dapat lolos dari keadaan dosa ke keadaan rahmat, dan lalu jatuh kembali ke dalam dosa, seringkali melalui kelemahan-kelemahan, terkadang melalui kedengkian. Tapi begitu kau mati, semua itu berakhir, sebab hanya ketidakstabilan kehidupan duniawi yang memungkinkannya. Dari saat kematian keadaan kita adalah final dan tak dapat diubah.
Dampak Kebiasaan [= Habitus]
Sudah semenjak di dunia, dengan berlalunya tahun-tahun, perubahan-perubahan ini dalam keadaan jiwa seseorang menjadi semakin dan semakin jarang. Memang benar bahwa sampai saat kematian, orang dapat selalu berpaling kembali kepada Allah atau berpaling jauh dari-Nya. Tapi sungguh terjadi bahwa habitus yang biasa dilakukan manusia semasa hidupnya terlalu sering mempengaruhi perilakunya di saat ajal. Habitus menjadi ciri khas kedua baginya dan dia pergi ke kubur dengan masih melakukannya.
Itulah yang terjadi padaku. Selama bertahun-tahun aku hidup jauh dari Allah, dan karena itu, ketika aku mendengar panggilan terakhir rahmat, aku berpaling menjauh dari-Nya. Yang fatal bagiku, bukannya aku telah berdosa banyak, tapi ketika aku telah berdosa aku tak memiliki kehendak untuk bangkit kembali. Beberapa kali kau katakan kepadaku untuk pergi dan mendengarkan khotbah atau membaca buku-buku rohani, dan biasanya aku mengatakan aku tak punya waktu. Dan bagaimanapun apa yang kau katakan meningkatkan ketidakpastian yang aku rasakan dalam batin.
Harus kuakui bahwa pada saat aku meninggalkan asosiasi kaum muda aku sudah belajar begitu banyak hingga aku dapat juga mengubah cara hiduku. Aku tidak nyaman dan tidak bahagia dengan cara hidupku. Tapi selalu ada sesuatu yang menghalangi antara aku dan pertobatan. Kau tak akan pernah menduga apa yang terjadi. Kau pikir akan sangat mudah bagiku untuk kembali kepada Allah. Suatu hari kau katakan kepadaku, 'Sambutlah pengakuan dosa dengan baik, Annette, maka semuanya akan baik adanya.' Aku rasa kau benar, tapi dunia, daging dan Iblis sudah terlalu erat mencengkeramku. Pada waktu itu aku tak pernah percaya bahwa Iblis sedang bekerja, tapi sekarang aku dapat meyakinkanmu bahwa ia memiliki pengaruh yang sangat besar atas orang-orang yang berada dalam keadaan sepertiku. Hanya dengan banyak doa, dari diriku sendiri dan orang-orang lain, bersama dengan kurban dan penderitaan, akan mampu meloloskanku dari cengkeramannya, dan bahkan kemudian itu akan menjadi suatu proses yang lambat. Mungkin ada sedikit orang yang kerasukan secara lahiriah, tetapi banyak yang kerasukan dalam hati. Iblis tak dapat mengambil kehendak bebas dari mereka yang menempatkan diri mereka dalam kuasanya, tetapi sebagai hukuman atas apa yang mungkin kau sebut sebagai keacuhan yang disengaja terhadap Allah, Allah mengijinkan si Jahat berdiam dalam diri mereka. Aku bahkan benci Iblis, meski pada saat yang sama aku suka dia, sebab dia keluar untuk membinasakan kalian. Ya, aku benci dia, dia dan para pengikutnya, roh-roh yang jatuh bersamanya di awal waktu. Ada jutaan mereka yang berkeliaran di bumi bagai kawanan serangga, dan kau bahkan tak memperhatikan mereka. Bukan kami, jiwa-jiwa terkutuk, yang mencobai kalian. Pekerjaan itu hanya untuk para malaikat yang jatuh. Yang benar adalah bahwa setiap kali mereka membawa suatu jiwa ke sini, hal itu meningkatkan aniaya atas mereka; tetapi apakah yang tak hendak dilakukan demi kebencian?
Panggilan Allah
Aku mengembara jauh dari Allah, namun demikian Ia mengikutiku. Aku membuka jalan rahmat melalui tindakan alami amal kasih yang cukup sering aku lakukan, hanya karena aku secara alamiah cenderung melakukannya.
Ada saat-saat ketika Allah menarikku ke gereja, dan lalu aku merasakan semacam kangen rumah. Kala ibuku sakit dan aku merawatnya sambil sekaligus bekerja di kantor, aku sungguh melakukan semacam pengorbanan diri. Itu adalah saat-saat ketika panggilan Allah teristimewa sangat kuat. Suatu kali kau membawaku ke sebuah kapel rumah sakit pada waktu istirahat makan siang, dan sesuatu terjadi yang menghantarku ke batas pertobatan - aku menangis!! Tapi segera saja kenikmatan dunia membanjiri kembali benakku dan menghalangi rahmat Allah. Benih yang baik terhimpit oleh onak duri. Mereka sering mengatakan di kantor bahwa agama itu hanyalah masalah emosi, jadi aku mengambil alasan itu untuk menolak panggilan rahmat sebab aku telah memiliki semua yang lain.
Aku Membuat Agamaku Sendiri
Kau mencelaku suatu hari karena bukannya genuflect (= berlutut dengan satu kaki) seperti yang sepantasnya di gereja, tetapi aku hanya melakukan semacam gerak turun naik dengan setengah hati. Kau pikir aku malas. Kau bahkan tampaknya tak curiga
bahwa aku sudah berhenti percaya pada kehadiran Kristus dalam Sakramen. Aku percaya sekarang, tapi hanya dalam cara alamiah, seperti kau percaya akan badai apabila kau melihat porak-poranda yang diakibatkannya. Aku sudah membuat agamaku sendiri yang sesuai dengan kepentinganku sendiri. Aku setuju dengan orang-orang lain di kantor bahwa apabila kau mati maka jiwamu pergi kepada orang lain sehingga jiwamu ada dalam semacam ziarah yang terus-menerus. Itu mengatasi pertanyaan yang menyakitkan mengenai hal-hal di 'luar' dan kau tak perlu lagi khawatir mengenainya. Mengapakah kau tidak mengingatkanku tentang perumpamaan Lazarus, di mana Kristus mengirimkan satu orang ke Firdaus segera sesudah kematiannya, dan satu yang lain ke neraka? Oh, tentu, kau tak akan sampai kemanapun dengan itu.
Sedikit demi sedikit aku menciptakan allahku sendiri - allah yang didandani secara pantas untuk disebut allah dan cukup jauh bagiku untuk tidak berurusan dengannya. Dia adalah semacam allah yang samar, yang dapat dimanfaatkan apabila aku membutuhkannya. Semacam allah panteisme, katakanlah, semacam allah abstrak yang mungkin berguna untuk puisi tetapi yang tak ada hubungannya dengan dunia nyataku. Dia ini tak punya surga sebagai ganjaran untukku dan tak punya neraka untuk menghukumku. Caraku memujanya adalah dengan tidak mengganggunya. Adalah mudah untuk percaya pada apa yang cocok denganmu. Selama bertahun-tahun aku bergaul sangat baik dengan agamaku dan aku bahagia.
Hanya satu hal yang bisa menghancurkan kedegilanku - satu kesedihan terus-menerus yang mendalam. Namun itu tak terjadi. Sekarang, mengertikah kau makna dari ungkapan, 'Allah menghukum mereka yang Ia kasihi'?
Max dan Bukannya Misa
Pada suatu hari Minggu di bulan Juli, asosiasi kaum muda mempersiapkan wisata ke suatu tempat. Aku akan senang pergi tapi segala pembicaraan kuno itu mengurungkan niatku. Selain itu, untuk beberapa waktu lamanya aku telah menempatkan suatu lukisan yang sama sekali berbeda dari lukisan Madonna, di altar hatiku! Itulah Max N yang tampan dari toko sebelah. Kami sudah bercanda bersama beberapa kali. Yah, kebetulan, tepat Minggu itu ia mengajakku keluar bersamanya. Gadis yang dikencaninya sedang sakit di rumah sakit. Dia tahu aku suka padanya, meski waktu itu aku tak berpikir untuk menikah dengannya. Ia jelas kaya, tapi dia terlalu baik pada semua gadis, dan hingga saat itu aku merindukan seorang laki-laki yang tidak memikirkan siapapun kecuali aku. Aku tidak ingin menjadi isterinya: Aku ingin menjadi satu-satunya perempuan dalam hidupnya. Aku selalu tertarik pada laki-laki yang tahu sopan santun. Ketika kami pergi bersama, Max menyimpang dari caranya bersikap manis - meski kau dapat membayangkan kami tidak berbicara tentang hal-hal saleh yang kau dan teman-temanmu perbincangkan! Keesokan harinya di kantor kau mencelaku sebab aku tidak pergi wisata bersama kalian, dan aku ceritakan kepadamu apa yang aku lakukan hari Minggu itu. Hal pertama yang kau tanyakan adalah 'Apakah kau pergi ke Misa?' Tolol!! Bagaimana aku bisa pergi ke
Misa padahal kami telah bersiap untuk pergi pukul 6:00 pagi? Dan tak diragukan, pastilah kau ingat bagaimana aku kehilangan kesabaranku dan mengatakan, 'Allah tidak cerewet mengenai hal-hal kecil ini seperti yang kau dan para imam lakukan!' Tapi sekarang aku harus akui bahwa kendati kebaikan-Nya yang tak terhingga, Allah menimbang dengan jauh lebih cermat dibandingkan kecermatan semua imam digabungkan menjadi satu.
Sesudah pergi bersama Max yang pertama itu, aku hanya kembali ke asosiasi kaum muda sekali saja. Itu untuk Perayaan Natal. Masih ada sesuatu yang menarikku pada upacara-upacara demikian, tapi di hati aku bukan salah satu dari kalian lagi. Film, tari-tarian, bepergian - satu sesudah yang lain sepanjang waktu. Max dan aku terkadang bertengkar, tapi aku selalu bisa membuatnya membereskannya. Aku menghadapi banyak masalah dengan pacarnya yang lain, yang mengejarnya bagai orang gila begitu ia keluar dari rumah sakit. Ada sedikit keberuntungan bagiku karena 'kekaleman'-ku, yang adalah kebalikan dari perilaku pacarnya; ini meninggalkan kesan mendalam pada Max, dan akhirnya ia memilihku. Aku tahu bagaimana menggunakan kata-kata untuk membuatnya berpaling dari si pacar. Di luar tampaknya aku mengatakan hal-hal yang baik tapi dalam hati aku menyengatkan racun. Perasaan seperti itu dan perilaku seperti itu merupakan persiapan yang sangat baik menuju neraka. Itu adalah perilaku keji. Mengapa aku katakan ini kepadamu? Guna menjelaskan bagaimana aku memisahkan diriku sendiri sekali dan untuk selamanya dari Allah. Oh, bukan pada tahap itu Max dan aku telah menjadi sangat 'intim' dalam hubungan kami. Aku tahu aku akan merosot dalam penilaiannya apabila aku membiarkan diriku terlena terlalu cepat, dan pengetahuan itu membuatku
menahan diri, tapi dalam hati aku siap untuk melakukan apa pun jika aku pikir perlu demi mencapai tujuanku, sebab aku akan mendapatkan Max berapapun harga yang harus dibayar. Aku akan sepenuhnya memberikan apapun demi memilikinya. Sementara itu kami perlahan-lahan belajar untuk saling mencintai satu sama lain. Kami berdua memiliki kualitas pribadi yang berharga, yang kami pelajari dengan menghargai satu sama lain. Aku pintar, cakap, teman yang baik, dan setidaknya dalam bulan-bulan terakhir sebelum kami menikah, aku adalah satu-satunya pacarnya.
Memberhalakan Manusia Ciptaan
Meninggalkan Allah dalam diriku meliputi ini: bahwa aku menjadikan seorang manusia ciptaan sebagai berhala. Hal macam itu hanya bisa terjadi ketika kau mencintai seseorang dari lawan jenis dengan cinta yang tetap terikat oleh pertimbangan-pertimbangan duniawi. Adalah kasih tak seimbang macam ini yang memikatmu, menjadi obsesimu dan akhirnya meracunimu. 'Pemujaan'-ku terhadap Max benar-benar menjadi semacam agama bagiku. Itu adalah saat ketika, di kantor, aku mulai mengatakan segala yang buruk yang dapat aku pikirkan tentang gereja dan para imam dan gumaman rosario dan segala jenis tindakan yang gila itu. Kau berupaya membela itu semua, kurang lebih secara halus. Kau jelas tak menyadari bahwa dalam lubuk hati aku tidak begitu cemas dengan menghinakan hal-hal itu yang sama artinya dengan menemukan sesuatu guna meneguhkan nuraniku dan menemukan pembenaran dalam meninggalkan Allah. Ya, faktanya adalah bahwa aku telah memberontak melawan Allah. Kau tak mengerti. Kau pikir aku masih seorang Katolik, dan aku ingin orang berpikir begitu. Aku bahkan melangkah sejauh membayar persepuluhanku - aku katakan pada diriku sendiri bahwa sedikit asuransi tak ada salahnya. Terkadang reaksimu tepat mengenai sasaran, tetapi itu tak berdampak lama atasku: aku telah memutuskan bahwa kau salah. Adalah hubungan tegang ini yang membuat kita berdua tidak saling kehilangan saat mengatakan 'selamat tinggal' ketika aku akhirnya pergi untuk menikah.
Setahun Pernikahan
Sebelum pernikahan aku pergi menyambut Pengakuan Dosa dan Komuni sekali lagi, seperti yang disyaratkan. Suamiku berpikiran sama denganku mengenainya - mengapakah kami harus melakukan segala formalitas itu? Meski begitu kami melakukannya juga seperti orang-orang lain. Kalian akan menyebut Komuni yang demikian sebagai ' tak layak'. Baiklah, setelah Komuni yang 'tak layak' itu hati nuraniku banyak kosong. Apapun yang terjadi, aku tak pernah menyambut Komuni lagi. Secara keseluruhan kami sangat bahagia dalam hidup pernikahan kami. Kami sependapat mengenai segala sesuatu, termasuk kenyataan bahwa kami tak menghendaki tanggung jawab memiliki anak-anak. Suamiku menghendaki hanya satu anak, tapi pada akhirnya aku berhasil melenyapkan gagasan itu dari pikirannya. Aku jauh lebih peduli pada pakaian, perabotan mewah, bertemu teman-teman, pergi keluar, mengadakan perjalanan dengan mobil dan kesenangan-kesenangan lainnya. Tahun antara pernikahanku dan kematianku yang mendadak merupakan tahun kesenangan semata bagiku. Setiap hari Minggu kami pergi dengan mobil, atau mengunjungi orangtua suamiku, yang hidup sama dangkalnya seperti yang kami lakukan.
Dalam hati tentu saja aku tidak bahagia, meski aku tampil dengan berhias senyum kepada dunia. Sepanjang waktu ada sesuatu yang menggerogoti dalam diriku. Seharusnya aku percaya bahwa kematian, yang secara alami aku pikir masih bertahun-tahun jauhnya, akan menjadi akhir dari segalanya. Suatu ketika, kala aku masih kecil, aku mendengar seorang imam mengatakan dalam sebuah khotbah bahwa Allah mengganjari kita untuk setiap perbuatan baik yang kita lakukan dan bahwa apabila Ia tak dapat mengganjari kita di kehidupan yang akan datang Ia akan melakukannya di dunia. Itu sungguh sangat benar.
Tak disangka-sangka aku mewarisi sejumlah uang dari Bibi 'Lotte', dan pada saat yang sama suamiku mulai memperoleh gaji yang sangat baik, jadi aku bisa memperlengkapi rumah baruku dengan sangat nyaman. Pada waktu ini cahaya agama telah menjadi bagiku sesuatu yang sangat jauh, suatu cahaya pucat, redup dan berkedip-kedip. Kafe-kafe di kota, dan penginapan-penginapan yang kami inapi dalam perjalanan-perjalanan kami sudah jelas tidak mengarahkan kami kepada Allah. Semua orang yang pergi ke tempat-tempat yang demikian hidup seperti kami, mendapatkan kesenangan mereka pertama dan terutama dari hal-hal lahiriah dan bukannya mengamalkan terutama kehidupan batin. Jika kami terkadang mengunjungi gereja-gereja sementara kami bepergian pada saat-saat liburan; kami melakukannya hanya demi kepentingan artistik. Ada suasana religius memancar dari bangunan-bangunan itu, terutama yang dari abad pertengahan, tapi aku bisa menetralisirnya dengan mengajukan kritik yang tampaknya tepat pada saat itu. Misalnya, aku bisa mulai dari awam yang membuat sedikit kotor dalam mengantarkan kami berkeliling, atau karena berpakaian sembarangan, atau aku akan berpikir bagaimana tak pantasnya para biarawan yang berpura-pura menjadi kudus harus menjual minuman, atau mungkin aku akan berpikir tentang dentang lonceng yang terus-menerus memanggil orang-orang untuk ibadat sementara yang dipedulikan Gereja adalah mencetak uang. Itu adalah bagaimana aku berpaling dari rahmat Allah setiap kali ia datang mengetuk pintu jiwaku.
Kesalahan Penggambaran Neraka, Tapi Tak Berlebihan!
Aku membiarkan temperamen burukku berkuasa, terutama atas lukisan-lukisan abad pertengahan yang menggambarkan neraka, di kuburan-kuburan dan tempat-tempat lainnya, yang melukiskan Iblis sedang memanggang jiwa-jiwa di atas arang membara sementara rekan-rekannya menyeret korban-korban lainnya turun dengan ekor-ekor mereka yang panjang. Oh Claire! Orang mungkin membuat kesalahan dalam cara mereka menggambarkan neraka, akan tetapi mereka tidak pernah berlebihan!
Aku selalu punya gagasanku sendiri mengenai api neraka. Kau ingat kita sedang membahas pertanyaan itu suatu ketika dan aku menyalakan korek api tepat di bawah hidungmu seraya berkata sinis, "Apakah baunya seperti neraka?' Kau dengan cepat memadamkan api. Nah, tak ada seorang pun yang memadamkan apinya di sini. Aku yakinkan kau bahwa api yang dibicarakan di Kitab Suci bukan sekedar siksaan hati nurani. Melainkan api nyata. Ketika Ia bersabda, 'Enyahlah dari-Ku, kalian yang dikutuk, ke dalam api yang kekal,' yang Ia maksudkan adalah secara harafiah - ya secara harafiah!!
Kau akan berkata kepadaku, 'Bagaimanakah roh bisa disakiti oleh api materiil?' Tapi di dunia, tidakkah jiwamu menderita apabila kau menempatkan jari-jarimu ke dalam api? Jiwa tidak sungguh terbakar, tapi betapa penderitaan yang dialami keseluruhan dirimu. Begitu pula, kami di tempat ini secara rohani terbelenggu pada api sesuai karakter dan indera kami. Jiwa dijauhkan dari kebebasan alaminya untuk bertindak. Kami tak dapat memikirkan apa yang harus kami sukai atau tidak. Jangan terkejut akan apa yang aku katakan kepadamu. Pernyataan ini tak berarti apa-apa bagimu, tapi aku terbakar di sini, tanpa menjadi habis. Siksaan terbesar kami adalah pengetahuan bahwa kami tak akan pernah melihat Allah. Bagaimana itu bisa begitu menyiksa kami sementara kami begitu acuh tak acuh mengenainya di dunia? Selama pisau dibiarkan di meja, hal itu tak mengkhawatirkanmu. Kau dapat melihatnya tajam, tetapi kau tidak takut pada pisau itu. Tapi biarkan pisau itu memotong dagingmu dan kau akan menggeliat kesakitan. Adalah sekarang bahwa kami sesungguhnya merasakan hilangnya Allah, padahal sebelumnya kami hanya berpikir mengenai itu.
Tingkat Penderitaan
Tak semua jiwa menderita pada tingkat yang sama. Semakin jahat dan sistematis seseorang telah berdosa, semakin berat kehilangan akan Allah menghimpitnya. Orang-orang Katolik yang binasa lebih menderita dibandingkan umat agama lainnya sebab pada umumnya kepada mereka telah ditawarkan dan mereka telah menolak lebih banyak rahmat dan lebih banyak pencerahan. Orang yang memiliki lebih banyak pengetahuan semasa hidupnya menderita lebih hebat dibandingkan orang yang tahu sedikit. Jika seseorang telah berdosa melalui kedengkian, ia menderita lebih hebat dibandingkan jika ia berdosa melalui kelemahan. Tapi tak seorang pun menderita lebih banyak dari yang pantas baginya. Oh, andai saja itu tidak benar! Maka aku akan punya alasan untuk membenci! Kau bilang suatu hari bahwa telah disingkapkan kepada beberapa orang kudus bahwa tak seorang pun masuk neraka tanpa mengetahuinya. Aku tertawa, tapi sesudahnya aku meyakinkan diriku sendiri dengan mengatakan diam-diam, 'Jika demikian, andai perlu bangkit, aku akan selalu dapat berbalik arah.' Itu benar. Sebelum kematianku yang mendadak aku tidak tahu neraka itu seperti apa. Tak seorang manusia pun tahu. Tapi aku sepenuhnya sadar bahwa neraka itu ada. Aku berkata kepada diriku sendiri, 'Jika kau mati kau akan masuk ke dalam kehidupan di atas langsung bagai sebuah anak panah yang diarahkan kepada Allah, dan kau akan harus menanggung konsekuensinya.' Tapi, seperti yang sudah aku katakan, kendati pikiran yang demikian, aku tak mengubah cara hidupku. Kekuatan habitus mendorongku untuk terus melakukannya dan aku membiarkannya menguasaiku. Semakin tua orang, semakin kuat kuasa habitus.
Kematian
Beginilah kisah kematianku. Seminggu yang lalu - seminggu, yakni, sebagaimana kau menghitung waktu, dari sudut pandang sakit yang aku derita aku bisa katakan bahwa aku telah terbakar di neraka selama sepuluh tahun; akan tetapi, seminggu yang lalu, Minggu kemarin, suamiku dan aku pergi menikmati apa yang menjadi perjalanan terakhir kami. Pagi yang indah, dan aku merasa di atas dunia. Firasat kebahagiaan menguasaiku dan tinggal bersamaku sepanjang hari. Dalam perjalanan pulang, suamiku disilaukan oleh lampu-lampu sebuah mobil yang datang dari arah berlawanan, dan mobil kami lepas kendali. Secara otomatis aku menyerukan nama 'Yesus', tapi itu hanyalah sekedar kata seruan, bukan doa. Aku merasakan sakit yang membakar di setiap jengkal tubuhku, meskipun itu bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang aku derita sekarang. Lalu aku pingsan.
Betapa aneh bahwa tepat pada pagi itu suatu pemikiran terus-menerus berkecamuk dalam benakku tanpa alasan jelas. Sebuah suara dari dalam terus-menerus berkata, 'Kau bisa pergi ke Misa sekali lagi.' Seolah seseorang memohon kepadaku. Tapi aku mengenyahkan gagasan itu dengan tekad 'Tidak'. Aku berkata pada diriku, 'Kau harus mengenyahkan omong kosong itu sekali dan untuk selamanya.'
Sekarang aku harus menderita konsekuensi dari ketetapan hatiku. Kau sudah tahu apa yang terjadi sesudah kematianku, apa yang terjadi dengan suamiku dan ibuku, dan tubuhku, dan detail pemakaman. Aku tahu semua itu dengan pengetahuan alamiah yang diperkenankan bagi kami di sini. Sesungguhnya kami tahu segala sesuatu yang terjadi di dunia, tetapi hanya secara samar dan membingungkan. Seperti itulah, bahwa aku melihat tempat di mana kau berada sekarang.
Di saat ajal, aku mendapati diriku dalam suatu dunia berkabut, tapi kemudian sekonyong-konyong aku muncul ke dalam suatu terang yang menyilaukan. Aku masih di tempat di mana tubuhku terbaring. Seperti berada di sebuah teater. Lampu tiba-tiba padam, tirai terangkat dengan suara dahsyat dan kau mendapati dirimu menghadapi suatu adegan tak terduga. Bagiku adegan itu diterangi dengan suatu terang yang mengerikan: apa yang aku lihat adalah adegan keseluruhan hidupku! Jiwaku diperlihatkan kepadaku seolah aku melihatnya di cermin, dengan segala rahmat yang telah aku tolak semenjak masa mudaku hingga keputusan akhir 'Tidak'-ku terhadap panggilan Allah. Aku melihat diriku sendiri bagai seorang pembunuh yang diadili yang sedang dihadapkan di pengadilan dengan mayat korbannya.
Apakah aku bertobat?? Tidak Pernah!!! Apakah aku malu?? Tidak juga!!! Tentu saja, aku tak lagi tahan merasakan tatapan mata Allah yang pada akhirnya aku tolak. Apa yang tersisa bagiku adalah melarikan diri dari hadirat-Nya. Sama seperti Kain melarikan diri dari tubuh Abel, apa yang dapat dilakukan jiwaku hanyalah melarikan diri dari adegan yang mengerikan itu. Dan itulah pengadilan khususku. Hakim yang tak kasat mata memaklumkan hukuman: "Enyahlah dari-Ku!!!" Dan lalu jiwaku, yang tercekik dalam belerang, mencampakkan dirinya bagai sebuah bayangan ke dalam siksaan yang abadi.
(CATATAN OLEH PENERJEMAH PERANCIS: Kita dapat menunjukkan bahwa sebagian besar dari pernyataan yang dibuat oleh jiwa terkutuk ini identik dengan ajaran St Thomas Aquinas dalam Summa Theologica.) + + +
Kesimpulan Claire
Ketika Angelus berdentang keesokan paginya, masih sangat terguncang oleh malam yang mengerikan itu, aku bangun dan bergegas turun ke kapel. Jantungku berdegup kencang. Orang-orang dari wisma wisata tersebut yang berlutut di dekatku menatapku heran. Aku anggap mereka berpikir bahwa mungkin aku turun dengan terlalu tergesa dan sedang bersedih. Tapi seorang perempuan baik dari Budapest mengamatiku dengan seksama, dan seusai Misa dia berkata kepadaku sambil senyum, "Froirlein, Tuhan menghendaki kita melayani-Nya dengan tenang, tidak dengan tegang." Tapi segera ia sadar bahwa ada sesuatu yang lain pada akar masalahku, dan dia melanjutkan berbicara kepadaku. Dan sementara ia melanjutkan nasehat baiknya, aku berpikir sendiri, "Hanya Allah sudah cukup bagiku!!" Ya, Ia saja yang harus menjadi bagianku dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang. Suatu hari aku berharap memiliki-Nya di surga, betapapun pengorbanan yang mungkin dibutuhkan dariku di dunia. Tapi tolong, tolong jangan biarkan aku pergi ke neraka!!!
"Biarkan api dan tiang-tiang gantungan, binatang-binatang buas dan segala siksaan Iblis menyerangku, agar aku boleh bersukacita sebagai milik Yesus Kristus." ~ Santo Ignatius
sumber : “A Soul in Hell - The Story of Annette”; Sicut in Cælo et in Terra (On Earth as it is in Heaven); www.sicutincaelo.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”
|