Kisah-kisah Menakjubkan dari Purgatorium
Kumpulan kisah menakjubkan mengenai kunjungan jiwa-jiwa dari api penyucian kepada para kudus dan para mistikus.
"Aku tahu apabila kalian berdoa untukku, begitu pula dengan semua jiwa-jiwa lain di sini di api penyucian. Sangat sedikit dari kami di sini yang mendapatkan doa-doa; sebagian besar dari kami sama sekali ditinggalkan, tanpa pemikiran ataupun doa yang diperuntukkan bagi kami dari mereka yang di bumi." ~ (Pesan dari suatu jiwa di api penyucian)
BEATO HENRY SUSO (1295 - 1366)
Kisah berikut diceritakan oleh sejarahwan Ferdinand dari Castile. Tahun 1324-1327 di Cologne ada dua orang rohaniwan Dominikan yang terkenal berbakat, salah satunya adalah Beato Henry Suso. Keduanya menempuh studi yang sama, memiliki cara hidup yang sama, dan di atas segalanya memendam kerinduan yang sama untuk mencapai kekudusan, yang membuat keduanya bersahabat karib.
Ketika mereka telah menamatkan studi mereka, melihat bahwa mereka akan segera berpisah untuk kembali masing-masing ke biaranya sendiri, mereka sepakat dan berjanji satu sama lain bahwa apabila salah seorang dari keduanya meninggal, maka ia haruslah dibantu oleh yang lain selama setahun penuh melalui perayaan Misa dua kali dalam seminggu - pada hari Senin Misa Requiem, sebagaimana kebiasaan yang berlaku, dan pada hari Jumat Sengsara, sepanjang keadaan mengijinkan. Mereka saling berikrar satu sama lain bahwa mereka akan melakukan ini, saling memberikan ciuman damai, dan meninggalkan Cologne.
Selama beberapa tahun kemudian mereka berdua terus melayani Allah dengan semangat berkobar. Imam yang namanya tidak disebutkan adalah yang pertama dipanggil Tuhan, dan Pater Suso menerima berita duka dengan penyerahan diri kepada kehendak Allah. Ikrar yang mereka buat, dengan berlalunya waktu, telah terlupakan. Meski demikian, ia banyak berdoa untuk sahabatnya itu, menerapkan matiraga baru pada dirinya dan melakukan banyak perbuatan baik lainnya, namun tak terpikir olehnya untuk mempersembahkan Misa sebagaimana ia ikrarkan beberapa tahun silam.
Suatu pagi, saat undur diri dalam meditasi di kapel, sekonyong-konyong ia melihat muncul di hadapannya jiwa sahabatnya yang telah berpulang, yang, menatapnya dengan lembut, menegurnya sebab tidak setia kepada janjinya yang ia andalkan dengan penuh keyakinan. Beato Suso, yang amat terkejut, berdalih dengan mengatakan betapa banyak doa dan matiraga yang telah ia persembahkan, dan masih terus ia persembahkan, demi sahabatnya itu, yang keselamatannya dianggapnya sebagai keselamatannya sendiri.
"Apakah mungkin, saudaraku terkasih," tambahnya, "bahwa begitu banyak doa dan perbuatan baik yang aku persembahkan kepada Allah tidak cukup bagimu?" "Oh tidak, saudaraku terkasih," jawab jiwa yang menderita itu, "itu belumlah cukup. Adalah Darah Yesus Kristus yang diperlukan untuk memadamkan api-api yang membakarku; adalah Kurban Kudus yang akan membebaskanku dari siksa mengerikan ini. Aku mohon padamu untuk menepati janjimu, dan janganlah menolak memberikan kepadaku apa yang seturut keadilan adalah hutangmu kepadaku."
Beato Suso bergegas menanggapi penampakkan jiwa yang malang itu; ia menghubungi sebanyak mungkin imam dan mendesak mereka untuk mempersembahkan Misa bagi intensi sahabatnya dan, untuk memperbaiki kesalahannya, ia merayakan, dan menyebabkan banyak Misa dipersembahkan pada hari yang sama itu. Keesokan harinya beberapa imam, atas permintaan Pater Suso, bersatu dengannya dalam mempersembahkan Kurban Kudus bagi almarhum, dan dia terus melakukan tindakan amal kasih selama beberapa hari.
Tak berapa lama kemudian imam sahabat Pater Suso menampakkan diri kembali kepadanya, tetapi sekarang dalam kondisi yang sangat berbeda; wajahnya penuh sukacita, dan ia dikelilingi cahaya cemerlang. "Terima kasih, sahabatku," katanya "lihatlah, oleh Darah Juruselamat-ku aku dibebaskan dari penderitaanku. Sekarang aku pergi ke surga untuk merenungkan Dia yang begitu sering kita puja bersama di bawah selubung Ekaristi."
Sesudah itu, Beato Suso prostratio guna mengucap syukur kepada Allah yang kerahiman-Nya tak terbatas, sebab ia sekarang mengerti lebih dari sebelumnya nilai yang tak terhingga dari sebuah Misa.
DAYA KUASA LUAR BIASA MISA BAGI JIWA-JIWA DI PURGATORIUM
Berikut dikutip dari buku yang sangat bagus "Purgatory - Explained by the Lives and Legends of the Saints" tulisan Pater F.X. Schouppe, S.J., diterbitkan oleh Tan Books, 1986. Kisah di bawah ini merupakan suatu kesaksian tulus dari seorang perempuan yang mendapatkan beberapa kunjungan dari jiwa di api penyucian.
Pada tanggal 13 Oktober 1849, ada yang meninggal pada usia limapuluh dua tahun, di Paroki Ardoye, di Flanders, yakni seorang perempuan bernama Eugenie Van de Kerckove, yang suaminya, John Wybo, adalah seorang petani. Eugenie adalah seorang perempuan saleh dan banyak amal, yang dengan murah hati memberikan amal kasih seturut kemampuannya. Dia, hingga akhir hidupnya, memiliki devosi mendalam kepada Santa Perawan Maria, dan berpantang daging demi menghormatinya setiap hari Jumat dan Sabtu. Meski perilakunya tak lepas dari cacat cela, dia mengamalkan hidup yang patut dianggap sebagai teladan dan panutan. Eugenie mempunyai seorang pelayan bernama Barbara Vennecke, berusia duapuluh delapan tahun, yang dikenal sebagai gadis yang saleh dan berbakti, dan yang melayani majikannya dalam sakitnya yang terakhir, dan setelah kematian Eugenie, tetap melayani tuannya, John Wybo.
Sekitar tiga minggu sesudah kematiannya, almarhumah menampakkan diri kepada pelayannya. Kala itu tengah malam; Barbara tidur nyenyak, ketika sekonyong-konyong ia mendengar namanya dipanggil dengan jelas tiga kali. Dia terbangun kaget, dan melihat Eugenie ada di hadapannya, duduk di sisi pembaringannya, berbalut gaun kerja, terdiri dari rok dan jaket pendek. Barbara terpana takjub atas penglihatan yang luar biasa ini. "Barbara," katanya. "Apakah yang engkau inginkan, Eugenie?" tanya si pelayan.
"Tolong ambil," kata sang nyonya, "penggaruk kecil yang sering aku minta kau letakkan di tempatnya; garuklah tumpukan pasir di ruang kecil itu; kau tahu mana yang aku maksudkan. Di sana kau akan menemukan 500 francs; gunakan itu untuk intensi Misa, 2 francs setiap kali Misa, untuk intensiku, sebab aku masih menderita." "Aku akan melakukannya, Eugenie," jawab Barbara, dan pada saat yang sama penampakan pun berakhir. Sebentar kemudian ia tertidur lagi, dan beristirahat dengan tenang hingga pagi.
Ketika bangun, Barbara berpikir bahwa mungkin itu hanyalah sebuah mimpi, namun demikian kesan itu begitu kuat, hingga tidak dapat tidak ia mengatakan, "Ini pastilah bukan mimpi. Aku melihat nyonyaku secara pribadi; dia sendiri tampil di hadapan mataku dan pastilah ia berbicara kepadaku. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan. "
Oleh karena itu ia segera pergi dan mengambil penggaruk sebagaimana diperintahkan, menggaruk pasir, dan menemukan sebuah dompet berisi 500 francs. Dalam keadaan yang tak lazim dan luar biasa seperti itu si gadis yang baik berpikir bahwa adalah kewajibannya untuk meminta nasehat pastor sebelum menggunakan 500 francs untuk intensi Misa, dan ia pun menceritakan kepada pastor semua yang terjadi. Abbe R., Pastor Paroki Ardoye pada waktu itu, mengatakan bahwa Misa yang diminta oleh jiwa yang telah meninggal itu mutlak harus dirayakan, akan tetapi, menggunakan uang sebanyak itu, persetujuan dari suami, John Wybo, diperlukan, sebab uang itu ditemukan di rumahnya. Sang suami dengan suka hati setuju dan Misa pun dirayakan, dengan stipendium dua francs untuk setiap Misa.
Dua bulan setelah penampakan pertama, sementara Misa masih dipersembahkan untuk intensi Eugenie, Barbara sekonyong-konyong terbangun kembali tengah malam. Kali ini kamarnya diterangi suatu cahaya cemerlang, dan majikannya menampakkan diri di hadapannya dengan senyum bahagia, cantik dan segar; penampilannya seperti pada masa mudanya, dan ia berbalut jubah kemilau. "Barbara," katanya dengan suara jelas, "Terima kasih! Sebab aku sekarang telah dibebaskan dari tempat penyucian." Seusai mengucapkan kata-kata ini, dia pun lenyap, dan kamar menjadi gelap seperti sebelumnya.
EUGENIE VON DER LEYEN (1867 - 1929)
Ada banyak orang kudus yang telah dikanonisasi yang adalah penolong bagi jiwa-jiwa menderita. Yang paling terkenal adalah St Yohanes Macias (yang dikenal membebaskan ribuan jiwa-jiwa dari api penyucian sepanjang hidupnya yang kudus), St Agustinus, St Dominikus, St Fransiskus Xaverius, St Victor, St Fransiskus dari Assisi, St Nicolas dari Tolentino, St Margareta Maria Alacoque, St Katarina dari Genoa, St Bernardus dari Clairvaux, St Gregorius Agung, St Odilon dari Cluny, St Fransiska Romana, St Bridget dari Swedia , St Ambrosius, St Bonaventura, St Thomas Aquinas, St Efraim, St Petrus Damianus, St Fransiskus de Sales, St Katarina dari Genoa, St Gemma Galgani, St Padre Pio, dan St Faustina Kowalska, serta masih banyak lagi.
Karena kerahiman -Nya yang tak terbatas, selain dari orang-orang kudus yang telah dikanonisasi, sejarah penuh dengan orang "sehari-hari" yang diijinkan Allah untuk membantu jiwa-jiwa di api penyucian. Allah mengijinkan suatu jiwa dari purgatorium menampakkan diri agar jiwa dapat dibebaskan dari purgatorium, atau sekurangnya, penderitannya diringankan; dan jiwa pada umumnya menampakkan diri kepada seorang yang saleh dan penuh kasih dalam hidupnya sebab orang yang demikian lebih besar kemungkinannya menanggapi permintaan jiwa dengan mempersembahkan kurban-kurban, penderitaan dan doa-doa yang adalah sarana yang amat berguna bagi jiwa-jiwa malang.
Salah seorang di antara mereka yang kerap dikunjungi jiwa-jiwa dari purgatorium adalah Eugenie von der Leyen. Eugenie adalah seorang perempuan terpelajar dari kalangan bangsawan tinggi Jerman; Eugenie memiliki gelar puteri dan tinggal di kastil leluhur di Waal, Bavaria, Jerman. Seturut perintah bapa pengakuannya, dia menulis buku catatan harian mengenai kontaknya dengan jiwa-jiwa malang di purgatorium. Setelah wafat Eugenie, buku catatan hariannya diserahkan kepada Uskup Eugenio Pacelli, yang kelak menjadi Paus Pius XII.
Berikut adalah kisah Gembala Fritz sebagaimana dikutip dari buku catatan harian Eugenie von der Leyen, tahun 1923.
11 Juni 1923
|
Saat terjaga, ada suatu bentuk panjang kelabu di atasku, sungguh samar; aku tak dapat mengatakan apakah laki-laki atau perempuan, tapi tidak simpatik; aku sangat ketakutan.
|
14 Juni
|
Roh itu sudah ada di kamarku saat aku hendak tidur. Lalu aku mendaraskan doa malamku dengan lantang, roh itu datang sangat dekat denganku. Jika bukan karena tangan-tangannya, ia lebih tampak seperti batang pohon yang berjalan. Ia tinggal mungkin duapuluh menit, lalu kembali lagi pukul empat.
|
16 Juni
|
Sungguh mengerikan. Ia mengguncang bahuku. Itu adalah saat yang mengerikan. Aku memukulnya dan mengatakan: "Kau tidak boleh menyentuhku!" Lalu ia undur diri ke sudut. Saat mendorong, aku tidak merasakan tubuh, tapi seperti handuk yang lembab, hangat. Aku yakin aku tak lagi tahan akan teror yang demikian.
|
18 Juni
|
Lagi hal yang mengerikan itu; ia ingin mencengkeram leherku. Aku berdoa dalam ketakutan dan menggenggam partikel dari Salib [reliqui suci yang dimilikinya] di tanganku. Ia tetap bersamaku, tegak dan besar di depanku. Ia tidak menjawab pertanyaan. Lalu ia keluar melalui pintu, yang dibiarkannya terbuka.
|
19 Juni
|
Aku bisa mengenalinya sekarang bahwa ia adalah seorang laki-laki; ia ada di sana hanya untuk sementara waktu.
|
21 Juni
|
Laki-laki mengerikan itu lebih dari satu jam pada waktu malam, mondar-mandir terus-menerus. Dia berambut hitam kusut dan matanya mengerikan.
|
22 Juni
|
Orang ini dari pukul satu sampai lewat lima bersamaku, itu sangat buruk mengerikan. Dia berulang kali membungkuk di atasku dan duduk di samping tempat tidurku. Aku sungguh menangis karena takut, dan lalu mendaraskan "ibadat" agar aku tak harus melihatnya. Lalu ia kembali pergi mondar-mandir dan mengerang hebat. Sekarang tampak bagiku bahwa aku harus mengenalnya, akan tetapi aku tak bisa mengetahui siapa itu. Aku telah menjadi sangat pengecut, dibutuhkan keberanian untuk pergi ke kamar pada malam hari. Meski begitu biasanya aku bisa tidur nyenyak.
|
24 Juni
|
Dia kembali, mencekal bahuku. Aku berkata: "Sekarang katakan apa yang kau inginkan dan jangan kembali lagi." Tak ada jawaban; ia pergi lagi melintasi kamar beberapa kali dan lalu pergi. Tetapi, istirahatku sama sekali rusak. Pukul enam pagi ia kembali. Di siang hari ia bahkan tampak lebih mengerikan, memberikan kesan menjijikkan, termasuk kategori roh paling kotor dari yang pernah datang. Aku berkata: "Jangan ganggu aku, aku mau mempersiapkan diri untuk Komuni Kudus!" Lalu ia datang sangat dekat denganku dan mengangkat kedua tangannya memohon. Aku sangat kasihan kepadanya hingga menjanjikan banyak hal untuknya. Lalu kataku: "Tak bisakah kau berbicara?" Ia menggeleng. "Apakah kau banyak menderita?" Sekarang dia mengerang hebat. Aku memberinya banyak air suci dan lalu ia pergi.
|
27 Juni
|
Dia ada di sana lagi, pada waktu malam. Tampaknya ia mengenalku; aku memutar otak siapakah dia gerangan. Dia sangat tidak simpatik?
|
29 Juni
|
Dia ada di kamar lagi ketika aku pergi tidur. Bisa jadi ia Gembala Fritz yang mati dibunuh. Aku segera menanyainya, tapi dia tidak bereaksi. Aku berdoa bersamanya, saat itu ia mengarahkan matanya padaku dengan begitu marah hingga aku betul-betul takut. Aku menyuruhnya pergi dan lalu dia sungguh pergi.
|
30 Juni
|
Dia datang sangat singkat; erangannya membangunkanku.
|
1 Juli
|
Lagi, aku sungguh yakin ia adalah Gembala Fritz. Tetapi wajahnya begitu hitam hingga aku sulit mengenalinya. Akan tetapi figur, hidung, dan mata sepenuhnya adalah "dia", seperti begitu sering aku melihatnya semasa hidup.
|
2 Juli
|
Dia kembali, tak nampak begitu sangat liar lagi dan ia tidak tinggal lama. Aku menyapanya sebagai "Gembala Fritz," yang tampaknya ia anggap lazim.
|
3 Juli
|
Dia datang sangat singkat. Aku bertanya: ''Apakah kau Gembala Fritz yang dibunuh?" Lalu ia menjawab jelas: "Ya!"
|
4 Juli
|
Dia datang kepadaku di waktu pagi, memandangku sedih dan segera pergi, juga tak menjawab apa-apa.
|
5 Juli
|
Sekarang aku tersadar bahwa semua tentang dirinya lebih jelas. Pada waktu doa, ia membuat Tanda Salib.
|
6 Juli
|
Aku sangat senang sebab ia bisa bicara sekarang. Aku bertanya kepadanya: "Kenapa kau selalu datang padaku?" Jawabnya: "Karena kau selalu mendoakanku." (Itu benar, karena aku selalu merasa kasihan kepada orang malang ini, dia selalu tampak spesial, bahkan semasa masih kanak-kanak.)
Aku: "Jadi apa yang menyelamatkanmu?"
Dia: "Pengertian batin dan pertobatan."
Aku: "Bukankah kau langsung mati?"
Dia: "Tidak"
Aku: "Apakah kau akan segera dibebaskan?"
Dia: "Sudah jelas belum."
Lalu aku memberinya ijin untuk terus datang kepadaku, jika itu baik baginya. Betapa mengagumkan, bahwa seorang yang begitu kasar dalam hidupnya berbicara seperti itu ketika terpisah dari tubuhnya. Sekarang aku tak lagi takut kepadanya, dan ingin membantunya sebisa mungkin. Betapa maharahimnya Tuhan yang baik!
|
8 Juli
|
Dia datang sangat singkat.
|
9 Juli
|
Dia datang pukul 6:00 pagi dan dengan demikian membangunkanku. Kalau tidak, pastilah aku terlambat bangun.
Aku: "Apakah begitu penting bagimu bahwa aku pergi ke Misa Kudus?"
Dia: "Dengan begitu, engkau dapat banyak membantuku."
|
11 Juli
|
Hanya datang sangat singkat.
|
12 Juli
|
Kami berdoa bersama.
Aku: "Lalu apa yang harus kau derita?"
Dia: "Aku terbakar!"
Kemudian dia datang kepadaku dan sebelum aku bisa menghindar, ia menempelkan satu jari pada tanganku. Aku begitu ketakutan dan begitu kesakitan, hingga aku menjerit. Sekarang ada padaku luka bakar merah yang aku harap akan segera sembuh. Suatu perasaan yang sangat aneh, memiliki tanda kelihatan ini yang berasal dari dunia lain.
|
24 Juli
|
Gembala Fritz dan jiwa yang lain datang dua kali pada waktu malam, semuanya diam, tetapi [yang baru itu] sangat tidak menyenangkan.
|
29 Juli
|
Tidak ada yang istimewa untuk diceritakan. Sekarang keduanya datang setiap malam. Yang baru tampak mengerikan, sementara gembala Fritz menjadi semakin bercahaya!
|
10 Agustus
|
Gembala Fritz datang begitu dekat denganku lagi, tetapi tampak sangat ramah. Jadi aku berkata kepadanya, "Kau tak harus menderita begitu hebat lagi?"
Dia: "Tidak"
Aku: "Sudah bisakah kau berdoa untukku?"
Dia: "Belum"
Aku: "Jadi, ke mana saja kau sepanjang waktu?"
Dia: "Dalam kesedihan."
Aku: "Apakah kau akan masih sering datang padaku?"
Dia: "Tidak"
Aku: "Kenapa tidak?"
Dia: "Aku tak diizinkan lagi!"
Aku: "Apakah selama ini aku dapat membantumu?"
Dia: "Ya."
Lalu dia pergi ....
|
Sebagai akhir dari kisah luar biasa ini, Pater Sebastian Wieser, pastor paroki Eugenie sekaligus bapa pengakuannya, memberikan komentar:
"Penampakan ini adalah seperti gema kehidupan duniawinya. Aku mengenal baik Gembala Fritz - dia seperti "kambing jantan" di paroki. Dalam dia, kebesaran kerahiman Allah sungguh mewujud-nyatakan dirinya. Jarang sekali ia datang ke gereja. Dia memiliki hanya seorang putera tunggal, yang di sekolah terkenal karena kekejaman, dusta, dan tipunya dan mengakibatkan banyak masalah bagi para guru dan mereka yang adalah otoritasnya. Apabila anak itu harus dihukum di sekolah, sang ayah mengerahkan segala amarahnya atas kepala sekolah maupun imam. Aku menubuatkan pada waktu itu bahwa suatu hari kelak sang ayah sendiri akan menerima pukulan dari putera tunggalnya ini!
Ketika puteranya ini berusia tujuhbelas tahun dan besar serta cukup kuat, ia menggebuki ayahnya hingga tewas sekitar tengah malam .... Tidak ada yang tahu apakah Fritz mati seketika atau apakah ia harus meregang nyawa. Yang terakhir ini tampaknya yang telah terjadi. Si pembunuh memukulinya hingga roboh di gudang jerami dan menyerahkannya pada nasib. Baru paginya orang yang telah mati itu diketemukan .... Pada tanggal enam Juli ia mengatakan bahwa: "... pengertian batin dan pertobatan" telah menyelamatkan jiwanya dari kebinasaan! Pada tanggal duabelas Juli ia mengatakan, "Aku terbakar!" dan menekankan satu jari pada tangan sang puteri, yang meninggalkan suatu luka bakar merah yang aku lihat sendiri."
Kisah berikut dikutip dari buku yang sangat bagus "The Life of St Gemma Galgani" oleh Venerabilis Pater Germanus Ruoppolo CP.
Gemma melalui inspirasi Ilahi tahu bahwa di Biara Para Biarawati Passionis di Corneto [Italia] ada seorang biarawati yang sungguh berkenan di hadapan Allah sedang mendekati ajal. Dia bertanya kepadaku mengenainya, dan ketika aku menjawab bahwa memang benar, dia segera mulai memohon kepada Yesus untuk membuat sang biarawati menyilih segala kesalahannya di ranjang kematiannya, sehingga saat menghembuskan napas terakhir dia dapat langsung masuk ke Firdaus. Doanya, setidaknya sebagian, didengarkan. Sang biarawati menderita hebat dan meninggal dunia beberapa bulan kemudian. Gemma mengabarkan berita tersebut kepada orang-orang di rumahnya agar mereka dapat mendoakan almarhumah, dan dia memberi nama Maria Teresa dari Kanak-kanak Yesus, sebab ia tidak dikenal di Lucca. Setelah kematiannya, jiwa ini menampakkan diri kepada Gemma dengan diliputi kesedihan, memohon pertolongannya sebab ia sedang mengalami siksaan besar di api penyucian untuk cacat-cela tertentu.
Tidak ada yang lebih diperlukan demi menggerakkan hati Gemma untuk bertindak. Sejak saat itu dia tiada memberi dirinya sendiri istirahat; dia dengan tekun dan sungguh mempersembahkan doa-doa, airmata dan permohonan kasih kepada Tuhan kita.
"Yesus, sudi selamatkan dia," demikian terdengar dia berseru. "Yesus, bawalah Maria Teresa ke Firdaus tanpa berlambat. Dia adalah jiwa yang paling terkasih bagi-Mu. Ijinkan aku menderita banyak demi dia; aku ingin dia ada di surga."
Dan sepanjang waktu itu Gemma menulis dalam buku catatan hariannya sebagai berikut:
"Sekitar pukul 9:30 dan aku sedang membaca; sekonyong-konyong aku diguncang oleh tangan yang dengan lembut beristirahat di bahu kiriku. Aku berbalik takut; aku ketakutan dan berusaha berteriak, tapi aku ditahan. Aku berpaling dan melihat seorang berpakaian putih; aku mengenalinya sebagai seorang perempuan; aku memandangnya dan ekspresi wajahnya meyakinkanku bahwa tak ada yang perlu aku takutkan. 'Gemma,' katanya setelah beberapa saat, 'apakah kau mengenaliku?' Aku katakan tidak, sebab itulah kenyataannya. Ia menjawab: 'Aku adalah Moeder Maria Teresa dari Kanak-kanak Yesus. Aku sangat berterima kasih kepadamu atas kepedulian besar yang engkau berikan kepadaku sebab segera aku akan dapat memperoleh kebahagiaan abadiku.'
Semua ini terjadi ketika aku masih terjaga dan sepenuhnya sadar akan diriku. Lalu ia menambahkan: 'Teruslah, sebab aku masih harus mengalami beberapa hari penderitaan.' Dan sembari mengatakan demikian ia membelaiku dan lalu pergi. Raut wajahnya, perlu aku katakan, mengilhamkan banyak keyakinan dalam diriku. Sejak saat itu aku menggandakan doa-doaku demi jiwanya, agar ia segera mencapai tujuan; akan tetapi doa-doaku terlalu lemah; betapa aku merindukan bahwa bagi jiwa-jiwa di purgatorium hendaknya doa-doaku memiliki kekuatan seperti doa-doa para kudus."
Dan kurban silih yang terkasih ini menderita tanpa henti selama enambelas hari, hingga pada akhirnya Allah berkenan menerima kurbannya dan membebaskan sang jiwa. Beginilah sebagaimana diceritakan Gemma sendiri kepadaku:
'Menjelang setengah dua tampak olehku bahwa Bunda Maria sendiri datang guna memberitahuku bahwa jam suci yang aku panjatkan sudah hampir berakhir. Lalu nyaris seketika itu aku pikir aku melihat Sr. Maria Teresa datang menghampiriku dengan berbalutkan jubah Passionis, dengan disertai oleh Malaikat Pelindungnya dan oleh Yesus. Oh, betapa ia telah berubah sejak hari aku pertama kali melihatnya! Dengan tersenyum, ia mendekatiku dan mengatakan: 'Aku sungguh bahagia, dan aku pergi untuk menikmati Yesus-ku selamanya.' Ia berterima kasih lagi kepadaku. Lalu ia membuat tanda dengan tangannya mengucapkan selamat tinggal kepadaku, beberapa kali, dan bersama Yesus dan Malaikat Pelindungnya ia terbang ke surga. Saat itu sekitar pukul setengah tiga dini hari."
Pada bulan Mei 1922, Padre Pio menyampaikan kesaksian berikut kepada Uskup Melfi, Yang Mulia Alberto Costa dan juga Superior para biarawan, Padre Lorenzo dari San Marco, bersama 5 orang biarawan lainnya. Seorang dari kelima biarawan tersebut, Fra Alberto D 'Apolito dari San Giovanni Rotondo menuliskan kisahnya sebagai berikut:
"Sewaktu di biara pada suatu musim dingin sesudah hujan salju lebat, ia [Padre Pio] tengah duduk dekat perapian di suatu malam di ruang tamu, tenggelam dalam doa, ketika seorang laki-laki tua, mengenakan jubah kuno yang masih dikenakan oleh para petani Italia selatan pada waktu itu, sekonyong-konyong duduk di sampingnya. Mengenai orang ini Padre Pio mengatakan: 'Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa masuk biara pada waktu selarut ini karena semua pintu telah terkunci. Aku menanyainya: Siapakah engkau? Apa yang kau inginkan?'
Laki-laki tua itu mengatakan kepadanya, 'Padre Pio, saya adalah Pietro Di Mauro, putera Nicola, yang dijuluki Precoco.' Lalu ia melanjutkan, "Saya meninggal di biara ini pada tanggal 18 September 1908, di bilik nomor 4, ketika biara masih merupakan wisma bagi kaum miskin. Suatu malam, sementara di tempat tidur, saya tertidur dengan cerutu menyala, yang membakar kasur dan saya mati, sesak napas dan terbakar. Saya masih di api penyucian. Saya butuh satu Misa Kudus agar dapat dibebaskan. Allah mengijinkan saya datang dan meminta pertolonganmu. "
Menurut Padre Pio: 'Setelah mendengarkan dia, aku menjawab, "Yakinlah bahwa besok aku akan merayakan Misa untuk pembebasanmu." Aku bangkit dan menemaninya ke pintu biara, supaya ia bisa pergi. Aku tidak sadar bahwa ketika itu pintu ditutup dan dikunci. Aku membukanya dan mengucapkan salam perpisahan. Bulan menyinari lapangan yang tertutup salju. Ketika aku tak lagi melihatnya di depanku, aku merasa takut, dan aku menutup pintu, masuk kembali ke ruang tamu, dan merasa lemas.'
Beberapa hari kemudian, Padre Pio juga menceritakan kisah yang sama kepada Padre Paolino, dan keduanya memutuskan untuk pergi ke balai kota, di mana mereka melihat-lihat informasi untuk tahun 1908 dan mendapati bahwa pada tanggal 18 September tahun itu, seorang Pietro Di Mauro meninggal dunia karena luka bakar dan sesak napas di kamar nomor 4 di biara tersebut, yang pada waktu itu digunakan sebagai wisma bagi para tunawisma.
Sekitar waktu yang sama, Padre Pio menceritakan kepada Fra Alberto suatu penampakan lain jiwa dari purgatorium yang juga terjadi sekitar waktu yang sama. Ia mengatakan:
"Suatu malam, ketika aku sedang tenggelam dalam doa di tempat paduan suara di sebuah gereja kecil, aku dikejutkan dan terganggu oleh suara langkah-langkah kaki, dan lilin-lilin serta vas-vas bunga berpindah di atas altar utama. Berpikir bahwa seseorang pastilah di sana, aku berteriak, 'Siapa itu?'
Tak seorang pun menjawab. Aku kembali berdoa, dan lagi aku diganggu oleh suara-suara yang sama. Bahkan, kali ini aku mendapat kesan bahwa salah satu lilin, yang berada di depan patung Santa Perawan Maria Bunda Rahmat, telah jatuh. Ingin tahu apa yang sedang terjadi di altar, aku berdiri, pergi dekat jeruji dan melihat, dalam bayang-bayang cahaya lampu Tabernakel, seorang konfrater muda sedang bersih-bersih. Aku berteriak, 'Apa yang sedang kau lakukan dalam gelap?' Sang biarawan kecil menjawab, 'Saya sedang bersih-bersih.'
'Kamu bersih-bersih dalam gelap?' tanyaku. 'Siapa kau?'
Sang biarawan kecil menjawab, 'Saya seorang novis Capuchin, yang menghabiskan waktu api penyucian di sini. Saya membutuhkan doa-doa.' Dan ia pun lenyap."
Padre Pio mengatakan bahwa ia segera mulai berdoa untuknya sebagaimana diminta, dan tidak diketahui apakah Padre Pio kemudian berhubungan lebih lanjut dengan jiwa ini. Akan tetapi, sehubungan dengan jiwa-jiwa di purgatorium, adalah menarik menyimak bahwa di kemudian hari Padre Pio suatu kali mengatakan bahwa "Begitu banyak jiwa-jiwa orang mati datang ke jalanan ini [ke biara] seperti banyaknya jiwa-jiwa orang hidup." Tak diragukan, banyak jiwa-jiwa dari api penyucian mengunjungi Padre Pio memohon doa-doanya, kurban dan penderitaannya demi mendapatkan pembebasan mereka.
sumber : “Amazing stories from Purgatory and the afterlife”; www.mysticsofthechurch.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net atas ijin Mystics of the Church”
|