Sakramen Ekaristi:
Apakah yang Telah Terjadi dengan Devosi Saya?
oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D. *
Apakah yang terjadi dengan Pujian kepada Sakramen Mahakudus, berlutut pada saat menyambut Komuni, dan keheningan dalam gereja? Saya telah pergi ke Misa dan menyambut Komuni Kudus selama hampir limapuluh tahun. Sementara saya menengok kembali ke setengah abad yang lalu, saya melihat banyak devosi dan penghormatan kepada Ekaristi yang begitu saya junjung tinggi di masa muda saya, tidak lagi dipraktekkan sekarang! Apakah yang telah terjadi dengan devosi saya kepada Sakramen Ekaristi yang Mahakudus?
Saya memberikan ceramah mengenai Ekaristi kepada banyak kelompok paroki di segenap penjuru negeri. Dan sementara saya mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar orang dalam pembicaraan ini, saya menangkap keprihatinan mereka atas perubahan-perubahan dalam devosi ekaristik. Banyak yang mengalami perubahan-perubahan itu dalam devosi mereka sendiri atau menyaksikannya dalam diri yang lain, dan terkadang mereka cemas bahwa sesuatu yang penting telah hilang.
Saya berharap bahwa dengan menggambarkan perubahan dalam devosi ekaristik saya akan membantu banyak umat Katolik lainnya untuk memahami dan menghargai devosi ekaristik mereka sendiri dan melihat alasan-alasan dari sebagian perubahan dalam praktek devosional dalam paroki mereka. Saya akui di sini, di awal tulisan, bahwa saya lebih dari sekedar sedikit gentar membicarakan devosi ekaristik saya. Saya telah menjadi imam selama lebih dari 25 tahun dan ini tentulah bukan untuk pertama kalinya saya berbicara atau menulis mengenai Ekaristi. Namun demikian, selalu saja sulit untuk berbicara secara terbuka mengenai sesuatu yang begitu intim dan begitu penting bagi saya secara pribadi - dan kepada kalian secara pribadi.
Devosi saya kepada Ekaristi bukanlah sesuatu yang sekedar lahiriah, sesuatu yang saya lakukan; melainkan sesuatu yang adalah diri saya sendiri. Sesuatu yang ada dalam inti identitas saya: bagaimana saya melihat diri saya sendiri sebagai seorang Kristiani, sebagai seorang imam Katolik, sebagai seorang warga negara Amerika.
Perubahan-perubahan dalam devosi kepada Ekaristi mempengaruhi saya - seperti juga mempengaruhi kalian - jauh terlebih mendalam dibandingkan banyak perubahan-perubahan lain dalam hidup saya. Mengatakan, “Saya tak lagi berlutut saat saya menyambut Komuni Kudus” menyentuh hati saya secara terlebih mendalam daripada mengatakan, “Saya tak lagi membubuhkan garam pada kentang pure saya,” meski kedua perubahan dalam perilaku lahiriah saya ini merupakan akibat dari perubahan dalam pemahaman dan kesaksian batiniah saya. Menjelaskan perubahan-perubahan dalam perilaku lahiriah, saya harus berbicara mengenai perubahan-perubahan batiniah dalam keyakinan dan pemahaman. Saya telah sampai pada keyakinan bahwa guna memahami Sakramen Ekaristi secara cukup, maka pemahaman saya dan kesalehan saya haruslah mencakup ketiga gambaran: Jumat Agung, Kamis Putih dan Minggu Paskah.
Jumat Agung: Kurban Kudus Misa
Jumat Agung adalah gambaran utama yang membentuk devosi ekaristik saya ketika saya masih seorang kanak-kanak. Apabila saya memasuki gereja paroki kami, hal pertama yang saya lihat adalah sebuah salib berukuran lebih besar dari manusia. Berada dalam Misa adalah bagaikan berlutut di kaki salib di Kalvari. Penghormatan saya yang khusuk dalam Misa merefleksikan penghormatan Bunda Maria dan Yohanes di saat Yesus wafat.
Saya belajar mengenai Misa dan sakramen-sakramen dari sebuah buku kecil berjudul Katekismus Baltimore; pastilah sebagian besar umat Katolik seusia saya ingat akan buku itu. Saya ingat Pertanyaan 357: “Apa itu Misa?” Saya hapal jawabannya: “Misa adalah kurban Perjanjian Baru di mana Kristus, melalui pelayanan imam, mempersembahkan DiriNya kepada Tuhan dalam suatu cara yang tak berdarah dalam rupa roti dan anggur.” Meski saya tidak paham sepenuhnya arti dari sebagian kata-kata ini, disebutnya kata “kurban,” “imam,” “persembahan,” “darah” membawa ke dalam benak saya gambaran Jumat Agung dan secara tetap menghubungkan Ekaristi dengan Yesus yang wafat di salib.
Saya tidak pernah berpikir banyak mengenai aspek “perjamuan” Misa (gambaran Kamis Putih) semasa saya masih kanak-kanak. Saya ingat sangat sedikit umat beriman menyambut Komuni Kudus dalam Misa harian, dan pada hari-hari Minggu di paroki saya; Komuni Kudus tampaknya diperuntukkan bagi kelompok-kelompok khusus yang pergi menyambut Komuni sebulan sekali (Serikat Nama Suci pada satu hari Minggu dan Serikat Altar pada hari Minggu lainnya). Tetapi karena Jumat Agung merupakan gambaran dominan (dan nyaris eksklusif) dengan mana saya memahami Misa, maka jumlah mereka yang menyambut Komuni Kudus bukanlah masalah.
Devosi saya kepada Sakramen Ekaristi dibentuk oleh gambaran berlutut di kaki salib, memandang Yesus sang kurban, dan mengungkapkan syukur terima kasih atas kasih yang begitu luar biasa dan dukacita atas dosa yang mengakibatkan sengsara yang begitu dahsyat. Gambaran Jumat Agung tetap merupakan suatu unsur penting dari pemahaman saya akan Ekaristi; tetapi meski penting, belumlah cukup.
Kamis Putih: Ekaristi sebagai Perjamuan Kudus
Ketika saya di sekolah dasar, saya adalah seorang dari anak-anak “aneh” yang pergi ke Komuni Kudus setiap pagi. Jika “Jumat Agung” merupakan gambaran dominan dalam pemahaman saya mengenai Sakramen Ekaristi, gambaran Kamis Putih dan Perjamuan Tuhan tidak pernah absen dalam benak saya. Saya ingat sebagai seorang putera altar berlutut berjam-jam lamanya (rasanya seperti berjam-jam) dan memandangi lukisan Perjamuan Terakhir yang diukirkan di bagian depan meja altar di Gereja St Antonius di Wichita. Tetapi, baru sekitar tahun 1950 dan 1960-an ketika semakin dan semakin banyak umat beriman mulai menyambut Komuni Kudus dalam Misa, gambaran Kamis Putih perlahan-lahan mulai memainkan peran yang terlebih besar dalam pemahaman saya akan Ekaristi.
Sekitar tahun 1970-an, paroki di mana saya merayakan Ekaristi mulai mempergunakan hosti untuk Ekaristi yang tampak dan berasa lebih menyerupai roti yang sesungguhnya. Umat mulai menyambut Komuni di tangan dan minum dari piala. Misa mulai tampak lebih menyerupai suatu perjamuan. Altar mulai menyerupai meja perjamuan. Doa-doa Misa dan lagu-lagu yang kami nyanyikan berbicara secara terus-terang mengenai makan dan minum, mengenai santapan, perjamuan. Segala hal ini membuat gambaran Kamis Putih ditambahkan pada gambaran Jumat Agung dalam membantu saya memahami Sakramen Ekaristi. Devosi saya mulai mengambil suasana yang lebih gembira. Kami mulai berbicara mengenai “merayakan” Ekaristi. Pada gambaran “berlutut di kaki salib” saya menambahkan gambaran “duduk bersama Yesus dan para murid dalam Perjamuan Malam Terakhir, mendengarkan Sabda-Nya, berbagi roti dan piala.”
Tidak semua orang Katolik mengalami perjalanan yang sama seperti ini dan sebagian bersikukuh pada pemahaman di mana Jumat Agung merupakan gambaran yang dominan. Saya teringat seorang perempuan yang datang bertanya kepada saya sesudah penjelasan mengenai “Misa yang baru”: “Pater, mengapakah kita menyanyikan lagu-lagu gembira itu sementara Yesus meregang nyawa di salib?”
Minggu Paskah: Persatuan dengan Tuhan yang Bangkit
Jika penambahan gambaran Kamis Putih pada gambaran Jumat Agung memperkaya pemahaman saya akan Ekaristi, penambahan gambaran Minggu Paskah bahkan terlebih lagi membantu saya. Ketika St Paulus mengalami Tuhan yang Bangkit dalam pertobatannya, ia mengalami Kristus yang begitu diidentifikasikan dengan kita hingga menganiaya umat Kristiani sama dengan menganiaya Kristus Sendiri.
Tidak hanya sekali, melainkan tiga kali pengalaman ini diceritakan dalam Kisah Para Rasul. Dalam Bab Sembilan kita melihat Saulus (belum “St Paulus”) meneror para pengikut Yesus ketika sekonyong-konyong, suatu hari dalam perjalanan ke Damsyik, Saulus “rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: `Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?' Jawab Saulus: `Siapakah Engkau, Tuhan?' Kata-Nya: `Aku-lah Yesus yang kau aniaya itu'” (Kis 9:4-5).
Di kemudian hari, Paulus sendiri menceritakan peristiwa itu, “Maka rebahlah aku ke tanah dan aku mendengar suatu suara yang berkata kepadaku: Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku? Jawabku: Siapakah Engkau, Tuhan? Kata-Nya: Akulah Yesus, orang Nazaret, yang kau aniaya itu” (Kis 22:7-8). Paulus menceritakan lagi kisahnya dalam Bab 26, “Kata Tuhan: Aku-lah Yesus, yang kau aniaya itu” (Kis 26:15). Pengalaman itu menyingkapkan kepada Paulus bahwa Kristus tak dapat dipisahkan dari anggota-anggota-Nya. Tuhan yang Bangkit begitu bersatu dengan umat Kristiani sehingga apa yang kita lakukan satu sama lain, kita lakukan kepada Kristus.
Inilah point utama yang menjadi pokok bahasan dalam surat pertama Paulus kepada jemaat di Korintus, Bab 11, kisah tertulis paling awal yang kita miliki mengenai Perjamuan Malam Terakhir. Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Korintus sekitar tahun 50 M, ia prihatin atas “devosi ekaristik” mereka:
“Dalam peraturan-peraturan yang berikut aku tidak dapat memuji kamu, sebab pertemuan-pertemuanmu tidak mendatangkan kebaikan, tetapi mendatangkan keburukan. Sebab pertama-tama aku mendengar, bahwa apabila kamu berkumpul sebagai Jemaat, ada perpecahan di antara kamu, dan hal itu sedikit banyak aku percaya…. Apabila kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk. Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa?” (1 Kor 11:17-22).
Paulus mencela jemaat Korintus sebab merayakan Ekaristi tanpa mengenali Tubuh Kristus - orang-orang miskin yang pergi dengan lapar sementara orang-orang kaya mabuk. Kritik Paulus atas devosi ekaristik mereka tidak ditujukan pada suatu peraturan liturgis, pada lagu-lagu yang mereka nyanyikan, atau pada busana liturgis yang mereka kenakan atau tidak mereka kenakan, atau apakah mereka menyambut Komuni dengan berdiri atau berlutut - atau salah satu dari masalah-masalah yang mungkin menggusarkan sebagian umat Katolik sekarang - masalahnya jauh lebih penting. Mereka berusaha mengenangkan Kristus tanpa mengingat Tubuh-Nya, yang mencakup orang-orang miskin dan “terbuang”. Mereka hendak merayakan “kepala” tanpa “tubuh” - Kristus “sakramental” yang bangkit dan mulia dipisahkan dari Tubuh nyata-Nya sekarang. Pengalaman Paulus pada saat pertobatannya telah meyakinkannya bahwa Tuhan yang Bangkit diidentifikasikan dengan para murid begitu rupa hingga keduanya tak dapat dipisahkan.
St Paulus mengatakan kepada jemaat di Korintus bahwa mereka wajib meneliti diri mereka sendiri tubuh manakah yang mereka rayakan. Kristus yang mereka wartakan adalah Kristus yang Bangkit, yang dimuliakan dalam anggota-anggota-Nya, yang bersatu tanpa terpisahkan dengan mereka yang miskin dan menderita. Inilah Tubuh yang harus mereka lihat dalam Ekaristi jika mereka ingin merayakannya secara pantas, sebab barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya (lih 1 Kor 11:29).
Paulus mengingatkan kita akan suatu tanggung jawab yang mengagumkan. Maju dalam Misa untuk menyambut Komuni Kudus merupakan suatu janji bahwa kita akan memperlakukan setiap orang yang menyantap roti dan minum dari piala sebagai anggota tubuh kita sendiri! Bukan lagi “kami dan mereka” melainkan “kita”. Berbagi santapan merupakan suatu janji bahwa kita akan memperlakukan segenap laki-laki dan perempuan sebagaimana Kristus akan memperlakukan mereka, sungguh seperti kita akan memperlakukan Kristus Sendiri.
Ini adalah tanggung jawab yang sungguh luar biasa - yang tidak saya pikirkan secara cukup - namun demikan yang telah sangat mempengaruhi perubahan-perubahan dalam devosi ekaristik saya. Mudah kita kehilangan pandangan akan hubungan ini: Kristus yang Bangkit - Tubuh Mistik - Kehadiran Ekaristik. Ekaristi bukan sekedar suatu perayaan Kehadiran Nyata, melainkan suatu perayaan Kehadiran Nyata yang mendatangkan persatuan dan rekonsiliasi dalam seluruh Tubuh. Seperti yang dimadahkan umat Kristiani perdana dalam Ekaristi: Bagai buah-buah anggur dikumpulkan dan diperas agar menjadi anggur - bagai biji-biji gandum digiling menjadi tepung untuk dijadikan roti yang satu - demikian pula kita, meski banyak, menjadi satu Tubuh apabila kita makan Roti yang satu.
Menyeimbangkan Jumat Agung, Kamis Putih dan Minggu Paskah
Menyeimbangkan gambaran Jumat Agung, Kamis Putih dan Minggu Paskah (kurban, perjamuan, persatuan ciptaan) bukanlah suatu tugas yang mudah. Terkadang saya merasa seperti seorang pemain sirkus yang berusaha menangkap dan melambungkan tiga obyek di udara sekaligus. Saya tidak terampil melakukan hal seperti itu. Tetapi, saya pikir Gereja meminta kita untuk menyeimbangkan ketiga gagasan itu dalam benak kita - sama seperti paragraf pembukaan Konsili Vatican Kedua mengenai Ekaristi dengan amat seksama menyeimbangkan ketiganya:
“Pada perjamuan terakhir [Kamis Putih], pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Kurban Salib [Jumat Agung] untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya [Minggu Paskah]” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #47)
Yesus, Gereja, Ekaristi: Sakramen dari Allah yang Tak Kelihatan
Perubahan-perubahan dalam duapuluh tahun belakangan ini telah menghantar saya untuk memperluas pada tingkat tertentu pemahaman saya akan sakramen. Di samping ketujuh sakramen tradisional yang saya pelajari semasa kanak-kanak, sekarang saya mendengar orang berbicara mengenai Yesus dan Gereja sebagai sakramen. Saya yakin apa yang mereka maksudkan adalah ini: Allah yang tak kelihatan, yang kasih dan kedahsyatannya melampaui bahkan imajinasi kita, rindu menjadi kelihatan dan dekat dengan kita. Tuhan menghendaki kita masuk dalam rancangan-rancangan rahasia Allah bagi ciptaan. Allah yang tinggal dalam terang yang tak terhampiri, sumber segala hidup dan kebaikan, bersabda dan Sabda menjadi daging dan tinggal di antara kita dalam diri Yesus dari Nazaret. “Dia, Allah yang tak dapat dilihat, kini tampak sebagai manusia seperti kami” (Prefasi Natal)
Di masa-masa silam, Tuhan menyingkapkan rancangan ini, sakramen misterius ini, sepotong-sepotong melalui para nabi. Tetapi, dalam kepenuhan waktu, pada masa-masa belakangan ini, Tuhan telah menyingkapkan misteri sepenuhnya dalam Yesus (lih Ibrani 1:1-2). Dalam Yesus kita melihat kerinduan Tuhan agar semuanya diperdamaikan dan dikumpulkan bersama dalam persatuan. Yesus adalah kasih Allah yang dijadikan kelihatan, begitu rupa hingga melihat Yesus adalah melihat Bapa (Yohanes 14:9).
Sementara segala yang Yesus katakan dan lakukan dapat dilihat sebagai suatu sakramen dari rencana misterius Allah, sakramen yang kita sebut Ekaristi secara khusus berfokus pada misteri paskah sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Namun demikian, dalam Ekaristi, ketika kita mendengar kata-kata Kamis Putih “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku,” kita diminta untuk melakukan tidak hanya apa yang Yesus lakukan pada Perjamuan Malam Terakhir, melainkan juga apa yang Yesus lakukan sepanjang seluruh hidup-Nya: menyembuhkan, mengajar, menghibur, menjadi utusan pendamaian (lih 2 Kor 5:16-21).
Kita, Tubuh Kristus, sudah barang tentu diharapkan menjadi bagian dari sakramen ini. Dan ini memperluas gagasan saya mengenai sakramen. Kepada saya selalu diajarkan bahwa sakramen adalah tanda-tanda dan sarana-sarana kelihatan dari rahmat Allah yang tak kelihatan - saluran kasih keselematan Allah bagi dunia. Sekarang saya melihat bahwa, bersama Yesus, kita yang membentuk Gereja adalah sarana-sarana rahmat; kita adalah sarana-sarana biasa rahmat Allah bagi dunia kini. Sebagaimana Yesus adalah sakramen dari Allah yang tak kelihatan, kita yang dibaptis dalam Kristus menjadi sakramen yang adalah Gereja. Sungguh, Vatican II berbicara mengenai “Tubuh-Nya, yakni Gereja, sakramen keselamatan bagi semua orang” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #48).
Adalah dalam liturgi dan teristimewa dalam Ekaristi ketika kepenuhan realita Kristus menjadi kelihatan. Artinya bahwa tidak hanya Tubuh dan Darah Kristus hadir secara nyata dalam rupa roti dan anggur. Tetapi Tubuh Kristus, yakni Gereja, juga menjadi kelihatan supaya dapat dilihat semua orang. Liturgi adalah “upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #2). Ekaristi bukan hanya salah satu dari ketujuh sakramen, tetapi Ekaristi adalah intisari sakramen - sebab Ekaristi mencakup segenap kita, segenap Gereja, segenap Yesus dan Sabda Allah.
Apakah yang telah terjadi dengan devosi ekaristik saya?
Satu cara untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan mengatakan bahwa dulunya devosi saya berakhir singkat; hanya “separuh jalan”. Devosi saya terfokus pada perubahan pertama: perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Saya melupakan peringatan St Paulus dan tidak mengenali perubahan kedua: perubahan umat Kristiani menjadi Kristus. Perubahan kedua ini adalah tujuan dari perubahan pertama: Kristus sungguh nyata hadir dalam Ekaristi agar kita dapat sungguh nyata menjadi Tubuh-Nya. Inilah tepatnya yang dikatakan Doa Syukur Agung III ketika memanjatkan doa, “Kuatkanlah kami dengan Tubuh dan Darah-Nya, penuhilah kami dengan Roh Kudus-Nya, agar kami sehati dan sejiwa dalam Kristus.”
Saya pikir, perubahan kedua teristimewa sulit bagi orang-orang Katolik Amerika. Budaya Amerika kita menjunjung tinggi individualisme, kemandirian dan kebebasan dari kewajiban terhadap satu sama lain. Saya mendengar orang berkata, “Saya harus memiliki senjata sebab tiada seorang pun yang akan melindungi saya terkecuali diri saya. Polisi bahkan tak mampu melindungi diri mereka sendiri.” “Saya bekerja keras demi uang. Saya tidak akan membiarkan pemerintah mengambil uang saya dan memboroskannya untuk kesejahteraan.” Jika suatu budaya dicemari oleh rasialisme atau seksualisme, maka umat Kristiani yang dibentuk oleh budaya itu akan merasa sulit untuk mengekspresikan devosi kepada Ekaristi yang memaklumkan bahwa tidak ada lagi “orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28).
Dalam Pembaptisan saya menyangkal “setan,” saya menyangkal rasialisme dan seksualisme dan individualisme yang berlebihan, dan saya dilahirkan dalam Kristus Yesus. Setiap kali saya menghampiri Ekaristi, saya memperbaharui janji baptis saya. Sementara saya datang ke gereja untuk merayakan Ekaristi, saya mencelupkan tangan saya ke dalam air baptis dan memperbaharui janji-janji baptis saya. Setiap kali saya bangkit berdiri dan pergi menyambut Komuni Kudus, saya memberikan suatu tanda kepada komunitas bahwa saya menyatakan komitmen saya pada segala yang dimaknakan oleh Ekaristi - saya menyatakan komitmen untuk “melakukan ini” untuk mengenangkan Yesus - untuk hidup sebagaimana Ia hidup, untuk hidup bukan lagi bagi diri saya sendiri melainkan bagi Tubuh-Nya.
Kemanakah keindahan itu pergi?
Saya terkenang dengan nostalgia keagungan Misa sepanjang Empat Puluh Jam Devosi. Saya terkenang akan kepenatan tangan putera altar saya yang kecil, yang berusaha menyalakan berlusin-lusin lilin di altar; harum dupa, kerlap-kerlip benang emas yang disulamkan pada jubah imam. Saya terkenang akan monstrans dengan perhiasannya yang saya perkirakan adalah intan dan berlian dan zamrud. Kenangan itu begitu hidup; sebagai seorang kanak-kanak ini adalah hal yang paling megah mulia yang pernah saya lihat: ruangan yang paling semarak; gerakan-gerakan yang paling anggun; busana-busana yang paling indah. Kemanakah semuanya itu pergi?
Jika Empat Puluh jam devosi dan Pujian kepada Sakramen Mahakudus merupakan peristiwa-peristiwa penting dari tahun liturgi kala itu, apakah peristiwa-peristiwa penting pada masa sekarang? Malam Paskah mungkin? Pada Malam Paskah, kami mendapati para katekumen yang berdebar duduk sekeliling api unggun, mendengarkan kisah-kisah penciptaan dan penyelamatan - kecipak air, kaki-kaki yang basah tergelincir di atas lantai ubin, baju-baju diganti dengan cepat dengan latar belakang suara bising pengering rambut, harum minyak Krisma, pemecahan roti dan minum dari piala untuk pertama kalinya dengan warga paroki yang baru ini. Kemanakah segala keindahan itu pergi? Di manakah keagungan? Apakah yang telah terjadi dengan devosi saya?
Saya hanya dapat mengatakan bahwa saya mendapatkan suatu perspektif baru. Saya melihat suatu keindahan baru dan keagungan baru. Dibutuhkan suatu mata yang berbeda untuk melihat Tuhan-ku dalam wajah-wajah para saudara dan saudari saya dengan siapa saya berbagai roti yang dipecah-pecahkan. Tetapi, sungguh ada keindahan sejati di sana, dan saya mendapati bahwa keindahan itu masih dapat menggerakkan saya meneteskan airmata sukacita dan devosi. Sekarang, saya menilai apakah suatu liturgi itu “bagus” atau “jelek” tidak dari jumlah lilin-lilin yang dinyalakan, tidak dari mewahnya busana imam, pun tidak dari apakah saya menyukai lagu-lagunya atau tidak.
Sekarang, suatu liturgi yang “bagus” adalah liturgi yang mengubah saya dan saudara-saudara separoki saya begitu rupa hingga laki-laki dan perempuan dalam masyarakat sekarang dapat melihat makna sepenuhnya dari Sakramen Ekaristi. Dan mereka akan berkata tentang kita seperti mereka berkata tentang umat Kristiani perdana, “Lihatlah, betapa mereka saling mengasihi satu sama lain! Tiada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka!”
* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.
sumber : “The Sacrament of the Eucharist: What Has Happened to My Devotion? by Thomas Richstatter, O.F.M.”; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”